Selasa, 25 November 2014

WARGA BESIPAE SELENGGARAKAN UPACARA BERKAT BENIH

Kupang - Walhinews, Warga komunitas besipae selenggarakan berkat benih. Komunitas adat besipae, desa linzamnzutu, kecamaztan Amanuban Selatan, Kabupaten TTS, di tengah kesibukannya dalam mempersiapkan kebun pangannya. Para warga menyempatkan diri melakukan upacara berkat benih yang dipimpin oleh Pdt. Yonathan Selan (sabtu, 18 okt). Kegiatan yang dihadiri enampuluhan warga dan beberapa staf Walhi NTT. Pada acara berkat benih, pdt. Yonathan menyatakan bahwa, besipae diumpamakan sperti umat Israel. Yang awalnya berada dalam penindasan. Tapi skarang berada di kanaan penuh dengan susu-madu. Tapi smua ini harus didukung dengan kerja keras. Karena itu, pada upacara ini sy meminta kita sebagai petani untuk slalu mensykuri anugerah berlimpah yang diperoleh dari alam ini.

Lebih lanjut, dilakukan penchekan persiapan bibit yang dimiliki warga oleh ketua Ita PKK (Ikatan Tokoh Adat Pencari kebenaran dan Keadilan) Imanuel Tampani. Dari hasil identifikasi terhadap bibit yang dipersiapkan, yakni jagung, kacang-kacangan, kacang merah, kacang tanah, kacang arbila, kacang hijau, kacang turis, shorgum dengan beberapa variannya, lombok, tomat, bengkuang, talas, pepaya, bawang merah, bawang putih. Dan masih ada varian pangan lokal yang tidak diketahui nama indonesinya.

Sedangkan, Herry Naif, Direktur Walhi NTT, memberikan apresiasi kepada petani di komunitas besipae yang terus berjuang untuk memenuhi kebutuhan pangan. Bahwa, tanah adalah alat produksi bagi petani. Tak ada nilainya bila warga mereclaiming dan kemudian hidupnya. Orang besipae harus menunjukan jatidirinya sebagai petani yang bverdaulat dalam kebutuhan pangan. Di sisi lain, para petani juga diminta agar selalu menjadi petani hijau "green farmers". Oleh karena itu, selain mempersiapkan kebun pangan, perlu dipersiapkan pohon2 penghijaun yang mendatangkan air, seperti pohon beringin, lada dan pohon ara. Dan perlu ditanam pohon umur panjang, sperti jeruk, alpukat, nangka yang bernilai ekonomis bagi masa depan. Oslan Purba Mai Jebing

H

Gubernur NTT Marah, Iklan Lifebuoy Dianggap Eksploitasi Kemiskinan NTT





Gubernur NTT Marah, Iklan Lifebuoy Dianggap Eksploitasi Kemiskinan NTT

Iklan 5 tahun bisa untuk NTT di televisi nasional yang diprotes masyarakat dan Gubernur NTT.
Iklan 5 tahun bisa untuk NTT di televisi nasional yang diprotes masyarakat dan Gubernur NTT. (sumber: Suara Pembaruan/Yoseph Kelen)
Kupang - Iklan PT Unilever Indonesia melalui merk sabun Lifebuoy mengampanyekan program "Lima Tahun Bisa untuk Nusa Tenggara Timur (NTT)" menuai protes dari Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Frans Lebu Raya.

Menurutnya, iklan tersebut mengekploitasi kemiskinan di NTT.
“Tanpa sabun Lifebuoy, anak-anak NTT tidak bisa merayakan ulang tahun yang ke lima. Dengan iklan tersebut, sebagai Gubernur saya tersinggung”, ujar Frans Lebu Raya, ketika menghadiri Pekan Penerimaan Anggota Baru, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) cabang Kupang, Sabtu (30/11).
Baginya, kalau mau berbinis untuk kepentingan dunia usaha, Unilever jangan mengekploitasi kemiskinan di NTT.

“Jujur saja, boleh membantu orang NTT tapi jangan mengeksploitir kemiskinan untuk kepentingan dunia usaha”, Ujarnya.
Menurut pendiri GMNI NTT ini, dirinya sudah memerintahkan Sekretaris Daerah NTT untuk mencari perwakilan Lifebuoy untuk menghentikan iklan tersebut.

Untuk diketahui iklan "Lima Tahun Bisa untuk NTT", Lifebuoy memilih Desa Bitobe di Kabupaten Kupang sebagai proyek percontohan.
Iklan sabun mandi Lifebuoy versi "5 Tahun Bisa untuk NTT" bukan saja diprotes Gubernur NTT, namun masyarakat NTT juga memprotes terhadap iklan itu karena dianggap melecehkan masyarakat NTT.
Mereka menyebarkan petisi penolakan dan meminta iklan tersebut dihentikan penayangannya.

"Sebagai warga NTT merasa terganggu dengan iklan Lifebuoy yang ditayangkan di media televisi nasional. Kami menilai isi iklan itu tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. Kami berani bilang itu adalah bentuk eksploitasi kemiskinan untuk kepentingan bisnis," kata Ketua Garda Bangsa Provinsi NTT Buche Brikmar di Kupang.

Iklan tersebut bertutur tentang kebiasaan warga Desa Bitobe, NTT, yang kurang memiliki kesadaran tentang hidup bersih. Akibat tidak hidup bersih, disebut dalam iklan itu, satu dari empat balita di NTT meninggal karena diare.
"Dalam isi iklan itu seolah-olah dengan membeli sabun Lifebuoy, maka dengan sendirinya kita menyelamatkan anak-anak NTT untuk bisa mengikuti ulang tahun yang ke lima. Ini jelas merupakan pencitraan produk," kata Buche.
Secara terpisah, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTT, Heribertus Naif, yang merupakan salah seorang pengagas petisi penolakan, mendesak Pemerintah Provinsi NTT untuk meminta penghentian tayangan iklan tersebut.

"Apa benar semua anak NTT terancam mati sebelum berusia lima tahun? Apa benar Lifebuoy yang membuat saya bisa merayakan ulang tahun ke 33? Apa benar hanya Lifebuoy yang peduli NTT? Kami Menuntut KPI melalui Gubernur NTT untuk segera menghentikan iklan itu dan segera pulihkan nama baik NTT yang dilecehkan," kata Heribertus.

Kekeringan Karena Degradasi Lingkungan Penyangga


Kekeringan Karena Degradasi Lingkungan Penyangga


Posted on 29 Oct 2014. Hits : 395

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Timur menilai kekeringan hampir di seluruh negeri, terutama di provinsi kepuluan itu, karena terjadi degradasi lingkungan kawasan penyangga.

"Untuk itu, perlu ada kemauan baik dari pemerintah dan seluruh elemen termasuk masyarakat daerah ini untuk mengevaluasi kembali titik kawasan hutan sebagai penyangga," kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup Provinsi Nusa Tenggara Timur Heribertus Naif di Kupang, Rabu.

Dia menjelaskan kekeringan yang terdampak saat ini, selain karena pengaruh cuaca akibat El Nino, juga karena menurunnya kualitas kawasan penyangga, sebagai bagian penting dari kesatuan ekologi lingkungan.

Kekeringan yang terjadi hampir merata di seluruh negeri ini, termasuk di Nusa Tenggara Timur, kata dia, sebagai potret degradasi lingkungan akibat kualitas kawasan penyangga yang semakin hari memburuk.

"Kondisi tersebut, semakin diperparah dengan kondisi pemanasan global yang merambah hampir di sebagian jagad raya ini. Kehidupan manuasi dengan perkembangan teknologi telah memberikan sumbangan bagi terjadinya pemanasan global," katanya.

Dalam konteks lokal, katanya, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan termasuk masyarakat, harus bersama-sama ikut membantu melakukan sejumlah langkah untuk kepentingan penyelamatan lingkungan.

Menurut Heribertus, sebagai upaya adaptasi dan mitigasi, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur hendaknya melakukan langkah-langkah dengan pemantauan dan evaluasi kondisi kawasan hutan di daerah itu, untuk mengetahui kondisi nyata di lapangan.

"Apakah masih membaik atau semakin buruk dan butuh penanganan cepat," katanya.

Selanjutnya, Pemerintah Nusa Tenggara Timur serta kabupaten/kota yang ada, perlu melakukan evaluasi lengkap model pengelolaan sumber daya alam untuk mengetahui apakah berorientasi pada keadilan ekologi ataukah semata berorientasi pada pemenuhan pasar, tanpa melihat baku mutu lingkungan.

Walhi, kata dia, secara kelembagaan juga berharap ada niat baik dari pemerintah untuk melakukan proses penyelamatan hutan dengan berorientasi pada upaya pemulihan ekologi yang selaras dengan alam.

"Artinya bahwa proses penghijauan itu dilakukan penanaman pohon yang menghijaukan dan mendatangkan air, bukannya dengan pohon-pohon yang berorientasi pasar, seperti sengon, mahoni, dan jenis ampupu. Harusnya didata pohon-pohon yang mendatangkan air, ditanam di kawasan hulu," kata Heribertus.

Partisipasi masyarakat, katanya, penting juga didorong dengan pola mengakomodasi kearifan lokal yang kosmosentris, dengan menjadikan alam sebagai fokus perhatian masyarakat untuk dilestarikan.

"Alam harus jadi fokus perhatian. Bukan homosentris, yang menjadikan alam hanya sebagai objek keruk," katanya.

Walhi juga berharap adanya kerja sama lintas sektor untuk menjadikan hutan sebagai salah satu sumber hidup, dalam konteks tata kelola dan ekologi, sehingga bisa bersama-sama menjaga dan melestarikannya.

"Tidak hanya untuk kepentingan keuntungan dengan konsep hutan industri," katanya.(ant/vaa)

Kekeringan Karena Degradasi Lingkungan Penyangga

Kekeringan Karena Degradasi Lingkungan Penyangga
Posted on 29 Oct 2014. Hits : 191

 Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Timur menilai kekeringan hampir di seluruh negeri, terutama di provinsi kepuluan itu, karena terjadi degradasi lingkungan kawasan penyangga.

"Untuk itu, perlu ada kemauan baik dari pemerintah dan seluruh elemen termasuk masyarakat daerah ini untuk mengevaluasi kembali titik kawasan hutan sebagai penyangga," kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup Provinsi Nusa Tenggara Timur Heribertus Naif di Kupang, Rabu.

Dia menjelaskan kekeringan yang terdampak saat ini, selain karena pengaruh cuaca akibat El Nino, juga karena menurunnya kualitas kawasan penyangga, sebagai bagian penting dari kesatuan ekologi lingkungan.

Kekeringan yang terjadi hampir merata di seluruh negeri ini, termasuk di Nusa Tenggara Timur, kata dia, sebagai potret degradasi lingkungan akibat kualitas kawasan penyangga yang semakin hari memburuk.

"Kondisi tersebut, semakin diperparah dengan kondisi pemanasan global yang merambah hampir di sebagian jagad raya ini. Kehidupan manuasi dengan perkembangan teknologi telah memberikan sumbangan bagi terjadinya pemanasan global," katanya.

Dalam konteks lokal, katanya, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan termasuk masyarakat, harus bersama-sama ikut membantu melakukan sejumlah langkah untuk kepentingan penyelamatan lingkungan.

Menurut Heribertus, sebagai upaya adaptasi dan mitigasi, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur hendaknya melakukan langkah-langkah dengan pemantauan dan evaluasi kondisi kawasan hutan di daerah itu, untuk mengetahui kondisi nyata di lapangan.

"Apakah masih membaik atau semakin buruk dan butuh penanganan cepat," katanya.

Selanjutnya, Pemerintah Nusa Tenggara Timur serta kabupaten/kota yang ada, perlu melakukan evaluasi lengkap model pengelolaan sumber daya alam untuk mengetahui apakah berorientasi pada keadilan ekologi ataukah semata berorientasi pada pemenuhan pasar, tanpa melihat baku mutu lingkungan.

Walhi, kata dia, secara kelembagaan juga berharap ada niat baik dari pemerintah untuk melakukan proses penyelamatan hutan dengan berorientasi pada upaya pemulihan ekologi yang selaras dengan alam.

"Artinya bahwa proses penghijauan itu dilakukan penanaman pohon yang menghijaukan dan mendatangkan air, bukannya dengan pohon-pohon yang berorientasi pasar, seperti sengon, mahoni, dan jenis ampupu. Harusnya didata pohon-pohon yang mendatangkan air, ditanam di kawasan hulu," kata Heribertus.

Partisipasi masyarakat, katanya, penting juga didorong dengan pola mengakomodasi kearifan lokal yang kosmosentris, dengan menjadikan alam sebagai fokus perhatian masyarakat untuk dilestarikan.

"Alam harus jadi fokus perhatian. Bukan homosentris, yang menjadikan alam hanya sebagai objek keruk," katanya.

Walhi juga berharap adanya kerja sama lintas sektor untuk menjadikan hutan sebagai salah satu sumber hidup, dalam konteks tata kelola dan ekologi, sehingga bisa bersama-sama menjaga dan melestarikannya.

"Tidak hanya untuk kepentingan keuntungan dengan konsep hutan industri," katanya.(ant/vaa)


Sumber:kompas.com

Ditanya Soal Privatisasi Pantai Pede, Jawaban Lebu Raya Membingungkan

Ditanya Soal Privatisasi Pantai Pede, Jawaban Lebu Raya Membingungkan
 Redaksi Floresa 25/11/2014   

Jakarta, Floresa.co – Gubernur NTT Frans Lebu Raya menyampaikan pernyataan membingungkan saat ditanya seputar kasus privatisasi Pantai Pede di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat.

Lebu Raya mengatakan dengan tegas, tidak ada privatisasi Pantai Pede sebagaimana diberitakan selama ini.

“Tidak ada privatisasi. Kau tulis juga. Ini yang harus diluruskan. Supaya semua memahami”, kata Lebu Raya saat ditanyai Floresa.co usai ia menghadiri pertemuan dengan tokoh masyarakat asal NTT di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Senin (24/11/2014).

Anehnya, meski mengatakan tidak ada privatisasi, politisi Partai PDI Perjuangan ini mengatakan, Pantai Pede diserahkan pengelolaanya untuk pembangunan hotel.

Ia mengatakan, Pantai Pede adalah aset Pemda Provinsi NTT, yang harus dioptimalkan untuk kepentingan pembangunan daerah.

“Nanti masih ada tempat publik dan tidak tertutup untuk masyarakat. Ada pendapat supaya dibiarkan begitu saja menjadi tempat publik. Apakah dibiarkan seminggu sekali orang datang ke situ. Makanya dibangunlah hotel di sana”, kata Lebu Raya.

Ia menjelaskan, perusahan yang membangun hotel di sana berasal dari Jakarta, tanpa menyebut eksplisit nama perusahan tersebut.

Klaim Lebu Raya yang menyebut tidak ada privatisasi dianggap bertentangan dengan pernyataannya sendiri bahwa tempat tersebut diserahkan untuk pembangunan hotel.

“Bukankah itu namanya privatisasi? Ketika sebuah lokasi diserahkan kepada pihak swasta untuk menjadi lahan bisnisnya. Dengan sendirinya itu kemudian jadi milik privat si pebisnis”, kata Melky Nahar dari Walhi NTT yang dihubungi terpisah. (ARJ/HWL/Floresa)

Sumber: http://www.floresa.co/2014/11/25/ditanya-soal-privatisasi-pantai-pede-jawaban-lebu-raya-membingungkan/

Jangan Terlena dengan Moratorium PT Aditya!

Jangan Terlena dengan Moratorium PT Aditya!
 Redaksi Floresa 25/09/2014   

Prev
Next
Melky Nahar, Manager Kampanye Tambang dan Energi Walhi NTT

Melky Nahar, Manager Kampanye Tambang dan Energi Walhi NTT

Floresa.co – Berita terkait moratorium aktivitas perusahan tambang di Kampung Tumbak bukanlah kabar baik di mata Wahana Lingkungan Hidup Nusa Tenggara Timur (Walhi NTT).

Bahkan, Melky Nahar, Manager Kampanye Tambang dan Energi Walhi NTT menyebut moratorium ini hanyalah ‘permainan’ Bupati Tote.

“Ini hanya untuk meredam gejolak perlawanan dari masyarakat dan kelompok tolak tambang saja”, katanya, Kamis (25/9/2014).

Ia menegaskan, kebijakan moratorium bisa dianggap sebagai kabar baik bila itu muncul dari kesadaran diri Bupati Tote melihat upaya perlawanan selama ini.

“Ini kok baru muncul pasca ada rekomendasi Komnas HAM. Memang selama ini, dia melihat bagaimana rintihan warga di lingkar tambang”, tegasnya.

Ia mengatakan, seharusnya Pemkab Matim sadar bahwa masyarakat adat Tumbak sudah bersusah payah berjuang bahkan berujung pada kurungan penjara.

“Kami menghimbau kepada warga Tumbak dan para pendukung tolak tambang di wilayah itu, jangan terlena dan merasa bangga dengan kebijakan moratoium itu”, katanya.

“Kita kawal dan lawan terhadap segala bentuk ketidakadilan di Manggarai Timur yang dilegitimasi oleh Bupati dan Wakil Bupati sendiri”, ungkap Melky.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, berdasarkan informasi yang dihimpun Floresa, Rabu (24/9/2014), surat dari bupati diantar oleh Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Sekertaris Daerah Manggarai Timur pada Selasa lalu.

Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa, permintaan untuk berhenti sementara atau melakukan moratorium merupakan respon terhadap rekomendasi Komnas HAM, yang telah melakukan investigasi terkait konflik tambang di Tumbak.

“Berdasarkan rekomendasi dari Komnas HAM RI yang secara lisan supaya tidak ada aktivitas tambang di Lingko Roga Tumbak, maka pemerintah memerintahkan Aditya untuk menghentikan aktivitas tambang sampai ada pemberitahuan lanjutan”, demikian isi surat tersebut.

Hadirnya Komnas HAM di Tumbak setelah ada laporan terkait upaya perusahaan yang diduga dibekingi aparat berusaha memasuki lokasi yang diklaim milik warga.

Hal ini mengundang reaksi keras terhadap perusahan, polisi dan Pemerintah Manggarai Timur.

Di Jakarta, sejumlah LSM melapor kasus ini ke sejumlah lembaga, termasuk Ombudsman. Sementara di Kupang, pasa Senin lalu, para mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa dengan mengusung peti mati, sebagai simbolisasi matinya nurai Bupati Tote.

Sumber: http://www.floresa.co/2014/09/25/jangan-terlena-dengan-moratorium-pt-aditya/

Walhi NTT: Bela PT Nusa Lontar, Pemkab Belu Abaikan Rakyat

Walhi NTT: Bela PT Nusa Lontar, Pemkab Belu Abaikan Rakyat


Melky Nahar, Manager Kampanye Tambang dan Energi Walhi NTT
Melky Nahar, Manager Kampanye Tambang dan Energi Walhi NTT

Floresa.co – Sikap masa bodoh Pemerintah Kabupaten Belu (Pemkab Belu), Nusa  Tenggara Timur (NTT) yang membiarkan PT Nusa Lontar Resources tetap beroperasi di Dusun Ai Tameak, Desa Ekin, Kecamatan Lamaknen Selatan menuai kecaman.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Daerah Nusa Tenggara Timur menilai Pemkab Belu tidak memiliki itikad baik menyikapi perjuangan masyarakat, gereja, LSM, dan mahasiswa yang memprotes kebijakan industri ektraktif di wilayah itu.

Bahkan, janji akan mengkaji aktivis PT Nusa Lontar yang pernah dilontarkan Pemkab Belu melalui Pjs Belu, Wilem Foni beberapa waktu lalu, dianggap hanya pepesan kosong.

“Pemkab Belu telah membohongi pihak gereja, mahasiswa, NGO dan masyarakat bahwa akan mengkaji kembali kebijakan pertambangan di Ai Tameak,” ungkap Melky Nahar, Manager Kampanye Tambang dan Energi WAalhi NTT kepada Floresa.co, Rabu (5/11/2014).

Menurut Melky, janji untuk mengkaji kembali kehadiran PT Nusa Lontar dilontarkan Pemkab Belu karena derasnya tuntutan masyarakat, gereja, NGO, dan mahasiswa yang terwadah dalam G-Pro-K beberapa waktu lalu.

“Fakta hari ini, Pemkab Belu belum melakukan kajian soal dampak kehadiran PT Nusa Lontar  dan pada saat yang sama membiarkan perusahaan mengobrak-abrik tanah ulayat warga Ai Tameak,” kata Melky.
Terhadap kondisi ini, demikian Melky, tergambar jelas Pemkab Belu memang tidak responsif dengan persoalan masyarakat yang terus dijajah perusahaan tambang.

“Pemkab Belu lebih responsif dengan para korporasi tambang, sementara suara masyarakat sama sekali tidak didengar,” ungkapnya dengan nada kesal.
PT Nusa Lontar sudah mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi dari Bupati Belu pada 2011. IUP tersebut meliputi tiga desa yakni Desa Ekin, Desa Sisifatuberal dan Desa Lutarato,. Ketiganya berada di Kecamatan Lamaknen Selatan dengan luas wilayah konsensi mencapai 967 km2.
Aktivitas perusahaan tersebut mendapat penolakan dari masyarakat, gereja, NGO, mahasiswa.

Penolakan tersebut salah satu faktor karena perusahaan beroperasi tepat di pemukiman warga. Akibatnya, ada warga dan anak-anak yang menderia luka dan gatal-gatal di alat kelamin, kulit kepala, telinga, betis dan kulit perut.
Kuat dugaan, penyakit gatal-gatal yang menyebabkan luka tersebut akibat limbah tambang PT Nusa Lontar yang dekat dengan daerah aliran sungai yang sehari-hari dimanfaatkan warga untuk air minum dan mandi. (RND/Floresa)

Sumber: http://www.floresa.co/2014/11/05/walhi-ntt-bela-pt-nusa-lontar-pemkab-belu-abaikan-rakyat/

Walhi NTT: Lewat “Green Mining”, Australia Ingin Keruk NTT

Walhi NTT: Lewat “Green Mining”, Australia Ingin Keruk NTT
 Redaksi Floresa 17/07/2014   

Melky Nahar, Manager Kampanye Tambang dan Energi Walhi NTT

Floresa.co – Agenda “green mining” atau tambang hijau yang sedang digagas oleh pemerintah dan kampus asal Australia bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (Pemprov NTT) mendapat kritikan dari organisasi lingkungan hidup.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia cabang NTT (Walhi NTT) mengatakan, ada kepentingan terselubung Australia di balik agenda tersebut.

“Green mining” dibicarakan dalam sebuah lokakarya bertajuk ‘Sinergi Implementasi Pengelolaan Penambangan Hijau Dalam Wilayah Nusa Tenggara Timur’ di Kupang, Selasa, 15 Juli 2014 lalu.

Lokakarya ini diselenggarakan oleh Pemerintah Australia, Charles Darwin University dan Australian National University bekerja sama dengan Badan Lingkungan Hidup Daerah NTT.

“Green mining” merupakan pola pertambangan yang dianggap ramah lingkungan karena menggunakan sistem tertutup, bukan tambang terbuka yang mengoyak lapisan permukaan tanah dan kemudian membiarkannya begitu saja. Dalam pola pertambangan jenis ini, ekploitasi akan tetap jalan, sementara kondisi tanah di permukaan yang tidak menjadi komoditi akan tetap terjaga.

Namun, Walhi NTT mengatakan, “green mining” hanya merupakan istilah halus untuk meloloskan niat Australia mengeruk kekayaan alam NTT, khususnya di Timor Barat, sementara dampak buruknya akan tetap masif baik bagi lingkungan, maupun bagi masyarakat.

“Ada apa sebenarnya sehingga menginisiasi proses “green mining” di NTT? Kami menduga, Australia mempunyai kepentingan besar untuk NTT”, kata Melky Nahar, Manager Kampanye Tambang dan Energi Walhi NTT dalam keterangan pers yang diterima Floresa, Kamis (17/7/2014).

Menurut Melky, dugaan ini tidak berlebihan, mengingat perusahan tambang asal Australia, PT Asia Mangan Grup telah meletakan batu pertama pembangunan smelter atau fasilitas pengolahan dan pemurnian mangan di Desa Silawan, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, NTT pada Desember 2013 lalu.

“Sehingga, semua hasil produksi tambang mangan di NTT nantinya akan dikuasai Australia”, jelasnya.

Pihaknya juga mempertanyakan sikap pemerintah pusat dan Pemprov NTT yang tidak konsisten dalam menjalankan kebijakannya, dimana dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), NTT bersama Bali dan Maluku masuk dalam koridor pertanian, peternakan, kelautan dan pariwisata.

“Anehnya, pemerintah cenderung memprioritaskan pembangunan dengan memberi izin bagi tambang.”

Padahal, kata dia, puluhan tahun perusahaan tambang beroperasi di NTT, tidak ada cerita kehidupan masyarakat di lingkar tambang menjadi sejahtera.

“Argumentasi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) pun hanya utopia belaka. Yang untung hanya investor dan para makelar di bidang tambang”, kata Melky.

“Bagi kami, dengan menyetujui ‘green mining’ yang dicanangkan Ausralia, bagi kami, Pemerintah Provinsi NTT sesungguhnya sedang mendatangkan penjajah baru untuk masyarakat NTT.”

Sumber: http://www.floresa.co/2014/07/17/walhi-ntt-lewat-green-mining-australia-ingin-keruk-ntt/

Sambut Musim Tanam, Komunitas Adat Pubabu-Besipae Siapkah Bibit

Sambut Musim Tanam, Komunitas Adat Pubabu-Besipae Siapkah Bibit
 Redaksi Floresa 14/11/2014   

Komunitas adat Pubabu-Besipae sedang memeriksa bibit-bibit yang akan ditanam (Foto: Walhi NTT)

Komunitas adat Pubabu-Besipae sedang memeriksa bibit-bibit yang akan ditanam (Foto: Walhi NTT)

Floresa.co - Menghadapi musim tanam tahun 2014 ini, Komunitas Adat Pubabu – Besipae, Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mempersiapkan bibit tanaman pangan.

Mereka dibantu oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Daerah NTT yang didukung Global Environment Facility (GEF).

“Persiapan bibit tanaman pangan menjadi penting dilakukan saat ini mengingat musim tanam akan segera tiba,” kata Melky Nahar, Manager Program Walhi NTT, Jumat (14/11/2014).

Bibit-bibit yang dipersiapkan antara lain berupa tanaman pangan dan tanaman perkebunan. Untuk tanaman pangan berupa jagung, kacang-kacangan, dan umbi-umbian.

“Sedangkan tanaman perkebunan tengah kita siapkan bibit jeruk, kakao, nangka dan sejenisnya,” tutur Melky.

Beberapa diantara tanaman tersebut, demikian Melky, akan disemaikan dulu dalam Polibag.

Imanuel Tampani, Ketua Ikatan Tokoh Adat Penegak Kebenaran dan Keadilan (ITA PKK), yang juga anggota Komunitas Adat Pubabu – Besipae mengaku bangga dengan semangat kerja para petani di wilayah itu.

“Selain bantuan bibit dari Walhi NTT, masyarakat juga mempersiapkan sendiri benih-benih lokal yang akan ditanam dilahannya masing-masing,” katanya.
Mereka berkumpul membahas cara pembibitan tanaman (Foto: Walhi NTT)

Mereka berkumpul membahas cara pembibitan tanaman (Foto: Walhi NTT)

Imanuel menyatakan, persiapan bibit menyambut musim tanam tanpa mengharapkan bantuan dari pemerintah daerah TTS.

“Kami berusaha keras untuk tidak bergantung pada pemerintah, karena kami sadar bahwa hampir semua yang kita butuhkan ada di sekitar kami,” ungkapnya.

Imanuel berharap, keberadaan kelompok tani dalam komunitas adat itu bisa menjadi pemicu bagi para petani di tempat lain sehingga sama-sama bekerja untuk memenuhi kebutuhan akan pangan. (ARL/Floresa)

Sumber: http://www.floresa.co/2014/11/14/sambut-musim-tanam-komunitas-adat-pubabu-besipae-siapkah-bibit/

Walhi Desak Bupati Rotok Evaluasi Kebijakan Privatisasi Air

Walhi Desak Bupati Rotok Evaluasi Kebijakan Privatisasi Air

Bupati Manggarai Christian Rotok
Bupati Manggarai Christian Rotok
Ruteng,Floresa.coWahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendesak Bupati Manggarai Cristian Rotok mengevaluasi kebijakan terkait privatisasi air oleh perusahan air minum di Ruteng.

Melky Nahar dari Walhi NTT mengatakan, Rotok harus sadar bahwa pengelolahan air oleh pihak swasta kerap hanya berorientasi keuntungan.
“Prinsip mereka, hanya mengeksploitasi sumber daya air tanpa menghiraukan dampaknya terhadap kelestarian dan keberlanjutan sumber daya air yang ada”, kata Melky kepada Floresa.co, Selasa (11/11/2014).

Pernyataan Melky merespon masalah krisis air di Ruteng yang marak dibicarakan beberapa waktu lalu, di mana sebagian pihak mengaitkan masalah tersebut dengan keberadaan PT Nampar Nos, perusahan air minum yang berlokasi di Ruteng.

Meski Direktur Utama Perusahan Daerah Minum (PDAM) Ruteng mengatakan masalah krisis air di Ruteng merupakan akibat dari adanya perbaikan pipa di sejumlah tempat, namun ia juga menjelaskan, terjadi penurunan debit air yang dipasok oleh PDAM, berhubung dari 10 mata air yang ada, 5 di antaranya sudah mati.

Sejauh ini, memang belum ada penelitian ilmiah terkait dampak kehadiran PT Nampar Nos terhadap berkurangnya debit air di Ruteng. Namun, penelitian lapangan yang pernah dibuat oleh tim peneliti JPIC-OFM dan JPIC Keuskupan Ruteng mengungkap pengakuan warga di sekitar Ruteng tentang fakta berkurangnya debit air pasca kehadiran perusahan itu.

Melky mengaku kuatir, jika Pemda Manggarai tidak menganggap masalah air sebagai hal seirus, maka ini ibarat bom waktu, yang tinggal menunggu saat meledak menjadi persoalan kritis.

Ia mengingatkan, di sejumlah tempat praktek pemberian izin privatisasi, tidak diimbangi dengan upaya pengendalian dan pengawasan.

Karena itu, Melky mendesak pemerintah mengevaluasi hal ini. Ia menyebut, privatisasi air di Ruteng, juga bentuk prampasan hak publik.
“Air yang seharusnya milik publik, kini dijadikan milik privat. Beberapa tahun lagi, warga di Ruteng kemungkinan besar akan meratap karena kehilangan air. Rotok harus pikirkan itu”, tegasnya. (ABD/Floresa)

Sumber: http://www.floresa.co/2014/11/11/walhi-desak-bupati-rotok-evaluasi-kebijakan-privatisasi-air/

Festival Nekafmese Tafena To Halat, Pulihkan Alam dan Kemandirian Ekonomi

Festival Nekafmese Tafena To Halat, Pulihkan Alam dan Kemandirian Ekonomi

SUARAFLORES.COM,- Festival masyarakat adat Tiga Batu Tungku kembali digelar keempat kalinya di Naususu Mollo, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur sejak Kamis 19 – 23 Juni 2014. Festival “Nekafmese Tafena To Halat” yang disingkat Festival Nakafmese, kali ini menyerukan agar masyarakat adat atau warga di manapun untuk memulihkan alam yang makin rusak dan mampu menghadapi krisis iklim menuju kemandirian ekonomi.

Tindakan yang justru makin dilupakan para pemimpin Indonesia sejak rrde baru yang memperlakukan kekayaan alam semata komoditas global, melalui pengerukan bahan tambang dan alih fungi hutan. Buktinya, bersama Enam kawasan lainnya, Nusa Tenggara digambarkan dalam peta Wilayah Pertambangan (WP) hanya gugusan kepulauan yang 95% wilayahnya mengandung berbagai kandungan mineral yang bisa digali, di manapun dia berada. Peta WP ditetapkan Kepmen ESDM No. 1329 K/30/MEM/2014. NTT sendiri hinga kini sudah 20 persen atau 837.802 hektar wilayahnya telah dikapling 314 perusahaan tambang khususnya  tambang Mangan, juga ada tambang migas di TTS.

Perampasan ruang hidup terus terjadi akibat ekstraksi ruang hidup warga. Di pulau Sumba, ada PT. Fathi Resources yang akan membongkar sebagian kawasan Taman Nasional Laiwangi-Wanggameti yang merupakan sumber air bagi DAS utama di Sumba. Tiga warga di Sumba Timur dkiriminalisasi karena menolak kehadiran tambang emas tersebut. Hal sama dialami warga Tumbak,  Manggarai Timur, pada 5 Mei 2014 lalu dua warga ditahan dan 16 lainnya diperiksa karena menolak tambang mangan PT. Aditya Bumi Pertambangan masuk tanah adat mereka.

Masalah kesehatan juga menyertai kehadiran pertambangan di NTT. Salah satunya  di Kabupaten Belu. Sumber air masyarakat tambang mangan PT. Nusa Lontar Resources dan menyebabkan wabah penyakit kulit yang menyerang  150 warga sepanjang Sungai Welakason.

Aleta Baun, Ketua Organisasi Attaemamus (OAT) penyelenggara Fetival Nekafmese  mengingatkan bahwa pertambangan di pulau-pulau seperti di pulau Timor akan membuat rakyat makin sengsara.

“Pernah kami alami di Naususu. Itu sebabnya, kita jangan kasih lepas tanah supaya kita masih bisa makan dan mandiri,” tegasnya, Rabu (18/6) melalui rilis yang diterima suaraflores.com.

Di saat yang sama Aleta juga mengingatkan warga di sekitar pertambangan tak hanya menghadapi masalah perampasan lahan, pelanggaran HAM dan krisis air. Tapi juga harus menghadapi dampak perubahan iklim yang mengakibatkan musim makin tak menentu, yang berakibat gagal tanam maupun panen bagi petani.

“Perampasan ruang hidup dan keselamatan masyarakat yang direstui oleh Negara ini jelas semakin meningkatkan konflik dan pelanggaran HAM. Festival Nekafmese seharusnya menjadi panutan bagi penyelenggara Negara, bagaimana masyarakat mampu membangun ekonomi tanding yang berkelanjutan tanpa bergantung pada ekstraksi sumber daya alam,” kata Ki Bagus Hadi Kusuma, Juru Kampanye JATAM.

Sementara itu, Siti Maimunah dari TKPT JATAM, mengatakan, festival ini ingin menyerukan bahwa masyarakat adat di manapun harus mempertahankan tanahnya, melakukan pemulihan lingkungan yang rusak dan menghidupkan lagi kearifan-kearifan lokal untuk menghadapi dampak perubahan iklim.

Menurut dia, Festival Nakafmese, lahir dari perjuangan panjang sejak 1999 mengusir pertambangan marmer yang sedang dan akan menghancurkan gunung batu, ritus adat sekaligus sumber air dan identitas sejarah masyarakat adat Tiga batu Tungku. Perjuangan ini membuat masyarakat adat makin kuat dan dihargai.

“Kami tidak akan menjual apa yang tidak bisa kami buat menjadi ikrar yang menginspirasi kelompok lainnya. Ikrar ini juga mendorong masyarakat Amanuban, Amanatun dan Mollo untuk menata kembali pola produksi – konsumsi mereka sebagai bentuk pemulihan dan perawatan tatanan sosial ekologis yang selama ini telah dirusak industri ekstraktif,” terangnya.

Lanjut dia, salah satu upaya yang harus dilakukan adalah menggalakkan tenun dan pertanian organik. Saat ini  anggota OAT termasuk  44  kelompok penenun perempuan yang mengembangkan tenun, juga lebih 100 kelompok tani  yang mengembangkan pertanian organik.  Wakil-wakil mereka akan menyampaikan pengalamannya pada Festival Nekafmese.

Dalam Festival ini akan diselenggarakan workshop perempuan penenun, workshop petani menghadapi dampak perubahan iklim, perjalanan ritual adat dari desa Tune ke Naususu yang panjangnya mencapai 30 kilometer,  gotong royong adat, pentas seni dan lomba-lomba, juga direncanakan dialog dengan Bupati Timor Tengah Selatan dan Menteri Pembangunan daerah Tertinggal. Festival ini didukung oleh organisasi lokal dan nasional: Perkumpulan PIKUL, JATAM, Walhi NTT, GEF-SGP, Samdhana, CSF-CJI dan Lawe.(MP/Akr)

Sumber: http://suaraflores.com/festival-nekafmese-tafena-halat-pulihkan-alam-dan-kemandirian-ekonomi/

Walhi: Pemkab Sikka harus Siapkan Lahan Garapan untuk Pengungsi

Walhi: Pemkab Sikka harus siapkan lahan garapan untuk pengungsi

KUPANG,SUARAFLORES.COM,-Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nusa Tenggara Timur (NTT), Hery Naif, meminta Pemerintah Kabupaten Sikka segera menyiapkan lahan garapan bagi para petani pengungsi Rokatenda. Hal ini mendesak karena para petani asal Palue tidak memiliki lahan garapan di daerah yang baru.

“Pemkab Sikka harus juga memikirkan dan menyiapkan lahan gerapan untuk para petani pengugsi Rokatenda di daerah baru, seperti di Ende, Hewuli dan Pulau Besar. Jika tidak, mereka akan terus mengalami kesulitan pangan dan terus bergantung pada bantuan pemerintah,”kata Hery, Kamis (6/2) pagi tadi.

Menurut dia, Pemkab Sikka semestinya memprioritaskan penanganan pengungsi agar mereka kembali mendapatkan tempat yang layak. Untuk itu, pemerintah perlu bekerja sama dengan berbagai komponen di Sikka agar penanganan pengungsi Palue tidak berlarut-larut sehingga itu tidak menjadi beban moril pemkab.

“Penanganan pengungsi yang berlarut-larut menujukkan ketidakmampuan. Pemkab harus lebih  responsifitas sesuai dengan mandat undang-undang Nomor 24 tentang Penanggulangan Bencana,” ujarnya.

Hery menjelaskan bahwa sejak erupsi Gunung Rokatenda, banyak warga kemudian dievakuasi di beberapa titik, ada yang di Kabupaten Ende dan ada yang di Maumere.  Tentu banyak perhatian dari pelbagai pihak belum signifikan menjawab seluruh permasalahan mereka. Masalah yang paling mendasar adalah masalah keberlanjutan hidup ekonomi setiap hari, karena mereka tidak memiliki lahan pertanian di daerah baru, seperti Pulau Besar dan Hewuli.

“Sebagai petani yang selama ini menghidupi dirinya tanpa bergantung pada yang lain. Kini mereka harus menjadi penadah bantuan.  Mereka harus diberi atau disiapkan lahan untuk bercocok tanam. Kalau hanya rumah saja tanpa lahan garapan, maka mereka pasti akan tambah susah,”ungkapnya. (Yos)

Sumber: http://suaraflores.com/walhi-pemkab-sikka-harus-siapkan-lahan-garapan-untuk-pengungsi/

Walhi Serukan Penyelamatan Pesisir Laut Pulau Kecil Terluar

Walhi Serukan Penyelamatan Pesisir Laut  Pulau Kecil Terluar
Tolak reklamasi dan Tambang

KUPANG, SUARAFLORES.COM,-Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memiliki luas wilayah laut sekitar 200.000 km2 tak kunjung mampu menggugah nurani dan imajinasi para kepala daerah. Potensi laut yang ada belum dimanfaatkan pemerintah daerah. Padahal, potensi terbesar NTT berada di laut, dengan kuantitas musim kemarau sekitar delapan bulan dan empat bulannya musim hujan.

Demikian hal ini disampaikan Juru Kampanye Eksekutif Daerah WALHI NTT, Melky Nahar, melalui rilis yang dikirim  ke redaksi suaraflores.com, Kamis (5/6/2014). Menurutnya, potensi kelautan NTT belum disentuh dengan baik. Bahkan, sebagian besar penduduk NTT masih berorientasi ke darat, sehingga yang bekerja sebagai nelayan hanya sekitar 101.522 orang dari total jumlah penduduk NTT.

“Kekayaan laut NTT sangat besar, bukan sebatas sebagai penghasil ikan, melainkan juga menawarkan berbagai potensi wisata laut. Saat ini, sesuai data Pemerintah Daerah (Pemda) NTT, ada delapan kawasan konservasi perairan laut di NTT,” pungkas Melky.

Melky mengungkapkan, selama ini, pemerintah daerah mulai dari gubernur sampai pada bupati/walikota belum menjadikan wilayah pesisir sebagai perhatian dan pengawasan pemerintah.

“Bias darat yang cukup besar dalam pengelolaan sumber daya alam NTT telah menyebabkan pengelolaan wilayah pesisir terbengkalai. Tanpa pengawasan dan konsep yang baik berbagai kebijakan yang ada di wilayah pesisir terkesan sektoral dan kuat konflik kepentingan,” katanya.

Melky menyayangkan pemerintah daerah yang doyan mengobral izin usaha pertambangan (IUP) kepada para investor tambang yang jelas-jelas tidak membawa manfaat bagi masyarakat.

“Gubernur dan Bupati se-NTT kesannya masa bodoh dengan maraknya sikap penolakan dari masyarakat, kelompok NGO, Gereja dan elemen lainnya yang menolak investasi pertambangan,” tegasnya.

Kondisi ini, menurut Melky, sebagai bukti ketidakpedulian pemerintah terhadap penyelamatan pulau-pulau kecil, terlihat dengan semakin derasnya arus kekuatan modal yang mendaptkan izin dan beroperasi di sektor pertambangan. Pulau-pulau kecil menjadi sasaran empuk untuk eksploitasi sektor pertambangan. Bahkan ruang kelola rakyat untuk sektor pertanian, peternakan, dan sejenisnya disabotase untuk kepentingan investasi pertambangan.

Dari catatan advokasi WALHI, maraknya penguasaan wilayah pesisir oleh korporasi dipastikan telah dan akan menggangu sumberdaya komunal masyarakat pesisir. Konflik akan bermunculan karena tidak adanya jaminan keselamatan, kesejahteraan dan produktivitas apabila sebuah investasi berkembang di wilayah pesisir

Lebih lanjut, Melky Nahar menegaskan bahwa saat ini pemerintah sedang menggalakkan program reklamasi yang merupakan bagian dari skema MP3EI, seperti reklamasi Teluk Benoa – Bali, reklamasi Teluk Palu – Sulteng, reklamasi Teluk Jakarta, reklamasi Teluk Balikpapan – Kaltim, dll. WALHI sebagai organisasi advokasi yang memiliki kantor di 28 provinsi di Indonesia menolak berbagai bentuk program reklamasi di Indonesia, sebab reklamasi hanya merusak kesetimbangan ekologis, merebut ruang kelola rakyat serta reklamasi dilaksanakan hanya untuk kepentingan dunia bisnis. (MN/SF)

Sumber: http://suaraflores.com/walhi-serukan-penyelamatan-pesisir-laut-pulau-kecil-terluar/

Gusur Perumahan Warga, Walhi NTT Kutuk Bupati Ansar

KUPANG, SUARAFLORES.COM,- Pemerintahan Bupati Ansar Rera dan Wakil Bupati Sikka, Paolus Nong Susar sukses melakukan penggusuran puluhan rumah yang dihuni 300-an warga di RT 04/RW 07 Jl. Litbang, Kelurahan Kota Uneng, Kecamatan Alok, Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), Rabu (29/10/2014). Penggusuran tersebut memantik amarah dari berbagai kalangan, termasuk Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTT.

Direktur Walhi NTT, Heri Naif, mengatakan, penggusuran rumah warga di belakang ABA Maumere oleh pemerintah sebagai wujud penertiban aset daerah, bukanlah sesuatu yang substansi dari sebuah kebijakan. Karena ada begitu banyak kebijakan yang pro rakyat dinantikan dari kepemimpinan Ansar- Paul Nong. Untuk itu, pihaknya mengutuk dan mengecam keras langkah buruk yang telah mengorbankan ratusan warga Sikka, terutama anak-anak.

“Pemkab Sikka telah melakukan kriminalisasi warga. Padahal tugas negara adalah menghormati, memenuhi, melindungi warga. Apabila negara dengan kekuasaan yang dimiliki dan kemudian melakukan kekerasan ini adalah pelanggaran HAM. Keberadaan warga di kawasan itu tidak mengklaimnya sebagai hak milik mereka, melainkan memanfaatkannya untuk menunjang kehidupan mereka. Itu berarti bahwa negara semestinya bijak melakukan tindakan. Karena itu pilihan kekerasan dengan menggusur itu tidak manusiawi,” kata Heri, Kamis (30/10/2014 di Kupang.

Menurut Heri, Pemkab Sikka, seharusnya melindungi warga dan mencarikan solusi terbaik, bukan mengkriminalisasi. Dengan mengkriminalisasi, para warga akan mengalami kesulitan hidup yang akan tambah parah.

Oleh karena itu, kata Heri, Pemkab Sikka harus bertanggung jawab dengan kehidupan para korban penggusuran, terutama keberlanjutan hidup warga. Pemerintah, harus mendapatkan hunian yang layak dan bertanggung jawab untuk anak-anak sekolah, ibu hamil dan kelompok rentan lainnya.
Dikatakan Heri, Bupati Ansar dan Paul Nong Susar harus berlaku adil dalam menentukan dimana aset daerah dengan data yang valid agar kemudian tidak berkembang opini miring. Kalau argumentasinya bahwa bekas daerah HGU menjadi aset daerah, maka harus ditunjukkan dengan peta HGU, sehingga transparan buat publik.

Bila tidak, lanjut dia, opini akan berkembang bahwa pemerintah Sikka sedang melakukan praktek ketidakadilan, dimana warga yang tidak punya kuasa digusur, sedangkan warga yang adalah mantan pejabat. Ataukah ada sebuah hukum pejabat tidak tersentuh dengan penertiban.

“Jika bupati dan wakil bupati berani dan adil, maka semua rumah pejabat daerah yang tinggal di area GHU harus segera digusur pula, agar sama nasibnya dengan warga korban penggusuran saat ini. Jangan hanya berani gusur warga miskin yang telah memilih mereka jadi pemimpin, lalu takut menggusur pejabat dan mantan pejabat yang tinggal di wilayah itu, tegas Heri geram.

Diberitakan sebelumnya, ratusan warga mendatangi Kantor DPRD Sikka, Senin (27/10/1014) untuk menolak penggusuran 300 buah rumah oleh Pemerintah Kabupaten Sikka. Warga tersebut berasal RT 04/RW 07 Jl. Litbang, Kelurahan Kota Uneng, Kecamatan Alok. Turut dalam aksi ini para ibu rumah tangga dan anak-anak. Warga meminta bupati memberikan waktu satu minggu sampai satu bulan untuk membongkar rumah-rumah mereka, namun sial benar nasib naas menimpah mereka karena sang Bupati Ansa Rera tetap melakukan penggusuran untuk membangun Balai Latihan Kerja (BLK) di wilayah itu. (bkr/sf)

Sumber: http://suaraflores.com/gusur-perumahan-warga-walhi-ntt-kut…/

Walhi NTT Gelar Pelatihan Air dan Tanah di TTS


SOE,SUARAFLORES.COM,- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Propinsi Nusa Tenggara Tmur menggelar Pelatihan Konservasi Tanah dan Air pada Komunitas Adat Pubabu – Besipae, Kecamatan Amanuban Selatan Kabupaten Timor Tengah Selatan, Minggu (7/9/2014). Kegiatan ini sebagai upaya awal untuk mulai membangun kedaulatan pangan masyarakat adat di wilayah itu.

Manager Program Walhi NTT, Melky Nahar, kepada suaraflores.com, Minggu (7/9/2014) menyatakan, NTT sebenarnya tidak mengalami krisis pangan kalau proses penataan dan pengelolaan pertaniannya adaptif terhadap perubahan iklim. Selama ini, persoalan itu tidak diperhatikan serius, akibatnya para petani gagal tanam dan gagal panen,” jelas Melky.

Selain itu, lanjut Melky, manajemen konsumsi dan distribusi hasil pertanian selama ini tidak tertata rapih. Akibatnya, kebutuhan akan pangan per tahun dari para petani tidak diketahui pasti.

Sedangkan Direktur Walhi NTT, Herry Naif, mengungkapkan, pelatihan konservasi tanah dan air merupakan satu dari berbagai jenis kegiatan yang akan dijalankan Walhi satu tahun kedepan di Komunitas Adat Pubabu – Besipae. Menurutnya, program ini berjalan kerjasama dengan Global Environment Facility (GEF).

“Kami kerjasama dengan GEF, sebuah donatur yang selalu mendukung Walhi selama ini. Program ini akan berjalan selama 15 bulan kedepan,” papar Herry.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Wahana Tani Mandiri (WTM), Winfridus Keupung, pada saat pemaparan materi mengatakan, konservasi tanah dan air merupakan upaya untuk penggunaan lahan sesuai dengan syarat–syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah.

“Konservasi tanah dan air mempunyai tujuan utama untuk mempertahankan tanah dan air dari kehilangan dan kerusakannya,” ungkap Wim.
Mantan Direktur Walhi NTT ini menyatakan, kenyataan yang terjadi akhir-akhir ini adalah banyaknya degradasi lahan dan air yang disebabkan oleh banyak faktor. “Hal itu berpengaruh besar pada rusaknya atau berkurangnya kualitas dan kuantitas suatu tanah dan air yang dapat berdampak buruk pada lingkungan kita bahkan dapat menyebabkan suatu bencana alam seperti longsor yang merupakan bentuk dari erosi,” katanya.

Sementara itu, warga Komunitas Adat Pubabu – Besipae, Paulus Selan, mengaku bangga dengan program itu. Menurutnya, Walhi NTT sudah lama bersama dengan warga komunitas adat di wilayah itu.

“Kami bersyukur karena Walhi NTT selalu bersama kami dan membantu kami dalam kerja-kerja untuk mewujudkan kedaulatan pangan bagi warga disini,” tutupnya. (Mel)

http://suaraflores.com/walhi-ntt-gelar-pelatihan-air-tanah…/