Selasa, 30 Juli 2013

Kerusakan Lingkungan Oekopa Harus Segera Direklamasi




Kerusakan Lingkungan Oekopa Harus Segera Direklamasi


Secara historis-kultural, desa Oekopa termasuk wilayah kevetoran Tamkesi (Biboki). Suku yang dominan di wilayah itu adalah Usatnesi Sonaf’Kbat, Soanbubu, Suilkono selain itu ada suku Monemnasi, Tasi, Amteme Taekab, Amsikan, Naitsea, Leoklaran, Taslulu, Usboko. Sedangkan secara Administrasi-geografis, desa Oekopa terletak di Kecamatan Biboki Tanpah, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yang mana sebelah Utara Berbatasan dengan dengan desa Tualene, Selatan dengan desa Oerinbesi, Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Belu, Sebelah Barat berbatasan dengan desa Tautpah. Jumlah penduduk desa Oekopa, 1.271 jiwa (2010), 1.563 (2011).

Mayoritas penduduk desa Oekopa berprofesi petani sawah.

Oekopa dikenal sebagai salah satu pemasok beras bagi masyarakat Kabupaten TTU dan Kabupaten Belu. Seyogyanya, Oekopa dan Oerinbesi diidentifikasi sebagai daerah potensial pertanian (persawahan) dalam kerangka mendukung program pertanian yang telah dicanangkan sebagai salah satu program strategis Pemerintahan Kabupaten TTU saat ini, yakni: Program Padat Karya Pangan (PKP) dan Program Sari Tani yang sedang gencar dikampanyekan. Tanpa dukungan apa pun dari pemerintah Kabupaten TTU, Oekopa tetap mengahasilkan beras yang akan didistribusikan di Kabupaten TTU dan Belu.
Potensi persawahan Oekopa dan Oerinbesi didukung kawasan penyanggah yang mana terdapat enam sumber mata air, yakni: Oetobe, Oenenas, Oecikam, oeekam, Oeoni dan Oesanlat. Keenam sumber mata air tersebut selain digunakan untuk kebutuhan warga juga untuk mengairi persawahan Oekopa seluas 840 ha dan peternakan.

Selain itu, kawasan itu menjadi kawasan resapan air (water scatchman area) bagi desa Oekopa dan lima (5) desa lainnya, seperti: (Tualene, Oerinbesi, Tautpah, Taunbaen dan Biloe). Bahkan juga menjadi salah satu kawasan penyangga untuk hamparan persawahan Lurasik, Inggareo, Matamaro.
Kawasan itu pun menjadi kawasan penggembalaan ternak yang mana setelah panen ternak itu akan digembalakan di wilayah persawahan tetapi ketika persawahan dikelola maka ternak akan digembalakan di wilayah tersebut. Desa Oekopa memiliki sapi 752 ekor. Belum terhitung binatang lainnya, seperti kerbau, kambing, babi dan lain-lain yang sedang dimiliki rakyat Oekopa.

Malah secara historis-cultural, wilayah ini dipandang warga sebagai kawasan yang harus dilindungi karena di kawasan itu ada tempat ritus adat (fatukanaf dan Oekanaf) dari beberapa suku yang ada di Oekopa. Itu berarti, pengelolaan lingkungan berasas pada sebuah kearifan lokal yang bernuansa nilai perlindungan ekologis (kosmosentris) perlu dilestarikan dan diakomodir dalam konsep pengeloaan sumber daya alam.Hubungan timbal-balik manusia dengan alam dipandang dalam sebuah keadilan demi pewarisan lingkungan bagi generasi selanjutnya.

Kendatipun demikian profil Oekopa, pada tahun 2012 Pemerintah Kabupaten TTU dalam Surat Bupati TTU No. Ek.540/102/IV/2012 tentang Ijin Prinsip Pembangunan Pabrik Pengolahan dan Pemurnian Biji Mangan kepada PT. Gema Energy Indonesia.

Dari aktivitas pertambangan melalui pemboran itu telah meninggalkan lubang-lubang. Menurut warga, peninggalan lubang ini menjadi bumerang karena saat musim hujan digenangi air dan menjadi bumerang bagi masyarakat Oekopa yang mana banyak ternak yang tenggelam dan mati.

Menyikapi adanya permasalahan tersebut, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTT sebagai organisasi independen yang bekerja independen dalam isu lingkungan hidup, Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi ingin menggarisbawahi beberapa hal diantaranya: Pertama, Pemerintah Kabupaten TTU sebagai pihak pemberi Ijin Usaha Pertambangan (IUP) kepada PT. Gema Energi Indonesia (GEI) perlu bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi di sana. Sebab sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Pasal 1 (1) menyatakan bahwa: lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. (2): Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

Dari dua pasal ini, dilihat bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi di Oekopa adalah pelanggaran hukum kalau semua kerusakan itu tidak direklamasi oleh Pemerintah Kabupaten TTU dan PT. Gema Energi Indonesia (GEI); Malah secara tegas dalam Undang-Undang No.4 Tahun 2009 Pasal 1 (26) menyatakan bahwa: Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan dan memperbaiki kualitas liingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukkannya; sedangkan, kegiatan paska tambang adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebahagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah pertambangan?

Dari pemahaman ini, pada pasal 99 (1) Undang-Undang No. 4 tahun 2009 dinyatakan, bahwa “setiap pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan rencana reklamasi dan rencana pasca tambang pada saat mengajukan permohonan IUP Operasi Produksi dan IUPK operasi Produksi. (2) Pelaksanaan reklamasi dan kegiatan pasca tambang dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan pasca tambang;
Itu berarti jelas bahwa Kegiatan reklamasi pasca tambang adalah sebuah tanggung jawab yang harus dituntaskan sebelum meninggalkan Wilayah Pertambangan. Malah pada pasal 100 juga ditegaskan bahwa “pemegang IUP dan IUPK menyediakan dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pasca tambang”.
Karena itu, Pemerintah Kabupaten TTU dan PT. GEI segera wajib melakukan reklamasi terhadap lubang-lubang yang telah ditimbulkan akibat adanya pertambangan mangan di sana, seperti tertuang dalam Surat Bupati TTU No. Ek.540/102/IV/2012 tentang Ijin Prinsip Pembangunan Pabrik Pengolahan dan Pemurnian Biji Mangan kepada PT. Gema Energy Indonesia.

Kedua, Kesadaran kritis rakyat Oekopa untuk menuntut akan adanya reklamasi atas kerusakan yang terjadi di Oekopa adalah hal positif yang harus didukung berbagai pihak karena ini adalah proses pembelajaran menarik mengenai suatu kebiasaan dimana kerusakan lingkungan itu tidak dipulihkan setelah sebuah proses pertambangan kendatipun dalam berbagai produkuk hukum mengatur mengenai hal itu.

Ketiga, Pemerintah Provinsi NTT dan Pemkab TTU pada khususnya untuk segera melakukan evaluasi dan monitoring terhadap seluruh pertambangan agar mengidentifikasi semua kerusakan yang timbul dan menyiapkan rumusan stategi untuk melakukan pemulihan dan penyelamatan ekologi yang tersisah.
Selain itu perlu dichek seberapa jauh perkembangan yang didatangkan dari pertambangan apakah sungguh memberikan kesejahteraan. Apabila dalam evaluasi dan pemantauan itu, ternyata ditemukan bahwa pertambangan tidak memberikan nilai tambah bagi rakyat dalam upaya memperbaiki kualitas hidup rakyat maka sekiranya Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten mendukung program-program yang mengutamakan kepentingan rakyat seperti:Program Padat Karya Pangan (PKP) dan Program Sari Tani. Menurut kami, apabila program ini serius dijalankan tentunya akan memberi dampak positif bagi kehidupan petani, demikian ungkap Walhi NTT.