Rabu, 02 November 2011

Bencana Ekologi, Kemiskinan Vs Ketahanan Pangan

(Refleksi sosial atas Pengelolaan Sumberdaya Alam di Bumi Flobamora, tahun 2010)

Herry Naif *

Penolakan Penyulapan Gaharu di Sikka
Indonesia terus digebuki dengan begitu banyak bencana, baik bencana alam maupun bencana non alam, akibat tingkah laku manusia. Bencana menjadi topik yang ramai dibicarakan media publik ataupun pembicaran rakyat dalam lingkup mereka. Indonesia dijuluki sebagai super market bencana. Keberadaan wilayah Indonesia di antara pertemuan tiga lempeng tektonik (Eurosia, Pasifik dan Australia) menyebabkan kerentanan terhadap berbagai jenis bencana. Herannya, kesadaran itu baru muncul empat tahun terakhir setelah terjadi bencana alam katastropik secara berturut-turut mulai dari bencana Alor hingga bencana Aceh yang dikenal maha dasyat sepanjang sejarah karena menelan enam ratus ribuan korban nyawa dan kerugian materi hingga triliunan rupiah.

Untuk mengguggah dan mempertegas kesadaran itu, tentunya perlu dilitanikan beberapa pertayaan mendasar. Sejauh mana tindakan proteksi manusia dalam menghadapi bencana ekologi yang masif terjadi? Apakah pembangunan yang gencar dilakukan telah mengurangi jumlah penduduk miskin? Bukankah Penggerukkan sumberdaya alam telah menghantar rakyat pada ketidakadilan? Ataukah bencana ekologi dan kemiskinan terus memporakporankan upaya ketahanan pangan? 
 
Komitmen akan penanggulangan bencana perlu digugat karena korban yang berjatuhan saat bencana tidak mengalami perubahan yang signifikan. Misalnya; Gempa berkekuatan 7,2 skala richter yang diikuti tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, telah menewaskan 112 orang, 502 lainnya dinyatakan hilang dan 4.000 keluarga mengungsi. Bencana banjir bandang Wasior, Kabupaten Teluk Wondowa, Papua Barat menelan korban 134 orang. Erupsi Merapi hingga hari ini telah menelan 277 orang, berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman. Sedangkan Propinsi NTT dilanda Bencana Banjir di dusun C dan D desa Skinu, Kecamatan Toianas, Kabupaten TTS ada 361 KK dan dari 611 KK yang menjadi korban banjir. Rinciannya terdiri 123 KK, dusun C 38 rumah di dusun D hilang tanpa bekas. Selain itu, ada beberapa peristiwa yang boleh diklasifikasi sebagai bencana, seperti tenggelamnya kapal Karya Pinang di perairan Sadak-Watu Manuk dalam perjalanan dari Pulau Palue menuju Maumere. Dalam tragedi itu, 23 orang harus menjadi bayaran dari puting beliung dan ketidakjelasan manajemen angkutan antar pulau di NTT. 
 
Itu berarti, kerusakan alam hampir tidak dapat dibendung. Hutan yang memiliki fungsi penting dalam menyiapkan carbon, pelindung sumber mata air serta penyeimbang flora dan fauna tidak digubris. Semangat eksploitatif dan tindakan-tindakan ekstraktif telah meracuni manusia dalam rangka mewujudkongkretkan pembangunan yang mengayomi masyarakat menuju kesejahteraan yang absurd. Lantas, apa dengan gampang disimpulkan bahwa “lingkungan rusak karena kemiskinan atau kemiskinan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup?” Tidak serta merta alasan kemiskinan mendorong orang untuk melakukan tindakan penggerukan alam tanpa pertimbangan arif dan bijaksana akan nilai keseimbangan (judgement value). Realitas kemiskinan seolah memaksa para pengambil kebijakan agar berkompromi dengan pemodal untuk melakukan pengelolalaan sumberdaya alam.

Dewes Decker yang membuat lukisan tentang Indonesia dalam buku Tanah Air, ia menyimpulkan bahwa Indonesia adalah zamrud katholistiwa. Untuk itu, Indonesia memiliki potensi alam yang luar biasa didukung dengan keanekaragaman hayati yang tidak dimiliki bangsa lain. Seiring dengan kekayaan itu, kemiskinan itu terus menggurita.

Pemerintah Indonesia mestinya belajar dari negrinya Fidel Castro (Kuba) yang mana telah menemukan jurus jitu yang mirip dengan konsep “berdikari” yang pernah menjadi slogan Indonesia. Bahwa “produksilah apa yang kita miliki dan kita butuhkan dengan cara dan arah yang kita inginkan”. Bukan memproduksi sesuatu yang tidak dibutuhkan rakyat Indonesia. 
 
Bila tidak Indonesia akan terus dijebak penggerukan Sumberdaya alam terbarukan dan tak terbarukan yang dapat berdampak pada bencana yang masif terjadi. Misalnya, perubahan iklim. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kadar karbondioksida dan gas-gas polutif lainnya di dalam atmosfer. Gas-gas itu dihasilkan akibat pembakaran batubara, minyak bumi dan menjebak panas yang dipancarkan matahari di seputar permukaan bumi. Sekali emisi gas itu memasuki atmosfer akibat emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan dari pembakaran energi fosil akan menetap di sana beberapa tahun. 
 
Perubahan iklim membuat masyarakat petani tidak tepat memprediksikan cuaca akibat ketidakseimbangan curah hujan malah dapat menimbulkan abrasi pantai, longosoran, banjir dan lainnya.

Itu berarti, pegurusan sumberdaya alam seyogyanya mengedepankan kepentingan ekologi, sosial dan budaya selain kepentingan ekonomi. Bila tidak, kelompok tertentu saja yang menguasai keuntungan pengelolaan sumberdaya alam. Hak Pengelolaan Hutan (HPH), Kontrak Karya Pertambangan, Hak Pengelolaan Pesisir dan Perikanan (HP3), dan sebagainya adalah mekanisme formal negara untuk mengekploitasi sumberdaya alam mulai dari pegunungan, hutan, perkebunan, pemukiman, pesisir, dan laut atas nama negara untuk kepentingan investasi.

Herannya, seluruh proses gadaian ini sangat lamban menghantar rakyat menuju kesejahteraan. Sektor pertanian, peternakan dan pariwisata yang bersentuhan dengan mayoritas profesi rakyat diabaikan. Ini bukti kegagalan pemerintah. Praktek pertaniaan dan ternak yang hampir terjadi di semua wilayah NTT dilakukan bukan karena hasil pembekalan atau pelatihan melainkan warisan leluhur dengan sistem “perladangan gilir balik”. Sistem ini dilakukan setelah mereka mempelajari perilaku lingkungan selama puluhan tahun. Sebuah lahan dikelola kemudian dilepas untuk mengembalikan kesuburannya dengan dihijauhkan untuk jangka waktu tertentu lalu kembali dikelola sebagai kebun. Dalam konteks sekarang, konsep perladangan gilir balik tidak kontekstual karena pertambahan penduduk yang berpengaruh terhadap jarak waktu dan luas lahan garapan yang digunakan petani. Hal serupa telah diingatkan Thomas Robert Maltus akan keterbatasan pangan yang dialami, dalam tulisan essay on population bahwa “pertambahan penduduk berpola deret ukur, sedangkan pertumbuhan pangan berpola deret hitung”. Bakal pada suatu momentum jumlah penduduk lebih besar dari pasokan pangan dan kelaparan menjadi sebuah keniscayaan. 
 
Permasalahan inilah yang mesti dijawab dalam pengembangan pertanian di wilayah NTT. Bukannya para petani divonis salah tanpa sebuah solusi. Sejauhmana tawaran alternatif pertanian dari para penyuluh pertaniaan yang dibiayai rakyat melalui dinas pertanian? Ataukah mereka hanya difasilitasi sekedar menambah pekerja demi mengurangi pengangguran? Lebih parah lagi, alokasi budget bagi sektor-sektor ini di bawah sektor-sektor lain. Ataukah sekedar melakukan seremoni food summit yang hingga hari ini tidak ada hasilnya. Julukan propinsi jagung yang dituai adalah gagal panen. Tanpa didasari evaluasi program dan kajian, Badan Ketahanan Pangan Provinsi NTT harus meminta beras 3900 ton kepada pemerintah pusat untuk mengatasi krisis pangan di NTT. 
 
Menghindari perdebatan panjang, pemerintah provinsi NTT atas nama negara lalu ‘menjual’ hak kelola kepada pemilik modal baik pemodal dalam negeri maupun pemodal asing, melalui investasi pertambangan dan berbagai kegiatan eksploitasi lainnya. Sehingga dimana-mana ada pertambangan. Pertambangan seakan menjadi leading sektor daripada sektor pertanian, peternakan, pariwisata yang puluhan tahun menghidupi NTT. Rendanya Pendapatan beberapa sektor ini kemudian mengamini investasi pertambangan akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemkab TTU mengeluarkan 86 Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Mangan yang akan melahap habis lahan pertanian rakyat. Pemkab Manggarai telah mengeluarkan 28 SK Pertambangan yang kemudian bisa menggusur tanaman kopi unggulan. 8 SK Pertambangan di Kabupaten Manggarai Barat akan berdampak pada rusaknya panorama keindahan Labuanbajo dan gugus pulaunya. Padahal, di kabupaten ini spesies komodo sedang dipromosikan menjadi the seven wonders di dunia. Dunia pariwisata ini telah terbukti dengan 2500 wisatawan asing menghadiri Natal di Labuanbajo untuk sekaligus menikmati pariwisata (Pos Kupang, 28 Desember 2009). Gubernur NTT mengeluarkan SK No. 14 Tahun 2008 tentang Penyelidikan Umum yang melintasi 4 Kabupaten di Pulau Sumba dan melakukan MoU, Memorandum of Understanding dengan beberapa investor untuk melakukan pertambangan di beberapa Kabupaten di Pulau Timor. 
 
Ironisnya, dalam menyikapi bencana banjir di desa Skinu, Kabupaten TTS Gubernur NTT menghimbau agar masyarakat di sekitar kawasan hutan menjaga kelestarian lingkungan. Atau dalam kasus meledaknya Kilang Montara pada 21 agustus 2009. Akibatnya, minyak mentah di kilang itu tumpah dan mencemari perairan di sekitar Kabupaten Rote Ndao, bahkan hingga laut Sawu terutama sekitar Kabupatan Sabu Raijua dan pantai selatan Pulau Timor. Akibatnya petani rumput laut di Rote dan Sabu merugi. Menyikapi itu, Lens Haning (Bupati Rote-Ndao) berkali-kali menyampaikan keluhan berkaitan dengan pencemaran tersebut, antara hasil tangkapan nelayan berkurang dan rumput laut yang dikembangkan warga di pesisir Pulau Rote mati karena tercemar gumpalan-gumpalan minyak mentah. Bahwa tumpahan minyak itu mencemari sekitar 16.420 km persegi wilayah Laut Timor yang tercakup dalam zona ekonomi eksklusif Indonesia. Kerusakan ekosistem laut dan kematian berbagai jenis biota laut telah menyebabkan anjloknya pendapatan nelayan dan petani rumput laut. Sebelum terjadinya pencemaran petani rumput laut di Rote Ndao dapat memproduksi 7.334 ton rumput laut kering per tahun. Setelah pencemaran terjadi produksi turun hingga 1.512 ton. Bahkan, hingga Juni 2010 produksi rumput laut kering di Rote baru mencapai 341,4 ton. (Pos Kupang, Agustus 2010). Menyikapi laporan Lens, Gubernur berjuang untuk ganti rugi atas kerusakan biota laut akibat pencemaran tersebut. Apabila perjuangan ini sungguh dilandasi oleh gugatan akan gagasan pemulihan ekologi, semestinya sebagai pihak yang memiliki otoritas perlu mencabut seluruh Surat Kuasa Pertambangan yang tidak jauh berbeda dengan Perusahaan Montara. Ataukah ini hanya berintensi mendapatkan biaya kerugian yang begitu besar?

Itu berarti, tanpa disadari skema neo-liberalisme telah merasuki para pemimpin sehingga mengatur peruntukan pengelolaan sumberdaya alam untuk kepentingan mereka. Atas nama liberalisasi ekonomi, sektor swasta lalu menyetir dan mengontrol kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam. Lewat lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, IMF, dan turunannya mengatur skenario pengelolaan sumberdaya alam melalui mekanisme-mekanisme yang menegasikan posisi rakyat sebagai pemilik sumberdaya alam.

Dalam konteks Indonesia dan NTT pada khususnya juga didukung oleh buruknya sistem negara. Korupsi di dunia birokrat NTT merajalela, management pemerintahan yang masih terpusat, kurangnya strategi nasional untuk pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan, kurangnya kesadaran politik dan kesadaran publik, institusi-institusi yang sukar beradaptasi satu sama lain. Pemeritah gagal mengikutsertakan para pihak dalam pengambilan dan implementasi keputusan, serta mandeknya penegakan hukum yang merupakan keluhan-keluhan masyarakat dalam menghadapi berbagai ketidakadilan hukum, ekonomi dan ketidakadilan ekologi. Hal-hal inilah yang menyebabkan degradasi lingkungan semakin tidak terkendali.
Sumberdaya alam dieksploitasi secara serampangan untuk kepentingan pembayaran utang luar negeri serta mempertebal kantong-kantong kroni elit-elit kapitalis. Semua kebijakan yang berkaitan dengan sumberdaya alam didesign menjadi sektoral dan teralienasi untuk memuluskan jalan mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Pra-syarat pengelolaan sumberdaya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan adalah adanya kebutuhan untuk melakukan pendekatan bio-region untuk keberlanjutan dan keselamatan manusia. Undang-undang Pengelolaan Sumberdaya Alam telah disetujui dan diimplementasikan untuk mengakhiri pengelolaan sektoral dan administratif. Ini juga perlu diikuti oleh perubahan lembaga-lembaga pemerintahan sehingga pengelolaan sumberdaya alam menjadi lebih holistik.
Peran negara yang harus dijalankan; diantaranya: melindungi, menghormati, memenuhi, serta memajukan pemenuhan hak-hak dasar rakyat. Kebutuhan mendasar rakyat adalah pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan perumahan yang layak perlu dikedepankan dengan tetap mengakui kearifan lokal masyarakat yang selama ini eksis di berbagai tempat di Indonesia dan NTT pada khususnya.
Pengelolaan sumberdaya alam (PSDA) pemerintah hendaknya juga memperhatikan beberapa pilar, seperti: Pertama; Pertimbangan ekologi hendaknya menjadi poros kebijakan lingkungan yang bercita-cita mengurangi dampak buruk aktivitas manusia. Bukan sekedar menyelamatkan kehidupan manusia melainkan mengubah pola pikir antroposentrik yang mana mendudukan manusia sebagai pusat segalanya dan segala potensi pun dipersembahkan baginya. Kedua; Keadilan sosial (social equality dan econimic justice) hendaknya dicerminkan sebagai penolakan terhadap berbagai diskriminasi yang dilahirkan misalnya: perjuangan kelas, gender, etnisitas. Ketidakadilan sosial menjadi sumber perusakan lingkungan hidup oleh negara dan corporat harus dihindari. Ketiga; Kerakyatan. Artinya pengelolaan sumberdaya alam hendaknya memposisikan rakyat sebagai subjek penikmat. Rakyat tidak dipinggirkan dari proses-proses kebijakan terutama yang berkorelasi dengan akses dan kontrol. Keempat; Pengelolaan Sumberdaya alam hendaknya mengaktifkan dan menyeimbangkan Feeling, Acting, dan Thinking. Setiap individu bisa merasakan nilai keagungan inisiasinya (feeling). Secara konseptual ini didorong untuk melahirkan visi bersama dengan memahami apa yang menjadi penting (definisi) serta menemukan dan mengapresiasi apa yang telah ada dan tentunya itu terbaik (discovery), menemukan apa yang semestinya ada (dream), menstrukturkan apa yang ada (design) dan merawatnya hingga menjadi ada (destiny) sehingga hasilnya akan melampaui dari apa yang dinginkan dan sangat sinergi dengan konteks realitas yang ada dalam kehidupan.
Mengakhiri tulisan ini, seluruh komponen diajak untuk mengejawantakan pulihkan NTT utamakan keselamatan rakyat.

cerpen


Mozaik yang tercecer...

Herry Naif

Kisah cinta bagi manusia adalah penting. Manusia hidup tanpa cinta bagai hidup tak bernilai. Liku-liku cinta bagai sulaman yang tak terencana mau jadi apa. Cinta sering membius hidup manusia. Dalam cinta jati diri manusia menjadi perlahan ditemui. Karena manusia hidup dan lahir karena persemain cinta. Tak dipungkiri hidup ini dibangun dalam kisah cinta. Tidak salah bila manusia kemudian mengalami kisah cinta. 

Mengenal cinta pertama tentunya dihiasi dengan banyak ketidaktahuan apa yang harus dibuat dan apa yang harus dilakukan insan manusia. Manusia bagai kertas putih yang belum ternota sebuah pesan yang harus dimengerti oleh siapa pun. Hal yang sama pun menimpa diriku. Dalam keluguan saya mencoba mengenal cinta. 

Jujur sejak mengenal cita-cita hidup, ketika ditanya pasti jawabannya adalah menjadi imam. Bagiku pilihan ini adalah pilihan yang mulia, sebuah pilihan lugu tanpa dirasionalisasi dan tanpa argumentasi mendasar. Hanya berpikir sebuah citra imam dihargai banyak pihak. 

Angan-angan ini terus bersemai dalam seluruh perjalanan hidupku.
Ketika menunaikan pendidikan sekolah dasar, saya harus melanjutkan pendidikan di sebuah sekolah faforit di kotaku. Awalnya, pilihan orang tua adalah ke sebuah sekolah yang memiliki aturan diri demi sebuah penempaahan diri menuju kematangan. 

Suatu hari saya dibawa menuju sebuah sekolah favorit di kabupaten Belu. Di sana saya bersama kedua orang tua ku dan bersama teman guru bapaku harus beristirahat di sebuah bangunan tua yang disiapkan bagi orang tua siswa. Teman guru papaku pergi untuk menjenguk adiknya sedangkan kami pergi mencari informasi sekolah tentang sekolah itu. Lumayan sekolah itu indah, rindang dan cukup dikenal di Pulau Timor sebagai lembaga pendidikan yang punya nama dan berkualitas.Banyak orang berlomba-lomba masuk sekola itu.

Hari itu saya melihat sebuah kehidupan asarama yang penuh disiplin, dimana semua diatur oleh waktu. Hanya sayangnya makannya cukup menyengsarakan. Sebagai anak mami, saya melihat ini dalam diam ku bicara, ko hidup berasarama susah juga. Tetapi semua itu ku simpan dalam hati. 

Ketika usai menamatkan pendidikanku saya kemudian memilih lain. Dalam kompromiku dengan bapa mama bahwa lebih baik saya lanjutkan pendidikan di kota kefa biar dekat dengan orang tua. Permintaan ini kemudian direspon positif orang tua. Maklum anak pertama. Mereka juga tak sanggup untuk meninggalkan mereka begitu jauh. 

Kemudian masuklah saya pada sebuah sekolah kenamaan di kota kefa. Di sana saya harus bertemu dengan teman-temanku yang sudah fasi berbahasa indonesia. Maklum anak kampung. Hanya sebuah kebahagian ternota karena ternyata yang sekolah disini bukan hanya saya. Ada banyak anak teman guru dari bapa yang sekolah disana. 

Kabar Kampung


PERTAMBANGAN MANGAN DI DESA RAFAE TETAP BERJALAN

Atambua, Walhinews: Desa Rafae adalah sebuah desa yang termasuk dalam Kecamatan Raimanus, Kabuapten Belu. 

Secara historis, Nai Mandeu Raimanus adalah bagian dari wilayah kerajaan Liu Rai Wesei Wehali. Pada pemerintahan orde Baru, dilaksanakannya undang-undang No. 5 Tahun 1975 tentang pemerintahan desa gaya baru maka dibentuklah desa Mandeu. Dalam perkembangannya, pada tahun 1990, desa Mandeu dimekarkan menjadi 2 desa yakni: Mandeu dan Mandeu Raimanu. Pada tahun 1994, dari dua desa ini dimekarkan menjadi tujuh (7) desa yakni: Desa Mandeu (Mandeu, Rafae, Duakoran, Leuntoro) dan Desa Mandeu Raimanus menjadi tiga (3) desa (Mandeu Raimanus, Faturika, Ren Rua). Dari ketujuh desa ini dibentuklah Kecamatan Raimanus, demikian ujar Simon Manek (67) mantan kepala desa Mandeu (1990 – 1998). 

Mayoritas penduduk di kecamatan dan desa ini adalah petani. Kampung ini merupakan pusat kerajaan Rai Manus Mandeu. Tetapi sejak tahun 2011, kampun ini dihebokan dengan adanya pertambangan mangan. Pemegang IUP (Ijin Usaha Pertambangan) di desa Rafae, Kecamatan Raimanus adalah PT. Jabs Group. Luas Areal pertambangan di desa ini 476 ha. Wilayah pertambangan mangan dari PT. Jabs Group memasuki wilayah SD Obor, SMP Satu Atap Obor, Puskesmas Rafae, Pemukimana di dusun Kelis dan Obor, Kantor Desa Rafae, Kuburan leluhur dan sumber mata air, demikian kata Theo Seran, seorang tokoh masyarakat Rafae. 

Menyikapi pertambangan ini, Theo Seran dan Simon Manek mengemukakan bahwa pertambangan di wilayah Mandeu perlu ditolak karena sesuai dengan pengalaman wilayah ini, sebelumnya dipantau bahwa wilayah Mandeu adalah wilayah pegunungan yang rentan terhadap bencana longsor. Hampir setiap tahun selalu terjadi longsor. Kondisi ini akan lebih parah lagi bila dilakukan pertambangan. Malah, wilayah ini merupakan kawasan larangan berupa hutan adat dan hutan lindung. Karena itu pemerintah harus memetakan wilayah tersebut agar tidak tumpang tindih. Apalagi dari wilayah pertambangan yang ada memasuki wilayah perkampungan dan beberapa fasilitas publik seperti: SD Obor, Polindes, Kapela, dan beberapa fasilitasi lainnya. 

Permasalahan pertambangan ini telah disampaikan kepada DPRD Kabupaten Belu, pada tanggal 23 November 2011. Dalam Audiensi masyarakat dengan DPRD Kabupaten Belu disepakati agar adanya klarifikasi lapangan. Namun dalam klarifikasi lapangan ternyata tidak membuahkan hasil kesepakatan. Karena itu disepakati agar Kepala Desa Rafae memfasilitasi warga di desa Rafae dan kemudian hasil itu disampaikan kepada pemkab bela (Dinas Pertambangan dan Energi) kabupaten belu.

Restorasi Ekologi


Hampir seluruh realitas kehidupan manusia, semua komponen yang ada di bumi memiliki ketergantungan antara satu sama lain baik itu makhluk hidup maupun benda mati. Benda mati sering diidentikan sebagai potensi yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan manusia tanpa mempertimbangkan nilai keseimbangan (judment values). Konsentasinya adalah bagaimanan memenuhi kebutuhan manusia? Atau, terminologi yang dikenal adalah pemenuhan hak dasar pangan, pendidikan, kesehatan, perumahan, pekerjaan yang layak dan partisipasi publik dalam seluruh kebijakan. 
 
Upaya pemenuhan hak-hak dasar itu sangat bergantung pada alam. Alam menjadi dermawan tak terbalaskan. Manusia bagai penguasa absolut. Dalam perkembangannnya di tengah pertambahan penduduk yang semakin memadati bumi, ketersedian sumber daya alam terutama yang tak terbarukan mengalami jumlah yang menurun drastis dari waktu ke waktu, kemudian memaksa manusia untuk mengevaluasi pola pengelolaan sumber daya alam (Restorasi Ekologi). 
 
Di tengah amburadulnya pola dan sistem kebijakan pengelolaan sumber daya alam, restorasi ekologi menjadi penting. Seluruh sistem dan pola yang diemban perlu dievaluasi dan dilihat, apakah pola itu masih bernuansa keberlanjutan ekologis ataukah hanya habis pakai sekejap. Dalam konteks ini, beberapa model pengelolaan sumber daya alam yang berpotensi ekstraktif dan eksploitatif harus ditolak, seperti pertambangan dan destructive logging yang dilakukan serempak. 
 
Berbagai aktivitas penyelamatan lingkungan hanya dilakukan sebagai manipulasi atas kerusakan ekologi yang sedang ditimbulkan.






Keterlibatan Perempuan
        Pada kongres perempuan Internasional ke-dua di Kopenhagen, tokoh pejuang perempuan, Clara Zetkin, menganjurkan 8 maret sebagai hari perempuan yang diperingati setiap tahun. Di Indonesia, tahun-tahun itu juga punya arti penting dalam sejarah pergerakan perempuan, karena R.A Kartini dan beberapa perempuan pelopor lainnya sudah memulai perjuangan mendobrak sistem patriarki dan budaya cauvinistic.
Saat ini, kaum perempuan sedunia sedang menghadapi situasi dunia yang genting; krisis ekonomi, krisis pangan, krisis energy, dan krisis ekologis. Ini terjadi karena perilaku sebuah sistem sosial yang selalu mengedepankan logika menggali keuntungan (profit), sehingga tidak menyisakan masa depan bagi rakyat kita dan generasi yang akan datang. Ini juga nampak jelas di Indonesia, negeri dimana 60% kaum perempuannya telah menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, namun mereka tetap saja menjadi objek kekerasan di dalam rumah tangga.