Jumat, 28 Juni 2013

Walhi NTT: Oekopa Lumbung Pangan, Bukan Tambang

Walhi NTT: Oekopa Lumbung Pangan, Bukan Tambang

  • Penulis :
  • Kontributor Timor Barat, Sigiranus Marutho Bere
  • Minggu, 16 Juni 2013 | 00:36 WIB
Tambang mangaan Di Desa Oekopa, Kecamatan Biboki Tanpah, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur. Nampak warga menggali mangan di kedalaman tiga meter. | KOMPAS.COM/SIGIRANUS MARUTHO BERE
KEFAMENANU, KOMPAS.com - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nusa Tenggara Timur (NTT) menilai wilayah Desa Oekupa, Kecamatan Biboki Tanpah, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), NTT, tak layak dijadikan lokasi pertambangan.

Meski demikian kini PT Gema Energi Indonesia sudah memulai aktivitas penambangan mangan di wilayah desa tersebut.

Direktur Walhi NTT, Heribertus Naif, kepada Kompas.com, Sabtu (15/6/2013) malam, mengatakan daerah Oelopa tersebut, selain menjadi lumbung beras juga merupakan daerah penyangga yang menjamin ketersediaan air bagi lahan persawahan bagi daerah Oekopa, Oerinbesi dan Lurasik.

"Pertambangan yang sangat dekat dengan perumahan warga, sumber air dan kawasan hutan akan merusak ekosistem serta berakibat fatal bagi kelangsungan hidup masyarakat. Karena itu dibutuhkan sebuah tata ruang yang jelas," jelas Heribertus.

Menurut Heribertus, secara normatif telah dimandatkan agar pemerintah daerah melakukan penataan ruang, tetapi hingga hari ini pemerintah Kabupaten TTU belum menjalankan mandat tersebut.

"Berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 sebuah pertambangan dapat dilakukan jika mendapat persetujuan masyarakat setempat. Jika ada masyarakat yang tidak setuju, seperti halnya yang terjadi pada pertambangan di desa Oekopa, maka secara hukum, aktivitas pertambangan tidak diperbolehkan di daerah tersebut karena masih dinilai ada konflik agrarian," tegasnya.

Heribertus mengatakan, pemerintah semestinya memediasi agar tidak mengorbankan rakyat terutama berkaitan dengan sumber-sumber penghidupan warga. Apalagi bagi petani, tanah adalah alat produksi yang dijadikan sumber penghidupan.

"Desa Oekopa merupakan salah satu lumbung pangan di Kabupaten TTU. Sehingga tidak dibenarkan bila daerah tersebut dikonversi menjadi kawasan tambang. Hal tersebut bertolak belakang dengan program yang dicanangkan pemerintah yakni gerakan cinta petani menuju pensiun petani dan program padat karya pangan," tambah Heribertus.

"Bila tidak dinilai, Pemkab TTU gagal dalam program tersebut dan tidak memiliki arah. Kiranya Pemkab melalui dinas Pertanian TTU mengidentifikasi daerah-daerah lumbung pertanian agar diberdayakan dan menjadi modal dalam pemenuhan pangan warga TTU. Tidak perlu berharap raskin," sambungnya.

Selain itu, wilayah desa Oekopa merupakan kawasan hutan yang berfungsi daerah tangkapan air yang menghidupi lahan persawahan Oekopa, Oerinbesi, dan Lurasik yang menjadi sumber penghidupan masyarakat setempat.

Aktivitas tambang yang dilakukan PT Gema Energi Indonesia, dinilai akan membawa dampak negatif bagi produktivitas pertanian dan kehidupan warga setempat.

"Potensi pertanian dan peternakan yang ada di Oekopa telah menghidupi warga. Tanpa tambang masyarakat berkelimpahan pangan. Jika wilayah tersebut dikonversi menjadi daerah tambang, maka masyarakat akan kehilangan sumber penghidupan mereka," kata Heribertus.

"Pertambangan juga mengganggu keharmonisan sosial masyarakat, karena ada dua kubu yang memiliki pendapat yang bertolak belakang terkait aktivitas pertambangan yang dilakukan PT. Gema Energi Indonesia. Hal tersebut bisa mengakibatkan konflik sosial. Pemkab TTU semestinya memediasi konflik ini. Karena Pengelolaan Sumber daya alam harus berbasis pada keadilan sosial dan keadilan antar generasi," pungkasnya.

Untuk diketahui, penolakan warga Oekopa dengan kehadiran perusahaan tambang mangan sudah berlangsung sejak tahun 2012 lalu.

Warga juga sudah berulang kali mendatangi DPRD TTU, bahkan mengadu hingga ke DPRD Provinsi NTT. Meski demikian, praktik tambang mangan masih terus berlangsung.
Editor : Ervan Hardoko 
http://regional.kompas.com/read/2013/06/16/00363085/Walhi.NTT.Oekopa.Lumbung.Pangan..Bukan.Tambang

Senin, 24 Juni 2013

Koalisi Bebas Berserikat NTT Tolak RUU ORMAS


PERNYATAAN SIKAP
UU ORMAS HARUS DI CABUT BUKAN DI REVISI

Menanggapi rencana Panitia Kerja (Panja) RUU ORMAS akan melakukan konsultasi publik RUU Ormas di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tanggal 3-4 Juni 2013, maka dengan ini kami yang tergabung dalam Koalisi Kebebasan Berserikat Nusa Tenggara Timur akan menyampaikan saran dan sikap sebagai wujud partisipasi masyarakat.

Konsultasi publik yang dilakukan oleh Panja RUU ORMAS ini terkesan menghambur-hamburkan uang rakyat karena sikap tegas warga NTT yang diundang untuk terlibat dalam konsultasi publik pada Juni 2012 di Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW)  adalah menolak RUU ORMAS dan segera mencabut UU No.8/1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

Sangat disayangkan RUU Ormas yang teramat penting ini dalam konsultasi publik kali ini dilakukan sangat tertutup dengan tidak melibatkan LSM terkait, Organisasi Kemahasiswaan dan Organisasi kemasyarakatan untuk terlibat dalam konsultasi publik di NTT.

Perlu dipahami bahwa kerangka hukum yang ada untuk organisasi yang bergerak di bidang sosial di Indonesia terbagi menjadi dua jenis. Pertama, untuk organisasi tanpa anggota (non-membership organisation), hukum Indonesia menyediakan jenis badan hukum Yayasan yang diatur melalui UU Yayasan. Kedua, untuk organisasi yang berdasarkan keanggotaan (membership-based organisation), hukum Indonesia menyediakan jenis badan hukum Perkumpulan yang masih diatur dalam peraturan kuno Stb.1870-64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtpersoonlijkheid van Verenegingen).

Bentuk Ormas tidak dikenal dalam kerangka hukum yang benar, ini merupakan kreasi rezim Orde Baru yang bertujuan mengontrol dinamika organisasi masyarakat di Indonesia. UU No. 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) lahir dengan semangat ‘mengerdilkan’ dinamika organisasi masyarakat. Bentuk Ormas sendiri adalah bentuk yang sebetulnya tidak memiliki tempat dalam kerangka hukum di Indonesia, namun dipaksakan karena kebutuhan rezim Orde Baru untuk menerapkan konsep “wadah tunggal” nya. Konsep wadah tunggal bertujuan untuk mempermudah upaya kontrol pemerintah. Selain itu, UU Ormas juga memuat ancaman pembekuan dan pembubaran yang  represif tanpa mensyaratkan proses pengadilan yang adil dan berimbang. Tindakan pemerintah semacam ini merupakan warisan dari pemerintahan kolonial.

UU Ormas ini jelas merupakan UU yang salah kaprah, dan salah arah. Untuk itu UU ini seharusnya dicabut, bukan direvisi. Untuk mengatur organisasi yang merupakan sekumpulan orang, DPR dan Pemerintah seharusnya kembali pada kerangka hukum yang benar yaitu UU Perkumpulan. 

RUU Perkumpulan sendiri sudah masuk dalam Prolegnas 2010-2014. Namun RUU Perkumpulan yang telah masuk dalam Prioritas Legislasi tahun 2011 dan secara hukum lebih punya dasar, malah tergeser dengan RUU Ormas yang salah arah,.

Ironisnya, para pengambil kebijakan sampai dengan saat ini tidak berniat untuk mencabut UU Ormas yang salah kaprah ini. Bahkan, sejak tahun 2006 Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri malah terus berupaya menghidupkan UU yang salah kaprah dan tidak efektif ini. Hal ini tentu tidaklah mengherankan, karena Kemendagri sangat berkepentingan untuk mempertahankan kewenangannya terkait kegiatan masyarakat untuk berserikat berkumpul di Indonesia. Pada masa Orde Baru, Ditjen Sospol (kini Ditjen Kesatuan Bangsa dan politik - Kesbangpol), merupakan salah satu ujung tombak rezim Orde Baru dalam mengawasi dinamika dan kebebasan berorganisasi bagi masyarakat. Bila UU Ormas ini dicabut dan dikembalikan kepada kerangka hukum yang benar (diatur UU Perkumpulan di bawah kewenangan Departemen Hukum dan HAM), maka kewenangan Ditjen Kesbangpol terkait organisasi masyarakat akan hilang.

Upaya represif semakin tampak jadi benar ketika Pemerintah seperti tak berdaya menghadapi berbagai kasus kekerasan yang dikaitkan dengan beberapa Ormas. Pasca rentetan tindak kekerasan beberapa waktu lalu, Presiden SBY bahkan sampai memerintahkan pada aparat penegak hukum agar mencarikan jalan yang sah atau legal untuk membubarkan Ormas perusuh.

Tidak tegasnya aparat penegak hukum, dalam hal ini Kepolisian, tidak ada kaitannya dengan UU Ormas maupun upaya untuk merevisinya. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kita sudah lebih dari cukup untuk menjerat pelaku, yang turut serta, yang memerintahkan suatu tindak kejahatan, ataupun yang menyatakan permusuhan ataupun kebencian terhadap suatu golongan secara terbuka di muka umum. Seringkali tindak kejahatan itu bahkan tampil gamblang ditayangkan di layar kaca, sehingga seharusnya tidak lagi ada alasan bagi Kepolisian untuk tidak menindak tegas para pelaku.

Buruknya pola pikir dari pengambil kebijakan sebagaimana yang telah digambarkan diatas tergambar dengan jelas dalam Naskah akademik RUU ORMAS. Agumentasi utama dari pengambil kebijakan untuk menghadirkan RUU ORMAS bertolak dari latar belakang bahwa “Pesatnya perkembangan organisasi masyarakat paska reformasi, tidak diiringi dengan penyesuaian peraturan. Ditambahkan Bahwa Undang- Undang 5/1985 tentang Organisasi Kemayarakatan sudah tua dan perlu “disempurnakan”. Ditambahkan, bahwa telah terjadi berbagai “aktivitas organisasi masyarakat yang oleh sebagian kalangan dinilai mengganggu stabilitas sosial masyarakat. Fakta-fakta munculnya berbagai  anarkisme, seperti di Cikeusik, Pandeglang, Banten terkait konflik jemaat  Ahmadiyah dan anarkisme di Temanggung Jawa Tengah, memicu desakan untuk melakukan pembubaran organisasi masyarakat yang dianggap terlibat dalam peristiwa tersebut.”

Dengan naskah akademik yang seperti ini, maka harus tegas dikatakan bahwa perancang naskah akademik ini telah gagal mendiagnosa masalah-masalah social yang ditimbulkan oleh ormas2 bermasalah. Di samping itu, RUU Ormas secara epistimik tidak diperlukan karena ormas adalah kebutuhan organik manusia yang juga di jamin oleh UUD 1945. Buruknya naskah akademik ini, juga  menunjukan bahwa Parlemen Indonesia saat ini kehilangan semangat reformasi karena secara telak gagal mengawal proses lahirnya legislasi-legislasi yang pro reformasi, sebaliknya mengkianati semangat reformasi, sebagaimana terlihat dari draft RUU versi Badan Legislasi yang saat ini di bahas di DPR.

Berdasarkan paradigm diatas, maka kami dari Koalisi kebebasan berserikat Nusa tenggara Timur menyatakan menolak RUU ORMAS dan mendesak pemerintah dan DPR untuk:
1.Mencabut UU No. 8 Tahun 1985, tentang Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS) dan mengembalikan pengaturan mengenai organisasi masyarakat pada kerangka hukum yang benar dan relevan yaitu berdasarkan keanggotaan (Membership-Based Organization) yang diatur dalam UU Perkumpulan dan yang tidak berdasarkan keanggotaan (Membership-Based Organization) diatur dengan UU Yayasan.
2.Menghentikan pembahasan dan pengesahan RUU ORMAS, serta mendorong pembahasan RUU Perkumpulan yang sudah masuk dalam program legislasi nasinal (Prolegnas) 2010-2014.


Kupang, 2 Juni 2013
Koalisi Kebebasan Berserikat Nusa Tenggara Timur

Kontak Person:
Elcid Li/IRGSC - (HP: 081219650415)
Merry Kolimon/JPIT - (HP:  081339469002)
Winston Rondo/CIS Timor - (HP: 0811383960)
Paul SinlaEloE/PIAR NTT - (HP: 085239052689)

 KOALISI KEBEBASAN BERSERIKAT NUSA TENGGARA TIMUR
PIAR NTT, IRGSC, CIS Timor, Forum Academia NTT, LBH APIK NTT, RUMAH PEREMPUAN, BP.Pemuda GMIT Sinode, WALHI NTT, Yayasan Cemara, Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT), INCREASE, Forum Peduli Aspirasi Rakyat (FPAR), Forum Karya Ampera, Himpunan Kelompok Serabutan Oebobo (HKSO), Komunitas Pasar Kuanino (KPK), GMKI Cab. Kupang, Forum Kebijakan NTT, KoAR NTT, Serikat Persaudaraan Guru (SPG) Kota Kupang, Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) NTT, Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI), Kampanye We Can NTT, Komunitas Pace Maker Kupang (KOMPAK)
Sekretariat: Jln. Lalamentik, RT.32/RW.10, Kel. Fatululi, Kec. Oebobo, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, Tlp/Fax: 0380-827917