Selasa, 01 Oktober 2013

Bersama Aktivis WALHI Berkarya untuk Lingkungan Ayo, Selamatkan Alam Kita!


Bersama Aktivis WALHI Berkarya untuk Lingkungan

Ayo, Selamatkan Alam Kita!

LEMBAGA Swadaya Masyarakat (LSM) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), kembali melakukan konsolidasi regional (Konreg) di Kota Kupang. Tentunya, dengan mengusung tema tentang lingkungan hidup, yaitu bagaimana memetakan potensi daerah kepulauan regional Bali, Nusa Tenggara dan Maluku Utara (Banusrama), dalam memperluas akses terhadap sumber daya alam (SDA).

Konreg digelar di aula Hotel Dewata Kupang yang beralamat di Jalan Tompello selama dua hari yaitu (26/27/9) dengan tema “Mempertegas akses dan kontrol sumber daya alam masyarakat pulau-pulau kecil”.

Kegiatan ini bertujuan agar terajut kesadaran kolektif warga region Banusrama dalam upaya mendorong lahir dan tegaknya kedaulatan atas akses dan aset sumber daya pesisir. Selain, terajutnya jaringan kerjasama antar stakeholder dalam upaya penyelamatan wilayah pesisir Banusrama.

Hadir Nur Hidayati, Kepala Depertemen Kampanye dan Advokasi Eksekutif Nasional (Eknas) Walhi. Selain itu tuan rumah Walhi NTT, hadir perwakilan dari Eksekutif Daerah (Ekda) Walhi Propinsi Bali, NTB dan Maluku Utara.
Nur Hidayati, dalam kegiatan itu mengaku konreg juga bertujuan agar semakin memperluas gerakan penyelamatan pesisir region Banusrama. Di samping adanya piagam dan road map bersama yang memuat prinsip-prinsip pengelolaan perairan (pesisir) yang berkeadilan serta komitmen kerja bersama dalam agenda penyelamatan pesisir.

Sehingga pada akhirnya dapat terbentuk jejaring konsolidasi Walhi se-region Banusrama dan adanya road map bersama pengelolaan pesisir dan prasarana pendukung bagi upaya-upaya mewujudkan pesisir yang akan diintegrasikan dalam rencana aksi masing-masing dan juga adanya penemuan core-campaign untuk regio Banusrama.

Dijelaskan, gugus sunda kecil (Bali, NTB dan NTT) dan Maluku Utara, terdiri dari lebih kurang 5.037 pulau dan berpenduduk 13. 963.958 jiwa. Sebagaimana daerah kepulauan lainnya, Sunda Kecildan Maluku merupakan daerah vulkanik aktif dan memiliki patahan lemping yang muda menimbulkan gempa bumi dan tsunami. “Daerah resapan air lebih sempit sedangkan tingkat eropsi yang lebih tinggi. Sebagian besar wilayah pulau terdiri dari pesisir dan laut. Iklim regional merupakan iklim makro yang sangat dipengaruhi oleh keadaan topografi dan laut yang kemudian menimbulkan iklim musiman yang khas dengan suhu yang relatif kurang jika dibandingkan pulau besar. Kontur daratan yang berpegunungan dan pesisir yang sangat luas menjadikan Sunda Kecil dan Maluku memiliki kekayaan alam yang berlimpah,” jelas Hidayati.

Menurut Hidayati, lingkungan lebih terspesialis dengan proporsi jenis endemik yang lebih tinggi dibandingkan komunitas keseluruhan yang secara kuatitatif miskin. Dan, hal tersebut menurutnya juga berarti Sunda Kecil dan Maluku memiliki kerentanan ekolgoi, fisik serta sosial budaya.

Baginya kesamaan karakteristik yang menyatakan Bali dan Nusa Tenggara dan Maluku adalah kesamaan geografis dimana merupakan pulau-pulau kecil dengan ciri khas yang sama, diantaranya luasan lahan dan hutannya yang terbatas, tapi memiliki keragaman hanyati yang rendah, juga keragaman sosial ekonomi yang berkembang mengikuti karakteristik sebuah pulau. “Pulau kecil yang memiliki relasi yang khas antara satu pulau dengan pulau tetangganya, dalam hal saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Sunda Kecil dan Maluku yang merupakan pulau-pulau kecil, memiliki keunikan antar satu pulau dengan pulau lainnya, baik dari segi entitas, keanekaragaman hayati dan sumber daya alam-nya. Keragaman tersebut menumbuhkan keragaman budaya dari relasi manusia dengan alam-nya,” Jelas Hidayati.

Ditambahkan, sebagai kawasan yang terdiri dari pulau-pulau kecil, Sunda Kecil dan maluku, memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap ancaman geologis, dinamika sosial politik serta ekonomi budaya di tingkat lokal, eksploitasi dan ekstraksi SDA Pesisir dan daratan, pasar bebas, pemanasan global dan perubahan iklim. Untuk itu, dibutuhkan model pendekatan pengelolaan SDA yang berbeda dalam upaya memastikan terjanganya sumber-sumber kehidupan rakyat. (obed gerimu/semy)


Timex, 29 September 2013

Pertumbuhan Pertambangan di NTT


PERTUMBUHAN PERTAMBANGAN DI NTT

Dalam beberapa tahun terakhir arus investasi pertambangan di NTT meningkat pesat. Sesuai dengan data kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia, di NTT terdapat 56 Ijin Usaha Pertambangan yang telah disesuaikan dengan Undang-Undang Pertambangan dan peraturan Pemerintah No. 22 dan 23 Tahun 2011.

IUP itu terdiri dari 2 IUP yang dikeluarkan Gubernur (IUP) Propinsi, satu (1) di Kabupaten Kupang, 14 IUP di Kabupaten Belu, di Alor ada 9 IUP, Ende, 16 IU, Manggarai (14) IUP. Tetapi secara faktual, pertambangan hampir dilakukan di seluruh di Kabupaten di NTT misalnya pertambangan mangan (14 IUP) di Kabupaten TTU, Pertambangan Emas di Lai Wanggi Wanggameti (kabupaten Sumba Timur) dan Kawasan Manupeu Tana Daru (Kabupaten Sumba Tengah).
Ada juga pertambangan emas di Batu Gosok, Waning dan Tebedo (Kabupaten Manggarai Barat), Pertambangan Emas di Lembata, Tambang Migas di Kolbano yang mencakupi 16 Kecamatan di Kabupaten TTS dan 2 Kecamatan di Kabupaten Kupang. Selain itu, ada 23 IUP di Kabupaten Manggarai, 13 IUP di Kabupaten Manggarai Timur dan 10 IUP di Kabupaten Manggarai Barat. 

Sumber: timex, 29 September 2013

Negara Dinilai Gagal, Harus Jamin Tersediannya Ruang Hidup yang Memadai


Negara Dinilai Gagal

Harus Jamin Tersediannya Ruang Hidup yang Memadai

SAAT ini cita-cita kebangsaan yang memimpikan tegaknya kedaulatan ber-Negara dan rakyat atas sumber-sumber kehidupannya, bahkan jika dirunut sejak proklamasi 17 Agustus 1945, sudah terlalu lama rasanya menunggu sebuah perubahan atau pembaharuan yang benar-benar bisa menjanjikan masal depan bangsa yaitu: bangsa yang secara terus menerus mengalami perbaikan fundamental untuk mewujudkan cita-cita bersama.

Nur Hidayati dari Eksekutif Nasional (Eknas) Walhi, mengatakan kerusakan sumber-sumber kehidupan rakyat baik di darat maupun di laut semakin masif, sehingga negara telah gagal dalam menjamin tersedianya ruang hidup yang memadai bagi warganya.

Secara khusus di kawasan pesisir Sunda Kecil dan Maluku, jelas Hidayati, ancaman demi ancaman terus menghantui kehidupan. Ancaman tersebut datang dari sistem ekonomi-politik yang justru lebih memberi ruang dan peluang bagi korporasi dari warga, untuk mengeruk potensi-potensi pesisir melalui usaha-usaha tambang, pariwisata, budidaya dan lainnya yang justru semakin membatasi ruang gerak dan hidup warga.

Menurutnya, situasi tersebut bukanlah berjalan tanpa “perlawanan” warga namun upaya warga untk mempertahankan sumber-sumber kehidupannya justru berujung pada kriminalisasi, intimidasi serta teror. Kondisi tersebut semakin mempertegas posisi negara yang gagal melindungi kepentingan warganya.

Disebutkan, setidaknya terdapat dua aras penting agar “gerakan” terkristalisasi menjadi kemenangan, yaitu upaya-upaya mempertahankan sumber-sumber daya pesisir mesti dibangun menjadi kesadaran kolektif atau kesamaan platform yang terintegrasi dalma rencana aksi masing-masing sehingga cita-cita untuk mewujudkan tegaknya keadilan pengelolaan pesisir, tidak lagi terfragmentasi dalma batas ruang dan waktu.

Selain itu, bermunculannya gerakan-gerakan warga dan organisasi masyarakat sipil yang secara terus menerus memperjuangkan keadilan pesisir, haruslah dapat dirajut dalam jejaring konsolidasi. Sehingga ke depan perjuangan untuk keadilan pesisir, serta memiliki daya paksa yang jauh lebih kuat dari saat ini. “Hal ini penting untuk dilakukan untuk lahirnya produk-produk kebijakan yang jauh lebih kuat dari saat ini dan juga untluk lahirnya produk-produk kebijakan yang pro keadilan, pesisir memiliki daya dobrak yang jauh lebih dahsyat dari saat ini, sehingga dapat memberikan pukulan-pukulan berarti bagi kekuatan-kekuatan penghambat, demi tegaknya keadilan pesisir. Jika dua hal ini dikerjakan secara baik, tentunya kita cita-cita tidak hanya menjadi mimpi pastinya melahirkan kelompok-kelompok warga yang akan meretas segala ketidakmungkinan menjadi mungkin tandas Nurhidayati. 

Timex, 29 September 2013


Hentikan Tambang, Lindungi Ekosistem

DAERAH Kepulauan Sunda Kecil dan Maluku memiliki garis pantai terpanjang di antara regional Indonesia. Hal tersebut setidaknya berarti bahwa Sunda Kecil dan Maluku memiliki kekayaan maritim yang cukup untuk mensejahterakan masyarakat pesisir.

Namun kondisi tersebut ternyata tidak berlaku otomatis, dimana fakta-fakta lapangan justeru menunjukkan bagaimana masyarakat pesisir hidup dalam keterbelakangan sosial serta ekonomi.

Direktur Walhi NTT, Herry Naif, mengatakan bahwa di NTT yang juga merupakan wilayah kepulauan, memiliki perairan laut yang sangat kaya potensi. Salah satunya adalah terumbu karang. Kekayaan ini tidak tidak disertai dengan upaya pelestarian pengembangan ekosistem laut termasuk mangrove, kestraoni dan padang lamun.

Padahal, menurut Herry Naif terumbu karang memiliki manfaat yang sangat luar biasa, misalnya sebagai tempat ikan memijar, berkembang biak, dan tempat ikan mencari makan. Keberadaan terumbuh karang hampir merata di semua kabupaten/kota di NTT. Namun, yang cukup significant terdaftar di sekitar Teluk Kupang, Teluk Maumere, Riung 17 Pulau, pantai Utara, Timur dan selatan Sumba, Alor Lembata dan Labuan Bajo.

Menurutnya NTT termasuk daerah yang memiliki terumbu karang yang cukup baik di Indonesia. Namun dalam perkembangan dapatn disinyalir oleh para peneliti, bahwa kurang dari 33,4 persen saja yang masih bagus.
Itu berarti, terumbu karang di NTT juga mengalami kerusakan akibat aktivias penambangan karang, pengangkapan ikan degnan alat tangkap terlarang, pengeboman, penggunaan bahan beracun ditambah lagi lemahnya koordinasi dan pengawasan antar sektor pemangku kepentingan. Belum lagi, kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang urgensitas pelestarian terumbu karang, buangan limbah dan sampah rumah tangga.

Herry menyebutan, NTT sebetulnya merupakan daerah yang memiliki potensi perairan yang seharusnya menjadi modal bagi pemerintah provinsi untuk dikelola dan dilestarikan sebagai kekayaan. Dan, keberadaan pesisir NTT yang sebelumnya hampir bersih dari pencemaran, kini semakin terancam dengan masuknya industri pertambangan.

Disebutkan, peluang investasi pertambangan dilihat sebagai akses pengelolaan SDA untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD seakan menjadi pra-syarat mutlak untuk mendapatkan kue pembangunan. Akibatnya, pemerintah daerah mengmbil jalan pintas untuk meningkat PAD dengan masifnya eksploitasi SDA hampir di seluruh wilayah NTT.

Kondisi ini pun, jelas Herry dialami di NTT, yang mana hampir sebagian pemerintah kabupaten melakukan kontrak kesepahaman dengan investor tambang dengan argumentasi peningkatan PAD, dan aktivitas pertambangan pun tak kalah dilakukan di seluruh wilayah kepulauan NTT. Misalnya jumlah pemohon ijin di Kabupaten Kupang sampai bulan Desember 2010 terdata 80 persen yang rata-rata sudah beroperasi.

Disebutkan jumlah peromohonan ijin di Kabupaten TTS ada 126 (IPR dan IUP), dimana tiga perusahanan telah mendapatkan IUP produksi yaitu PT. Soe Makmur Resourcess (2010), PT. Elang Perkasa Resourcess dan PT. Nisso Steel Indonesia (2011). Sedangkan di Kabupaten TTU jumlah permohonan ijin 27 IUP eksplorasi, 112 IPR dan empat perusahaan telah mendapat IUP eksplorasi. Dua diantaranya adalah PT. Elang Perkasa Resourcess Indonesia dan PT. Elgari Perkasa Resourcess Indonesia. “Di Kabupaten Belu ada 89 perusahaan. Ada pertambangan minyak di blok migas Kolbano yang mencakupi 16 Kecamamatan di Kabupaten TTS dan dua kecamatan di Kabupaten Kupang oleh PT. Eny West Timor, sebut Herry.

Sedangkan di Pulau Sumba, khusus Kabupaten Sumba Timur dan Sumba Tengah mencakupi kawasan Lai Wanggi Wanggameti dan Kawasan Manupeu Tanadaru.

Sedangkan di Pulau Flores, ada pertambangan mangan di Sirise dan Torong Besi di Kabupaten Manggarai yang memasuki areal kawasan hutan lindung. Ada juga pertambangan biji besi dan batu bara di Riung, Kabupaten Ngada yang merupakan kawasan penyangga untk kawasan pariwisata 17 pulau.
“Ada pula pertambangan emas di Tebedo dan Batu Gosok di Kabupaten Manggarai Barat, serta pertambangan emas di Pulau Alor, daerah yang sering dikunjungi bencana gempa bumi. Termasuk pertambangan emas di Pulau Lembata yang mendapatkan perlawanan rakyat dan Gereja yang kemudian surat keputusan Bupati harus dicabut, “sebut Herry.

Selama ini, jelas Herry, beberapa pertambangan emas di Lai Wanggi Wanggameti Kabupaten Sumba Timur dan Manupeu Tana Daru, dimana kedua tempat ini adalah kawasan lindung yang terdaftar sebagai Taman Nasional.
Sedangkan tambang mangan di Sirise dan Torong Besi, sementara dalam proses hukum dimana ada gugatan class action dari warga setempat. “Di Kabupaten Manggarai Barat, semua ijin usaha pertambangan (IUP) dicabut dan ditolak permohonannya oleh Bupati Agustinus Dula” imbuhnya.

Bagi Herry, dari data yang ada terlihat bahwa NTT masif dilakukan pertambangan. Dia menilai, pertambangan hampir menjadi pilihan bidang yang dikembangkan di NTT, pragmatis. Padahal, dalam sebuah kajian yang lebih luas dan terbukti bahwa pertambangan membawa degradasi kualitas lingkungan yang luar biasa.

“Hutan yang dilindungi dengan aturan adat dan Undang-undang Kehutanan akan hancur, hanya untuk memenuhi kepentingan sesaat. Tidak heran, dimana-mana terjadi konflik vertikal antara pemerintah dan masyarakat. Kesulitan air untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Banyak lahan pertanian rakyat dicaplok perusahaan. Kualitas kesehatan masyarakat makin menurun, hilangnya kearifan lokal akibatnya masuknya nilai-nilai luar. Dan masih banyak lagi masalah yang timbul dan bisa dilitanikan ,” urai Herry Naif. (Obed Gerimu/Semy)

sumber: timex, 29 September 2013

Selamatkan Pulau-pulau Kecil dari Ancaman Perubahan Iklim

Selamatkan Pulau-pulau Kecil dari Ancaman Perubahan Iklim

Selamatkan Pulau-pulau Kecil dari Ancaman Perubahan Iklim

Kupang, suaraflores.com, – Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Nusa Tenggara Timur (WALHI NTT),  Heribertus Naif, mengatakan, pulau-pulau kecil harus diselamatkan sedini mungkin. Karena, ditengah permasalahan pemanasan global dan perubahaan iklim yang berakibat pada ketersediaan air dan pangan menjadi hal yang krusial. Dengan kondisi ini, semua pihak dituntut untuk berperan dalam mendorong upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahaan iklim. Oleh karena itu, penyelamatan pulau-pulau kecil yang terurai dalam kajian daya dukung dan daya tampung lingkunan menjadi hal krusial.

“Artinya, bahwa kita perlu mengetahui seberapa luas, kawasan hutan dan resapan, yang mana menjadi water scathaman area (kawasan penyimpan air), Mustahil, ada air tanpa hutan,” katanya kepada suaraflores.com, Selasa (1/10/2013), di Kantor Walhi  NTT, Kota Kupang.

Heribertus Naif mengatakan, gugus Sunda Kecil (Bali, NTB dan NTT) dan Maluku  serta Maluku Utara, terdiri dari lebih kurang 5. 037 pulau, dan berpenduduk 13. 963. 958 jiwa. Sebagaimana daerah kepulauan lainnya, Sunda Kecil dan Maluku merupakan daerah vulkanik aktif dan memiliki patahan lempeng yang mudah menimbulkan gempa bumi dan tsunami. Daerah resapan air lebih sempit, sedangkan tingkat erosi lebih tinggi. Sebagian besar wilayah pulau, terdiri dari pesisir dan laut. Iklim regional merupakan, iklim mikro yang dipengaruhi keadaan topografi dan laut.  Kemudian menimbulkan iklim musiman yang khas dengan suhu yang relatif panas, dan curah hujan yang relatif kurang, jika dibandingkan pulau besar. Kontur daratan yang berpegunungan, dan pesisir yang sangat luas menjadikan Sunda Kecil dan Maluku memiliki kekayaan alam (hayati, mineral dll) yang berlimpah.

Dia mengatakan, lingkungan lebih terspesialisasi dengan proporsi jenis endemik yang lebih tinggi dibandingkan komunitas keseluruhan yang secara kuantitatif miskin. Hal tersebut juga berarti, Sunda Kecil dan Maluku memiliki kerentanan ekologis, fisik serta sosial-budaya.

Kesamaan karakteristik yang menyatukan Bali, Nusa Tenggara dan Maluku adalah kesamaan geografis (merupakan pulau‐pulau kecil) dengan ciri khas sama. Di antaranya, luasan lahan dan hutannya yang terbatas, dan memiliki keragaman hayati yang rendah, tetapi memiliki keragaman sosial, budaya dan ekonomi, yang pluralis seturut karakteristik sebuah pulau.

Mantan Manajer Eksekutif Walhi NTT ini menambahkan, pulau kecil juga memiliki relasi kebergantungan antara satu pulau dengan pulau tetangganya, agar saling memenuhi kebutuhan. Sunda Kecil dan Maluku, memiliki keunikan antar satu pulau dengan pulau lainnya. Baik dari segi etnisitas,  keanekaragaman hayati, dan sumber daya alamnya. Keragaman tersebut  menumbuhkan  keragaman  budaya  dari  relasi  manusia  dengan  alamnya.
Selain itu, sunda Kecil dan Maluku memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap ancaman geologis, dinamika sosial politik serta ekonomi budaya di tingkat lokal maupun nasional, terhadap ekspansi eksploitasi dan ekstraksi sumber daya alam (Pesisir dan daratan) untuk memenuhi kebutuhan pasar bebas.

Wacana pemanasan global dan  perubahan iklim yang lagi santer dibicarakan menjadi kerisauhan warga pulau-pulau kecil. Karena itu, dibutuhkan model pendekatan pengelolaan Sumber Daya Alam yang berbeda dengan pulau-pulau besar dalam upaya memastikan terjaganya sumber-sumber kehidupan rakyat. Model pengelolaan sumber daya alam bias pulau besar, sejak lama tidak disadari sebagai sebuah permasalahan yang tidak melihat daya tampung dan daya dukung lingkungan. Sebab, pulau-pulau kecil memiliki kerentanan terhadap ancaman perubahan ikllim.

Lebih lanjut dia menambahkan, bahwa evaluasi atas Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menjadi fundamen untuk menentukan ruang kelola yang sesuai dengan potensi kewilayahan. Bukannya serampangan dilakukan pengelolaan, kuatirnya akan terjadi overlapping (tumpang tindih) wilayah kelola yang tidak sesuai peruntukannya.

Selain itu, juga dibutuhkan kerja sama antar instansi pemerintah yang berkorelasi dengan isu lingkungan hidup, agar dilakukan sebuah kajian yang komprehensif.

Nilai kearifan lokal yang kosmosentris hendaknya dijadikan sebagai sumber inspirasi, agar diakomodir dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Untuk mendukung itu, masyarakat kepulauan harus dijadikan sebagai subjek dalam pengelolaan sumber daya alam, bukannya dijadikan sebagai penonton. (nes)

http://suaraflores.com/selamatkan-pulau-pulau-kecil-dari-ancaman-perubahan-iklim/