Lingkungan hidup adalah warisan anak-cucu yang perlu dijaga, bukan dihancurkan untuk kepentingan generasi tertentu
Minggu, 27 Januari 2013
KRONOLOGI KASUS
PENGRUSAKAN RUMAH MES BESIPA'E
Pada
hari Jumat, tanggal 5 Oktober 2012 anggota kelompok Masyarakat adat
Pubabu – Besipa'e bersepakat untuk melakukan kegiatan selama 3 hari
terhitung mulai dari hari senin tanggal 8 Oktober 2012 masyarakat
mendatangi kebun kelompok yang berada di Pubabu -Besipae dan
memperbaiki pagar lahan tersebut yang telah berulang-ulang kali
dibongkar, sesudah itu masyarakat kembali ke rumah masing-masing
dengan kesepakatan melanjutkan pekerjaan pada esok harinya.
Namun
pada esok harinya, selasa 9 Oktober 2012 ketika masyarakat sampai di
kebun kelompok maka didapati pagar dalam keadaan terbongkar dan
dibongkar oleh pihak pengawai Dinas Peternakan, maka mereka
ramai-ramai mendatangi Mes/Rumah tempat tinggalnya Kepala Unit
Peternakan Iinstalasi Besipa'e atas nama Daniel Nomleni, sesampainya
di sana masyarakat bertanya, “Siapa yang biasa bongkar-bongkar kami
pung pagar”, tapi tidak ada yang menjawab pertanyaan itu. Tiba-tiba
istri-istri Pegawai Dinas Peternakan keluar dan menemui masyarkat.
Mereka bukannya menjawab pertanyaan warga tetapi malah mengeluarkan
kata-kata yang tidak enak di dengar yakni “kamu orang-orang
pengemis, peminta, pencuri miskin tidak tahu malu sambil menari dan
menunjukkan bokongnya kepada masyarakat”.
Dengan
mendengar kata-kata dan melihat perbuatan menunjukkan bokong
masyarkaat pun semakin marah dan langsung melempari rumah mes
tersebut. Karena rumah dilempari istri-istri Pegawai tersebut
mengaktakan “Bosong jangan lempar kami punya rumah, bosong pi
lempar Pak YOSUA KIAN punya rumah saja karena dia yang pencuri kamu
punya sapi dong. Namun masyarakat terus mengambil batu dan melempari
kaca-kaca nako mes sambil berteriak “senjata makan tuan, hoe...!!!
Lempar terus karena dong su terbuka bahwa dong punya kawan”
Kejadian
ini langsung dilaporkan oleh Pegawai Dinas Peternakan ke Polsek
Amanuban Selatan melalui telpon genggam (HP). Mengetahui kejadian ini
telah dilaporkan maka masyarakat pun berhenti melempari rumah dan
masyarakat tidak melarikan diri tapi menungguh kedatangan pihak
keamanan di tempat kejadian perkara.
Menjelang
beberapa waktu kemudian anggota Polsek Amanuban Selatan datang
menemui masyarakat di TKP, setelah Pihak keamanan mengambil data
masyarakat sendiri pulang ke rumahnya masing-masing dan pada hari itu
juga sekitar pukul 18.00 Wita ada anggota Polisi dari Polres TTS
datang untuk menjemput masyarakat dan dibawa ke Polres TTS untuk
dimintai keterangan lanjutan sebagai saksi serta pada keesokan
harinya tanggal 10 Oktober 2012 jam 07.00 mereka diperiksa lagi
sebagai tersangka dan ditahan sebagai tersangka pengrusakan fasilitas
publik.
Hingga hari ini masih ada 10 warga Besipae yang ditahan sebagai tersangka pengrusakan.
Kabarnya, selasa, 29 Januari 2013 akan dilakukan sidang perdana untuk kesepuluh warga tersebut. Persidangan ini akan dilakuan di Pengadilan Negri Soe - TTS. Kesepuluh warga akan didampingi kuasa hukum dari LBH Timor dan LBH Apik.
Sabtu, 26 Januari 2013
KETIKA TUHAN MENCIPTAKAN
"Indonesia tanah air
beta, di sana tempat lahir beta, dibuai dibesarkan bunda, tempat
berlindung di hari tua... hingga nanti menutup mata" demikian
ungkap seorang bapa sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Judulnya Ketika Tuhan Menciptakan Indonesia.
Suatu hari Tuhan tersenyum puas melihat sebuah planet yang baru saja
diciptakan-Nya. Malaikat pun bertanya, "Apa yang baru saja
Engkau ciptakan, Tuhan?" "Lihatlah, Aku baru saja
menciptakan sebuah planet biru yang bernama Bumi," kata Tuhan
sambil menambahkan beberapa awan di atas daerah hutan hujan Amazon.
Tuhan melanjutkan, "Ini akan menjadi planet yang luar biasa dari
yang pernah Aku ciptakan. Di planet baru ini, segalanya akan terjadi
secara seimbang". Lalu Tuhan menjelaskan kepada malaikat tentang
Benua Eropa. Di Eropa sebelah utara, Tuhan menciptakan tanah yang
penuh peluang dan menyenangkan seperti Inggris, Skotlandia dan
Perancis. Tetapi di daerah itu, Tuhan juga menciptakan hawa dingin
yang menusuk tulang. Di Eropa bagian selatan, Tuhan menciptakan
masyarakat yang agak miskin, seperti Spanyol dan Portugal, tetapi
banyak sinar matahari dan hangat serta pemandangan eksotis di Selat
Gibraltar.
Lalu malaikat menunjuk sebuah
kepulauan sambil berseru, "Lalu daerah apakah itu Tuhan?"
"O... itu, "kata Tuhan, "itu Indonesia. Negara yang
sangat kaya dan sangat cantik di planet bumi. Ada jutaan flora dan
fauna yang telah Aku ciptakan di sana. Ada jutaan ikan segar di laut
yang siap panen. Banyak sinar matahari dan hujan. Penduduknya Ku
ciptakan ramah tamah, suka menolong dan berkebudayaan yang beraneka
warna. Mereka pekerja keras, siap hidup sederhana dan bersahaja serta
mencintai seni. Dengan terheran-heran, malaikat pun protes, "Lho,
katanya tadi setiap negara akan diciptakan dengan keseimbangan. Kok
Indonesia baik-baik semua. Lalu dimana letak keseimbangannya? "Tuhan
pun menjawab dalam bahasa Inggris, "Wait, until you see the
idiots I put in the government." (tunggu sampai Saya
menaruh 'idiot2′ di pemerintahannya). Sehingga sampai kapan pun,
pemerintahannya tunduk dengan kaum bermodal yang memperbodoh mereka.
Diambil dari refleksi seorang teman aktifis
SSCBDA DIGELAR DI KUPANG
Kupang - Walhinews, South-South Citizenry Based on Development Academy (SSCBDA), Akademi Pembangunan Berbasis Masyarakat Selatan - Selatan telah digelar di Hotel Sasando Kupang (21 – 23/05). Kegiatan ini diselenggarakan lima kemitraan untuk bencana (Partners for Resielience) yakni: Palang Merah Belanda, CARE Belanda, Coraid, Wetlands international, Pusat Iklim Palang Merah dan Bulat Sabit Merah bekerja sama dengan kemitraannya di Indonesia. Kegiatan bertemakan “Meningkatkan Ketahanan Masyarakat dalam Dunia yang sedang Berubah” dihadiri oleh perwakilan kalangan masyarakat, organisasi masyarakat sipil, para akademisi, pusat pengetahuan, utusan pemerintah dan para praktisi Nasional.
Tujuan kegiatan ini untuk menyiapkan dukungan pengembangan kapasitas untuk organisasi- organisasi yang terlibat dalam pembangunan berorientasi kerakyatan dan pengurangan resiko bencana dan inisiatif adaptasi perubahan iklim di wilayah Asia Pasifik dan juga antar wilayah. Sub-Akademi Pembangunan Berbasis Masyarakat Selatan – Selatan menyiapkan suatu tempat bagi masyarakat untuk berbagi dan belajar satu sama lain, membagi analisis resiko dan masalah masyarakat, serta melakukan pertukaran solusi dan pilihan – pilihan. Dalam proses ini, para akademisi, organisasi non pemerintah, pemerintah, sektor swasta dan pemangku kepentingan yang lainnya melibatkan diri secara aktif dan belajar dari masyarakat
Kegiatan ini diawali dengan pelaporan panitia, presentasi tentang Parterns for Resielience oleh perwakilan PfR serta pengantar SSCBDA yang dipandu oleh Torry Koeswardoyo (Pikul). Kegiatan ini dibuka secara resmi oleh Setda NTT yang mewakili Gubernur NTT, dilanjutkan dengan presentasi oleh Ema Rahmawati, Asisten Deputi Kementrian Lingkungan Hidup.
Setelah ceremonial pembukaan, peserta dibagi dalam beberapa kelompok sesuai dengan minat peserta yang sudah terdaftar. Ada 5 tema yang ditawarkan pantia, diantaranya: Pertama. Ketahanan dan Manajemen Air: Strategi Masyarakat untuk Memanen Air di Savannah. Kedua, Ketahanan dan Mata Pencaharian Berkelanjutan: Mekanisme Bio – Rights dan Manajemen Keberlanjutan di Daerah Pesisir. Ketiga, Ketahanan dan Kemampuan Adaptasi: Adaptasi Pertanian terhadap Perubahan Iklim bagi Para Petani. Keempat, Ketahanan dan Energi Bio – fuel: Penggunaan Energi Berdampak Kecil bagi Masyarakat Pedesaan. Kelima, Ketahanan dan Pengurangan Resiko Bencana: Strategi Berbasis Masyarakat untuk Kesiapsiagaan Menghadapi Banjir.
Setelah pembagian kelompok, dilanjutkan ke ruang sesi tematik untuk berbagi dan bertukar pikiran serta pengalaman yang sudah dilaksanakan untuk masyarakat.
Regina Muki, staf Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Daerah NTT, memilih untuk bergabung dalam kelompok tema “Ketahanan dan Energi bio – fuel: penggunaan energi berdampak kecil bagi masyarakat pedesaan”. Kelompok yang berjumlah 14 orang yang tergabung dari perwakilan masyakat dari pulau timor dan flores difasilitasi oleh Lilik dari LPTP.
Pada kesempatan pertama, Lilik menyampaikan tentang pemanfaatan energi alternatif yang bisa diterapkan di masyarakat pedesaan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. Misalnya, energi yang dipaparkan yakni: Tungku hemat Energi dan Biogas. Lilik memaparkan alasan mengapa menawarkan tungku hemat energi, karena melihat pola pemanfaatan kayu bakar secara tidak bijaksana oleh masyarakat. Kayu yang didapatkan dengan menebang kayu di hutan sekitar desanya yang dapat berdampak pada kerusakan lingkungan. Diharapkan dengan penggunaan tungku hemat energi dapat meminimalisir pemanfaatan kayu bakar.
Beberapa peserta lainnya menambahkan bahwa pengggunaan tungku hemat energi pun masyarakat tetap menggunakan kayu sebagai sumber utama energinya, walaupun jumlah kayu yang digunakan tidak terlalu banyak. Penebangan kayu di hutan terus terjadi. Oleh karena itu, mereka menawarkan untuk penggunakan briket arang ataupun pemanfaatan serbuk kayu sisa mebel sebagai sumber bahan bakarnya.
Biogas yakni gas/energi yang dihasilkan dari kotoran hewan ternak yang dapat dimafaatkan untuk menyalakan kompor gas dan penerangan dengan menggunakan lampu yang dirancang khusus dengan pehitungan 2 ekor sapi atau 4 ekor babi dapat memenuhi kebutuhan memasak rumah tangga selama 4 jam. Sedangkan kotoran yang dimanfaatkan sebagai pupuk organik yang berkualitas tinggi. Masyarakat diminta untuk membangun instalasi biogas dengan biaya Rp. 6.000.000. Ini adalah pembiayaan yang sangat murah dan ramah lingkungan.
Selanjutnya peserta diberikan waktu untuk berdiskusi serta memberikan contoh – contoh lain dari pemanfaatan energi alternatif yang sudah diterapkan atau mungkin bisa diterapkan di masyarakat. Selain itu peserta diminta memberikan masukan tentang materi yang telah dipaparkan fasilitator sebelumnya.
Pada sesi diskusi, Jeni dari LPM UNDANA menyatakan bahwa akan sulit untuk mengubah pola pikir masyarakat di NTT khususnya pulau Timor yang sudah sejak turun-temurun memiliki tradisi menggunakan kayu api sebagai sumber utama energi untuk memasak beralih ke tungku hemat energi ataupun menggunakan biogas. Masyarakat sulit menerima perubahan yang ditawarkan.
Namun, Donald delegasi Genk Motor Imut (Aliansi Masyarakat Peduli Ternak) menyatakan bahwa bila kita menggunakan pendekatan sesuai dengan kearifan lokal masyarakat setempat, maka tidak susah untuk merubah pola pikir masyarakat yang mengganggap biogas merupakan sesuatu yang sulit lakukan dan biayanya mahal. Lebih lanjut, Donald menegaskan untuk mengurangi biaya yang harus dikeluarkan untuk membangun instalsi biogas lebih baik memanfaatkan barang – barang bekas seperti drum ataupun ban dalam bekas sebagai media untuk pembuatan biogas. Biogas tidak hanya dihasilkan dari kotoran ternak tapi dapat juga memanfaatkan limbah tahu dan sayur – sayuran bekas di pasar.
Pada hari kedua pelaksanaan SSCBDA peserta dibagi dalam beberapa kelompok untuk membahas tentang pemanfaatan energi alternatif yang sudah dibahas sebelumnya untuk melihat apa keuntungan dan kelemahan dari setiap energi alternatif yang ditawarkan Tidak semua pemanfaatan energi alternatif bisa diterapkan di semua daerah. Ada beberapa kelemahan dari pemanfaatan energi alternatif seperti: biogas hanya bisa diterapkan di daerah yang cukup air. Sedangkan untuk daerah kering akan susah. Sedangkan Solar sel hanya bisa diterapkan di daerah yang banyak terpapar sinar matahari. Sebab, sumber energi utamanya dari matahari dan perlu tenaga khusus untuk perawatannya. Untuk kincir angin hanya bisa digunakan di daerah yang selalu berangin (memililiki angin yang cukup untuk menggerakan kincirnya). Biaya yang dibutuhkan cukup besar dan harus dibangun jauh dari daerah pemukiman masyarakat karena menimbulkan bising. Kincir angin juga banyak membunuh burung yang terbang di sekitarnya.
Dari semua penggunanan energi alternatif yang ada tentunya memiliki keuntungan dan kelemahannya. Misal, Biogas dapat menambah pendapatan ekonomi keluarga. Hasil tambahan dari biogas adalah memanfaatkan kotoran ternak yang mana menghasilkan pupuk yang bernilai ekonomis tinggi dan untuk peternakan sendiri jangka waktu pemeliharaannya lebih singkat karena sapi ataupun babinya dikandangkan dan mudah perawatannya dibandingkan dilepaskan dialam bebas.
Dari diskusi-diskusi itu, dihasilkan beberapa rekomendasi agar peserta menjadi pionir perubahan, yang mana menjadi contoh dalam pemanfaata biogas dan tunggu hemat energi. Untuk partners for resilience dan pemerintah hendaknya pemanfaatan energi alternatif tidak hanya dijadikan sebagai sebuah proyek tetapi merupakan sebuah gerakan keberlanjutan.
Menutup kegiatan pelatihan ini, dilakukan pameran inovasi yang menampilkan semua hasil – hasil kerajinan tangan dari tiap peserta maupun komunitas. kemudian SSCBDA ditutup secara resmi oleh ketua panitia penyelenggara ditandai dengan mengumumkan Nepal sebagai tempat pelaksanaan SSCBDA yang ke-6, serta pembagian secara simbolis sertifikat bagi peserta dan sebuah selendang Timor sebagai cendera mata.
Kemudian rombongan peserta melakukan Tour keliling kota Kupang di akhiri dengan melihat keindahan Sunset di Pantai lasiana Kupang.
Sayonara.............!!!!!
Kupang - Walhinews, South-South Citizenry Based on Development Academy (SSCBDA), Akademi Pembangunan Berbasis Masyarakat Selatan - Selatan telah digelar di Hotel Sasando Kupang (21 – 23/05). Kegiatan ini diselenggarakan lima kemitraan untuk bencana (Partners for Resielience) yakni: Palang Merah Belanda, CARE Belanda, Coraid, Wetlands international, Pusat Iklim Palang Merah dan Bulat Sabit Merah bekerja sama dengan kemitraannya di Indonesia. Kegiatan bertemakan “Meningkatkan Ketahanan Masyarakat dalam Dunia yang sedang Berubah” dihadiri oleh perwakilan kalangan masyarakat, organisasi masyarakat sipil, para akademisi, pusat pengetahuan, utusan pemerintah dan para praktisi Nasional.
Tujuan kegiatan ini untuk menyiapkan dukungan pengembangan kapasitas untuk organisasi- organisasi yang terlibat dalam pembangunan berorientasi kerakyatan dan pengurangan resiko bencana dan inisiatif adaptasi perubahan iklim di wilayah Asia Pasifik dan juga antar wilayah. Sub-Akademi Pembangunan Berbasis Masyarakat Selatan – Selatan menyiapkan suatu tempat bagi masyarakat untuk berbagi dan belajar satu sama lain, membagi analisis resiko dan masalah masyarakat, serta melakukan pertukaran solusi dan pilihan – pilihan. Dalam proses ini, para akademisi, organisasi non pemerintah, pemerintah, sektor swasta dan pemangku kepentingan yang lainnya melibatkan diri secara aktif dan belajar dari masyarakat
Kegiatan ini diawali dengan pelaporan panitia, presentasi tentang Parterns for Resielience oleh perwakilan PfR serta pengantar SSCBDA yang dipandu oleh Torry Koeswardoyo (Pikul). Kegiatan ini dibuka secara resmi oleh Setda NTT yang mewakili Gubernur NTT, dilanjutkan dengan presentasi oleh Ema Rahmawati, Asisten Deputi Kementrian Lingkungan Hidup.
Setelah ceremonial pembukaan, peserta dibagi dalam beberapa kelompok sesuai dengan minat peserta yang sudah terdaftar. Ada 5 tema yang ditawarkan pantia, diantaranya: Pertama. Ketahanan dan Manajemen Air: Strategi Masyarakat untuk Memanen Air di Savannah. Kedua, Ketahanan dan Mata Pencaharian Berkelanjutan: Mekanisme Bio – Rights dan Manajemen Keberlanjutan di Daerah Pesisir. Ketiga, Ketahanan dan Kemampuan Adaptasi: Adaptasi Pertanian terhadap Perubahan Iklim bagi Para Petani. Keempat, Ketahanan dan Energi Bio – fuel: Penggunaan Energi Berdampak Kecil bagi Masyarakat Pedesaan. Kelima, Ketahanan dan Pengurangan Resiko Bencana: Strategi Berbasis Masyarakat untuk Kesiapsiagaan Menghadapi Banjir.
Setelah pembagian kelompok, dilanjutkan ke ruang sesi tematik untuk berbagi dan bertukar pikiran serta pengalaman yang sudah dilaksanakan untuk masyarakat.
Regina Muki, staf Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Daerah NTT, memilih untuk bergabung dalam kelompok tema “Ketahanan dan Energi bio – fuel: penggunaan energi berdampak kecil bagi masyarakat pedesaan”. Kelompok yang berjumlah 14 orang yang tergabung dari perwakilan masyakat dari pulau timor dan flores difasilitasi oleh Lilik dari LPTP.
Pada kesempatan pertama, Lilik menyampaikan tentang pemanfaatan energi alternatif yang bisa diterapkan di masyarakat pedesaan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. Misalnya, energi yang dipaparkan yakni: Tungku hemat Energi dan Biogas. Lilik memaparkan alasan mengapa menawarkan tungku hemat energi, karena melihat pola pemanfaatan kayu bakar secara tidak bijaksana oleh masyarakat. Kayu yang didapatkan dengan menebang kayu di hutan sekitar desanya yang dapat berdampak pada kerusakan lingkungan. Diharapkan dengan penggunaan tungku hemat energi dapat meminimalisir pemanfaatan kayu bakar.
Beberapa peserta lainnya menambahkan bahwa pengggunaan tungku hemat energi pun masyarakat tetap menggunakan kayu sebagai sumber utama energinya, walaupun jumlah kayu yang digunakan tidak terlalu banyak. Penebangan kayu di hutan terus terjadi. Oleh karena itu, mereka menawarkan untuk penggunakan briket arang ataupun pemanfaatan serbuk kayu sisa mebel sebagai sumber bahan bakarnya.
Biogas yakni gas/energi yang dihasilkan dari kotoran hewan ternak yang dapat dimafaatkan untuk menyalakan kompor gas dan penerangan dengan menggunakan lampu yang dirancang khusus dengan pehitungan 2 ekor sapi atau 4 ekor babi dapat memenuhi kebutuhan memasak rumah tangga selama 4 jam. Sedangkan kotoran yang dimanfaatkan sebagai pupuk organik yang berkualitas tinggi. Masyarakat diminta untuk membangun instalasi biogas dengan biaya Rp. 6.000.000. Ini adalah pembiayaan yang sangat murah dan ramah lingkungan.
Selanjutnya peserta diberikan waktu untuk berdiskusi serta memberikan contoh – contoh lain dari pemanfaatan energi alternatif yang sudah diterapkan atau mungkin bisa diterapkan di masyarakat. Selain itu peserta diminta memberikan masukan tentang materi yang telah dipaparkan fasilitator sebelumnya.
Pada sesi diskusi, Jeni dari LPM UNDANA menyatakan bahwa akan sulit untuk mengubah pola pikir masyarakat di NTT khususnya pulau Timor yang sudah sejak turun-temurun memiliki tradisi menggunakan kayu api sebagai sumber utama energi untuk memasak beralih ke tungku hemat energi ataupun menggunakan biogas. Masyarakat sulit menerima perubahan yang ditawarkan.
Namun, Donald delegasi Genk Motor Imut (Aliansi Masyarakat Peduli Ternak) menyatakan bahwa bila kita menggunakan pendekatan sesuai dengan kearifan lokal masyarakat setempat, maka tidak susah untuk merubah pola pikir masyarakat yang mengganggap biogas merupakan sesuatu yang sulit lakukan dan biayanya mahal. Lebih lanjut, Donald menegaskan untuk mengurangi biaya yang harus dikeluarkan untuk membangun instalsi biogas lebih baik memanfaatkan barang – barang bekas seperti drum ataupun ban dalam bekas sebagai media untuk pembuatan biogas. Biogas tidak hanya dihasilkan dari kotoran ternak tapi dapat juga memanfaatkan limbah tahu dan sayur – sayuran bekas di pasar.
Pada hari kedua pelaksanaan SSCBDA peserta dibagi dalam beberapa kelompok untuk membahas tentang pemanfaatan energi alternatif yang sudah dibahas sebelumnya untuk melihat apa keuntungan dan kelemahan dari setiap energi alternatif yang ditawarkan Tidak semua pemanfaatan energi alternatif bisa diterapkan di semua daerah. Ada beberapa kelemahan dari pemanfaatan energi alternatif seperti: biogas hanya bisa diterapkan di daerah yang cukup air. Sedangkan untuk daerah kering akan susah. Sedangkan Solar sel hanya bisa diterapkan di daerah yang banyak terpapar sinar matahari. Sebab, sumber energi utamanya dari matahari dan perlu tenaga khusus untuk perawatannya. Untuk kincir angin hanya bisa digunakan di daerah yang selalu berangin (memililiki angin yang cukup untuk menggerakan kincirnya). Biaya yang dibutuhkan cukup besar dan harus dibangun jauh dari daerah pemukiman masyarakat karena menimbulkan bising. Kincir angin juga banyak membunuh burung yang terbang di sekitarnya.
Dari semua penggunanan energi alternatif yang ada tentunya memiliki keuntungan dan kelemahannya. Misal, Biogas dapat menambah pendapatan ekonomi keluarga. Hasil tambahan dari biogas adalah memanfaatkan kotoran ternak yang mana menghasilkan pupuk yang bernilai ekonomis tinggi dan untuk peternakan sendiri jangka waktu pemeliharaannya lebih singkat karena sapi ataupun babinya dikandangkan dan mudah perawatannya dibandingkan dilepaskan dialam bebas.
Dari diskusi-diskusi itu, dihasilkan beberapa rekomendasi agar peserta menjadi pionir perubahan, yang mana menjadi contoh dalam pemanfaata biogas dan tunggu hemat energi. Untuk partners for resilience dan pemerintah hendaknya pemanfaatan energi alternatif tidak hanya dijadikan sebagai sebuah proyek tetapi merupakan sebuah gerakan keberlanjutan.
Menutup kegiatan pelatihan ini, dilakukan pameran inovasi yang menampilkan semua hasil – hasil kerajinan tangan dari tiap peserta maupun komunitas. kemudian SSCBDA ditutup secara resmi oleh ketua panitia penyelenggara ditandai dengan mengumumkan Nepal sebagai tempat pelaksanaan SSCBDA yang ke-6, serta pembagian secara simbolis sertifikat bagi peserta dan sebuah selendang Timor sebagai cendera mata.
Kemudian rombongan peserta melakukan Tour keliling kota Kupang di akhiri dengan melihat keindahan Sunset di Pantai lasiana Kupang.
Sayonara.............!!!!!
Refleksi Hak Perempuan atas Anggaran untuk Menjamin Ketahanan Pangan dalam Menghadapi Dampak Negatif Perubahan Iklim
Bencana Ekologi, Kemiskinan Vs Ketahanan Pangan
Herry Naif *
Direktur WALHI NTT, Anggota NTT Policy Forum
Hampir duapuluhan tulisan dalam kolom Opini harian Pos Kupang yang merefleksikan tentang “Hak Perempuan atas Anggaran untuk Menjamin Ketahanan Pangan dalam Menghadapi Dampak Negatif Perubahan Iklim” telah diterbitkan. Berbagai ide atau gagasan disampaikan para penulis sesuai dengan latar belakang ilmu dan pengalaman kongkret yang dimilikinya. Bagi saya ini adalah sesuatu pengalaman menarik dalam mewacanakan tentang pentingnya penghormatan terhadap hak perempuan dan advokasi kebijakan daerah dalam mendorong kemandirian pangan dengan mengarusutamakan pemulihan ekologi.
Dalam berbagai rona kenyataan tentu dapat dilihat pengalaman yang sungguh menyayat hati para pejuang kesetaraan gender (laki-laki dan perempuan). Perempuan adalah salah satu subjek selain laki-laki diposisikan sebagai warga kelas dua. Hak-hak perempuan dikebiri dan dipinggirkan. Banyak argumentasi dilontarkan sebagai tindakan pembelaan terhadap kondisi sosial ini. Bahwa bangsa ini adalah penganut budaya patriarki (laki-laki menjadi penguasa). Atau, budaya yang cenderung “male cauvanistic” dimana kaum laki-laki masih menganggap dan dianggap sebagai makhluk yang kuat dan superior. Bukankah dengan itu perempuan harus diterlantarkan?
Bila diidentifikasi peran perempuan dalam pengelolaan sumberdaya alam ternyata sangat minim dibanding dengan kaum laki-laki. Laki-laki seolah menjadi penguasa absolut sedangkan perempuan hanyalah sebagai subjek peserta mulai dari proses hingga soal kepemilikan bahkan pada tataran kebijakan. Padahal perempuan memiliki beban kerjaan yang sangat tinggi. Diskriminasi peran perempuan secara jelas terbaca di sana. Kalau pun ada itu hanya sebatas menjadi pelengkap administrasi akan nilai sensitive gender yang perlu dipertanggungjawabkan demi kepentingan program atau proyek.
Mengerucut pada pemikiran yang hendak disampaikan pada tulisan “Bencana Ekologi, Kemiskinan versus ketahanan Pangan” untuk melihat korelasi ketiga aspek ini. Sejauh mana tindakan proteksi kita dalam menghadapi bencana ekologi yang masif terjadi? Apakah pembangunan yang gencar dilakukan telah mengurangi jumlah penduduk miskin? Bukankah Penggerukkan sumberdaya alam ini telah menghantar rakyat pada ketidakadilan? Ataukah bencana ekologi dan kemiskinan terus memporakporankan upaya ketahanan pangan bangsa?
Disadari atau tidak, Indonesia terus digebuki dengan begitu banyak kejadian Bencana. Bencana menjadi topik yang ramai dibicarakan media publik ataupun pembicaran rakyat dalam lingkup mereka. Indonesia dijuluki sebagai super market bencana. Keberadaan wilayah Indonesia yang berada di antara pertemuan tiga lempeng tektonik (Eurosia, Pasifik dan Australia) menyebabkan Indonesia mempunyai kerentanan terhadap berbagai jenis bencana. Herannya, kesadaran itu baru muncul empat tahun terakhir setelah terjadi bencana alam katastropik secara berturut-turut mulai dari bencana Alor hingga bencana Aceh yang dikenal mahadasyat karena menelan enam ratus ribuan korban nyawa dan kerugian materi hingga triliunan rupiah.
Beberapa pengalaman kebencanaan ini kemudian mendorong para pengambil kebijakan untuk memproduksi sebuah landasan normatif dalam rangka mengatur tentang Penanggulangan Bencana. Secara normatif kemudian perspektif kebencanaan ini dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dan ini diturunkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2008 tentang penyelenggaran Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, PP Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peranserta Lembaga Internasional tentang Penanggulangan Bencana dan Perpres Nomor 8 Tahun 2008 tentang BNBP (Badan Nasional Penanggulangan Bencana).
Beberapa landasan hukum ini dilihat bahwa pemerintah Indonesia dinilai serius berkomitmen dalam upaya penanggulangan Bencana. Tetapi kenyataan, komitmen ini digugat banyak pihak karena korban yang berjatuhan saat bencana tidak mengalami perubahan yang signifikan. Misalnya; Gempa berkekuatan 7,2 skala richter yang diikuti tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, telah menewaskan 112 orang, 502 lainnya dinyatakan hilang dan 4.000 keluarga mengungsi. Bencana banjir bandang Wasior, Kabupaten Teluk Wondowa, Papua Barat menelan korban 134 orang. Erupsi Merapi hingga hari ini telah menelan ratusan orang.
Sedangkan di tingkat lokal Propinsi NTT dilanda Bencana Banjir di dusun C dan D desa Skinu, Kecamatan Toianas, Kabupaten TTS ada 361 KK dan dari 611 KK yang menjadi korban banjir. Rinciannya terdiri 123 KK, dusun C 38 rumah di dusun D hilang tanpa bekas. Selain itu ada beberapa peristiwa yang boleh diklasifikasi sebagai bencana. Seperti tenggelamnya kapal Karya pinang di perairan sadak-watu manuk dalam perjalanan dari Pulau Palue menuju Maumere. Dalam Tragedi karya pinang, 16 nyawa harus menjadi bayaran dari puting beliung dan ketidakjelasan manejemen angkutan antar pulau di NTT.
Bencana ekologi sedang melanda dunia. Kerusakan alam hampir tidak dapat dibendung. Hutan yang memiliki fungsi penting dalam menyiapkan carbon, pelindung sumber mata air serta penyeimbang flora dan fauna tidak digubris. Semangat eksploitatif dan tindakan-tindakan ekstraktif telah sedang meracuni manusia dalam rangka mewujudkongkretkan pembangunan yang mengayomi masyarakat menuju kesejahteraan yang absurd. Lantas, dengan gampang disimpulkan bahwa lingkungan rusak karena kemiskinan atau kemiskinan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup? Kemiskinan mendorong orang untuk melakukan tindakan penggerukan alam tanpa pertimbangan keseimbangan ekologi. Realitas kemiskinan seakan memaksa para pengambil kebijakan agar kemudian berkompromi dengan pemodal untuk melakukan pengelolalaan Sumberdaya Alam.
Dewes Decker yang membuat lukisan tentang Indonesia dalam buku Tanah Air, ia menyimpulkan bahwa Indonesia adalah zamrud katholistiwa. Untuk itu, Indonesia memiliki potensi alam yang luar biasa didukung dengan keanekaramana hayati yang tidak dimiliki bangsa lain. Seiring dengan kekayaan itu, herannya kemiskinan itu terus menggurita.
Apakah kemiskinan harus dijawab dengan penggerukan alam. Ataukah pengambilan kekayaan alam yang mempertimbangkan nilai keseimbangan (value judgement). Pemerintah Indonesia mestinya belajar dari negrinya Fidel Castro (Kuba) yang mana telah menemukan jurus jitu yang mirip dengan konsep “berdikari” yang pernah menjadi slogan Indonesia. Bahwa “produksilah apa yang kita miliki dan kita butuhkan dengan cara dan arah yang kita inginkan”. Bukan memproduksi sesuatu yang tidak dibutuhkan rakyat Indonesia.
Bila tidak Indonesia akan terus dijebak penggerukan Sumberdaya alam terbarukan dan tak terbarukan yang dapat berdampak pada bencana yang masif terjadi. Kenyataan itu tidak disadari. Misalnya, perubahan iklim. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kadar karbondioksida dan gas-gas polutif lainnya di dalam atmosfer. Gas-gas itu yang dihasilkan akibat pembakaran batubara, minyak bumi dan menjebak panas yang dipancarkan matahari) di seputar permukaan bumi. Sekali emis gas itu memasuki atmosfer akibat emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan dari pembakaran energi fosil akan menetap di sana beberapa tahun. Dengan perubahan iklim a membuat masyarakat petani tidak mampu memprediksikan cuaca. Adanya ketidakseimbangan curah hujan dan menimbulkan abrasi, longosoran, banjir dan lainnya.
Pemerintah yang dimandati mengurus sumberdaya alam lebih mengedepankan kepentingan ekonomi daripada kepentingan ekologi, sosial dan budaya. Akibatnya, kelompok tertentu saja yang menguasai keuntungan pengelolaan sumberdaya alam. Hak Pengelolaan Hutan (HPH), Kontrak Karya Pertambangan, Hak Pengelolaan Pesisir dan Perikanan (HP3), dan sebagainya adalah mekanisme formal negara untuk mengekploitasi sumberdaya alam mulai dari pegunungan, hutan, perkebunan, pemukiman, pesisir, dan laut atas nama negara untuk kepentingan investasi.
Di sekitar lokasi-lokasi konsesi sumberdaya alam pada umumnya masyarakat tidak banyak dilibatkan dalam pengelolaan. Dalam banyak kasus, mereka menjadi korban penggusuran, pemaksaan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Sumber-sumber penghidupan rakyat diposisikan sebagai sumberdaya yang hanya dikuasai oleh negara. Rakyat hanya dijadikan sebagai subjek penonton dalam seluruh kebijakan. Partisipasi rakyat diabaikan dengan basis argumentasi adalah peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Herannya, seluruh proses gadaian ini sangat lamban menghantar rakyat menuju kesejahteraan. Sektor pertanian, peternakan dan pariwisata yang bersentuhan dengan kebutuhan dan kepentingan rakyat diabaikan. Ini adalah bukti kegagalan pemerintah mengembangkan sektor-sektor tersebut. Praktek pertaniaan dan ternak yang hampir terjadi di semua wilayah NTT itu dilakukan bukan karena hasil pembekalan atau pelatihan melainkan warisan nenek moyang. Lalu dipersoalkan bahwa sistem “perladangan gilir balik” merusak lingkungan. Padahal, sistem pertanian ini dilakukan oleh hampir seluruh masyarakat NTT karena mereka telah mempelajari perilaku lingkungan selama puluhan tahun. Bahwa sebuah lahan dikelola kemudian akan dilepas untuk mengembalikan kesuburan tanah tersebut dengan dihijauhkan dan setelah beberapa tahun kembali dikelola sebagai kebun. Bila dilihat dalam konteks sekarang, konsep perladangan gilir balik tidak kontekstual karena pertambahan penduduk yang akan berpengaruh terhadap jarak waktu luas lahan garapan yang digunakan petani. Hal serupa telah diingatkan Thomas Robert Maltus akan keterbatasan pangan yang dialami, dalam tulisan essay on population berteori bahwa pertambahan penduduk itu berpola deret ukur, sedangkan pertumbuhan pangan itu berpola deret hitung. Karena itu, bakal pada suatu momentum jumlah penduduk lebih besar dari pasokan pangan dan kelaparan menjadi sebuah keniscayaan.
Permasalahan inilah yang mesti dijawab dinas pertanian dalam pengembangan pertanian di wilah NTT pada waktu sekarang. Bukannya para petani divonis salah tanpa sebuah solusi. Lantas, sudah sejauhmana tawaran alternatif pertanian yang diberikan oleh para penyuluh pertaniaan yang dibiayai rakyat melalui dinas pertanian? Ataukah mereka hanya difasilitasi sekedar menambah pekerja demi mengurangi pengangguran? Lebih parah lagi, alokasi budget bagi sektor-sektor ini di bawah sektor-sektor lain. Ataukah sekedar melakukan seremoni food summit yang hingga hari ini tidak ada hasilnya. Julukan propinsi jagung yang dituai adalah gagal panen. Tanpa didasari pada sebuah evaluasi program dan kajian yang eviden Badan Ketahanan Pangan Provinsi NTT harus meminta beras 3900 ton kepada pemerintah pusat untuk mengatasi krisis pangan di NTT. Secara, ironis propinsi jagung diinvus beras.
Menghindari perdebatan panjang, pemerintah provinsi NTT atas nama negara lalu ‘menjual’ hak kelola kepada pemilik modal baik pemodal dalam negeri maupun pemodal asing, melalui investasi pertambangan dan berbagai kegiatan eksploitasi lainnya. Sehingga dimana-mana ada pertambangan. Pertambangan seakan menjadi leading sektor daripada sektor pertanian, peternakan, pariwisata yang puluhan tahun menghidupi NTT. Bahwa rendanya Pendapatan dari beberapa sektor ini kemudian mengamini bahwa dengan investasi pertambangan akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemkab TTU mengeluarkan 82 Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Mangan yang akan melahap habis lahan pertanian rakyat. Pemkab Manggarai telah mengeluarkan 28 SK Pertambangan yang kemudian bisa menggusur tanaman kopi unggulan. Pemkab Manggarai Barat 8 SK Pertambangan yang akan berdampak pada rusaknya panorama keindahan Labuan bajo dan pulau-pulaunya. Padahal, spesies komodo yang langka ini sedang dipromosikan menjadi the seven wonders di dunia. Dunia pariwisata ini telah terbukti dengan 2500 wisatawan asing menghadiri Natal di Labuanbajo untuk sekaligus menikmati pariwisata di sana (Pos Kupang, 28 Desember 2009). Gubernur NTT mengeluarkan SK No. 14 Tahun 2008 tentang Penyelidikan Umum yang melintasi 4 Kabupaten di Pulau Sumba dan melakukan Mou (Memorandum of Understanding) dengan beberapa investor untuk melakukan pertambangan di beberapa Kabupaten di Pulau Timor. Dan kemudian dalam menyikapi bencana banjir di desa Skinu, Kabupaten TTS Gubernur NTT menghimbau agar masyarakat menjaga kelestarian lingkungan. Atau dalam kasus pencemaran Laut Timor oleh Perusahan Montara, Gubernur berjuang untuk ganti rugi atas kerusakan biota laut akibat pencemaran tersebut. Apabila perjuangan ini sungguh dilandasi oleh gugatan akan gagasan pemulihan ekologi, semestinya sebagai pihak yang memiliki otoritas perlu mencabut seluruh Surat Kuasa Pertambangan yang tidak jauh berbeda dengan Perusahaan Montara. Ataukah ini hanya berintensi mendapatkan biaya kerugian yang begitu besar?
Melalui skema ekonomi neo-liberal, secara politik negara menyerahkan sebagian besar kekuasaannya kepada pemilik modal sehingga pemodal lewat skema neo-liberalisme mengatur peruntukan pengelolaan sumberdaya alam untuk kepentingan mereka. Atas nama liberalisasi ekonomi, sektor swasta lalu menyetir dan mengontrol kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam. Lewat lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, IMF, dan turunannya mengatur skenario pengelolaan sumberdaya alam melalui mekanisme-mekanisme yang menegasikan posisi rakyat sebagai pemilik sumberdaya alam.
Skenario neoliberalism yang tamak, untuk konteks Indonesia dan NTT pada khususnya juga didukung oleh buruknya sistem negara. Korupsi di dunia birokrat NTT merajalela, management pemerintahan yang masih terpusat, kurangnya strategi nasional untuk pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan, kurangnya kesadaran politik dan kesadaran publik, institusi-intitusi yang sukar beradaptasi satu sama lain, kegagalan mengikutsertakan para pihak dalam pengambilan dan implementasi keputusan, serta mandeknya penegakan hukum merupakan keluhan-keluhan masyarakat dalam menghadapi berbagai ketidakadilan hukum, ekonomi dan ketidakadilan ekologi. Hal-hal inilah yang menyebabkan degradasi lingkungan semakin tidak terkendali.
Sumber daya alam dieksploitasi secara serampangan untuk kepentingan pembayaran utang luar negeri serta mempertebal kantong-kantong kroni elit-elit kapitalis. Semua kebijakan yang berkaitan dengan sumberdaya alam didesign menjadi sektoral dan teralienasi untuk maksud-maksud mulusnya jalan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Pra-syarat yang perlu dilakukan untuk sebuah pengelolaan sumberdaya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan adalah adanya kebutuhan untuk melakukan pendekatan bioregion untuk keberlanjutan dan keselamatan manusia. Undang-undang Pengelolaan Sumberdaya Alam telah disetujui dan diimplementasikan untuk mengakhiri pengelolaan sektoral dan administratif. Ini juga perlu diikuti oleh perubahan lembaga-lembaga pemerintahan sehingga pengelolaan sumberdaya alam menjadi lebih holistik.
Kebutuhan mendasar umat manusia akan sumber pangan, kesehatan, dan pendidikan perlu dikedepankan dengan tetap mengakui kearifan lokal kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini eksis di berbagai tempat di Indonesia dan NTT pada khususnya.
Karena itu, dalam pengelolaan sumber daya alam (PSDA) pemerintah hendaknya memperhatikan beberapa pilar: Pertama; Pertimbangan ekologi hendaknya menjadi poros kebijakan lingkungan yang bercita-cita mengurangi dampak buruk aktivitas manusia. Bukan sekedar menyelamatkan kehidupan manusia melainkan mengubah pola pikir antroposentrik yang mana mendudukan manusia sebagai pusat segalanya dan segala potensi pun dipersembahkan baginya. Kedua; Keadilan sosial (social equality dan econimic justice) hendaknya dicerminkan sebagai penolakan terhadap berbagai diskriminasi yang dilahirkan misalnya: perjuangan kelas, gender, etnisitas. Dan ketidakadilan sosial menjadi sumber perusakan lingkungan hidup oleh Negara dan corporat. Ketiga; Kerakyatan. Artinya pengelolaan sumberdaya alam hendaknya memposisikan rakyat sebagai penikmat. Rakyat tidak dipinggirkan dari proses-proses kebijakan terutama yang berkorelasi dengan akses dan kontrol. Keempat; Pengelolaan Sumberdaya Alam hendaknya mengaktifkan dan menyeimbangkan Feeling, Acting, dan Thinking. Setiap individu bisa merasakan nilai keagungan inisiasinya (feeling). Secara konseptual ini didorong untuk melahirkan visi bersama dengan memahami apa yang menjadi penting (definisi) serta menemukan dan mengapresiasi apa yang telah ada dan tentunya itu terbaik (discovery), menemukan apa yang semestinya ada (dream), menstrukturkan apa yang ada (design) dan merawatnya hingga menjadi ada (destiny) sehingga hasilnya akan melampaui dari apa yang dinginkan dan sangat sinergi dengan konteks realitas yang ada dalam kehidupan.
Karena itu, mengakhiri tulisan ini seluruh komponen diajak untuk mengejawantakan pulihkan NTT utamakan keselamatan rakyat.
Bencana Ekologi, Kemiskinan Vs Ketahanan Pangan
Herry Naif *
Direktur WALHI NTT, Anggota NTT Policy Forum
Hampir duapuluhan tulisan dalam kolom Opini harian Pos Kupang yang merefleksikan tentang “Hak Perempuan atas Anggaran untuk Menjamin Ketahanan Pangan dalam Menghadapi Dampak Negatif Perubahan Iklim” telah diterbitkan. Berbagai ide atau gagasan disampaikan para penulis sesuai dengan latar belakang ilmu dan pengalaman kongkret yang dimilikinya. Bagi saya ini adalah sesuatu pengalaman menarik dalam mewacanakan tentang pentingnya penghormatan terhadap hak perempuan dan advokasi kebijakan daerah dalam mendorong kemandirian pangan dengan mengarusutamakan pemulihan ekologi.
Dalam berbagai rona kenyataan tentu dapat dilihat pengalaman yang sungguh menyayat hati para pejuang kesetaraan gender (laki-laki dan perempuan). Perempuan adalah salah satu subjek selain laki-laki diposisikan sebagai warga kelas dua. Hak-hak perempuan dikebiri dan dipinggirkan. Banyak argumentasi dilontarkan sebagai tindakan pembelaan terhadap kondisi sosial ini. Bahwa bangsa ini adalah penganut budaya patriarki (laki-laki menjadi penguasa). Atau, budaya yang cenderung “male cauvanistic” dimana kaum laki-laki masih menganggap dan dianggap sebagai makhluk yang kuat dan superior. Bukankah dengan itu perempuan harus diterlantarkan?
Bila diidentifikasi peran perempuan dalam pengelolaan sumberdaya alam ternyata sangat minim dibanding dengan kaum laki-laki. Laki-laki seolah menjadi penguasa absolut sedangkan perempuan hanyalah sebagai subjek peserta mulai dari proses hingga soal kepemilikan bahkan pada tataran kebijakan. Padahal perempuan memiliki beban kerjaan yang sangat tinggi. Diskriminasi peran perempuan secara jelas terbaca di sana. Kalau pun ada itu hanya sebatas menjadi pelengkap administrasi akan nilai sensitive gender yang perlu dipertanggungjawabkan demi kepentingan program atau proyek.
Mengerucut pada pemikiran yang hendak disampaikan pada tulisan “Bencana Ekologi, Kemiskinan versus ketahanan Pangan” untuk melihat korelasi ketiga aspek ini. Sejauh mana tindakan proteksi kita dalam menghadapi bencana ekologi yang masif terjadi? Apakah pembangunan yang gencar dilakukan telah mengurangi jumlah penduduk miskin? Bukankah Penggerukkan sumberdaya alam ini telah menghantar rakyat pada ketidakadilan? Ataukah bencana ekologi dan kemiskinan terus memporakporankan upaya ketahanan pangan bangsa?
Disadari atau tidak, Indonesia terus digebuki dengan begitu banyak kejadian Bencana. Bencana menjadi topik yang ramai dibicarakan media publik ataupun pembicaran rakyat dalam lingkup mereka. Indonesia dijuluki sebagai super market bencana. Keberadaan wilayah Indonesia yang berada di antara pertemuan tiga lempeng tektonik (Eurosia, Pasifik dan Australia) menyebabkan Indonesia mempunyai kerentanan terhadap berbagai jenis bencana. Herannya, kesadaran itu baru muncul empat tahun terakhir setelah terjadi bencana alam katastropik secara berturut-turut mulai dari bencana Alor hingga bencana Aceh yang dikenal mahadasyat karena menelan enam ratus ribuan korban nyawa dan kerugian materi hingga triliunan rupiah.
Beberapa pengalaman kebencanaan ini kemudian mendorong para pengambil kebijakan untuk memproduksi sebuah landasan normatif dalam rangka mengatur tentang Penanggulangan Bencana. Secara normatif kemudian perspektif kebencanaan ini dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dan ini diturunkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2008 tentang penyelenggaran Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, PP Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peranserta Lembaga Internasional tentang Penanggulangan Bencana dan Perpres Nomor 8 Tahun 2008 tentang BNBP (Badan Nasional Penanggulangan Bencana).
Beberapa landasan hukum ini dilihat bahwa pemerintah Indonesia dinilai serius berkomitmen dalam upaya penanggulangan Bencana. Tetapi kenyataan, komitmen ini digugat banyak pihak karena korban yang berjatuhan saat bencana tidak mengalami perubahan yang signifikan. Misalnya; Gempa berkekuatan 7,2 skala richter yang diikuti tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, telah menewaskan 112 orang, 502 lainnya dinyatakan hilang dan 4.000 keluarga mengungsi. Bencana banjir bandang Wasior, Kabupaten Teluk Wondowa, Papua Barat menelan korban 134 orang. Erupsi Merapi hingga hari ini telah menelan ratusan orang.
Sedangkan di tingkat lokal Propinsi NTT dilanda Bencana Banjir di dusun C dan D desa Skinu, Kecamatan Toianas, Kabupaten TTS ada 361 KK dan dari 611 KK yang menjadi korban banjir. Rinciannya terdiri 123 KK, dusun C 38 rumah di dusun D hilang tanpa bekas. Selain itu ada beberapa peristiwa yang boleh diklasifikasi sebagai bencana. Seperti tenggelamnya kapal Karya pinang di perairan sadak-watu manuk dalam perjalanan dari Pulau Palue menuju Maumere. Dalam Tragedi karya pinang, 16 nyawa harus menjadi bayaran dari puting beliung dan ketidakjelasan manejemen angkutan antar pulau di NTT.
Bencana ekologi sedang melanda dunia. Kerusakan alam hampir tidak dapat dibendung. Hutan yang memiliki fungsi penting dalam menyiapkan carbon, pelindung sumber mata air serta penyeimbang flora dan fauna tidak digubris. Semangat eksploitatif dan tindakan-tindakan ekstraktif telah sedang meracuni manusia dalam rangka mewujudkongkretkan pembangunan yang mengayomi masyarakat menuju kesejahteraan yang absurd. Lantas, dengan gampang disimpulkan bahwa lingkungan rusak karena kemiskinan atau kemiskinan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup? Kemiskinan mendorong orang untuk melakukan tindakan penggerukan alam tanpa pertimbangan keseimbangan ekologi. Realitas kemiskinan seakan memaksa para pengambil kebijakan agar kemudian berkompromi dengan pemodal untuk melakukan pengelolalaan Sumberdaya Alam.
Dewes Decker yang membuat lukisan tentang Indonesia dalam buku Tanah Air, ia menyimpulkan bahwa Indonesia adalah zamrud katholistiwa. Untuk itu, Indonesia memiliki potensi alam yang luar biasa didukung dengan keanekaramana hayati yang tidak dimiliki bangsa lain. Seiring dengan kekayaan itu, herannya kemiskinan itu terus menggurita.
Apakah kemiskinan harus dijawab dengan penggerukan alam. Ataukah pengambilan kekayaan alam yang mempertimbangkan nilai keseimbangan (value judgement). Pemerintah Indonesia mestinya belajar dari negrinya Fidel Castro (Kuba) yang mana telah menemukan jurus jitu yang mirip dengan konsep “berdikari” yang pernah menjadi slogan Indonesia. Bahwa “produksilah apa yang kita miliki dan kita butuhkan dengan cara dan arah yang kita inginkan”. Bukan memproduksi sesuatu yang tidak dibutuhkan rakyat Indonesia.
Bila tidak Indonesia akan terus dijebak penggerukan Sumberdaya alam terbarukan dan tak terbarukan yang dapat berdampak pada bencana yang masif terjadi. Kenyataan itu tidak disadari. Misalnya, perubahan iklim. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kadar karbondioksida dan gas-gas polutif lainnya di dalam atmosfer. Gas-gas itu yang dihasilkan akibat pembakaran batubara, minyak bumi dan menjebak panas yang dipancarkan matahari) di seputar permukaan bumi. Sekali emis gas itu memasuki atmosfer akibat emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan dari pembakaran energi fosil akan menetap di sana beberapa tahun. Dengan perubahan iklim a membuat masyarakat petani tidak mampu memprediksikan cuaca. Adanya ketidakseimbangan curah hujan dan menimbulkan abrasi, longosoran, banjir dan lainnya.
Pemerintah yang dimandati mengurus sumberdaya alam lebih mengedepankan kepentingan ekonomi daripada kepentingan ekologi, sosial dan budaya. Akibatnya, kelompok tertentu saja yang menguasai keuntungan pengelolaan sumberdaya alam. Hak Pengelolaan Hutan (HPH), Kontrak Karya Pertambangan, Hak Pengelolaan Pesisir dan Perikanan (HP3), dan sebagainya adalah mekanisme formal negara untuk mengekploitasi sumberdaya alam mulai dari pegunungan, hutan, perkebunan, pemukiman, pesisir, dan laut atas nama negara untuk kepentingan investasi.
Di sekitar lokasi-lokasi konsesi sumberdaya alam pada umumnya masyarakat tidak banyak dilibatkan dalam pengelolaan. Dalam banyak kasus, mereka menjadi korban penggusuran, pemaksaan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Sumber-sumber penghidupan rakyat diposisikan sebagai sumberdaya yang hanya dikuasai oleh negara. Rakyat hanya dijadikan sebagai subjek penonton dalam seluruh kebijakan. Partisipasi rakyat diabaikan dengan basis argumentasi adalah peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Herannya, seluruh proses gadaian ini sangat lamban menghantar rakyat menuju kesejahteraan. Sektor pertanian, peternakan dan pariwisata yang bersentuhan dengan kebutuhan dan kepentingan rakyat diabaikan. Ini adalah bukti kegagalan pemerintah mengembangkan sektor-sektor tersebut. Praktek pertaniaan dan ternak yang hampir terjadi di semua wilayah NTT itu dilakukan bukan karena hasil pembekalan atau pelatihan melainkan warisan nenek moyang. Lalu dipersoalkan bahwa sistem “perladangan gilir balik” merusak lingkungan. Padahal, sistem pertanian ini dilakukan oleh hampir seluruh masyarakat NTT karena mereka telah mempelajari perilaku lingkungan selama puluhan tahun. Bahwa sebuah lahan dikelola kemudian akan dilepas untuk mengembalikan kesuburan tanah tersebut dengan dihijauhkan dan setelah beberapa tahun kembali dikelola sebagai kebun. Bila dilihat dalam konteks sekarang, konsep perladangan gilir balik tidak kontekstual karena pertambahan penduduk yang akan berpengaruh terhadap jarak waktu luas lahan garapan yang digunakan petani. Hal serupa telah diingatkan Thomas Robert Maltus akan keterbatasan pangan yang dialami, dalam tulisan essay on population berteori bahwa pertambahan penduduk itu berpola deret ukur, sedangkan pertumbuhan pangan itu berpola deret hitung. Karena itu, bakal pada suatu momentum jumlah penduduk lebih besar dari pasokan pangan dan kelaparan menjadi sebuah keniscayaan.
Permasalahan inilah yang mesti dijawab dinas pertanian dalam pengembangan pertanian di wilah NTT pada waktu sekarang. Bukannya para petani divonis salah tanpa sebuah solusi. Lantas, sudah sejauhmana tawaran alternatif pertanian yang diberikan oleh para penyuluh pertaniaan yang dibiayai rakyat melalui dinas pertanian? Ataukah mereka hanya difasilitasi sekedar menambah pekerja demi mengurangi pengangguran? Lebih parah lagi, alokasi budget bagi sektor-sektor ini di bawah sektor-sektor lain. Ataukah sekedar melakukan seremoni food summit yang hingga hari ini tidak ada hasilnya. Julukan propinsi jagung yang dituai adalah gagal panen. Tanpa didasari pada sebuah evaluasi program dan kajian yang eviden Badan Ketahanan Pangan Provinsi NTT harus meminta beras 3900 ton kepada pemerintah pusat untuk mengatasi krisis pangan di NTT. Secara, ironis propinsi jagung diinvus beras.
Menghindari perdebatan panjang, pemerintah provinsi NTT atas nama negara lalu ‘menjual’ hak kelola kepada pemilik modal baik pemodal dalam negeri maupun pemodal asing, melalui investasi pertambangan dan berbagai kegiatan eksploitasi lainnya. Sehingga dimana-mana ada pertambangan. Pertambangan seakan menjadi leading sektor daripada sektor pertanian, peternakan, pariwisata yang puluhan tahun menghidupi NTT. Bahwa rendanya Pendapatan dari beberapa sektor ini kemudian mengamini bahwa dengan investasi pertambangan akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemkab TTU mengeluarkan 82 Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Mangan yang akan melahap habis lahan pertanian rakyat. Pemkab Manggarai telah mengeluarkan 28 SK Pertambangan yang kemudian bisa menggusur tanaman kopi unggulan. Pemkab Manggarai Barat 8 SK Pertambangan yang akan berdampak pada rusaknya panorama keindahan Labuan bajo dan pulau-pulaunya. Padahal, spesies komodo yang langka ini sedang dipromosikan menjadi the seven wonders di dunia. Dunia pariwisata ini telah terbukti dengan 2500 wisatawan asing menghadiri Natal di Labuanbajo untuk sekaligus menikmati pariwisata di sana (Pos Kupang, 28 Desember 2009). Gubernur NTT mengeluarkan SK No. 14 Tahun 2008 tentang Penyelidikan Umum yang melintasi 4 Kabupaten di Pulau Sumba dan melakukan Mou (Memorandum of Understanding) dengan beberapa investor untuk melakukan pertambangan di beberapa Kabupaten di Pulau Timor. Dan kemudian dalam menyikapi bencana banjir di desa Skinu, Kabupaten TTS Gubernur NTT menghimbau agar masyarakat menjaga kelestarian lingkungan. Atau dalam kasus pencemaran Laut Timor oleh Perusahan Montara, Gubernur berjuang untuk ganti rugi atas kerusakan biota laut akibat pencemaran tersebut. Apabila perjuangan ini sungguh dilandasi oleh gugatan akan gagasan pemulihan ekologi, semestinya sebagai pihak yang memiliki otoritas perlu mencabut seluruh Surat Kuasa Pertambangan yang tidak jauh berbeda dengan Perusahaan Montara. Ataukah ini hanya berintensi mendapatkan biaya kerugian yang begitu besar?
Melalui skema ekonomi neo-liberal, secara politik negara menyerahkan sebagian besar kekuasaannya kepada pemilik modal sehingga pemodal lewat skema neo-liberalisme mengatur peruntukan pengelolaan sumberdaya alam untuk kepentingan mereka. Atas nama liberalisasi ekonomi, sektor swasta lalu menyetir dan mengontrol kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam. Lewat lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, IMF, dan turunannya mengatur skenario pengelolaan sumberdaya alam melalui mekanisme-mekanisme yang menegasikan posisi rakyat sebagai pemilik sumberdaya alam.
Skenario neoliberalism yang tamak, untuk konteks Indonesia dan NTT pada khususnya juga didukung oleh buruknya sistem negara. Korupsi di dunia birokrat NTT merajalela, management pemerintahan yang masih terpusat, kurangnya strategi nasional untuk pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan, kurangnya kesadaran politik dan kesadaran publik, institusi-intitusi yang sukar beradaptasi satu sama lain, kegagalan mengikutsertakan para pihak dalam pengambilan dan implementasi keputusan, serta mandeknya penegakan hukum merupakan keluhan-keluhan masyarakat dalam menghadapi berbagai ketidakadilan hukum, ekonomi dan ketidakadilan ekologi. Hal-hal inilah yang menyebabkan degradasi lingkungan semakin tidak terkendali.
Sumber daya alam dieksploitasi secara serampangan untuk kepentingan pembayaran utang luar negeri serta mempertebal kantong-kantong kroni elit-elit kapitalis. Semua kebijakan yang berkaitan dengan sumberdaya alam didesign menjadi sektoral dan teralienasi untuk maksud-maksud mulusnya jalan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Pra-syarat yang perlu dilakukan untuk sebuah pengelolaan sumberdaya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan adalah adanya kebutuhan untuk melakukan pendekatan bioregion untuk keberlanjutan dan keselamatan manusia. Undang-undang Pengelolaan Sumberdaya Alam telah disetujui dan diimplementasikan untuk mengakhiri pengelolaan sektoral dan administratif. Ini juga perlu diikuti oleh perubahan lembaga-lembaga pemerintahan sehingga pengelolaan sumberdaya alam menjadi lebih holistik.
Kebutuhan mendasar umat manusia akan sumber pangan, kesehatan, dan pendidikan perlu dikedepankan dengan tetap mengakui kearifan lokal kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini eksis di berbagai tempat di Indonesia dan NTT pada khususnya.
Karena itu, dalam pengelolaan sumber daya alam (PSDA) pemerintah hendaknya memperhatikan beberapa pilar: Pertama; Pertimbangan ekologi hendaknya menjadi poros kebijakan lingkungan yang bercita-cita mengurangi dampak buruk aktivitas manusia. Bukan sekedar menyelamatkan kehidupan manusia melainkan mengubah pola pikir antroposentrik yang mana mendudukan manusia sebagai pusat segalanya dan segala potensi pun dipersembahkan baginya. Kedua; Keadilan sosial (social equality dan econimic justice) hendaknya dicerminkan sebagai penolakan terhadap berbagai diskriminasi yang dilahirkan misalnya: perjuangan kelas, gender, etnisitas. Dan ketidakadilan sosial menjadi sumber perusakan lingkungan hidup oleh Negara dan corporat. Ketiga; Kerakyatan. Artinya pengelolaan sumberdaya alam hendaknya memposisikan rakyat sebagai penikmat. Rakyat tidak dipinggirkan dari proses-proses kebijakan terutama yang berkorelasi dengan akses dan kontrol. Keempat; Pengelolaan Sumberdaya Alam hendaknya mengaktifkan dan menyeimbangkan Feeling, Acting, dan Thinking. Setiap individu bisa merasakan nilai keagungan inisiasinya (feeling). Secara konseptual ini didorong untuk melahirkan visi bersama dengan memahami apa yang menjadi penting (definisi) serta menemukan dan mengapresiasi apa yang telah ada dan tentunya itu terbaik (discovery), menemukan apa yang semestinya ada (dream), menstrukturkan apa yang ada (design) dan merawatnya hingga menjadi ada (destiny) sehingga hasilnya akan melampaui dari apa yang dinginkan dan sangat sinergi dengan konteks realitas yang ada dalam kehidupan.
Karena itu, mengakhiri tulisan ini seluruh komponen diajak untuk mengejawantakan pulihkan NTT utamakan keselamatan rakyat.
USIF OEMATAN DISERAHTERIMAKAN BENDERA WALHI
Ferdinand Staf Eknas Walhi | menyerahkan bendera WALHI |
Kupang – Walhinews, Festival
Ningkam Haumeni III yang diselenggarakan di Bukit Anjaf – Nausus,
Desa Fatukoto, Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten TTS, NTT (23-26/07).
Festival yang bertajuk “Masyarakat Adat Menuju Kedaulatan
Pangan, Air dan Energi” dihadiri ratusan masyarakat adat Onam
(Amanuban), Banam (Amanatun) dan Oenam (Molo) yang sering dikenal
sebagai masyarakat tiga batu tungku dan utusan dari berbagai NGO
lokal, nasinal dan internasional.
Festival yang mengedepankan nilai-nilai kearifan
lokal masyarakat Tiga Batu Tungku, yang diinspirasi perjuangan Suku
Mollo dalam mengusir pertambangan marmer
dari area keramat Anjaf dan Nausus. Semenjak kemenangan mereka atas industri ekstraktif sejak itu pula masyarakatnya lebih memilih pengembangan ekonomi yang tidak merusak alam dan jati diri mereka yang tersimbol melalui gunung batu.
dari area keramat Anjaf dan Nausus. Semenjak kemenangan mereka atas industri ekstraktif sejak itu pula masyarakatnya lebih memilih pengembangan ekonomi yang tidak merusak alam dan jati diri mereka yang tersimbol melalui gunung batu.
Ningkam Haumnei tidak mempunyai terminologi khusus,
namun secara adat diyakini bahwa Ningkam artinya Lilin/Madu dan
Haumeni artinya Cendana. Keduanya nyaris punah dari bumi Timor dan
NTT pada umumnya sehingga momentum pergelaran Festival Ningkam
Haumeni ini sebagai sebuah kesempatan untuk mengingat kembali akan
komitmen adat yang sudah disepakati bersama.
Festival ini dilakukan atas inisiasi dan kemauan
Masyarakat Adat Tiga Batu Tungku sendiri dan bukan atas inisiasi
pemerintah atau bantuan dari pihak mana pun. Karena itu, Festival ini
digelar dengan sangat sederhana, tanpa panggung, tanpa listrik.
Sebuah kondisi yang sungguh alamiah selama pergelaran festival
Ningkam Haumeni tak menyurut niat dan semangat pesrta festival dari
awal hingga akhir kegiatan tersebut.
Selain pertunjukan tarian adat yang didendangkan
oleh masyarakat adat pada malam budaya, festival ini juga melahirkan
isu-isu koonstruktif seputar upaya masyarakat adat dalam mencapai
kedaulatan pangan, air dan energi.
“Selama tiga tahun ini kami mengalami gagal panen,
dan kerawanan pangan selalau mengahntui kami. Tapi, kini kami harus
segera menyiapkan diri untuk menhadapi sekaligus melewati situasi
ini. Kami mencoba mengembangkan berbagai bibit pangan lokal yang bisa
membuat kami bertahan hidup dalam kondisi peruabahn iklim yang tidak
menentu. Kami juga akan berbagi pengalaman dengan apra petani lainnya
dalam bertani termasuk menghadirkan Mama Tata (Maria Loretha) dari
Adonara, Flores, NTT yang telah sukses mengembangkan tanaman lokal
sorgum dan semacamnya. Jelas, Aletha Baun selaku tokoh perempuan
Molo.
Selain itu, Lanjut Aletha, Festival ini juga
mengingatkan pemerintah kabupaten se-NTT agar mereka tidak
mengedepankan kebijakan-kebijakan yang berorientasi eksploitasi
sumber daya alam, termasuk pertambangan, tetapi bagaimana
mengembangkan pertanian, peternakan, industri rumah tangga (tenun
ikat) untuk mensejahterkan perekonomian kami”. Masyarakat tiga batu
tungku (Molo, Amanatun dan Amanuban) berprinsip ‘tambang harus
tetap ada di dalam bumi tidak perlu diganggu. Yang ada di permukaan
bumi saja tidak diurus secara baik mengapa harus mengurus yang di
dalam bumi?
“Kami tidak akan menjual apa yang kami
tidak bisa buat, kami menjual apa yang bisa kami buat seperti
tenun, hasil pertanian dan peternakan”. tandas Aleta.
Usi Oematan adalah salah satu Raja Timor turut
mengahadiri Festival Ningkam Haumeni III ini. Pada acara penyambutan
para tamu dari Kupang dan Jakarta mereka menyapa secara adat (natoni)
yang mana berterima kasih kepada leluhur karena atas peran mereka
maka masih ada kelompok yang ingin mengunjungi mereka di Timor dan
lebih dari itu mereka memohon agar para tamu (JATAM, SGP-GEF, CSF,
WALHI, Pikul dan beberapa Wartawan) selalu dalam lindungan sehingga
mereka mengikuti festival ini dalam kegirangan. Mendengar
sapaan itu, Herry Naif (Direktur WALHI NTT) kemudian juga secara adat
dalam bahasa setempat mengucapkan terima kasih karena mereka telah
disambut dengan penerimaan adat dan menegaskan bahwa perjuangan untuk
melindungi alam bukan hanya ada di Mollo tetapi di banyak tempat
telah dilakukan. Sebagai bentuk penghormatan dan pendekatan para tamu
dengan masyarakat Amanatun, Amanuban dan Mollo diundang Fernand
(salah satu peserta Festival dari Eksekutif Nasional WALHI) untuk
menyerahkan sebuah Bendera Walhi sebagai simbol integrasi mereka
dengan perjuangan rakyat.
Setelah upacara penerimaan tersebut, Walhi mendekati
Usi Oematan untuk mendiskusikan beberapa hal penting. Ketika ditanya
terkait kebijakan pengelolaan sumber daya alam oleh pemerintah, Usi
Oematan menilai eksploitasi sumber daya alam khususnya industri
ekstraktif (pertambangan) harus ditolak. Usi beralasan, kehadiran
industri pertambangan sangat mengganggu kearifan lokal yang
masyarakat adat anut. Anehnya lagi, kehadiran investor tanpa
sepengetahuan kami selaku pemilik atas tanah, bahkan mencederai kami
selaku raja sekaligus penguasa wilayah adat.
“Awalnya, kami sama sekali tidak tahu
kehadiran pertambangan marmer di Molo karena pemerintah tidak
melibatkan kami selaku masyarakat adat. Apa yang dilakukan pemerintah
ini bagi kami merupakan sebuah kebijakan yang keliru dulu karena
masih ada potensi lain yang harus kami gali dan kerjakan misalnya
pertanian, peternakan dan potensi lainnya yang tidak merugikan tanah
adat kami”. Tandas Usi.
Ketika ditanya soal urgensi penyelengaraan
Festival Ningkam Haumeni, Usi menegaskan, Festival ini sangat penting
untuk kembali dan terus menyatukan komitmen dan konsistensi akan
kemandirian berpikir masyarakat sehingga tidak mengerukh alam sesuak
hati. “Bagi kami festival ini sangat penting karena kami selalu
diingatkan untuk tetap menjaga keutuhan alam kami”. Jelas Usi
Oematan.
TAMBANG EMAS NOELTOKO MULAI DIGARAP
Kefa - Walhinews, Secara historis, Noeltoko bukanlah sebuah nama tempat
baru. Noeltoko adalah pusat kevetoran Uis Kono, yang mana pernah
menjadi pusat pemerintahan wilayah salun miomaffo, kulun maubes (kab.
TTU). Secara geografis, wilayah Noeltoko berbatasan dengan kevetoran
Naktimu dan Aplal. Setelah kemerdekaan, pusat pemerintahan
dipindahkan ke kota kefamenanu hingga sekarang menjadi ibukota
kabupaten TTU.
Kefa - Walhinews, Secara historis, Noeltoko bukanlah sebuah nama tempat
baru. Noeltoko adalah pusat kevetoran Uis Kono, yang mana pernah
menjadi pusat pemerintahan wilayah salun miomaffo, kulun maubes (kab.
TTU). Secara geografis, wilayah Noeltoko berbatasan dengan kevetoran
Naktimu dan Aplal. Setelah kemerdekaan, pusat pemerintahan
dipindahkan ke kota kefamenanu hingga sekarang menjadi ibukota
kabupaten TTU.
Sejak tahun lalu, isu pertambangan emas
Noeltoko mulau digulirkan. Malah pernah diinformasikan agar dilakukan
upacara adat untuk pembukaan wilayah itu sebagai daerah tambang
tetapi kemudian ini tidak dijalankan, karena beberapa alasan. Namun
dalam perkembangan informasi yang diterima Walhi NTT, pertambangan
emas ini mulai dilakukan warga dengan mendulang emas di pinggiran
kali Noeltoko oleh beberapa warga di sana.
Mendengar informasi itu,
pihak Ekesekutif Daerah WALHI NTT menghubungi Ketua DPRD TTU (Robby
Nailiu). Dalam konfirmasi itu, Robby membenarkan bahwa wilayah
Noeltoko memiliki potensi emas. Tetapi hingga hari ini, DPRD
Kabupaten TTU belum membahasnya. Malah beliau secara tegas mengatakan
bahwa belum ada Ijin Usaha Tambang Emas di sana. Kami dari DPRD terus
melakukan pemantauan. Kami dengar bahwa ada beberapa orang yang
mendulang emas, katanya.
Merespon wacana ini, WALHI NTT
kemudian melakukan pemantauan dan beberapa kajian sederhana
bahwa: Pertama, Wilayah Noeltoko adalah daerah hulu yang harus dilindungi
pemerintah kabupaten TTU. Bila tidak, akan sangat beresiko bagi warga
Noeltoko sendiri dan bahkan bagi warga di sepanjang kali (sungai)
hingga muara Benenain. Kedua, Pemkab TTU harus secara serius
mengurus penyelamatan ekologi. Karena itu perencanaan pertambangan
emas itu harus ditolak karena akan berkonsekwensi fatal bagi daerah
persawahan rakyat di Noemuti, Maurisu hingga wilayah Kabupaten
Belu. Ketiga, Pertambangan emas Noeltoko akan berdampak secara
sosial budaya, karena wilayah Noeltoko adalah wilayah pusat kevetoran
Uis Kono yang tentunya menyimpan segudang nilai dan barang-barang
budaya yang miliki nilai historis bagi anak-cucu. Keempat, Pemkab
mestinya bersama warga kembali menginisiasi agar kembali
dikonsolidasi nilai dan kearifan orang miomaffo yang pernah ada dan
kemudian mengembalikan daerah Noeltoko sebagai daerah wisata budaya.
Karena wilayah ini, bila dilihat dari landscape-nya sangat menarik
dan sungguh rindang. Karena wilayah ini masih dilihat sebagai daerah
kawasan lindung, demikian ulasan yang disampaikan Walhi NTT.
WARGA DAN DPRD SIKKA TOLAK
PERTAMBANGAN
BIJI BESI DI PESISIR PANTAI SELATAN
Kupang,
Walhi News, Wacana akan adanya
Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Biji Besi di sepanjang pesisir pantai
Selatan Kabupaten Sikka, sejak tahun 2010. Ketika mendengar wacana
tersebut, kami menginvestigasi kasus tersebut dan melakukan
komunikasi dengan beberapa pihak termasuk dengan beberapa kepala desa
dan para tokoh adat (Mosalaki). Kebetulan beberapa kepala desa itu
adalah kader dan warga yang kenal Wahana Tani Mandiri (WTM) maka
konsolidasi dan diskusi baik formal ataupun non formal pun berjalan
baik. Hanya informasi akan adanya pertambangan dari Pemerintah
Kabupaten Sikka tertutup bagi akses publik. Sedangkan wacana
pembangunan pabrik pupuk yang terus mencuat ke publik.
Wacana
ini mencapai puncaknya ketika perusahaan itu menurunkan alat-alat
berat dengan alasan akan dilakukan pembangunan pelabuhan dan
pembangunan pabrik pupuk. Karena itu beberapa areal digusur dan
diberi tanda merah di wilayah Paga Beach, yang selama ini menjadi
daerah rekreasi bagi warga di paga dan Maumere pada umumnya.
Alasan
pembangunan pelabuhan sebagai tempat distribusi komoditi (kemiri,
kelapa, dll) dari wilaya Lio (Kecamatan Paga, Tana Wawo dan Mego
dinilai sangat tidak logis karena jarak tempuh antara ketiga
kecamatan ini hanya berkisar 40-50 Km menuju kota Maumere. Dengan
alasan pembangunan pelabuhan dan pabrik terus menjadi pertanyaan
warga. Dari hasil wawancara dengan beberapa pihak, ketika disinggung
tentang rencana tambang biji besi mereka menyatakan tidak tahu akan
hal tersebut.
Ketidakjelasan
informasi akan adanya tambang di Wilayah Pesisir Pantai Selatan
(Kecamatan Paga), terus menjadi wacana publik. Informasi akan adanya
tambang dari waktu ke waktu makin mencuat, Min da Costa (Putranya
V.B. Da Costa) seorang politisi kenamaan dan senior kabupaten Sikka
membangun sebuah Forum yang namanya Forum Peduli Lingukungan Hidup
(FPLH) Paga. Min da Costa, terus melakukan komunikasi dengan Walhi
NTT untuk mencari informasi tentang Perusahaan yang ada di sana dan
apa sebetulnya dampak-dampak pertambangan. Kemudian untuk memudahkan
komunikasi, Walhi menghubungkannya dengan anggota Walhi NTT yang
berada di Maumere (WTM) dan beberapa kelompok sosial yang peduli
seperti LMND Eksekutif Kota Maumere dan rekan-rekan pers di Kabupaten
Sikka.
Dari
hasil investigasi, ternyata ditemukan bahwa Surat Keputusan Pabrik
dibarengi dengan Surat Keputusan Bupati akan adanya Tambang, yakni:
SK. No. 67/Hk/2011 tanggal 2011 tentang Pembangunan Pabrik Pupuk
kepada PT. Greenlife Bioscience dan SK Nomor 184/Hk/2010 tertanggal
31 Juli 2010 tentang Pertambangan Biji Besi kepada PT. Skyline Flores
Adijaya. Dari hasil investigasi ditemukan bahwa Pemilik kedua
perusahaan ini adalah orang yang sama dan lokasi operasi pupuk dan
tambang pada wilayah yang sama.
Menyikapi
kasus ini, Min da Costa (manta Ketua Forum Studi dan Komunikasi
Mahasiswa Flores (FORMARES) membentuk Forum Peduli Lingkungan
Hidup Paga. Forum ini terus melakukan konsolidasi dengan para
mosalaki dan ria bewa (tua adat lio) mendapat tanggapan
serius dari DPRD Sikka. Maka pada tanggal 11 Februari 2012
berinisiasi untuk mendengarkan pendapat pemerintah tentang kasus
tersebut. Dalam sidang itu, Pemkab Sikka mengakui adanya dua SK yakni
SK. No. 67/Hk/2011 tanggal 2011 tentang Pembangunan Pabrik Pupuk
kepada PT. Greenlife Bioscience dan SK Nomor 184/Hk/2010 tertanggal
31 Juli 2010 tentang Pertambangan Biji Besi kepada PT. Skyline Flores
Adijaya, seluas 10.000 (sepuluh ribu hektare) yang meliputi 8
kecamatan di Kabupaten Sikka yakni: Kecamatan Paga, Mego, Lela, Bola,
Talibura, Doreng, Waiblama, dan Waigete.
Dalam
Pleno DPRD Sikka, terjadi perdebatan yang cukup sengit. Kendati
demikian dari hasil persidangan itu, DPRD meminta Pemkab Sikka untuk
segera mencabut kedua SK tersebut karena dinilainya CACAT HUKUM,
dimana kedua SK ini tidak pernah mendapat persetujuan dari DPRD
Sikka.
WALHI dan LBH Apik Tangani Kasus Besipae
Kupang – Walhinews, Pengelolaan Hutan Besiapae yang berbuntut pada tertangkapnya 11 Warga, 9 Oktober 2012 mestinya menjadi pembelajaran bersama. Bahwa kasus pelemparan rumah adalah akumulasi dari kejenuhan warga dalam menunggu kepastian pengelolaan kawasan tersebut. Masyarakat menginginkan kejelasan pengelolaan dimana mereka dilibatkan dalam pengelolaan kawasan Besipae tersebut. Tidak heran, bila kemudian mereka melakukan re-claiming terhadap kawasan itu sebagai ekspresi rakyat dalam menantikan kepastian.
Menyikapi kasus itu, WALHI NTT kemudian berinisiasi untuk melakukan diskusi dengan beberapa lembaga yang berfokus pada urusan litigas; LBH Timor dan LBH Apik. Karena itu, tepatnya Rabu, 17 Oktober 2012 dilakuan pertemuan dengan LBH Apik, yang dihadiri WALHI NTT, LBH APIK dan LAKMAS NTT. Pertemuan ini diawali dengan gambaran permasalahan oleh Herry Naif (Direktur WALHI NTT) tentang Sejarah dan Kronologi permasalahan Kasus Besipae.
Kasus Besipae bukan sebuah permasalahan baru tetapi itu sebetulnya potret buram dari sebuah pengelolaan kawasan hutan dimana rakyat tidak dilibatkan sebagai subjek pengelolaan. Padahal idealnya, pengelolaan hutan itu mestinya melibatkan rakyat dalam melindungi dan mengakses dari kawasan sebagai sumber penghidupan mereka yang penting itu didukung dengan sebuah konsep pengelolaan yang berkeadilan sosial dan berkeadilan antar generasi.
Secara terpisah untuk kasus Besipae, memiliki cerita panjang. Pertama. Bahwa sejak 1982, telah dilakukan Proyek percontohan intensifikasi peternakan. Melalui para tokoh-tokoh adat dan pemerintah Desa, Camat, maka mereka menyerahkan hutan seluas 6000 ha. Kawasan ini dikontrak sebagai lokasi proyek percontohan intensifikasi peternakan (kerja sama Pemerintah dengan Australia) selama 5 tahun.
Namun pada saat berakhir masa kontrak dan Pihak Australia pulang sampai saat ini belum ada pengembalian dari pihak mereka baik Australia maupun Pemerintah Daerah Timor Tengah Selatan.
Kedua, pada tahun 2003 terjadi pembabatan hutan dilokasi Besipae ±21H yang dilakukan oleh dinas Peternakan Instalasi besipae. Ketiga, pada tahun 2006, pembabatan kali kedua di lakukan olen dinas kehutanan.
Kemudian pada tahun 2008, GERHAN dan bekerja sama dengan Dinas kehutanan dan melanjutkan pembabatan kali ke dua dan menebang seluruh pohon-pohon besar yang ada di hutan tersebut. Menyikpai kasus ini, masyarakat mengadakan aksi demo serta melaporkan kasus ini di kabupaten TTS dan propinsi NTT untuk menerima kembali tanah adat tersebut namun aksi mereka tidak di hiraukan oleh pemerintah kabupaten dan pemerintah propinsi dan sekalipun di publikasikan melalui media massa Jawa Pos dan Kompas namun sampai dengan saat ini pemerintah kabupaten dan pemerintah propinsi tidak jeli menindaklanjuti persoalan ini dan masyarakat kembali melapor ke Polres TTS dan Polda NTT dengan alasan adanya ilegal loging akan tetapi Polres TTS dan Polda NTT tidak merespon laporan ini sekalipun masyarakat sudah di panggil untuk memberikan keterangan dan bahkan sudah di BAP.
Kasus ini juga telah dilaporkan hingga ke tingkat Nasional bahkan warga Besipae sempat melakukan dialog dengan berberapa kementrian terkait seperti: Kementrian Lingkungan Hidup, dan Kementrian Kehutan. Selain itu, warga juga menyampaikan kasus itu dalam dialog dengan DPR RI dan Komnas HAM.
Dari cerita yang ada, dapat dilihat bahwa kasus ini telah lama tercuat ke permukaan. Semestinya penanganan akan masalah ini harus sudah dilakukan oleh berbagai pihak terkait. Tetapi kasus ini kemudian hilang, sehingga sejak Januari 2012, Warga melakukan re-claiming pada kawasan itu dengan membangun pondok dan kebun-kebun yang ditata lebih rapi dimana, pohon-pohon yang ada tidak semua itu ditebang, tetap dibiarkan hanya warga kemudian melakukan penanaman pisang, ubi dan lain-lain untuk sumber penghidupan mereka.
Herannya, re-claiming ini kemudian tidak disikapi secara bijaksana malah yang terjadi adalah adanya kekerasan terhadap seorang warga (Niko Manao) pada Februari 2012. Kasus ini dilaporkan ke Polres TTS dan kemudian diproses secara hukum.
Namun kasus ini tidak berakhir di sini. Pagar kebun warga selalu dibuka yang berakibat pada tanaman-tanaman warga. Kondisi ini memicu terjadinya kasus pelemparan rumah yang menyebabkan 11 warga ditahan di Polres TTS.
Setelah itu, dilakukan diskusi untuk mencari solusi alternatif dalam menyikapi kasus tersebut. Bahwa pembelaan hukum urgen dilakukan untuk menyelamatkan 11 warga yang lagi ditahan. Sedangkan urusan non litigasi juga perlu dilakukan sebagai bentuk pemulihan. Dari pertemuan ini disepakati bahwa urusan litigasi, ditangani LBH Apik dan LBH Timor sedangkan advokasi penyelamatan kawasan hutan terus dilakukan Walhi NTT.
Festival Ningkam Haumeni
untuk Masa
Depan Timor
Walhinews, Festival Ningkam Haumeni
III mulai di gelar di bukit keramat Anjaf-Nausus, Desa Fatukoto,
Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timur Tengah Selatan (TTS), Provinsi
NTT, Selasa (24/7). Festival yang bertajuk “Masyarakat Adat Menuju
Kedaulatan Pangan, Air dan Energi” ini dihadiri oleh ratusan
masyarakat adat yang terbagi dalam tiga suku besar di Kabupaten TTS,
yakni suku Amanuban, suku Molo, dan suku Amanatun, yang dikenal
sebagai Masyarakat Tiga Batu Tungku.
Festival Ningkam Haumeni
adalah sebuah festival yang mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal
Masyarakat Tiga Batu Tungku, yang diinspirasi perjuangan Suku Mollo
dalam mengusir pertambangan marmer dari area keramat mereka Anjaf dan
Nausus, dan kini masyarakatnya lebih memilih pengembangan ekonomi
yang tidak merusak alam dan jati diri mereka. Ningkam Haumeni sendiri
tidak ada terminologi khusus, namun secara adat Ningkam artinya
Lilin/madu dan Haumeni artinya cendana yang keduanya kini sudah mulai
nyaris punah dari NTT atau bumi Timor. Karena itu Festival akan
selalu mengingatkan berbagai komitmen adat untuk lebih mengedepankan
hal-hal yang baik namun kii mulai nyaris dilupakan banyak orang.
Festival ini juga
dilakukan atas inisiasi dan kemauan m Masyarakat Adat Tiga Batu
Tungku sendiri dan bukan atas inisiasi pemerintah atau bantuan dari
pihak mana pun. Karena itu Festival ini digelar dengan sangat
sederhana, tanpa panggung, tanpa hingar bingar, tanpa listrik.
Festival juga digelar tidak hanya sekedar menari,tetapi juga mencari
solusi-solusi bersama yang tengah dihadapi masyaarakat itu.
Festival III akan
berlangsung hingga 26 Juli 2012. Mereka akan membahas masalah terkini
yang mereka hadapi, terutama soal kerawanan pangan yang kini sudah
ada di hadapan mereka.. Aleta Baun, sebagai perempuan penggerak
perjuangan Masyarakat Mollo, dalam sambutan pembukaan di festival
menandaskan, Festival harus bisa memberikan solusi alternatif secara
bersama dengan cara kearifan Masyarakat Tiga Batu Tungku sendiri
terkait mencari upaya alternatif guna memenuhi kebutuhan hidup
masyarakat dengan tidak merusak ekosistem dan ekologi yang ada di
alam Masyarakat Tiga Batu Tungku.
“Selama tiga tahun ini
kami mengalami gagal panen, dan kerawanan pangan selalu menghantui
kami. Tapi kini kami harus siap menghadapinya. Kami coba
mengembangkan berbagai bibit pangan lokal yang bisa bertahan hidup
dalam kondisi perubahan iklim yang tidak menentu. Kami juga akan
berbagi pengalaman dengan para petani lainnya dalam bertani, termasuk
mendatangkan Mama Tata (Maria Loretha) dari Adonara, Flores, yang
telah sukses mengembangkan tanaman lokal sorgum dan semacamnya,”
jelasnya.
Dalam Festival ini juga
akan mengingatkan pemerintah agar mereka tidak mengedepankan
kebijakan yang lebih mengeksploitasi alam, termasuk pertambangan.
Karena persoalan yang mereka hadapi adalah bagaimana mereka bisa
mengembangkan pertanian dan peternakan dengan baik. Bagi Masyarakat
Tiga Batu Tungku, tambang harusnya tetap berada di dalam bumi.
“Tambang dan semacamnya
bukan kita yang buat. Tidak boleh kita ambil dan menjualnya. Biarkan
mereka ada di dalam tanah saja. Kita akan menjual yang bisa kita buat
saja misalnya tenun, pertanian dan sebagainya. Itu yang kami pilih,”
tandas Aleta.
Sementara itu,
koordinator seksi acara, Herry Naif, mengatakan berbagai macam
kegiatan seperti tari-tarian, pameran tenun, pantun berbalas pantun,
malam budaya kesenian, dan nonton film tentang lingkungan hidup akan
mewarnai selama kegiatan berlangsung. Selain itu, akan diadakan
dialog terbuka dengan bupati TTS, Paul Mela, dan anggota DPR RI,
Farry Francis, rabu, (25/7) soal upaya mengatasi krisis pangan di
TTS dalam relevansinya dengan tugas dan tanggung jawab pemerintah..
(*)
Warga Oekopa Lakukan
Ritual Adat Perlindungan
WALHI News,
Menyikapi masifnya pertambangan terutama yang sedang dialami di
Oekopa, sebanyak 16 suku dan ratusan warga Desa Oekopa dan warga desa
tetangga lainnya di Kecamatan Biboki Tanpah, Kabupaten Timor Tengah
Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur, melakukan ritual adat Pao Pah
Nifu, Tobam tafa (Perlindungan Alam dan Manusia). Tujuannya, menolak
aktivitas tambang mangan dan rencana pembangunan pabrik pengolah batu
mangan di kampung tersebut oleh PT Gema Energy Indonesia.
Sebelum upacara adat
itu, dilakukan perayaan ekaristi di Kapela Oekopa yang dipimpin oleh
Pater Piter Bataona, SVD (Koordinator JPIC SVD Timor). Dalam
kotbanya, pastor menyampaikan soal pengalaman umat Israel yang mana
melihat tanah Israel sebagai tanah terjanji yang dipenuhi susu dan
madu. Mereka harus pergi dari Mesir meninggalkan penindasan Mesir.
Dalam konteks itu, Oekopa hendaknya dilihat sebagai daerah atau tanah
terjanji umat oekopa yang penuh dengan susu dan madu. Kita telah
hidup dan menyatu dengan alam sebagai bentuk integrasi diri dan Allah
dalam seluruh hidup kita, demikian tukas Pastor Piter.
Perayaan Ekaristi dan
Ritual itu berlangsung pada Minggu (2/9/2012), dengan menyembelih
seekor babi merah dan ayam jantan hitam, serta kelengkapan ritual
adat lainnya yang dibentangkan di sebuah kain adat suku usat nesi
Sonafk”bat. Hadir dalam acara itu, Pasto Piter Bataona, SVD, Victor
Manbait (Direktur LAKMAS), Herry Naif (WALHI NTT) dan Kepala Desa
Adat Tamkesi Usboko. Pada acara adat itu, Kepala Desa Adat Tamkesi
Usboko mengatakan, ritual adat itu merupakan sebuah pemurnian untuk
memperkuat yang benar, bukan membenarkan yang kuat karena dipengaruhi
oleh kekuasaanan uang.
Senada dengan itu,
utusan Raja Biboki, Suberu Neno Biboki mengatakan, masyarakat sudah
dikasih berkat oleh Tuhan untuk menjaga dan memanfaatkan hasil-hasil
hutan dan hasil kebun serta sawah agar bisa dikelola dengan baik
tanpa harus dirusak. "Kami selama ini hidup dari hasil hutan,
kebun dan sawah sehingga kalau dibuat rusak, nanti nasib kami warga
Oekopa dan beberapa desa di sekitarnya mau seperti apa jadinya,"
ujar Suberu.
Sementara itu, Oliva
Usatnesi, salah seorang warga Oekopa mengatakan, kalau seandainya
pabrik dibangun, beberapa sumber mata air warga di sekitar areal
tambang akan tercemar limbah mangan yang tentunya berdampak pada
kesehatan mereka."Kalau seandainya air tercemar limbah, kami
harus ambil air di mana? Apalagi debit air di daerah kami terbatas,
sehingga kami minta agar pemerintah daerah membantu kami dengan cara
segera membatalkan izin operasi dan pembangunan pabrik mangan itu,"
harap Oliva.
Sedangkan Gabriel Manek
(Ketua Forum Peduli Alam dan Budaya Oekopa) mengatakan bahwa "Kami
tolak kehadiran serta aktivitas PT Gema Energy Indonesia di desa kami
karena lahan sawah terancam dialiri limbah olahan batu mangan. Lalu
bagaimana dengan dampak lingkungan juga kesehatan kami di sini,"
kata Gabriel Manek, yang diamini oleh beberapa warga Oekopa lainnya.
Karena acara adat itu
dilakukan di Busan (Kampung lama) yang mana terdapat pekuran leluhur
Usatnesi Sonafk'bat, sempat dilihat bahwa titik-titik pemboran mangan
yang telah dipatok oleh PT Gema Energy Indonesia berjumlah sekitar
200 lebih dan masuk dalam areal kawasan hutan. Herannya, hingga hari
ini Dinas Kehutanan TTU, Badan Lingkungan Hidup (BLH) TTU, Bapeda TTU
serta Dinas Pertanian Kabupaten TTU menyikapi permasalah tersebut.
Padahal kawasan itu adalah salah satu sentral produksi pangan (beras)
di Kabupaten TTU yang sudah mendapat alokasi anggaran miliaran rupaih
untu membuat Bendungan dan Pengairan. Kenapa pemkab TTU tidak serius
mengurus persawahan mereka tetapi harus mengurus pertambangan yang
dilihatnya sebagai industri keruk, demikian kata Victor Manbait
(Direktur Lakmas).
Mangan: Berkah atau
Petaka?
Oleh: Herry Naif
Pulau Timor adalah salah
satu pulau di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) selain Pulau Flores,
Sumba, Alor dan berbagai pulau kecil lainnya. Isi perut pulau Timor,
yang sering disebut Nusa Cendana, didominasi oleh mineral Mangan.
Mangan adalah unsur kimia yang digunakan untuk peleburan logam
(metalurgi) proses produksi besi baja, baterai kering, keramik dan
gelas. Jika mangan terserap oleh tubuh dalam jumlah banyak, akibatnya
dapat merusak hati, membuat iritasi, karsinogen atau menyebabkan
kanker pada manusia, hewan dan tumbuhan melalui rantai makanan.
Kini, potensi mangan
sedang dikampanyekan secara luas baik oleh pemerintah maupun pihak
swasta. Mangan dinilai sebagai potensi mineral yang memiliki nilai
jual dimana menarik banyak pemodal berdatangan ke pulau tersebut. Hal
ini pun disambut gencar oleh rakyat (masyarakat) di Pulau Timor yang
sedang dilanda gagal panen, akibat sedikitnya curah hujan pada musim
tanam petani.
Penambangan mangan
seakan menjadi pilihan alternatif bagi masyarakat Timor dalam
memenuhi kebutuhan hidup, tanpa mengerti dampak kerusakan yang
ditimbulkan, baik itu terhadap kondisi ekologi yang diambang
kegentingan, sosial- budaya yang makin renggang dari waktu ke waktu,
dan bahkan kesehatan masyarakat Timor yang makin terpuruk.
Hasil Pantauan
Pertambangan Mangan di
Biinmaffo (Biboki, Insana dan Miomaffo), Kabupaten Timor Tengah Utara
(TTU) dan Timor umumnya adalah penambangan mangan yang dilakukan
rakyat. Menurut pengakuan warga, awalnya mereka sama-sama mengambil
mangan yang tampak di permukaan tanah namun ada korban jiwa yang
terus- menerus di beberapa tempat, sehingga sebagian orang kemudian
meninggalkan aktivitas itu. Sekarang para penambang sudah harus
menggali tanah beberapa meter karena mangan di atas permukaan tanah
sudah mulai kurang bahkan tidak ada lagi.
Dalam tradisi masyarakat
TTU (Dawan), mangan disebutnya fatu metan atau fatu pah
yang tidak boleh diganggu apalagi dipindahkan siapa pun. Dulu bila
mangan muncul di kebun, kemudian diposisikan pada tempat yang layak
dan dijadikan sebagai tempat persembahan di kebun itu. Fatu metan
diyakini memiliki nilai mistik-magis yang sangat dihormati masyarakat
Dawan. Oleh karena itu sampai kapan pun,
tidak boleh diapa-apakan. Bila dilanggar, akan terjadi bencana atau
peristiwa yang luar biasa dan membawa korban.
Kepercayaan ini kemudian
tergerus zaman kapitalistik dimana modal menguasai manusia dan
angan-angan kesejahteraan akan digapai melalui penambangan mangan.
Dalam perjalanan, ternyata fatu metan ini bukannya membawa
kesejahteraan tetapi malah mengantar jiwa orang karena tertimbun
tanah.
Fakta ditemukan bahwa
penambang tidak dilengkapi pelindung tubuh, misalnya masker pelindung
mata, mulut, hidung dan kaos tangan. Para penambang pun tidak
menggunakan perlengkapan itu karena mereka juga tidak pernah
diinformasikan mengenai dampaknya bagi kesehatan, terutama pada
pernapasan. Mereka melakukan aktivitas itu selayaknya bekerja kebun.
Padahal, apabila mangan itu diserap tubuh terlalu banyak ia sanggup
merusak hati, membuat iritasi, karsinogen atau menyebabkan kanker
pada manusia, hewan dan tumbuhan melalui rantai makanan.
Analisis Daya Rusak
Tambang Mangan di Kabupaten TTU:
Dampak Ekologi
Perubahan Bentangan Alam (landscape)
Luas wilayah kabupaten
TTU adalah 2.669.70 km2 atau 5,6% dari Luas Provinsi NTT, sedangkan
luas laut Kabupaten TTU adalah 950 km2. Dari luas wilayah daratan
ini, diklasifikasi bahwa tanah yang rawan erosi seluas 142, 99 Ha
(39,4%) sedangkan tanah yang relatif stabil seluas 161, 74 (60,6%)
(lihat: Timor Tengah Utara dalam Angka 2006/2007, BPS TTU dan BAPEDA
TTU).
Dari data ini dapat
dikaji bahwa penggalian dan pengambilan mangan di Kabupaten TTU yang
dilegitimasi dalam 82 Surat Kuasa Pertambangan (SKP), tentunya akan
menggusur ribuan lahan pertanian, peternakan, hutan, dan sumber air
(hidrologi).
Aktivitas penambangan
mangan juga dinilai menyebabkan terganggunya tata air setempat,
resiko bencana, longsor serta banjir. Kondisi ini diperparah dengan
tanah rawan erosi seluas 142,99 Ha (39,4%), karena permukaan tanah
dikupas, digali, menjadi lubang-lubang, dan hilangnya keanekaragaman
hayati di kabupaten TTU, akibat perubahan bentangan alam dan
kerusakan ekologi.
Struktur perekonomian
Kabupaten TTU didominasi oleh sektor pertanian (74,7%) khususnya
sub-sektor tanaman pangan yang menjadi tempat bagi sebagian besar
masyarakatnya mencari sumber penghasilan, sehingga keberadaan dan
keberlangsungan sub sektor ini menjadi sangat strategis (lihat: Timor
Tengah Utara dalam Angka 2006/2007, BPS TTU dan BAPEDA TTU).
Kabupaten TTU dikenal
sebagai wilayah yang sangat cocok dalam pengembangan peternakan
(sapi, kerbau, babi, kambing, dll). Itu berarti, dengan 82 Surat
Kuasa Pertambangan (SKP) berdampak pada menurunnya kualitas
lingkungan yang tidak akan menunjang pengembangan pertanian dan
peternakan. Itikad Pemerintah Kabupaten TTU dalam Panca Program
strategis dengan memfokuskan sektor pertanian khususnya tanaman
pangan menjadi salah satu program utama dalam mengkatalisasi
pertumbuhan ekonomi daerah, hanyalah sebuah mimpi, bila pertambangan
kemudian dilihat sebagai leading sector.
Pada titik ini dapat
disimpulkan bahwa dengan 82 Surat Kuasa Pertambangan (SKP) akan
mengubah tatanan ekologi yang selama ini ada, malah membawa
malapetaka. Anggapan bahwa mangan selalu ada di kawasan gersang dan
tanah liat yang selama ini tidak dimanfaatkan untuk pertaniaan adalah
rasionalisasi pembenaran atas aktivitas perusakan bentangan alam.
Oleh karena itu, dengan 82 Surat Kuasa Pertambangan bisa dibayangkan
berapa luas bentangan alam yang dirusakan. Alasan, uang jaminan 50
juta per titik adalah bentuk pelumasan hati warga agar rakyat bisa
membenarkan dan menyepakati kebijakan ini. Siapa yang bertanggung
jawab atas kerusakan bentangan alam di Kabupaten TTU?
Pertambangan: Industri
Rakus Air
Air adalah unsur hakiki
untuk bertahannya hidup manusia dan tanaman dan hewan yang tengah
bertumbuh kembang. Beberapa dasawarsa lalu persoalan air adalah
persoalan wilayah perkotaan, sebab di sana banyak kawasan industri,
sehingga banyak lahan dikonsersi menjadi lahan penduduk. Sekarang
kelangkaan air telah menggejala di dunia tanpa mengenal sekat-sekat
wilayah. Bahwa di banyak wilayah pedesaan, permukaan air bawah tanah
jauh menurun, mata air- mata air tercemar dan persediaan menurun
secara drastis seiring dengan gencarnya eksploitasi sumber daya alam
besar-besaran. Persaingan atas sumber daya air diantara para
pemanfaat irigasi, pemilik industri dan konsumen rumah tangga
acapkali menguntungkan para penguasa, sehingga menelantarkan
masyarakat yang kurang berdaya.
Menghadapi permasalahan
krisis air yang terus meningkat dari waktu ke waktu, banyak
argumentasi yang dilontarkan. Misalnya: Pertama, kekurangan air
akibat penduduk yang semakin bertambah. Kedua, pembagian, pemborosan
dan kurangnya penghormatan terhadap air di tengah masyarakat yang
materialistis dan konsumeristis. Ketiga, krisis air berkenaan dengan
privatisasi pelayanan pasokan air dan kepemilikan atasnya.
Dari beberapa pandangan
di atas, dalam konteks Kabupaten TTU dapat ditemukan bahwa beberapa
wilayah menjadi pelanggan kekurangan air atau bahkan ketiadaan air.
Pada musim kemarau masyarakat harus pergi mencari air untuk minum,
mandi, cuci dan berbagai kebutuhan
lainnya.
Secara teoritis ataupun
empirik, ketersedian air sangat bergantung pada luas hutan dimana
berfungsi sebagai water cathcman area (kawasan penangkapan air).
Kabupaten TTU memiliki luas hutan seluas 126,235 ha (47,3%) dari luas
wilayah daratan. Itu berarti, Kabupaten TTU memiliki kawasan
penyangga yang cukup bagus. Dengan hingar-bingarnya 82 Surat Kuasa
Pertambangan mangan tentunya akan berdampak pada kerusakan hutan.
Pertambangan mangan yang dilakukan di luar kawasan hutan pun akan
sangat mengganggu ekologi karena tentunya akan menimbulkan pencemaran
udara dan air. Mumpung, belum dilakukan proses pencucian dan
pemurnian mangan dilakukan di wilayah kabupaten TTU. Hal ini akan
sangat terasa ketika penggalian, pencucian dan pemurnian dilakukan di
wilayah TTU. Lebih dari itu dapat dibayangkan bahwa dengan 82 Surat
Kuasa Pertambangan, mengindikasikan bahwa Kabupaten TTU akan
mengalami krisis air. Sebelum ada tambang, air menjadi langka.
Apalagi ada tambang mangan yang merusak tatanan hidrologi.
Pertambangan
Menyebabkan Limbah Beracun/Tailing
Tailing adalah satu
jenis limbah yang dihasilkan oleh kegiatan pertambangan. Selain
tailing, kegiatan tambang juga menghasilkan limbah lain seperti:
limbah kemasan bahan kimia dan limbah domestik. Tailing menyerupai
lumpur kental, pekat, asam dan mengandung logam. Logam berat itu
berbahaya bagi keselamatan makhluk hidup. Pertambangan skala besar
biasanya menggunakan bahan kimia seperti sianida, merkuri dan xanthat
untuk memisahkan mineral dari batuan. Emisi beracun (limbah berbentuk
gas) berupa timbal, merkuri dan sianida, senya sian (CN) kalau
dikonsumsi tubuh akan mengganggu fungsi otak, jantung, menghambat
jaringan pernapasan, sehingga terjadi asphyxia
orang menjadi seperti tercekik dan cepat diikuti oleh kematian.
Kabupaten TTU merupakan
wilayah yang cocok untuk pengembangan ternak.
Dari data BPS TTU
dilihat bahwa peternakan di kabupaten TTU terus mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun. Misalnya, pengembangbiakan ternak sapi dari
70.229 (2005) meningkat menjadi 75. 475 (2006) (lihat: Timor Tengah
Utara dalam Angka 2006/2007, BPS TTU dan BAPEDA TTU). Artinya, ternak
sapi sangat cocok dikembangkan di Kabupaten TTU yang selama ini juga
menjadi pendapat alternative rakyat dalam memenuhi hak-hak dasar
seperti; pangan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan perumahan yang
layak. Pengembangan ternak (sapi, kerbau, kambing dan babi)
berkontribusi riil bagi peningkatan kualitas hidup rakyat tanpa
merusak. Sedangkan, penambangan mangan di Kabupaten TTU akan
berpengaruh pada sumber-sumber penghidupan rakyat (lahan, air, ternak
dll) di wilayah ini akan tercemar oleh tailing. Apalagi mangan itu,
bila diserap tubuh terlalu banyak akan merusak hati, membuat iritasi,
karsinogen atau menyebabkan kanker. Hal ini diperparah karena
masyarakat melakukan penambangan mangan tanpa dilengkapi dengan
masker dan kaos tangan. Tidak heran para penambang akan
perlahan-lahan mengalami keracunan. Penambang sedang bunuh diri dan
membunuh anak cucu.
Dengan 82 Surat Kuasa
Pertambangan (SKP) di Kabupaten TTU berapa jumlah masyarakat yang
diracuni setiap hari dan terancam keselamatannya? Berapa racun yang
disebarkan pada lahan pertanian dan peternakan? Apakah pendapatan
dari harga mangan 1000-1500/kg melebihi pendapatan pertanian,
peternakan dan perkebunan? Bila argumentasinya adalah peningkatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD), berapa masyarakat Kabupaten TTU yang
mengetahui dan mengontrol PAD Kabupaten TTU, sehingga dapat diketahui
bahwa Pertambangan Mangan akan meningkatkan PAD.
Dampak Sosial-Budaya
Dalam “The Forms of
Capital” kontrol dalam kehidupan sosial. (1986), Piere Boudieu
membagi modal menjadi kapital budaya dan modal sosial. Modal sosial
dapat diterjemahkan sebagai hubungan atau jaringan (network) antara
orang-orang yang memiliki pikiran dan gagasan sama tentang suatu hal.
Dalam konteks budaya masyarakat Kabupaten TTU, bahwa hubungan sosial
(social communal) terbentuk karena kesamaan kepentingan atas
pengelolaan sumber-sumber produksi setempat, kesamaan atas tanah dan
kekayaan alam, serta kesamaan sejarah dan adat budaya. Direnggutnya
penguasaan masyarakat atas tanah dan kekayaan alam menyebabkan
fondasi modal sosial mereka lenyap dan berdampak pada: Pertama,
lenyapnya daya ingat sosial, hilangnya tatanan nilai sosial yang
dulunya dimiliki komunitas. Budaya nekaf mese ansaof mese akan
ditinggalkan akibat perebutan mineral (mangan) sebagai pilihan
alternatif dalam menunjang kualitas hidup rakyat: Talas/banu
(larangan untuk alam yang sementara utuh dan tidak boleh dirusakkan
oleh siapa pun); fuatono (ritual adat untuk minta hujan, paska musim
kemarau; pembukaan lahan pertanian yang dilandasi dengan adat; ritus
adat kepada Faut Kanaf, Oe Kanaf masih dipertahankan; Sek Hau Nomate
(untuk panggil lebah dan panen lebah); mengenal pembagian Suf yang
sudah ada ketentuan sejak awal oleh leluhur; mempertahankan dan
mengenal tempat ritual adat dari masing-masing suku. Kedua, putusnya
hubungan silahturami antar warga menyebabkan perpecahan,
persengketaan bahkan konflik (saling melenyapkan eksistensi satu sama
lain). Mekanisme resolusi konflik tradisional yang telah hidup dalam
komunitas tidak dijadikan kontrol dalam kehidupa sosial. Padahal,
dalam konteks masyarakat modal menjadi modal kapital, modal Kabupaten
TTU, untuk menaati ketentuan hukum adat (banu) yang tidak tertulis
biasanya diberi sangsi seperti: Oni (Suni); Satwa (tanduk, kepala
babi, bulu); Nuta (Api); Nono hau ana (Hau No’); Opat (denda
biasanya disepakati bersama warga).
Dampak Kesehatan
Apabila mangan itu
diserap tubuh terlalu banyak ia sanggup merusak hati, membuat
iritasi, karsinogen atau menyebabkan kanker atau menurunnya daya
tahan tubuh, karena merosotnya mutu kesehatan, mental warga, dan
seringkali munculnya penyakit- penyakit baru, baik penyakit yang
berupa metabolisme akut akibat pencemaran (udara, air, tanah dan
bahan-bahan hayati yang dikonsumsi), penyakit menular (kelamin)dan
penyakit lain yang dibawa oleh pekerja yang berasal dari luar daerah.
Di Kabupaten TTU, jumlah
penderita rawat jalan pada Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan RSUD
Kefamenanu selama 2006 sebanyak 17248 kali kunjungan (pasien) atau
turun 11,8% dibanding tahun 2005 (19568). Jenis penyakit yang dominan
masing-masing: Infeksi saluran pernapasan Akut (ISPA) 50,8 %,
penyakit lainnya 29,6%, penyakit dengan tanda gejala tak jelas
lainnya 6,3%, penyakit yang lainnya di bawah 5%. Sedangkan Penderita
rawat inap selama tahun 2006 pada RSUD Kefamenanu sebanyak 2. 267
kunjungan (pasien) atau turun 38,3 persen dari keadaan tahun
sebelumnya. Penyakit dominan untuk kunjungan rawat inap: Diare 34,7%
penyakit lainnya sebesar 24,6 %, pneumonia 11,5%, penyakit dengan
tanda gejala dan keadaan tak jelas 5,69%, malaria 5,43%, penyakit
lainnya dibawah 5% (lihat: Timor Tengah Utara dalam Angka 2006/2007,
BPS TTU dan (TTU).
Dari data itu, dapat
dianalisis bahwa pertambangan mangan yang dilakukan secara manual di
Kabupaten TTU akan berakibat: Pertama, dengan 82 SKP akan memperparah
kondisi kesehatan masyarakat Kabupaten TTU akibat tercemarnya lahan
pertanian, sumber air dan peternakan. Sebelum adanya pertambangan
mangan di Kabupaten TTU, penyakit dominan yang dialami adalah ISPA
(Infeksi memperburuk kondisi kesehatan masyarakat kabupaten TTU.
Kedua, mempersulit penanganan kesehatan akibat penambangan dengan 82
SKP, karena hampir dilakukan hampir di seluruh wilayah kabupaten TTU.
Artinya bahwa pencemaran ini akan dialami daerah yang memiliki
potensi pertambangan (tidak terkonsentrasi) pada wilayah tertentu.
Kondisi ini diperparah karena Dinas Kesehatan Saluran Pernapasan
Akut) dan diare akan mengalami peningkatan yang luar biasa, karena
tercemarnya udara, air dan lahan pertanian. Sebelum pertambangan,
data BPS (2006) menunjukkan dari 236.853 balita, 142. 535 dalam
keadaan baik gizinya, 78.883 mengalami gizi sedang dan 15.435
mengalami gizi buruk. Kondisi ini akan diperparah lagi. Jumlah balita
yang mengalami gizi buruk ini akan mengalami peningkatan karena ibu
hamil dan anak juga ikut dalam pertambangan mangan. Apalagi, kedua
penyakit ini memiliki korelasi dengan pencemaran udara dan air. Untuk
itu, pencemaran udara dan air akibat pertambangan mangan akan
sendiri tidak memiliki rekomendasi layak tidaknya pertambangan. Dinas
Kesehatan bukan pemadam kebakaran tetapi mestinya sebelum
pertambangan Dinas Kesehatan sudah memiliki Kajian tentang dampat
Pertambangan bagi kesehatan masyarakat. Selama Agustus 2009–Mei
2010 tercatat 12 korban jiwa akibat tertimbun tanah penggalian
mangan. Sedangkan di Kabupaten TTU tercatat 4 korban mangan.
Dalam konteks
Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), negara bertanggung jawab atas
korban jiwa akibat pertambangan. Itu bukan dilihat sebagai
konsekuensi dari pertambangan yang harus ditanggung penambang. Karena
tugas Negara adalah melindungi, memenuhi, menghormati serta
memajukan hak-hak rakyat.
Tabel Korban Mangan (Sesuai
dengan Pemberitaan Pos Kupang)
-
No.HARI /TANGGALNAMAUSIA (thn)KEJADIANLOKASI1.17 Agust. 2009Daud Lomi Pita48Tewas tertimbun galian manganRT 22 / RW 06 Dusun C, Desa Tubuhue, Kec. Amanuban Barat, TTS2.02/10/09Simon LinsiniEtri Linsini
Tewas tertimbun tanah saat sedang menggali manganKel. Naioni3.06/10/09Melianus BariutPetrus SabloitAmbrosius SeranMarice Ton51381138Tewas tertimbun saat sedang menggali manganKiumabun, Desa Oebola Dalam, Kec. Fatuleu, Kab. Kupang4.18 oktober 2009Klara AbukHans5030Tewas Tetimbun tanah ketika sedang menggali batu manganTuataun, Kec.Feoana, TTS5.1 Desember 2009Agustinus Sila30Tewas mengenaskan dalam lubang tambang manganRT 09, Lingkungan 2, Kel.Oelami, Kec. Bikomi Selatan, TTU, Tempat penggalian mangan, Fatukoko6.1 Desember 2009Timotius Sali Lisu29Ditemukan sekarat dilubang galian mangan, dan harus mnjalani perawatan intensif di RSU KefamenanuKel. Oelami, Kec.Bikomi Selatan, TTU, Tempat penggalian mangan, Fatukoko7.27 Februari 2010Marsel Amnesi30Tewas tertimbun tanah dilokasi penggalian manganRT 20 / RW 2, Naioni,Kupang (Lokasi penggalian mangan Oelnunfafi, kel. Naioni, Kec. Alak, Kota Kupang)8.5 Mei 2010Remon Aklili8Tewas tertimbun bongkahan tanah saat menggali batu manganMurid kelas 2, SDI Oelusapi, dusun 3, Desa Poto, Kec. Fatuleu Barat9
Dita Nono38Tewas di tempat Penggalian ManganDesa Nimasi, Kecamatan Kab. TTU1018/09/10Agnes NatunYustinan NatunFilomena Natur392841Ketiganya adalah kakak beradik tewas akibat penambangan mangan.Warga Letkase, Rt.04/Rw. 02 Desa Persiapan Nian Timur, Kecamatan Miomaffo Tengah, Kab. TTU1101/10/10Martinus TasikMaria Bita Luan
Tertimbun longsoran tanah akibat penggalian ManganTabean B, Desa Tukuneno Kecamatan Tasifeto Barat, Kab. Belu1226/11/10Debora Pono KaruVictoria Makal MaiFred Pono
Debora meninggal, victoria patah pinggangDesa Nunmaffo, Kecamatan Amabi Ofeto Timur, Kab. Kupang
Sumber Pos Kupang
Dari data korban mangan
(tabel) dilihat bahwa pertambangan mangan bukan hanya berdampak pada
buruknya kesehatan tetapi bahkan membawa korban jiwa. Itu berarti
tugas negara belum secara maksimal dijalankan. Data Pos Kupang di
wilayah Kabupaten TTU telah terdapat 4 korban jiwa. Itu berarti ada
preseden buruk dari pertambangan yang katanya membawa kesejahteraan
bagi rakyat TTU.
Dampak Ekonomi
Ekonomi dibagi menjadi
kegiatan Produksi, Distribusi dan Konsumsi. Daya rusak tambang pada
ekonomi setempat, merupakan penghancuran pada tata produksi,
distribusi dan konsumsi lokal. Pertama, rusaknya tata produksi.
Kabupaten TTU merupakan daerah yang cocok untuk pengembangan
peternakan selain pertanian. Apabila Pemerintah kabupaten TTU
pro-rakyat maka yang didorong adalah pengembangan pertanian lahan
kering dan pengembangan peternakan. Ini didukung dengan kondisi
wilayah TTU.
Operasi pertambangan
mangan dengan 82 SKP di Kabupaten TTU membutuhkan lahan yang luas,
dipenuhi dengan cara menggusur tanah milik dan wilayah kelola rakyat.
Kehilangan sumber produksi (tanah dan kekayaan alam) melumpuhkan
kemampuan masyarakat setempat menghasilkan barang-barang dan
kebutuhan pangan.
Pertambangan mangan akan
mempersempit lahan pertanian dan peternakan yang selama ini menjadi
sumber penghidupan masyarakat TTU. Misalnya, pengembangbiakan ternak
sapi 70.229 (2005) meningkat menjadi 75. 475 (2006) (lihat: Timor
Tengah Utara dalam Angka 2006/2007, BPS TTU dan BAPEDA TTU). Artinya,
ternak sapi sangat cocok dikembangkan di Kabupaten TTU yang selama
ini juga menjadi pendapatan alternatif rakyat dalam memenuhi hak-hak
dasar seperti pendidikan, kesehatan dan perumahan. Kedua, rusaknya
tata konsumsi.
Lumpuhnya tata produksi
menjadikan masyarakat makin tergantung pada barang dan jasa dari
luar. Untuk kebutuhan sehari-hari mereka semakin lebih jauh dalam
jeratan ekonomi. Uang tunai yang cendrung melihat tanah dan kekayaan
alam sebagai faktor produksi dan bisa ditukar dengan sejumlah uang
tidak lebih. Bahwa masyarakat kabupaten TTU yang memiliki tata
konsumsi
yang sosialis, artinya
antar warga saling membahu dalam kesulitan. Kondisi ini akan
mengalami pergeseran akibat masuknya tambang mangan.
Pertambangan mangan akan
membawa perubahan pola konsumsi yang individualistik dan
konsumeristik. Lebih dari itu, masyarakat akan sangat bergantung pada
pada pasokan pangan dari luar. Ketiga, rusaknya tata distribusi.
Kegiatan distribusi setempat semakin didominasi oleh arus masuknya
barang dan jasa ke dalam komunitas. Padahal, biasanya pada awal
sebuah proses pertambangan akan dibangun opini publik bahwa
pertambangan akan membawa kesejahteraan dengan meningkatkan
pendapatan ekonomi masyarakat setempat. Namun, seperti yang terjadi
di berbagai tempat lain, janji investor dan Pemerintah Kabupaten TTU
adalah peningkatan ekonomi rakyat akan berubah roman menjadi kuli di
negeri sendiri, seperti yang terjadi pada Pertambangan Buyat Minahasa
Raya dimana warga harus meniggalkan tempat kelahirannya karena tidak
mampu menanggung derita dampak pertambangan. Karena itu, Pertambangan
Mangan di Kabupaten TTU perlu dikaji secara cermat oleh Pemerintah
kabupaten TTU. Bukan dengan pragmatis pertambangan disetujui dan
diakhiri dengan kekesalan. Permasalahan pertambangan mangan di
Kabupaten TTU bukan hanya diperdebatkan soal harga mangan tetapi yang
perlu dilihat adalah keberlanjutan wilayah dan potensi TTU bagi anak
cucu. Bila tidak pertambangan mangan akan merusak lingkungan dan
generasi penerus TTU.
Dampak Politik
Politik seringkali
diartikan sebagai proses pembuatan keputusan dalam sebuah kelompok.
Menurut Dickerson dan Flanagan, politik sebagai “sebuah proses
resolusi konflik (kepentingan), dimana segala daya dan usaha
dikerahkan untuk pencapaian tujuan bersama”. Kenyataannya, ia
berwujud upaya seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai
tujuannya dengan berbagai cara, bisa mempengaruhi dan meyakinkan,
membohongi atau bahkan menyingkirkan pihak lain. Sedangkan menurut
Harold Lasswell, politik adalah “siapa mendapatkan apa, kapan,
dimana dan bagaimana?”
Dalam konteks politik
dapat dibenarkan pendapat Dickerson, Flanagan dan Harold Lasswell,
dimana pemimpin Kabupaten TTU memengaruhi dan meyakinkan masyarakat
bahwa potensi mangan menjadi pilihan alternatif tanpa
menginformasikan dampak buruknya. Rakyat menambang tanpa mengerti apa
dampak dari pertambangan mangan. karena tidak mampu menanggung
Politik menjadi sasaran daya rusak derita dampak pertambangan. untuk
memenangkan kepentingan industri tambang.
Ini dapat dilihat dari
beberapa indikasi:
Pertama, margininalisasi
tata- Kabupaten TTU. Bukan dengan kepemimpinan yang membela pragmatis
pertambangan disetujui kepentingan warga oleh negara dan korporasi.
Ini bisa dilakukan dengan mendorong penggunaan perangkat-perangkat
kepemimpinan formal yang harus patuh kepada ketentuan Negara.
Argumentasi Pemerintah yang diwakili Dinas Pertambangan Kabupaten
TTU bahwa ada jaminan tiap titik 50 juta. Itu berarti dari 82 SKP,
Pemkab TTU memiliki pemasukan dari bidang pertambangan sebanyak 4,1
miliyard. Sedangkan bila didistribusikan pada titik tambang maka
tidak ada artinya dibanding kerusakan yang ditimbulkan. Dana itu bila
diperlukan untuk rabat jalan dusun pada sebuah desa juga tidak cukup.
Argumentasi ini dinilai
sebagai rasionalisasi pembenaran atas pertambangan. Padahal,
pemerintah yang baik, perlu menginformasikan tentang kerusakan yang
ditimbulkan sehingga rakyat mengetahui resiko baik bagi manusia,
lingkungan, sosial budaya. Dan bila perlu sudah bisa diprediksi
tentang kerusakan yang ditimbulkan dan apa dana itu mampu untuk
merehabilitasi kerusakan yang terjadi. Apakah Pemerintah Kabupaten
TTU pernah mendiskusikan rencana pertambangan itu dengan rakyat
ataukah ini diambil sebagai inisiasi peningkatan Pendapatan Asli
Daerah (PAD). Apakah sudah diperhitungkan dengan berapa besar dana
rehabilitasi yang dibutuhkan?
Kedua, rontoknya
kelembagaan politik setempat digantikan oleh tata kelembagaan yang
patuh kepada aturan-aturan negara. Ini menyebabkan lenyapnya ruang
aspirasi dan partisipasi warga, dalam pengambilan keputusan politik
setempat. Proses politik menjadi ajang legitimasi sosial bagi operasi
tambang di tanah-tanah milik dan wilayah kelola warga. DPRD Kabupaten
TTU telah membentuk Pansus Mangan. Apakah Pansus ini memiliki
kekuatan dalam menyikapi pertambangan di kabupaten TTU? Kekuatiran
yang terbersit adalah adanya kompromi kepentingan antara kekuasaan,
DPRD dan investor. Bila ini terjadi maka masyarakat TTU akan
mengalami permasalahan yang bersentuhan dengan berbagai aspek
kehidupan.
Ketiga, program
Community Development adalah cara yang digunakan untuk menggusur
kelembagaan politik setempet. Ini biasanya dipakai jaringan LSM/ NGO
makanya banyak NGO tidak banyak berkomentar tentang pertambangan atau
kerusakan lingkungan hidup. LSM model ini biasanya sangat akrab
dengan birokrat dan sangat kompromistis. Sejauh pantauan, dapat
dilihat bahwa kelompok civil society yang mestinya dimotori oleh
LSM/NGO di Kabupaten TTU itu tidak dilakukan.
Kesimpulan
Akselerasi pembangunan
melalui pengelolaan sumber daya alam terutama melalui bidang
pertambangan sebagai jawaban untuk peningkatan Pendapatan Asli Daerah
(PAD), penyedian lapangan kerja, percepatan pertumbuhan ekonomi,
percepatan pembangunan desa tertinggal atau pengurangan kemiskinan di
kabupaten TTU perlu dicermati. Para pelaku pertambangan juga selalu
memberikan ilusi-ilusi tentang kemakmuran dan kesejahteraan dari
eksploitasi kekayaan alam yang dikeruk dari bumi Indonesia umumnya
dan Kabupaten TTU pada khususnya adalah mantera yang digulirkan
terus-menerus untuk menghegemoni rakyat bahwa kehadiran industri
tambang mangan mutlak diperlukan.
Dari kenyataan yang ada,
belum pernah ada bukti. Tambang Emas Freeport di Papua hanya bisa
dibanggakan Indonesia sebagai Tambang Emas terbesar tetapi hasilnya
adalah Propinsi Papua menjadi propinsi termiskin. Atau tambang Buyat
Minahasa, masyarakat setempat harus melepastinggalkan tanah warisan
leluhur karena tidak mampu menanggung derita akibat pertambangan.
Prinsipnya, pertambangan
merusak sistem hidrologi tanah sekitarnya melalui penggalian.
Masyarakat hanya akan menjadi penikmat warisan jutaan ton limbah
tambang dan kerusakan lingkungan dan sosial lainnya. Apalagi
dicermati bahwa lingkungan hidup di NTT diambang kegentingan akibat
pemanasan global, global warming dan perubahan iklim, climate change
yang terus terjadi.
Apabila kondisi ini
tidak disikapi secara objektif, baik oleh pemerintah maupun
masyarakat TTU, tidak heran wilayah ini akan mengalami kondisi yang
mengenaskan. Pertama, bumi Biinmaffo berada di antara tiga lempeng
yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng pasifik Pan lempeng Eurosia.
Karena letak ini, maka tak heran wilayah ini sering terjadi bencana.
Kedua, bumi Biinmaffo berada di Pulau Timor yang merupakan gugus
pulau kecil karena itu sangat rentan dengan kehilangan pulau. Ketiga,
bumi Binmaffo tidak hanya bisa dibangun dengan pertambangan.
Kabupaten TTU bisa membangun dengan potensi alam dalam bidang
pertanian dan kelautan yang terkandung di dalamnya. Keempat, bumi
Biinmaffo harus dikembalikan keasriannya dengan menolak seluruh
pertambangan yang sedang diproses, karena pertambangan akan
menghancurkan ekosistem yang ada di Kabupaten TTU. ***
Penulis adalah Direktur WALHI NTT dan Staf pada Pusat Riset Pengelolaan Lingkungan Jiro-Jaro – Maumere.
Email: herrynaif@yahoo.com
Langganan:
Postingan (Atom)