Minggu, 20 Desember 2015

BERSAMA PETANI, KITA BISA MAJU


Carolus Winfridus Keupung dilahirkan di Lela, 11 Maret 1969. Ia adalah seorang aktifis yang cukup familiar bagi masyarakat Sikka. Sejak menamatkan pendidikannya di Politani Kupang, ia mengabdikan diri dalam kerja-kerja sosial. Awalnya ia bergabung dengan Fado – Belanda yang bekerja di Wilayah Lio dalam isu pertanian. Beberapa tahun kemudian, Fado bubar lalu ia berinisiatif dengan berdiskusi tentang pembentukan sebuah yayasan untuk melanjutkan kerja-kerja sosial tersebut.
 Insiatif dan gagasan itu, dibentuklah Yayasan Wahana Tani Mandiri (WTM) pada tanggal 29 Januari 1996. Bersama lembaga ini, beliau melakukan kerja-kerja program dan kemudian dinamika lembaga ia harus terdepak dari Wahana Tani Mandiri . Namun, karena kiat advokasinya kemudian dibentuklah Yayasan Pelita Rakyat (Yapera) pada tahun 1999.
Setelah 2 (dua) tahun berada di luar, Ia kemudian kembali ke WTM sebagai Direktur. Perjalanan panjang ini kemudian menempah dirinya menjadi aktifis yang matang dan bijaksana. Dalam semangat kepedulian dengan petani, ia membawa WTM bekerja di wilayah Hale Hebing dan Doreng. Pengalaman bekerja bersama petani dan beberapa penelitian yang dilakukan serta didukung kapasitas dirinya yang berlatar belakang pendidikan pertanian sejak di SPMA Bowae dan Politani kemudian ia bersama grup WTM mengembangkan sebuah pola pertanian usaha terpadu.
Bahwa pertanian itu harus memenuhi dirinya sendiri, mulai dari penciptaan pupuk organik hingga pestisida organik. Kapasitas inilah kemudian menjadikan WTM dan Krunya konsisten dengan advokasi pertanian.
Beberapa tahun lalu, ia pun bukan hanya mengembangkan advokasi pertanian tetapi mengadvokasi soal penanganan bencana di Sikka. Dari gagasannya kemudian lahirlah Forum Penanggulangan Bencana Sikka yang beranggotakan SKPD di Sikka dan beberapa lembaga sosial lainnya.
Dalam kesibukannya, ia pun tak pernah lupa dengan keluarganya. Suami dari Maria Aviana Lengga dan tiga anak ini sangat akrab dengan anak-anaknya. Ia sangat bersahaja dengan kedua putranya (Charlos dan Chalvin) dan Putrinya (Charlin).
Selain itu, Win pernah menjadi Direktur Eksektif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT (2008 – 2011). Selama menjadi Direktur WALHI, ia harus pergi ke Sumba, Lembata, Timor untuk urusan advokasi pertambangan.
Beberapa catatan pengalaman ini, Win dinilai banyak orang sebagai tokoh yang familiar dan konsisten. Sejak 1994, Ia banyak menawarkan konsep pemberdayaan pertanian organik. Ia mendorong untuk sampai pada kedaulatan pangan. Bahwa untuk mencapai kedaulatan pangan tentunya harus didukung dengan banyak varietas pangan yang dikembangkan petani. Karena itu WTM menolak pertanian dengan kimiawi dan varietas tunggal karena menurutnya ini semakin menjerat petani dalam berbagai permasalahan. Ia tak sungkan-sungkan bila berhadapan dengan dinas pertanian yang berbeda model pengembangan pertanian.
Karena konsistennya itu, Ia kemudian dinobatkan sebagai Pelopor Ketahanan Pangan di Kabupaten Sikka pada hari Pangan Sedunia, 3 Desember 2015. Seusai penerimaan penghargaan dari Bupati Sikka, Yosef Ansar Rera, ketika secara terpisah ditemuinya Win menyatakan bahwa penghargaan terhadap dirinya adalah sebuah wujud pengakuan negara terhadap kerja-kerja advokasi yang dilakukan lembaga. Itu berarti bahwa ke depan Dinas Pertanian Pemkab Sikka semestinya mengakomodiri beberapa konsep pertanian yang dikembangkan WTM, yang mana menjadikan petani subjek dalam pengelolaan pertanian. Malah kami di WTM lagi mendorong adanya “Petani Peneliti” sebagai upaya menaikan nilai tawar “bargaining potition” dari petani. Karena, petani pun bisa menjadi peneliti karena itu profesinya yang harus dihargai. Pengalamaan petani semestinya dihormati dan diakomodir sebagai model baru yang bisa dijadikan model pembejaran berbagai pihak.

BELU BUTUH PEMIMPIN HUMANIS, EKOLOGIS DAN VISIONER


BELU BUTUH PEMIMPIN HUMANIS - EKOLOGIS DAN VISIONER
(catatan pinggir buat pemimpin BELU 2015 - 2020)
Oleh: Herry Naif
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Daerah NTT
 
Sebagian besar wilayah di Indonesia akan melaksanakan sebuah hajatan demokrasi, yakni pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung. Bagi rakyat Indonesia pada umumnya, dan Belu pada khususnya tentu berpandangan bahwa momentum demokrasi ini bukanlah hal yang asing lagi, malah dimaknai sebagai ajang partisipasi rakyat dalam menentukan siapa pemimpin sesuai dengan pilihan kepentingannya.
Menghadapi momentum ini, kesepuluh partai politik yang ada pastinya sibuk dari awal persiapan hingga sampai menentukan figurnya untuk maju dalam pertarungan ini. Kesibukan partai politik pun terus meningkat seiring dengan kiat memenangkan pertarungan tersebut. Wacana akan siapa pemimpin Belu dalam waktu lima (5) tahun ke depan sedang pembicaraan menarik dan masih penuh tanya bagi parpol, paket figur yang dalam semangat gegap gempita mengkampanyekan diri.
Tak dipungkiri bahwa pelbagai pihak yang berkepentingan pun terlibat dalam hajatan tersebut. Ada yang berperan sebagai penyelenggara (Komisi Pemilihan Umum) dan yang lainnya dipercaya sebagai pengawas pemilukada yang difasilitasi negara. Sedangkan secara kelompok atau dalam paket tertentu, menjadi tim thank, tim strategi pemenang dan sebagainya. Atau lazim dikenal tim sukses (timses). Lalu ada pula yang hanya menonton dengan menikmati hingar-bingarnya hajatan tersebut. Keterlibatan mereka yang pasif itu jangan dipikir tak berharga, namun mereka sebetulnya adalah empunya mutiara yang ikut menentukan siapa pemimpin di Kabupaten Belu pada periode 2015-2020.
Perdebatan ramai warga baik secara individu atau pun kelompok dengan mengacu pada berbagai aspek nilai, baik kualitas intelektual, moral, visi-misi dan spiritual yang ingin diemban tidak terhindarkan. Rekam jejak atas track record dari setiap pasangan calon sedang dilakukan berbagai pihak. Itu wujud penilaian atas setiap pasangan calon yang akan ikut bertarung dalam pemilukadal. Atau masih banyak aspek yang disoroti sebagai pra-syarat calon untuk membawa bahtera Belu untuk mengarungi samudera yang dihiasi dengan berbagai problem rakyat menuju janji kemaslahatan yang ditawarkan untuk dilakoninya selama lima tahun ke depan.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah Belu telah menentukan 3 paket yang lolos seleksi diantaranya; drg. Falentinus Parera – Cyprianus Temu (fansmu NKRI) yang didukung PDIP dan Nasdem, Wilibrodus Lay – J.T Ose Luan (Sahabat) diusung Demkrat, Gerindra, Gokar, PAN dan PKPI . Sedangkan Ventje J.R Abanit Bona (Bowe) diusung oleh Hanura, PKB PKS. Ketiga paket ini sudah pasti merias diri dengan visi-misi dan isu – strategi yang akan dimanfaatkan sebagai istrumen pelumas hati rakyat dalam meraih suara terbanyak.
Terlepas dari perdebatan politik yang ada, isu human trafficking (perdagagan manusia), pemberantasan kemiskinan dan korupsi terus mendaptkan perhatian. Selain itu, isu penyelamatan ekologi dengan perbaikan manajemen pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan ekonomi dan ekologis dibutuhkan. Mengingat fakta yang sedang terjadi bahwa eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan akan menyisahkan berbagai kerusakan yang akan diwariskan bagi anak-cucu. Padahal mereka tidak pernah tahu dan menadapatkan keuntungan dari pengelolaan tersebut.


Belu dalam Teropong PSDA
Dari pantauan kami Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) melihat bahwa ada sebuah trend pengelolaan bagi negara yang diwakili oleh pemerintah kabupaten seenaknya mengobal sumber daya alam yang dimiliki wilayah tersebut, berupa Ijin Usaha Pertambangan (IUP). Dari data yang diambil dari kementrian Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) terlihat bahwa Pemkab Belu menjadi salah satu pemberi Ijin Usaha Pertambagan (IUP) terbanyak di NTT. Apakah itu sebuah prestasi yang perlu mendapat kebanggaan? Ataukah sebuah kebijakan yang tidak berpihak pada lingkungan menimbulkan sebuah kerentanan dalam bencana ekologi di masa depan? Lazimnya dikenal bencana ekologi. Kedua pertanyaan ini hendaknya menggugah para calon pemimpin dan rakyat dalam menentukan arah kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Ketiga pasangan (paket) calon Bupati dan Wakil Bupati Belu yang bertarung pada hajatan ini sekiranya tidak lupa membicarakan pertambangan (industri ekstraktif) sebagai satu substansi yang dibicarakan serius. Itu berarti, bahwa wacana akan adanya kelestarian dan penyelamatan ekologi tersisa juga sedang mendapat perhatian dalam perhelatan politik di Kabupaten Belu.
De fakto, ada pasangan calon yang terang-terangan menyatakan sikap menolak tambang, monitoring pertambangan tetapi ada pula yang seolah-olah buta-tuli terhadap kontraversi pertambangan yang terjadi di wilayah-wilayah pertambangan di Kabupaten Belu. Di tengah kegentingan ekologi, rakyat Belu membutuhkan pemimpin yang punya itikad baik dalam memulihkan dan menyelematkan ekologi Belu.
Sebagai warga yang cerdas dan kritis, tentunya tidak gampang menerima namun menyimak dan menganalisanya semua wacana yang ada. Seyogyanya, perlu dilakukakn kajian-sintesis antara gagasan dan pengalaman empirik-historis agar tidak dinilainya sedang onani politik untuk mendapatkan simpati dari kelompok-kelompok masyarakat yang secara tegas menolak adanya pertambangan. Wacana tolak tambang harusnya berbasis pada “political will” yang teruji dari berbagai faktor seperti rekam jejak, bahwa apakah pasangan calon itu adalah orang yang pernah punya cerita menyelamatkan lingkungan hidup.
Memang cerita dari Kabupaten Belu agak berbeda dengan beberapa kabupaten lain yang mana ada kelompok-kelompok yang konsisten menolak pertambangan di wilayahnya. Pergunjingan ini pun hendaknya dihantar sampai pada refleksi kritis atas model pengelolaan sumber daya alam yang humanis-ekologis.

Penyelamatan Ekologi Urgen di Belu
Pembahasan penyelamatan ekologi di Kabupaten Belu tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik (mati) dan biotik (hidup). Faktor abiotik antara lain suhu, air, kelembaban, cahaya, dan topografi, sedangkan faktor biotik adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga berhubungan erat dengan tingkatan-tingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling mempengaruhi dan merupakan suatu sistem yang menunjukkan kesatuan.
Karena itu, model pengelolaan sumberdaya alam yang eksploitatif dan ekstraktif mestinya dipertimbangkan secara matang dalam kacamata ekologi di Kabupaten Belu yang mana adalah deretan pulau-pulau kecil yang memiliki keterbatasan ekosistem yang tentunya rentan terhadap masifnya bencana ekologi. Industri ekstraktif tidak ramah terhadap hutan, air, ekosistem, perkampungan. Malah menimbulkan banyak kerusakan lingkungan hidup yang tak bisa dipulihkan dalam rentang waktu yang singkat.
Disadarai atau tidak, bencana ekologi sedang melanda dunia. Kerusakan alam hampir tidak dapat dibendung. Hutan yang memiliki fungsi penting dalam menyiapkan carbon, pelindung sumber mata air serta penyeimbang flora dan fauna tidak digubris. Tak heran banyak sumber mata air menjadi kering. Apabila semangat eksploitatif dan tindakan-tindakan ekstraktif masih terus meracuni masyarakat dan pemimpin di Belu, kiat mewujudkongkretkan pembangunan yang mengayomi masyarakat menuju kesejahteraan hanyalah menjadi sebuah utopia. Kemudian, disimpulkan bahwa lingkungan rusak karena kemiskinan.
Siapa bilang, kemiskinan mendorong orang untuk melakukan tindakan penggerukan alam tanpa pertimbangan keseimbangan ekologi. Mari kita menjawab?
Bukankah realitas kemiskinan seakan memaksa para pengambil kebijakan agar kemudian berkompromi dengan pemodal untuk melakukan pengelolalaan Sumberdaya alam? Ataukah, mereka itu yang sedang dijerat kemiskinan?
Lukisan tentang Indonesia dalam buku “Tanah Air”, Dewes Deker menyimpulkan bahwa Indonesia adalah zamrud katholistiwa. Indonesia memiliki potensi alam yang luar biasa didukung dengan keanekaramana hayati yang tidak dimiliki bangsa lain. Seiring dengan kekayaan itu, herannya kemiskinan itu terus menggurita. Lalu, apakah kemiskinan harus dijawab dengan penggerukan alam? Ataukah pengambilan kekayaan alam yang mempertimbangkan nilai keseimbangan (value judgement) akan membawa keadilan ekonomi dan ekologi?
Kita belajar dari negerinya Fidel Castro (Kuba) yang mana telah menemukan jurus jitu yang mirip dengan konsep “berdikari” yang pernah menjadi slogan Indonesia. Bahwa “produksilah apa yang kita miliki dan kita butuhkan dengan cara dan arah yang kita inginkan”. Bukannya memproduksi sesuatu yang dibutuhkan pemodal dan asing. Dan sangat tidak logis, menyiapkan bahan baku bagi negara asing dan mengivestasikan kerusakan bagi anak negeri. Tak heran bencana ekologi yang masif terjadi, jeritan kemiskinan terus menjadi hasil tuaian bersama.
Kenyataan itu tidak sedang kita disadari. Ketidakseimbangan curah hujan sedang menjadi keluhan petani. Abrasi pantai, longosoran, banjir, kekeringan sumber mata air dan lainnya harusnya menjadi refleksi-kritis warga terutama para calon pemimpin Belu yang sedang bertarung, sampai kapan bencana itu diminimalisir.

Analisa ekologis terhadap salah urus sumber daya alam
Hakekatnya, pemerintah dimandati mengurus sumberdaya alam yang mengedepankan kepentingan ekonomi daripada kepentingan ekologi, sosial dan budaya. Akibatnya, kelompok tertentu saja yang menguasai keuntungan pengelolaan sumberdaya alam. Hak Pengelolaan Hutan (HPH), Kontrak Karya Pertambangan, Hak Pengelolaan Pesisir dan Perikanan (HP3), dan sebagainya adalah mekanisme formal negara dalam mengekploitasi sumberdaya alam mulai dari pegunungan, hutan, perkebunan, pemukiman, pesisir, dan laut atas nama negara untuk kepentingan investasi.
Tidak heran, di sekitar lokasi-lokasi konsesi sumberdaya alam, pada umumnya masyarakat tidak banyak dilibatkan dalam pengelolaan. Dalam banyak kasus, mereka menjadi korban penggusuran, pemaksaan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Sumber-sumber penghidupan rakyat dikuasai negara dan digadaikan pada modal. Rakyat hanya dijadikan sebagai subjek penonton dalam seluruh kebijakan dengan basis argumentasi adalah peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pertanyaannya, dimanakah posisi rakyat? Bukankah kita sedang menanti remah-remah keuntungan yang diperoleh modal. Kita sedang terasing di negeri sendiri.
Herannya, fakta ini tidak pernah dijadikan sebagai bahan refleksi agar model pengelolaan sumberdaya alam diubah dengan mengutamakan kepentingan rakyat dan lingkungan hidup. Artinya, pengelolan sumberdaya alam yang humanis-ekologis menjadi solusi alternatif pemimpin dan warganya dalam mengelola sumber-sumber penghidupan yang dimilikinya.
Berbagai permasalahan ini menjadi cerminan bahwa kita sedang dimiskinkan oleh sistem pengelolaan sumberdaya alam yang dikembangkan selama ini. Pertanian, Peternakan, Kehutanan, Perikanan dan Kelautan serta home industry, industri rumah tangga (tenun-ikat) dan berbagai kerajinan rakyat lainnya mestinya didorong menjadi modal dan sumber penghidupan yang mendapatkan asupan perhatian serius dari pemerintah. Bukannya, para petani divonis perusak hutan tanpa sebuah solusi? Peternak dinilai gagal karena jumlah ternak berkurang dari tahun ke tahun. Nelayan dinilai sebagai yang menuai tanpa menanam. Kelompok tenun-ikat dari ibu-ibu hanya sekedar jadi peserta festival atau pameran budaya. Pariwisata hanya menjadi ajang kampanye tanpa mempersiapkan infrastruktur yang mendukung pertumbuhan industri tersebut.
Sejauhmana tawaran alternatif yang diemban dalam mendorong pertanian selaras alam, bukan sekedar seremoni food summit dan festival pangan sebagai rutinitas tahunan. Peternakan yang seharusnya memenuhi pasaran daging, bukan impor daging sapi besar-besaran yang bermotifkan korupsi. Para nelayan mestinya memenuhi asupan protein anak-anak Belu bukanya potensi laut yang ada dibiarkan terus dijarah oleh kapal-kapal asing. Produksi kelompok tenun ikat mestinya menyaingi pasaran batik, bukannya dihadirkan saat festival dan pameran budaya.
Sadar atau tidak, pilihan akan adanya pertambangan di Belu adalah wujud kegagalan negara (pemerintah kabupaten) Belu dalam mengembangkan sumber-sumber penghidupan seperti pertanian dan peternakan. Bila ditelaah secara logis dalam melakukan studi perbandingan antara in come (pendapatan) dari sebuah pertambangan tidak sebanding dengan biaya reklamasi. Kita tidak hanya fokus pada kerusakan lingkungan tetapi harus dilihat dalam ranah kerusakan ekosistem, perubahan tata hidrologi air dan land scape yang ditimbulkan.
Rendanya pendapatan dari beberapa sumber-sumber penghidupan masyarakat Belu seolah-olah mengamini bahwa dengan investasi pertambangan akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Padahal, sumberdaya alam dieksploitasi secara serampangan untuk kepentingan pembayaran utang luar negeri serta mempertebal kantong-kantong kroni elit-elit kapitalis. Semua kebijakan yang berkaitan dengan sumberdaya alam di-design menjadi sektoral dan teralienasi untuk maksud-maksud mulusnya jalan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Pra-syarat yang perlu dilakukan untuk sebuah pengelolaan sumberdaya alam yang visioner, humanis-ekologis perlu diimplementasikan dengan beberapa wujud, diantaranya; Pertama, bagaimana penataan ruang kelola agar menghindari tumpang tindi (over laping). Kedua, pengelolaan sumberdaya alam berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS) Bioregion. Semestinya pertimbangan keadilan akses dan kontrol bagi masyarakat hilir-hulu. Lebih dari itu monitoring akan adanya deforestrasi dan degradasi kualitas lingkungan di kawasan hulu untuk meminimalisir bencana di daerah hilir. Ketiga, perlindungan kawasan peresapan air (water scatchman area) agar melihat sejauhmana kualitas kawasan penyangga tersebut. Dengan demikian, perlindungan terhadap sumber mata air lokal mendapat perhatian. Keempat, bagaimana mendorong partisipasi rakyat dalam penyelamatan lingkungan hidup menjadi tanggung jawab bersama. Bila setiap tahun, setiap warga menanam satu pohon saja dan dipeliharanya sampai besar bisa dibayangkan berapa pohon akan tumbuh di Kabupaten Belu dalam waktu lima tahun.
Mengakhiri tulisan ini, seluruh komponen diajak untuk “Pulihkan Belu, Utamakan Keselamatan Rakyat” dengan memilih calon pemimpin yang visioner, humanis-ekologis.

WTM Lakukan Kunjung Belajar Produksi Minyak

Dalam upaya mendorong pengembangan kualitas hidup yang lebih layak bagi masyarakat dampingan di Kecamatan Mego, Mapepanda dan Tana Wawo, Wahana Tani mandiri (WTM) yang didukung Miseror melakukan kunjungan belajar produksi minyak kelapa di kelompok Kembang Baru Nanghure (12/12). Kelopok kembang baru ini menjadi pilihan belajar karena sejak tahun 2009 kelompok ini sudah mengelola dan memproduksi minyak kelapa “Sunset) yang sudah mendapatkan ijin produksi.
Dalam acara pembukaan, rombongan belajar yang dipimpin Herry Naif (Koordinator Penelitian dan Advokasi Lingkungan WTM). Menurut Herry, kunjungan belajar ini merupakan sebuah refleksi atas perjalanan Advokasi WTM sejak 1995. Bahwa WTM sudah berada dalam tiga mazhab, yakni pada awalnya WTM melakukan pengorganiasian kelompok Tani. Tidak heran pada masa itu ada begitu banyak kelompok tani yang dibentuk. Mazhab kedua WTM memperkenalkan konsep pengelolaan usaha tani terpadu secara organik. Pada masa ini WTM, mengkampanyekan tentang pertanian organik, dan secara tegas menolak model pengelolaan pertanian kimiawi. Kini WTM memasuki mazhab pemberdayan rakyat atas hasil produksi kebun atau produksi lain yang bisa dijadikan pendapatan altenatif bagi petani di wilayah dampingan. Bahwa selain upaya memenuhi kebutuhan pangan dalam rumah tangga, kelompok tani dampingan juga perlu memikirkan berbagai potensi yang ingin dikembangkan oleh para petani, demikian ujar Naif.
Sedangkan Yoseph Dala, Insiator kelompok Kembang Baru memberi apreseasi kepada WTM karena sudah pada saatnya, WTM harus naik kelas. Segala potensi petani harus diolah menjadi yang lebih baik. Untuk itu, hari ini mari kita belajar membuat minyak agar tidak tengik. Dan minyak itu bisa bertahan lama dan diatur pengepakannya. Lebih lanjut Yos mengatakan bahwa pembuatan minyak adalah upaya memberdayakan potensi lokal yang dimiliki kabupaten Sikka yangmana merupakan kabupaten pemilik kelapa terbesar di Wilayah Flores.
Setelah seremonial pembukaan 22 petani yang didatangkan dari 11 kelompok tani dampingan WTM dibagi dalam tiga (tiga) kelompok untuk belajar memproduksi minyak mulai dari cara memilah kelapa yang baik, mengupas, memarut, menyaring hingga memasak minyak.
Seluruh tahapan dan proses pembuatan minyak secara serius diikuti oleh para petani.
Setelah proses memasak minyak, para petani difasilitasi untuk membuat perencanaan bersama agar kegiatan ini punya dampak positif bagi mereka. Dalam diskusi, disepakati bahwa ada 4 kelompok tani yang akan melakukan proses masak minyak pada hari selasa, 15 Desember 2015 untuk mempraktekan apa yang diiperoleh hari ini. Sedangkan beberapa kelompok lain akan mulai memproduksi minyak setelah memasuki tahun 2016 sebagai kebangkita baru.
Di sela-sela kegiatan, Winfridus Keupung, (Direktur WTM) menjelaskan mengenai gambaran konsep yang mau dikembangkan WTM ke depan. Bahwa WTM sedang mendorong agar seluruh hasil produksi dan potensi yang ada hendaknya dikembangkan agar memiliki nilai tambah tetapi bukan berarti mengubah profesi mereka sebagai petani. Karena, menurutnya ini merupakan pendapatan tambahan dalam memenuhi kebutuhan hak dasar petani. Tanpa usaha ini petani akan terus tenggelam dalam berbagai kebutuhan yang melilitinya, ujar Win.

Walhi Desak Presiden Cabut Izin Pertambangan di NTT

Maumere, Flores Pos
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTT Herry Naif mendesak Presiden RI Joko Widodo mencabut semua izin pertambangan di NTT karena pertambangan mendatangkan banyak kerugian bagi masyarakat dan belum berpihak pada rakyat.

"Presiden Jokowi harus mencabut semua izin pertambangan di NTT," kata Heribertus Naif menghubungi Flores Pos, Rabu (28/10).
Herry mengatakan, dari pantauan dan kajian yang dilakukan Walhi selama ini diketahui bahwa rencana ekspansi pertambangan di NTT merupakan kebijakan yang tidak berpihak pada lingkungan dan rakyat NTT.

Alumnus STFK Ledalero ini menyebut enam alasan ekspansi pertambangan di NTT tidak berpihak pada rakyat dan karena itu Walhi meminta pemerintah pusat segera mencabut izinnya.
Pertama, pertambangan adalah industri keruk yang akan mengubah bentangan alam dan tata hidrologi yang berdampak pada kekeringan, longsor dan keterbatasan pangan.
Kedua, pertambangan hanya menguntungkan kelompok modal, sedangkan rakyat akan menikmati kerusakan dan kemiskinan.
Ketiga, pertambangan mencaplok ruang yang selama ini menjadi sumber penghidupan rakyat.
Keempat, pertambangan juga penuh mafia yang hanya akan menjadi ajang perjudian bagi penguasa dalam momentum politik.
Kelima, NTT adalah daerah kepulauan yang membutuhkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang ramah lingkungan.
Keenam, perlu evaluasi dan monitoring terhadap pertambangan yang dilakukan selama ini agar semua izin dicabut.
"Sekali lagi, Walhi mendesak presiden Jokowi segera mencabut semua izin pertambangan di NTT," katanya.

Dukung
Direktur Wahana Tani Mandiri Kabupaten Sikka Winfridus C. Keupung yang dihubungi terpisah mendukung langkah Walhi NTT yang mendesak pemerintah segera mencabut semua izin pertambangan di NTT.
Saya sangat mendukung pencabutan semua perijinan di NTT karena keberadaan pertambangan sangat tidak menguntungkan rakyat," kata Win. Menurut Win, topografi NTT khususnya Flores sangat kecil dan area yang kecil itu sangat pas untuk pengembangan lahan pertanian.
"Wilayan NTT khususnya Flores sangat potensial untuk pengembangan pertanian. Kita harus tolak segala bentuk penambangan dan memajukan sektor pertanian," kata Win. (Wall Abulat), editor Frans Anggal.
PERTAMBANGAN RAKYAT BUKAN SOLUSI 
 
Resistensi (perlawanan) masyarakat lokal terhadap ekspansi industri pertambangan di Nusa Tenggara Timur beberapa tahun terakhir menarik untuk dikaji dalam kaitan dengan hubungan antara Negara, korporasi dan masyarakat lokal yang mana sama-sama menjadi bagian dari proses hadirnya pertambangan di NTT. Resistensi ini sebetulnya hendak memaksa Negara untuk mengubah mekanisme regulasi yang berkaitan dengan pertambangan. Bila dianalisa lebih jauh, resistensi ini juga mengandung sebuah ‘kepercayaan’ sosial bahwasannya kekuatan perubahan sesungguhnya ada pada rakyat. Hal ini tentu merujuk pada kelompok yang memiliki hubungan langsung dengan kepemilikan sumber daya alam (asset) pada tanah dan kawasan ulayat, namun secara ekonomis, sosial, dan budaya tidak mendapat keuntungan guna mendukung keberlangsungan hidup mereka. 
 
Hampir seluruh cerita perlawanan masyarakat lokal terhadap laju ekspansi industri pertambangan di NTT berakhir baik. Artinya, perlawanan masyarakat lokal massif dan intensif berimplikasi pada moratorium terhadap beberapa aktifitas perusahaan di NTT. Lepas dari cerita sukacita di atas, setahun terakhir ini, wacana pertambangan rakyat mulai dihembuskan (lagi) oleh beberapa pihak. Wacana pertambangan rakyat diyakini kelompoknya sebagai bentuk kedaulatan rakyat atas sumber daya alam yang dimiliki. Dengannya, rakyat mempunyai posisi tawar sendiri dan mendatangkan keuntungan ekonomi sebanyak-banyaknya. 
 
Selain itu, pertambangan rakyat, konon, tidak banyak berkontribusi terhadap kerusakan ekologis. Karena semua dilakukan secara tradisonal tanpa pemakaian alat - alat berat. Dampak Ekonomi Indonesia merupakan Negara eksportir utama bahan mineral bagi Negara-negara antara lain Cina, Jepang dan India. Cadangan mangan Indonesia menyumbang setidaknya 10 persen cadangan mangan dunia. Dirjen Minerba (2012) memperkirakan cadangan mangan Indonesia mencapai 4 miliar ton. 
 
Ironinya, meskipun belum mendapat kajian matang, komoditas mangan Indonesia sudah banyak diproduksi dan diekspor, sehingga kita tak pernah paham berapa produksi mangan secara keseluruhan dari bumi nusantara ini. Mangan itu sendiri alah logam transisi. Sekitar 90 persen dari produksi mangan dunia saat ini digunakan sebagai bahan campuran pembuatan baja. Substitusi mangan hingga saat ini sulit ditemukan. Karena baja terbuat dari besi, maka besi dan mangan merupakan bahan komplemen dalam pembuatan baja. Mangan berguna meningkatkan kualitas tempaan baja, baik dari segi kemampuan pengerasan maupun kekuatannya. Dalam memenuhi kebutuhan pasar global tadi, permintaan akan produksi mangan pun semakin tinggi. Namun, permintaan pemenuhan kebutuhan komoditas mangan ini tidak linear dengan pembagian keuntungan (harga) mangan itu sendiri. Artinya berapa besar manfaat ekonomi yang diterima oleh rakyat NTT, pemilik dan pekerja mangan.
 
Catatan WALHI NTT menemukan banyak fakta (di TTU) bahwa harga mangan tidak adil, berkisar Rp 400 sampai Rp 1.500 per kilogram. Tentu harga ini tidak sebanding dengan biaya produksi mangan, dan dampak-dampak lanjutan lain yang dialami para penambang dan lingkungan. Negara dan masyarakat penambang sama sekali tidak turut terlibat dalam penentuan harga mangan. Semua bergantung pada mekanisme pasar, yakni korporasi itu sendiri. Dampak Ekologi Kabar pertambangan rakyat tidak merusak ekologi adalah irasional. Fakta menunjukkan, pertambangan, apa pun model dan bentuknya selalu merusak lingkungan. Di TTU (2011), para penambang rakyat membongkar tanah dan pohon untuk mendapatkan mangan. Akibatnya banyak lubang-lubang tambang menganga tanpa ada upaya pemulihan (reklamasi). Kondisi ini, selain berakibat terjadinya banjir – longsor, juga menyebabkan kematian dari pekerja di lubang tambang. 
 
Laporan Global Studies, Social Sciences and Planning, RMIT University, Melborne, Australia, September 2012, menyatakan dalam kurun waktu 2008 – 2010, sudah 54 warga di Timor Barat tewas di lubang tambang. Dampak sosial budaya cerita pertambangan adalah cerita soal rakyat yang kian tercerabut dari akar budaya dan ekonomi riil. Mereka yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian dan peternakan kian miskin karena lahannya sudah dikonversi menjadi wilayah pertambangan. 
 
Gagasan otonomi daerah untuk mengangkat daya juang petani-petani lokal kian berantakan. Dengan ‘surga tambang’, petani meninggalkan pekerjaan sebagai petani menjadi pengumpul bahan tambang. Tambang telah menciutkan generasi petani tangguh – kreatif yang mampu membangun strategi beradaptasi pada lingkungan kritis menjadi petani bermental instan yang menggali bahan tambang. 
 
Selain itu, dalam lingkup sosial budaya yang lain, pertambangan rakyat juga rentan terjadinya konflik horizontal di antara masyarakat, maupun konflik vertikal antara masyarakat dengan pemerintah. Klaim pemilikan tanah di antara para tuan tanah menjadi persoalan krusial, yang bukan tidak mungkin menjadi potensi konflik di antara para pemilik tanah ulayat. Belum lagi dengan keturunan para tuan-tuan tanah tersebut. Di antara masyarakat sekitar lokasi tambang, kemungkinan konflik bisa saja terjadi di antara kelompok pro tambang dan kontra tambang; kelompok yang diuntungkan oleh industri tambang dengan kelompok yang merasa dirugikan oleh industri tambang.
Lebih konyol lagi, argumentasi akan meniadakan mangan dari perut bumi agar pertanian menjadi efektif adalah sebuah rasionalisasi pembenaran atas kebirahian dalam merogo isi perut bumi Timor. Faktanya banyak pohon ditumbangkan pada saat penggalian mangan. Sederhana saja bahwa mangan adalah salah satu unsur hara mikro yang dibutuhkan tumbuhan. Lantas bagaimana dengan pasokan unsur hara mangan (Mn) bagi tumbuhan?
 
Litani panjang akan dampak negatif pertambangan semestinya menjadi refleksi masyarakat NTT baik di tingkat akademisi, aktifis dan warga. Pada tahun 2015, tentunya hampir seluruh wilayah di NTT mengalami keterbatasan air. Sepintas dilihatnya sebagai hal biasa. Padahal bila dianalisis lebih jauh, kekeringan panjang yang terjadi adalah bencana ekologi akibat akumulasi kerusakan hulu yang masif terjadi. Kontribusi pengelolaan sumber daya alam yang berorientasi pada tindakan eksploitasi tanpa sebuah pertimbangan keadilan ekologi dan keseimbangan ekosistem menjadi hal pemicu. 
 
Berangkat dari potret buram ekologi yang terus tidak menjanjikan sebuah kelestarian, pastinya juga menghantar kita pada sebuah lingkungan yang tak layak huni. Niat akan pertambangan rakyat hanyalah sebuah pelumas padahal tetap berlabelkan tindakan ekstraktif. Untuk itu, pemulihan ekologi mestinya menjadi landasan perubahan paradigma pengelolaan sumber daya alam yang lestari.

Jumat, 04 Desember 2015

KADER TANI WTM SIAP LAKUKAN KAWIN SILANG BENIH PADI

KADER TANI WTM SIAP LAKUKAN KAWIN SILANG BENIH PADI

    Kegiatan penelitian “kawin silang” benih padi diselenggarakan Wahana Tani Mandiri (WTM)  dalam kerja samanya dengan Miserior. Kegiatan ini difasilitasi oleh Mathias  Pagang, petani peneliti asal Lembor, Manggarai Barat. Acara ini dilakukan pada tanggal 27/28 November 2015 di Puskolap Jiro-Jaro, Tana Li, Desa Bhera, Kecamatan Mego, Sikka.
    Mathias Pangang petani asal Lembor, Manggarai Barat yang sukses menemukan “Padi Pagang” pada tahun 2007, mengawali kegiatan ini dengan mensharingkan pengalamannya sebagai petani peniliti. Bahwa, sejak tahun 1995 saya sudah melakukan penelitian terhadap benih padi. Saya mendapatkan 12 benih unggul setelah melakukan penilitian selama 12 (duabelas) tahun. Penelitian yang saya lakukan selalu gagal, namun tidak membuat saya  putus asa. Hampir duabelas tahun saya terus melakukan penelitian benih padi hingga sampai menemukan padi pagang, demikian tutur sang petani yang berusia 65 tahun.
    Menariknya, pada saat memfasilitasi kegiatan tersebut, Pagang menyatakan, bahwa petanit tidak menyadari bila sementara terjadi proses penindasan yang dilakukan oleh perusahaan atau korporasi-korporasi yang mampu membayar para peneliti untuk kemudian menjual benih hasil penemuan benih mereka. Padahal, benih yang ditemukan belum tentu cocok dengan iklim Flores. Untuk itu, saya mengajak kita semua untuk serius melakuan penelitian ini, agar kemudian petani di Sikka bisa menemukan benih padi unggul, demikian kata bapa yang sudah berumur 68 tahun.
    Beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan ini: pertama: menghargai pentingnya keanekaragaman padi, terutama kekayaan karakteristik pada jenis padi tradisional yang cocok dengan wilayah pengembangannya; kedua, Mempelajari langkah dan persyaratan dasar membuat percobaan adaptasi, dokumentasi dan pengelolaan padi lokal dan melakukannya di kebun sendiri; Ketiga, Berdiskusi tentang berbagai metode dan praktek produksi padi organik terutama dari pengalaman MASIPAG yang kemudian ditularkan kepada sesama anggota kelompok tani; Keempat, Menjadikan diri sebagai subjek dalam menentukan arah dan teknis pertanian yang mau dikembangkannya.
    Kegiatan ini dihadiri oleh Carolus Winfridus Keupung (Direktur WTM)  beserta kedelapan staf dan delapan utusan Petani Peneliti dari kelompok dampingan yang tersebar di wilayah kecamatan Mego, Magepanda dan Tana wawo. Para peserta terlihat sangat serius dan antusias dalam mengikuti seluruh rangkaian proses kegiatan, karena bagi mereka hal ini merupakan pengalaman baru yang sangat menarik dan malah bisa dilakukan oleh seorang petani.
    Herjon, salah satu peserta dari Renggarasi yang sempat ditemui,  mengatakan bahwa “kegiatan ini merupakan sesuatu yang sangat mahal. Tidak mudah untuk memperoleh pengetahuan yang begitu berarti seperti ini dalam waktu yang singkat. Apalagi bagi kami yang masih awam dalam kegiatan penelitian merasa begitu bahagia sekaligus bangga. Oleh karena itu,  kami perlu memberi apresiasi kepada pihak WTM yang telah memberikan kesempatan kepada kami (petani) untuk terlibat dalam penelitian ini.
    Kegiatan seperti ini akan selalu memacu kami untuk selalu berusaha untuk memperbaiki kualitas kami sebagai petani dari waktu ke waktu, “ tutur Hejron, seorang tokoh muda desa Renggarasi. 
    Hal yang sama, dipertegas oleh Yosep Siprianus Rehing, kader tani muda dari desa Bu Selatan mengatakan bahwa “penelitian ini menjadi daya pacu sekaligus pembelajaran bagi kami dalam menemukan sebuah varietas baru yang cocok dengan wilayah kami, yang penting kami sabar dan tekun. Karena semangat melakukan penelitian ini harus dibarengi dengan kesabaran,” demikian tutur sipri.
    Setelah pembelajaran sehari dalam ruang, para peserta dilatih untuk melakukan praktek lapangan dengan melakukan pemilihan malai padi, lalu dilakukan pengebirian padi pada malai/bulir yang hendak dilakukan kawin silang dalam waktu sehari.
    Pada akhir kegiatan tersebut, para peserta merencanakan untuk setiap peneliti melakukan penelitian benih pada wilayahnya di setiap kelompok tani. Ada yang berencana juga melakukan kawin silang jagung karena prinsipnya sama. Selain itu, peserta juga diminta mengidentifikasi padi lokal yang ada diwilayah masing-masing. Dari hasil indentifikasi ada 9 varietas padi lokal diantaranya: pare nida, pare bebo naja, pare menge, pare daga, pare laka, pare nggoru, pare kera, pare lama lera, pare 100 hari. 
    Kesembilan varietas ini akan  dikawinkan petani peneliti pada musim ini agar mendapatkan varietas unggul dan sesuai dengan apa yang diinginkan peneliti. Para staf WTM pun telah menyiapkan benih padi lokal yang mau dikawinkan agar menjadikan WTM sebagai pusat laboratorim padi di Sikka, demikian tutur Kristo Gregorius (Koordinator Lapangan WTM).

Herry Naif, Direktur WALHI NTT dan Koordinator Advokasi, Penelitian Lingkungan Hidup Wahana Tani Mandiri (WTM) – Maumere, Flores NTT
KOMUNITAS ADAT PUBABU – BESIPAE SEBAGAI TITIK PEMBELAJARAN
Oleh: Herry Naif*

Berbagai kampanye akan kedaulatan pangan yang digalakkan berbagai komponen sebagai upaya memenuhi hak atas pangan yang  berkualitas seakan tidak menjawabi permasalahan tersebut.
    Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Daerah NTT dalam kerja samanya dengan Global Environment Facility (GEF) dalam Small Grant Program (SGP) melakukan program “Membangun Kedaulatan Pangan melalui Penyelamatan Hutan dan Air berbasis Kearifan Lokal di Pubabu – Besipae”. Hakekatnya, program bertujuan membangun kedaulatan pangan mulai dari komunitas-komunitas kecil, dengan menanam kembali berbagai varietas pangan lokal yang pernah dikembangkan masyarakat setempat. Pertanian merupakan sumber penghidupan (modal ekonomi) warga Besipae sejak dulu. Selain itu juga, pertanian dipandang sebagai modal budaya, yang mana hampir keseluruhan budaya mereka membicarakan tentang relasi mereka dengan lingkungannya dan modal sosial dimana interaksi sosial yang harmonis menjadi tuntutan.  Bila ini dilakukan dalam kesadaran baru yang terus menggelora, tentunya tawaran akan nilai-nilai baru tidak akan mengendusnya dalam berbagai problem,  namun ditolak pula dalam sebuah bingkai argumentansi yang tak dapat diperdebatkan.
    Di sisi lain, pertanian seakan dinilainya tak mampu mensejahterahkan rakyat. Secara sederhana diindikasikan oleh kebijakan pemerintah terlalu menghandalkan pertambangan (industri ekstraktif) ketimbang mengurus pertanian dan peternakan hingga kini masih menjadi lokomotif ekonomi masyarakat NTT.
    Padahal, ekspansi pertambangan yang terberi dalam 315 Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang semakin meluas ini akan berdampak pada perampasan lahan pertanian dan kerusakan lingkungan sebagai bayarannya. Provinsi NTT sebagai daerah gugus pulau kecil tentunya rentan terhadap keterbatasan pangan dan air akibat dari kurangnya curah hujan. Lebih mengkwatirkan bila ruang pertanian terus menyempit selain akibat perluasan kawasan pumikaman, pertambangan dan peruntukan lainnya.
    Dalam menjalankan program ini, WALHI NTT bekerja sama dengan Ikatan Toko Adat Penegak Kebenaran dan Keadilan (ITA – PKK)  sejak September sampai sekarang menjalankan program tersebut.  Mulai dari persiapan lahan pangan, penanaman, perawatan hingga pemanenan. Sedangkan berbagai kegiatan peningkatan kapasitas petani, seperti pelatihan konservasi tanah, pelatihan pengembangan pangan lokal (shorgum), jagung lokal, padi, sain (sesawi) dan lain-lain, pelatihan manajemen kelompok tani, pelatihan pembuatan pupuk organik dan pelatihan teknik penanaman yang ramah lingkungan.     Dan berbagai aktivitas lainnya dijalankan dalam upaya mendukung program membangun kedaulatan di komunitas tersebut.
    Rangkaian berbagai kegiatan dalam program ini berpuncak pada acara Festival Pangan Lokal di Komunitas Adat Pubabu – Besipae, pada tanggal 27 – 29 Maret 2015. Festival ini sebagai simbolisasi kampanye atas kedaulatan pangan. Kegiatan ini dihadiri oleh anggota komunitas dan beberapa undangan. Festival ini diselingi dengan kegiatan Diskusi Pengelolaan Kawasan Hutan yang difasilitasi oleh Magnus Kobesi (Direktur LBH Timor). Diskusi Pertanian Organik dan Penggunan Biogas yang difasilitasi oleh Geng Motor Imut.  Disksusi tenun ikat  dalam kaitan dengan pelestarian hutan oleh Aleta Baun (Koordinator Organisasi A'Taimamus (OAT) yang kini juga sebagai anggota DPRD NTT. Kegiatan festival ini berjalan semarak diiringi dengan musik dan tarian lokal seperti; tarian ma ekat, bsoat (tarian giring-giring) dan beberapa acara kreasi lainnya dari komunitas dalam memeriahrayakan kegiatan tersebut.
    Kegiatan ini dibuka dengan seremonial adat oleh para tokoh adat dengan penyembelihan binatang sebagai penghormatan terhadap leluhur dan permohonan kepada mereka agar acara ini berjalan lancar. Setelah itu dilakukan seremonial pembukaan dengan penyambutan para tamu.  Dalam acara pembukaan ini, Herry Naif (Direktur WALHI NTT) mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang sejak awal terlibat dalam memberi dukungan kepada masyarakat adat Pubabu Besipae dalam memperebutkan hak atas tanah yang telah lama dikontrakan kepada pihak Australia dalam program pengembangan ternak. Tidak ada petani yang akan bertani baik bila tidak memiliki tanah. Tanah sebagai alat produksi. Tidak heran bila kemudian komunitas Besipae berjuang untuk merebut tanah ini sebagai alat produksinya atau menjadi sumber penghidupan. Sejauh pengalaman di beberapa tempat lain di NTT, bahwa solidaritas terbangun di saat perjuangan, setelah memperoleh tanah yang terjadi justru tidak saling menghargai satu sama lain dan malah ada kelompok yang mengklaimnya sendiri. Lalu tanah itu juga kemudian tidak dimanfaatkan secara efektif. Pertanyaannya, mengapa warga berjuang merebut lahan kalau hanya untuk dibiarkan? Demikian kenangnya dan otokritik terhadap komunitas yang pernah didampinginya.
    Sedangkan, Niko Manao, salah satu amaf dari komunitas adat Pubabu Besipae, mengatakan bahwa perjuangan kita tidak selesai pada acara festival ini, tetapi perebutan ini harus menunjukkan nilai lebih kepada pihak lain di luar komunitas. Nilai yang akan menjadi buah pembelajaran kepada kita dalam komunitas dan berbagai pihak lain. Pada acara ini tentunya kita semua akan bergembira dan bersyukur atas hasil panen ini sebagai ungkapan syukur atas berkah yang kita terima. Setelah menyampaikan beberapa hal, beliau membuka acara festival dalam bahasa setempat (dawan).
    Dengan demikian, kegiatan festival pangan lokal dimaknai dalam beberapa bertujuan diantaranya; Pertama: Mengembangkan model pengolahan hasil produksi tanaman pangan lokal jagung (pena), shorgum (pen buka), sesawi (sain), kacang-kacangan dan beberapa jenis tanaman umur panjang seperti: Mangga, Nangka, Jeruk dll. Selain itu dilakukan Penghijauan (penanaman beringin) dan beberapa pohon lainnya sebagai wujud menghijauhkan daerah-daerah tandus. Kedua; Menemukan suatu metode/model pengelolaan pertanian yang adaptif terhadap perubahan iklim; Bila iklim ini tidak mampu dibaca dalam sebuah kelender musim secara tepat dapat berakibat fatal pada gagal panen. Ketiga: Mendorong partisipasi masyarakat dan pemerintah desa dalam upaya mewujudkan kedaulatan pangan. Pada musim tanam tahun ini, komunitas Besipae telah mendapatkan sebuah gambaran pembelajaran akan bagaimana mengelolah pertanian secara lestari.
   
   
   
* Penulis adalah Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT, periode 2011 -2015
   
Persoalan Pangan sedang menjadi permasalahan yang langgeng terjadi setiap tahun di Indonesia dan bangsa-bangsa lainnya di dunia. Pemenuhan pangan sebagai salah satu hak dasar merupakan tanggung jawab negara. Untuk mewujud-kongkretkan pemenuhan atau kedaulatan atas pangan sesungguhnya tak hanya pekerjaan pemerintah semata, tetapi seluruh komponen bangsa dituntut berperan aktif. Hingga hari ini, krisis pangan seolah terus membelit rakyat.

SUARA RAKYAT PASIR PANJANG - KOTA KUPANG


SUARA RAKYAT PASIR PANJANG
TOLAK PEMBANGUNAN JOGGING TRACK
AYO SAVE PANTAI PASIR PANJANG SEKARANG JUGA UNTUK ANAK CUCU KITA”

Proyek pembangunan pengaman pantai pasir panjang Kota Kupang sepanjang 500 Meter dengan anggaran dari APBN sebesar 9,5 Milyar Rupiah mendapat penolakan dari warga setempat yang tergabung dalam forum “Suara Rakyat Pasir Panjang” karena proyek tersebut menghilangkan Pasir Putih Pantai Pasir Panjang yang memiliki nilai Estetika, Ekologi, dan Ekonomi yang sudah dinikmati manfaat dan keindahannya oleh warga setempat dan Masyarakat Kota Kupang pada umumnya.
Dengan demikian Forum Suara Rakyat Pasir panjang Menolak Pembangunan Joging Track, karena yang diinginkan adalah bangunan pemecah gelombang (Break Water) yang titik letaknya 25 M atau 30 M dari bibir pantai dibawah Posing (Rief) dan membudidayakan tanaman Mangrove, Pandan, Waru, dan ketapang untuk menyelamatkan dan menjaga keindahan pantai.
Pemerintahan Kota Kupang tetap bersikap keras proyek tersebut tetap di laksanakan tanpa mempedulikan gerakan penolakan dari warga pasir panjang. Jika pembangunan itu atas dasar permintaan masyarakat walaupun sebagian besar warga pasir panjang yang menolak pembangunan tersebut namun karena ada permintaan dua warga yang mengatasnamakan warga pasir panjang, Pemkot tetap menjalankan proyek itu. Ada apa Pemkot tetap bersikap keras untuk melaksanakan proyek itu????. Jika pembangunan tersebut tetap di lanjutkan mencerminkan bahwa Yonas Salean Wali Kota Kupang dan Anggota DPRD Kota Kupang dan DPR RI tidak mendengarkan suara masyarakat pasir panjang yang menolak pembangunan jogging Track dan lebih mementingkan kepentingan investor untuk mereklamasi pantai pasir panjang sepanjang 500 meter.
Hal ini juga menunjukkan Wali Kota masih ingin melanjutkan rencana Reklamasi tanpa menghiraukan ancaman bencana ekologis, dan kehidupan parah Nelayan pasir Panjang, dan Masyarakat Kota Kupang dalam mengakses tempat rekreasi pantai pasir putih di tengah kota.
Untuk kami mengajak seluruh Masyarakat Kota kupang untuk mendukung Gerakan “Ayo Save Pantai Pasir Panjang Sekarang Juga, untuk anak cucu kita” bersama masyarakat pasir panjang.

Rabu, 15 April 2015

Kedaulatan Petambak Garam: Tolak Import Garam di Indonesia

Kondisi Lingkungan hidup wilayah NTT dan Indonesia pada umumnya sedang menjadi perhatian publik, dimana dibicarakan banyak pihak dalam ruang publik, seperti: melalui media cetak, elektronik atau pertemuan-pertemuan formal maupun non-formal. Hampir setiap masyarakat sedang resah dengan kondisi alam NTT yang dinilainya tidak bersahabat (darurat genting). Dimana-mana terjadi bencana longsor, banjir, kekeringan dan lainnya.  Spontan orang berasumsi bahwa peristiwa-peristiwa itu signal alam tidak bersahabat dengan manusia. Alam seakan muak dengan perilaku manusia yang tidak ramah lingkungan. Akar masalah krisis lingkungan NTT disebabkan oleh amburadulnya kebijakan pengurusan sumberdaya alam.

Pemerintah yang dimandati melakukan pengurusan sumberdaya alam lebih mengedepankan kepentingan ekonomi daripada kepentingan ekologi, sosial dan budaya.  Akibatnya, kelompok tertentu saja yang menguasai keuntungan pengelolaan sumberdaya alam. Hak Pengelolaan Hutan (HPH), Ijin Usaha Pertambangan (IUP), Hak Pengelolaan Pesisir dan Perikanan (HP3), dan sebagainya adalah mekanisme formal negara untuk mengekploitasi sumberdaya alam mulai dari pegunungan, hutan, perkebunan, pemukiman, pesisir, dan laut atas nama negara tetapi untuk kepentingan investasi.

Masyarakat sekitar lokasi-lokasi konsesi sumberdaya alam pada umumnya tidak banyak dilibatkan dalam pengelolaan.  Dalam banyak kasus, mereka malah jadi korban penggusuran, pemaksaan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia.  Sumber-sumber penghidupan rakyat diposisikan sebagai sumber daya yang hanya dikuasai negara.
    
Pemerintah provinsi NTT atas nama negara lalu ‘menjual’ hak kelola kepada pemilik modal baik pemodal dalam negeri maupun pemodal asing, melalui Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang digelontorkan dan berbagai kegiatan eksploitasi lainnya. 
    
Secara politik, negara menyerahkan sebagian besar kekuasaannya kepada pemilik modal (skema neo-liberalisme) yang mana mengatur peruntukan pengelolaan sumberdaya alam untuk kepentingan mereka.  Atas nama liberalisasi ekonomi, sektor swasta lalu menyetir dan mengontrol kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam. Melalui lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia, IMF, dan turunannya mengatur skenario pengelolaan sumberdaya alam melalui mekanisme-mekanisme yang menegasikan posisi rakyat sebagai pemilik sumberdaya alam.
    
Skenario neoliberalism yang tamak, dalam konteks Indonesia dan NTT pada khususnya juga didukung oleh buruknya sistem negara.  Korupsi di dunia birokrat NTT merajalela, management pemerintahan yang masih terpusat, kurangnya strategi nasional untuk pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan, kurangnya kesadaran politik dan kesadaran publik, institusi-intitusi yang sukar beradaptasi satu sama lain, kegagalan mengikutsertakan para pihak dalam pengambilan dan implementasi keputusan, serta mandeknya  penegakan hukum merupakan keluhan-keluhan yang umum selama kurun waktu 32 tahun pemerintahan diktator dan militeristik yang berakhir tahun 1998.  Hal-hal inilah yang menyebabkan degradasi nilai dan lingkungan semakin tidak terkendali.
Sumber daya alam dieksploitasi secara serampangan untuk kepentingan pembayaran utang luar negeri serta mempertebal kantong-kantong kroni elit-elit kapitalis.  Semua kebijakan yang berkaitan dengan sumberdaya alam di-design menjadi sektoral dan teralienasi untuk memuluskan jalan untuk dalam mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
    
Bencana ekologi yang terjadi saat ini serta degradasi lingkungan NTT dapat dilihat dari bukti-bukti pola pengelolaan yang tidak hanya mengabaikan tetapi menghancurkan hubungan-hubungan dalam sistem sumberdaya alam bioregional.
  
Oleh karenanya, sebuah gerakan mengkounter dibutuhkan untuk dikembangkan  di NTT tidak hanya mengekspos akibat-akibat negatif dari pengelolaan sektoral sekarang ini. Namun perlu dilakukan sebuah perubahan visi dan paradigmanya.  Visi pengelolaan sumberdaya alam di perkotaan, pinggiran kota, pedesaan ditentukan oleh penghuninya berdasar pada hubungan terkait antara ekosistem, sebuah pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup bio-regional yang berbasis masyarakat. 
    
Pra-syarat pengelolaan sumberdaya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan adalah adanya kebutuhan untuk melakukan pendekatan bio-region untuk keberlanjutan dan keselamatan manusia.  Undang-undang Pengelolaan Sumberdaya Alam telah disetujui dan diimplementasikan untuk mengakhiri pengelolaan sektoral dan administratif.  Ini juga perlu diikuti oleh perubahan lembaga-lembaga pemerintahan sehingga pengelolaan sumberdaya alam menjadi lebih holistik. 
   
Kebutuhan mendasar umat manusia akan sumber pangan, kesehatan, dan pendidikan perlu di kedepankan dengan tetap mengakui kearifan lokal kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini eksis di berbagai tempat di Indonesia dan NTT pada khususnya.
    
Propinsi NTT merupakan propinsi kepulauan yang terdiri dari  tiga (3 ) pulau besar yaitu: Pulau Sumba, Flores, Timor barat dan gugusan pulau-pulau kecil berpenghuni seperti: Rote, Sabu, Alor, Lembata, Adonara, Palue, Solor, pulau Ende dan ratusan pulau kecil lainnya.  Seperti  halnya wilayah lain  di Indonesia, pemukiman masyarakat NTT terbagi atas dua (2) wilayah,  yakni pesisir dan pegunungan. Mata pencaharian  mereka pun akan berdasarkan wilayah domisili.
    
Masyarakat yang bermukim di pegunungan mengolah tanah (petani). Sementara masyarakat di pesisir pantai mengolah laut sebagai sumber nafkah (nelayan dan petani/petambak garam dan petani rumput laut). Sebagaimana masyarakat di pegunungan yang mengolah tanah untuk beragam jenis tanaman pangan, perkebunan dan buah-buahan, demikian juga masyarakat yang berdomisili di pesisir pantai selain  ikan, keluarga tani nelayan di pesisir pulau kecil  menambak garam sebagai salah satu mata pencaharian.
   
Dalam konteks pengelolaan pesisir, kini menjadi perhatian serius dari pemerintahan yang (Jokowi – Jusuf Kalla). Acungan jempol dari berbagai pihak pun harus dikritisi. Sebab orientasi pengelolaan sumber daya alam Indonesia selalu berorientasi pada investasi (modal) yang mana akan meminggirkan petani/petambak garam. Informasi terakhir bahwa produksi garam di NTT akan ditingkatkan dengan mendatangkan investor yang hendak mengelola kawasan garam di Nagekoe – NTT. Itu berarti bahwa sebuah kekuatiran akan timbul dimana modal akan mengambil alih produksi garam, dan proses peminggiran terhadap petani garam lokal pun akan terjadi.
   
Padahal, produksi garam dikerjakan secara manual selama ini dikonsumsi internal pulau maupun untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat di pegunungan dan pulau – pulau terdekat.  Lebih dari itu garam hasil produksi dijadikan sebagai sumber penghidupan warga petambak/petani garam.
    
Berbagai strategi peningkatan kualitas, kuantitas  dan pemasaran dilakukan oleh penambak garam tradisional agar dapat bersaing dengan garam – garam dari pabrik besar, di antaranya adalah: Penambak garam di pesisir pulau kecil (NTT) membeli bahan baku (garam besar) dari Bima Nusa Tenggara Barat dan mengolahnya menjadi garam putih. Cara ini memudahkan seorang petani garam dapat memproduksi garam putih setiap waktu tanpa harus menunggu musim kering tiba; Mempersiapkan segala fasilitas pendukung proses pembuatan garam yang menggunakan air laut langsung, agar di saat tiba musim kering fokus produksi garam tertuju pada peningkatan kuntitas dan pemasaran; Masyarakat pulau kecil, garam tidak hanya bernilai ekonomi. Garam menjadi  media  yang mempererat kekerabatan komunitas gunung dan pantai melalui jaringan perdagangan (Breun/teman) antar pulau kecil. Strategi jaringan dalam wujud barter ini mampu menyelamatkan akses pasar garam namun ancaman untuk jaringan ini semakin besar dengan adanya garam-garam pabrik di pasaran lokal.
    
Saat ini, pasar garam di pulau-pulau kecil tengah diramaikan oleh kehadiran garam dari pabrik-pabrik besar. Beragam merek garam seperti: Kerapan Sapi, (produksi Sumatraco Surabaya), Garam Kuda Mas (produksi UD Samudra Asia Surabaya), Garam 2 anak pintar dll.
    
Produksi garam dengan berbagai merk terus merambah pasar di NTT, akan tetapi kehadiran garam pabrik tidak mengurangi fokus masyarakat pesisir yang menambak garam, sebab petani nelayan belum mempunyai pilihan lain yang menjamin keberlanjutan ekonomi.
 
Karena itu, dalam konsolidasi Petambak Garam sedaratan Flores yang dilakukan oleh WALHI NTT dan KIARA di Maumere, pada tanggal 16 - 19 Desember 2014 merekomendasikan, bahwa semestinya pemerintah Provinsi NTT dan Pemerintah Kabupaten Se-NTTmenjalankan beberapa point penting, diantaranya:

1. Kedepan Pemerintah akan akan menjadi NTT sebagai sentra garam nasional dan program ini harus dipastikan dalam rangka untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir/petambak garam.
2. Pemerintah harus memiliki perhatian serius terhadap aktivtas tambak garam di NTT
3. Memberikan Perhatian serius kepada petambak garam dengan melibatkan petambak garam dalam rencana pembangunan desa yang ada potensi garam. Dengan cara: Adanya kemudahan mengakses dokumen APBD bagi petambak garam. Petambak di libatkan dalam proses musrembang dan RPMJ dari tingkat Desa hingga Propinsi. Ada anggaran APBD baik di pusat, provinsi dan kabupaten untuk pengembangan program garam  yang dialokasikan khusus untuk petambak garam skala kecil.
4. Untuk mendukung program pengenbangan garam berbasis kearifan lokal maka pemerintah harus memfasilitasi pengadaan lahan
5. Mendorong percepatan reforma agraria untuk kedaulatan garam nasional
6. sosialisasi tentang potensi lahan tambak kepada masyarakat terutama tuan tanah yang memiliki potensi garam.
7. Pemerintah harus menyediakan subsidi modal (adanya alokasi anggaran untuk pengembangan produksi garam)
8. Mendorong Pemerintah untuk pengembangan koperasi dengan dukungan modal untuk koperasi petambak garam.
9. Pemeirintah harus memfasilitasi dalam membangun kemitraan koperasi petani garam dan Bank penyedia KUR dengan bunga yang ringan.
10. Pemerintah harus mampu membangun komunikasi baik dengan DPRD (lobi politik dengan pemerintah dan DPRD) untuk memastikan kebijakan dan anggaran berpihak kepada petambak garam skala kecil
11. Pemerintah harus menyelenggarakan/menyediakan sarana dan prasarana pelatihan-pelatihan, magang,studi banding, dan kunjungan silang ke luar daerah yang sudah berhasil dalam pengelolaan garam.
12. Pemerintah harus menyediakan teknologi bagi baru untuk efektifitas pengelolaan garam yang ramah lingkungan serta penguatan pengutan kapasitas lembaga pendamping.
13. Pemerintah menyediakan laboratorium (BPOM, DINKES, DEPRINDAG) untuk menguji kandungan yodiumnya.
14. Pemerintah harus memfasilitasi peningkatan kualitas produksi garam untuk komsumsi, industri, dan kesehatan serta mengatur pengemasan yang menarik dan higenis.
15. Pemerintah harus dapat mewujudkan regulasi di tingkat daerah untuk memutuskan mata rantai pemasaran garam dari luar.
16. Pemerintah harus melakukan kompanye konsumsi garam lokal dan menolak impor
17. pemerintah harus menetapka  harga pasar yang menguntungkan petanni garam serta menyediakan akses pasar.


Perwakilan Petambak garam
Sikka, Lembata,