(Refleksi
sosial atas Pengelolaan Sumberdaya Alam di Bumi Flobamora, tahun
2010)
Herry
Naif *
Penolakan Penyulapan Gaharu di Sikka |
Indonesia
terus digebuki dengan begitu banyak bencana, baik bencana alam maupun
bencana non alam, akibat tingkah laku manusia. Bencana
menjadi topik yang ramai dibicarakan media publik ataupun pembicaran
rakyat dalam lingkup mereka. Indonesia dijuluki sebagai super
market
bencana. Keberadaan wilayah Indonesia di antara pertemuan tiga
lempeng tektonik (Eurosia, Pasifik dan Australia) menyebabkan
kerentanan terhadap berbagai jenis bencana. Herannya, kesadaran itu
baru muncul empat tahun terakhir setelah terjadi bencana alam
katastropik secara berturut-turut mulai dari bencana Alor hingga
bencana Aceh yang dikenal maha dasyat sepanjang sejarah karena
menelan enam ratus ribuan korban nyawa dan kerugian materi hingga
triliunan rupiah.
Untuk mengguggah dan mempertegas kesadaran itu,
tentunya perlu dilitanikan beberapa pertayaan mendasar. Sejauh mana
tindakan proteksi manusia dalam menghadapi bencana ekologi yang masif
terjadi? Apakah pembangunan yang gencar dilakukan telah mengurangi
jumlah penduduk miskin? Bukankah Penggerukkan sumberdaya alam telah
menghantar rakyat pada ketidakadilan? Ataukah bencana ekologi dan
kemiskinan terus memporakporankan upaya ketahanan pangan?
Komitmen
akan penanggulangan bencana perlu digugat karena korban yang
berjatuhan saat bencana tidak mengalami perubahan yang signifikan.
Misalnya; Gempa
berkekuatan 7,2 skala richter yang diikuti tsunami di Kabupaten
Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, telah menewaskan 112 orang, 502
lainnya dinyatakan hilang dan 4.000 keluarga mengungsi. Bencana
banjir bandang Wasior, Kabupaten Teluk Wondowa, Papua Barat menelan
korban 134 orang.
Erupsi Merapi hingga hari ini telah menelan 277 orang, berdasarkan
data Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman. Sedangkan
Propinsi NTT dilanda Bencana Banjir di dusun C dan D desa Skinu,
Kecamatan Toianas, Kabupaten TTS ada 361 KK dan dari 611 KK yang
menjadi korban banjir. Rinciannya terdiri 123 KK, dusun C 38 rumah di
dusun D hilang tanpa bekas. Selain itu, ada beberapa peristiwa yang
boleh diklasifikasi sebagai bencana, seperti tenggelamnya kapal Karya
Pinang di perairan Sadak-Watu Manuk dalam perjalanan dari Pulau Palue
menuju Maumere. Dalam tragedi itu, 23 orang harus menjadi bayaran
dari puting beliung dan ketidakjelasan manajemen angkutan antar pulau
di NTT.
Itu berarti, kerusakan alam hampir tidak dapat
dibendung. Hutan yang memiliki fungsi penting dalam menyiapkan
carbon, pelindung sumber mata air serta penyeimbang flora dan fauna
tidak digubris. Semangat eksploitatif dan tindakan-tindakan
ekstraktif telah meracuni manusia dalam rangka mewujudkongkretkan
pembangunan yang mengayomi masyarakat menuju kesejahteraan yang
absurd. Lantas, apa dengan gampang disimpulkan bahwa “lingkungan
rusak karena kemiskinan atau kemiskinan yang mengakibatkan kerusakan
lingkungan hidup?” Tidak serta merta alasan kemiskinan mendorong
orang untuk melakukan tindakan penggerukan alam tanpa pertimbangan
arif dan bijaksana akan nilai keseimbangan (judgement value).
Realitas kemiskinan seolah memaksa para pengambil kebijakan agar
berkompromi dengan pemodal untuk melakukan pengelolalaan sumberdaya
alam.
Dewes
Decker yang membuat lukisan tentang Indonesia dalam buku Tanah Air,
ia menyimpulkan bahwa Indonesia adalah zamrud
katholistiwa.
Untuk itu, Indonesia memiliki potensi alam yang luar biasa didukung
dengan keanekaragaman hayati yang tidak dimiliki bangsa lain. Seiring
dengan kekayaan itu, kemiskinan itu terus menggurita.
Pemerintah
Indonesia mestinya belajar dari negrinya Fidel Castro (Kuba) yang
mana telah menemukan jurus jitu yang mirip dengan konsep “berdikari”
yang pernah menjadi slogan Indonesia. Bahwa “produksilah
apa yang kita miliki dan kita butuhkan dengan cara dan arah yang kita
inginkan”.
Bukan memproduksi sesuatu yang tidak dibutuhkan rakyat Indonesia.
Bila
tidak Indonesia akan terus dijebak penggerukan Sumberdaya alam
terbarukan dan tak terbarukan yang dapat berdampak pada bencana yang
masif terjadi. Misalnya, perubahan
iklim. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kadar karbondioksida dan
gas-gas polutif lainnya di dalam atmosfer. Gas-gas
itu dihasilkan akibat pembakaran batubara, minyak bumi dan menjebak
panas yang dipancarkan matahari di seputar permukaan bumi. Sekali
emisi gas itu memasuki atmosfer akibat emisi gas rumah kaca yang
ditimbulkan dari pembakaran energi fosil akan menetap di sana
beberapa tahun.
Perubahan
iklim membuat masyarakat petani tidak tepat memprediksikan cuaca
akibat ketidakseimbangan curah hujan malah dapat menimbulkan abrasi
pantai, longosoran, banjir dan lainnya.
Itu
berarti, pegurusan sumberdaya alam
seyogyanya mengedepankan kepentingan ekologi, sosial dan budaya
selain kepentingan ekonomi. Bila tidak, kelompok tertentu saja yang
menguasai keuntungan pengelolaan sumberdaya alam. Hak Pengelolaan
Hutan (HPH), Kontrak Karya Pertambangan, Hak Pengelolaan Pesisir dan
Perikanan (HP3), dan sebagainya adalah mekanisme formal negara untuk
mengekploitasi sumberdaya alam mulai dari pegunungan, hutan,
perkebunan, pemukiman, pesisir, dan laut atas nama negara untuk
kepentingan investasi.
Herannya,
seluruh proses gadaian ini sangat lamban menghantar rakyat menuju
kesejahteraan. Sektor pertanian, peternakan dan pariwisata yang
bersentuhan dengan mayoritas profesi rakyat diabaikan. Ini bukti
kegagalan pemerintah. Praktek pertaniaan dan ternak yang hampir
terjadi di semua wilayah NTT dilakukan bukan karena hasil pembekalan
atau pelatihan melainkan warisan leluhur dengan sistem “perladangan
gilir balik”. Sistem ini dilakukan setelah
mereka mempelajari perilaku lingkungan selama puluhan tahun. Sebuah
lahan dikelola kemudian dilepas untuk mengembalikan kesuburannya
dengan dihijauhkan untuk jangka waktu tertentu lalu kembali dikelola
sebagai kebun. Dalam konteks sekarang, konsep perladangan gilir balik
tidak kontekstual karena pertambahan penduduk yang berpengaruh
terhadap jarak waktu dan luas lahan garapan yang digunakan petani.
Hal serupa telah diingatkan Thomas Robert Maltus akan keterbatasan
pangan yang dialami, dalam tulisan essay on
population bahwa “pertambahan penduduk
berpola deret ukur, sedangkan pertumbuhan pangan berpola deret
hitung”. Bakal pada suatu momentum jumlah penduduk lebih besar dari
pasokan pangan dan kelaparan menjadi sebuah keniscayaan.
Permasalahan
inilah yang mesti dijawab dalam pengembangan pertanian di wilayah
NTT. Bukannya para petani divonis salah tanpa sebuah solusi.
Sejauhmana tawaran alternatif pertanian dari para penyuluh pertaniaan
yang dibiayai rakyat melalui dinas pertanian? Ataukah mereka hanya
difasilitasi sekedar menambah pekerja demi mengurangi pengangguran?
Lebih parah lagi, alokasi budget bagi sektor-sektor ini di bawah
sektor-sektor lain. Ataukah sekedar melakukan seremoni food
summit yang hingga hari ini tidak ada
hasilnya. Julukan propinsi jagung yang dituai adalah gagal panen.
Tanpa didasari evaluasi program dan kajian, Badan Ketahanan Pangan
Provinsi NTT harus meminta beras 3900 ton kepada pemerintah pusat
untuk mengatasi krisis pangan di NTT.
Menghindari
perdebatan panjang, pemerintah provinsi NTT atas nama negara lalu
‘menjual’ hak kelola kepada pemilik modal baik pemodal dalam
negeri maupun pemodal asing, melalui investasi pertambangan dan
berbagai kegiatan eksploitasi lainnya. Sehingga dimana-mana ada
pertambangan. Pertambangan seakan menjadi leading
sektor daripada sektor pertanian, peternakan,
pariwisata yang puluhan tahun menghidupi NTT. Rendanya Pendapatan
beberapa sektor ini kemudian mengamini investasi pertambangan akan
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemkab TTU mengeluarkan 86
Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Mangan yang akan melahap habis lahan
pertanian rakyat. Pemkab Manggarai telah mengeluarkan 28 SK
Pertambangan yang kemudian bisa menggusur tanaman kopi unggulan. 8
SK Pertambangan di Kabupaten Manggarai Barat akan berdampak pada
rusaknya panorama keindahan Labuanbajo dan gugus pulaunya. Padahal,
di kabupaten ini spesies komodo sedang dipromosikan menjadi the
seven wonders di dunia. Dunia pariwisata ini
telah terbukti dengan 2500 wisatawan asing menghadiri Natal di
Labuanbajo untuk sekaligus menikmati pariwisata (Pos Kupang, 28
Desember 2009). Gubernur NTT mengeluarkan SK No. 14 Tahun 2008
tentang Penyelidikan Umum yang melintasi 4 Kabupaten di Pulau Sumba
dan melakukan MoU, Memorandum of Understanding
dengan beberapa investor untuk melakukan pertambangan di beberapa
Kabupaten di Pulau Timor.
Ironisnya,
dalam menyikapi bencana banjir di desa Skinu, Kabupaten TTS Gubernur
NTT menghimbau agar masyarakat di sekitar kawasan hutan menjaga
kelestarian lingkungan. Atau dalam kasus meledaknya Kilang
Montara pada 21 agustus 2009. Akibatnya, minyak mentah di kilang itu
tumpah dan mencemari perairan di sekitar Kabupaten Rote Ndao, bahkan
hingga laut Sawu terutama sekitar Kabupatan Sabu Raijua dan pantai
selatan Pulau Timor. Akibatnya petani rumput laut di Rote dan Sabu
merugi. Menyikapi itu, Lens Haning (Bupati Rote-Ndao) berkali-kali
menyampaikan keluhan berkaitan dengan pencemaran tersebut, antara
hasil tangkapan nelayan berkurang dan rumput laut yang dikembangkan
warga di pesisir Pulau Rote mati karena tercemar gumpalan-gumpalan
minyak mentah. Bahwa tumpahan minyak itu mencemari sekitar 16.420 km
persegi wilayah Laut Timor yang tercakup dalam zona ekonomi eksklusif
Indonesia. Kerusakan ekosistem laut dan kematian berbagai jenis biota
laut telah menyebabkan anjloknya pendapatan nelayan dan petani rumput
laut. Sebelum terjadinya pencemaran petani rumput laut di Rote Ndao
dapat memproduksi 7.334 ton rumput laut kering per tahun. Setelah
pencemaran terjadi produksi turun hingga 1.512 ton. Bahkan, hingga
Juni 2010 produksi rumput laut kering di Rote baru mencapai 341,4
ton. (Pos Kupang, Agustus 2010). Menyikapi laporan Lens,
Gubernur berjuang untuk ganti rugi atas kerusakan biota laut akibat
pencemaran tersebut. Apabila perjuangan ini sungguh dilandasi oleh
gugatan akan gagasan pemulihan ekologi, semestinya sebagai pihak yang
memiliki otoritas perlu mencabut seluruh Surat Kuasa Pertambangan
yang tidak jauh berbeda dengan Perusahaan Montara. Ataukah ini hanya
berintensi mendapatkan biaya kerugian yang begitu besar?
Itu
berarti, tanpa disadari skema neo-liberalisme telah merasuki para
pemimpin sehingga mengatur peruntukan pengelolaan sumberdaya alam
untuk kepentingan mereka. Atas nama liberalisasi ekonomi, sektor
swasta lalu menyetir dan mengontrol kebijakan-kebijakan pengelolaan
sumberdaya alam. Lewat lembaga-lembaga keuangan internasional seperti
Bank Dunia, IMF, dan turunannya mengatur skenario pengelolaan
sumberdaya alam melalui mekanisme-mekanisme yang menegasikan posisi
rakyat sebagai pemilik sumberdaya alam.
Dalam
konteks Indonesia dan NTT pada khususnya juga didukung oleh buruknya
sistem negara. Korupsi di dunia birokrat NTT
merajalela, management pemerintahan yang masih terpusat, kurangnya
strategi nasional untuk pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan,
kurangnya kesadaran politik dan kesadaran publik, institusi-institusi
yang sukar beradaptasi satu sama lain. Pemeritah gagal
mengikutsertakan para pihak dalam pengambilan dan implementasi
keputusan, serta mandeknya penegakan hukum yang merupakan
keluhan-keluhan masyarakat dalam menghadapi berbagai ketidakadilan
hukum, ekonomi dan ketidakadilan ekologi. Hal-hal inilah yang
menyebabkan degradasi lingkungan semakin tidak terkendali.
Sumberdaya alam dieksploitasi secara serampangan untuk
kepentingan pembayaran utang luar negeri serta mempertebal
kantong-kantong kroni elit-elit kapitalis. Semua kebijakan yang
berkaitan dengan sumberdaya alam didesign menjadi sektoral dan
teralienasi untuk memuluskan jalan mendapatkan keuntungan yang lebih
besar.
Pra-syarat
pengelolaan sumberdaya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan adalah
adanya kebutuhan untuk melakukan pendekatan bio-region
untuk keberlanjutan dan keselamatan manusia. Undang-undang
Pengelolaan Sumberdaya Alam telah disetujui dan diimplementasikan
untuk mengakhiri pengelolaan sektoral dan administratif. Ini juga
perlu diikuti oleh perubahan lembaga-lembaga pemerintahan sehingga
pengelolaan sumberdaya alam menjadi lebih holistik.
Peran
negara yang harus dijalankan; diantaranya: melindungi, menghormati,
memenuhi, serta memajukan pemenuhan hak-hak dasar rakyat. Kebutuhan
mendasar rakyat adalah pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan
perumahan yang layak perlu dikedepankan dengan tetap mengakui
kearifan lokal masyarakat yang selama ini eksis di berbagai tempat di
Indonesia dan NTT pada khususnya.
Pengelolaan
sumberdaya alam (PSDA) pemerintah hendaknya juga memperhatikan
beberapa pilar, seperti: Pertama; Pertimbangan ekologi
hendaknya menjadi poros kebijakan lingkungan yang bercita-cita
mengurangi dampak buruk aktivitas manusia. Bukan sekedar
menyelamatkan kehidupan manusia melainkan mengubah pola pikir
antroposentrik yang mana mendudukan manusia sebagai pusat segalanya
dan segala potensi pun dipersembahkan baginya. Kedua; Keadilan
sosial (social equality dan econimic justice) hendaknya
dicerminkan sebagai penolakan terhadap berbagai diskriminasi yang
dilahirkan misalnya: perjuangan kelas, gender, etnisitas.
Ketidakadilan sosial menjadi sumber perusakan lingkungan hidup oleh
negara dan corporat harus dihindari. Ketiga; Kerakyatan.
Artinya pengelolaan sumberdaya alam hendaknya memposisikan rakyat
sebagai subjek penikmat. Rakyat tidak dipinggirkan dari proses-proses
kebijakan terutama yang berkorelasi dengan akses dan kontrol.
Keempat; Pengelolaan Sumberdaya alam hendaknya mengaktifkan
dan menyeimbangkan Feeling, Acting, dan Thinking. Setiap
individu bisa merasakan nilai keagungan inisiasinya (feeling).
Secara konseptual ini didorong untuk melahirkan visi bersama dengan
memahami apa yang menjadi penting (definisi)
serta menemukan dan mengapresiasi apa yang telah ada dan tentunya itu
terbaik (discovery), menemukan apa yang semestinya ada
(dream), menstrukturkan apa yang ada (design) dan
merawatnya hingga menjadi ada (destiny) sehingga hasilnya akan
melampaui dari apa yang dinginkan dan sangat sinergi dengan konteks
realitas yang ada dalam kehidupan.
Mengakhiri tulisan ini,
seluruh komponen diajak untuk mengejawantakan pulihkan NTT utamakan
keselamatan rakyat.