BELU
BUTUH PEMIMPIN HUMANIS - EKOLOGIS DAN VISIONER
(catatan
pinggir buat pemimpin BELU 2015 - 2020)
Oleh:
Herry Naif
Direktur
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Daerah NTT
Sebagian
besar wilayah di Indonesia akan melaksanakan sebuah hajatan
demokrasi, yakni pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung.
Bagi rakyat Indonesia pada umumnya, dan Belu pada khususnya tentu
berpandangan bahwa momentum
demokrasi ini bukanlah hal
yang asing lagi, malah
dimaknai sebagai ajang partisipasi rakyat dalam menentukan siapa
pemimpin sesuai dengan
pilihan kepentingannya.
Menghadapi
momentum ini, kesepuluh
partai politik yang ada pastinya
sibuk dari awal persiapan hingga sampai
menentukan figurnya untuk maju dalam pertarungan ini. Kesibukan
partai politik pun terus meningkat seiring dengan kiat memenangkan
pertarungan tersebut.
Wacana akan siapa pemimpin Belu
dalam waktu lima (5) tahun
ke depan sedang pembicaraan
menarik dan masih penuh
tanya bagi parpol, paket figur yang dalam semangat gegap gempita
mengkampanyekan
diri.
Tak
dipungkiri bahwa pelbagai
pihak yang berkepentingan pun terlibat dalam hajatan tersebut. Ada
yang berperan sebagai penyelenggara (Komisi Pemilihan Umum) dan yang
lainnya dipercaya sebagai pengawas pemilukada yang
difasilitasi negara.
Sedangkan secara kelompok atau dalam paket tertentu, menjadi
tim thank,
tim strategi pemenang dan sebagainya. Atau
lazim dikenal tim sukses (timses). Lalu
ada pula yang hanya menonton
dengan menikmati
hingar-bingarnya hajatan
tersebut. Keterlibatan mereka yang pasif itu jangan dipikir tak
berharga, namun mereka
sebetulnya adalah empunya
mutiara yang
ikut menentukan siapa
pemimpin di Kabupaten Belu
pada periode 2015-2020.
Perdebatan
ramai warga baik secara
individu atau pun
kelompok dengan mengacu pada berbagai aspek nilai, baik kualitas
intelektual, moral, visi-misi dan spiritual yang ingin diemban tidak
terhindarkan. Rekam jejak
atas track record
dari setiap pasangan calon sedang dilakukan berbagai pihak. Itu
wujud penilaian atas setiap
pasangan calon yang akan ikut bertarung dalam pemilukadal. Atau
masih banyak aspek yang disoroti sebagai pra-syarat calon untuk
membawa bahtera Belu untuk mengarungi
samudera yang dihiasi dengan
berbagai problem rakyat menuju
janji kemaslahatan yang ditawarkan untuk dilakoninya selama lima
tahun ke depan.
Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Daerah Belu telah menentukan 3 paket yang lolos
seleksi diantaranya; drg. Falentinus Parera – Cyprianus Temu
(fansmu NKRI) yang didukung PDIP dan Nasdem, Wilibrodus Lay – J.T
Ose Luan (Sahabat) diusung Demkrat, Gerindra, Gokar, PAN dan PKPI .
Sedangkan Ventje J.R Abanit Bona (Bowe) diusung oleh Hanura, PKB PKS.
Ketiga paket ini sudah pasti merias diri dengan visi-misi dan isu –
strategi yang akan dimanfaatkan sebagai istrumen pelumas hati rakyat
dalam meraih suara terbanyak.
Terlepas
dari perdebatan politik yang ada, isu human trafficking (perdagagan
manusia), pemberantasan kemiskinan dan korupsi terus mendaptkan
perhatian. Selain itu, isu penyelamatan ekologi dengan perbaikan
manajemen pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan ekonomi dan
ekologis dibutuhkan. Mengingat fakta yang sedang terjadi bahwa
eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan akan menyisahkan
berbagai kerusakan yang akan diwariskan bagi anak-cucu. Padahal
mereka tidak pernah tahu dan menadapatkan keuntungan dari pengelolaan
tersebut.
Belu
dalam Teropong PSDA
Dari
pantauan kami Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) melihat bahwa
ada sebuah trend pengelolaan bagi negara yang diwakili oleh
pemerintah kabupaten seenaknya mengobal sumber daya alam yang
dimiliki wilayah tersebut, berupa Ijin Usaha Pertambangan (IUP). Dari
data yang diambil dari kementrian Energi dan Sumber Daya Manusia
(ESDM) terlihat bahwa Pemkab Belu menjadi salah satu pemberi Ijin
Usaha Pertambagan (IUP) terbanyak di NTT. Apakah itu sebuah prestasi
yang perlu mendapat kebanggaan? Ataukah sebuah kebijakan yang tidak
berpihak pada lingkungan menimbulkan sebuah kerentanan dalam bencana
ekologi di masa depan? Lazimnya dikenal bencana ekologi. Kedua
pertanyaan ini hendaknya menggugah para calon pemimpin dan rakyat
dalam menentukan arah kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang
berkelanjutan.
Ketiga
pasangan (paket) calon Bupati dan Wakil Bupati Belu yang bertarung
pada hajatan ini sekiranya tidak lupa membicarakan pertambangan
(industri ekstraktif) sebagai satu substansi yang dibicarakan serius.
Itu berarti, bahwa wacana akan adanya kelestarian dan penyelamatan
ekologi tersisa juga sedang mendapat perhatian dalam perhelatan
politik di Kabupaten Belu.
De
fakto, ada pasangan calon yang terang-terangan menyatakan sikap
menolak tambang, monitoring pertambangan tetapi ada pula yang
seolah-olah buta-tuli terhadap kontraversi pertambangan yang terjadi
di wilayah-wilayah pertambangan di Kabupaten Belu. Di tengah
kegentingan ekologi, rakyat Belu membutuhkan pemimpin yang punya
itikad baik dalam memulihkan dan menyelematkan ekologi Belu.
Sebagai
warga yang cerdas dan kritis, tentunya tidak gampang menerima namun
menyimak dan menganalisanya semua wacana yang ada. Seyogyanya, perlu
dilakukakn kajian-sintesis antara gagasan dan pengalaman
empirik-historis agar tidak dinilainya sedang onani politik untuk
mendapatkan simpati dari kelompok-kelompok masyarakat yang secara
tegas menolak adanya pertambangan. Wacana tolak tambang harusnya
berbasis pada “political will” yang teruji dari berbagai
faktor seperti rekam jejak, bahwa apakah pasangan calon itu adalah
orang yang pernah punya cerita menyelamatkan lingkungan hidup.
Memang
cerita dari Kabupaten Belu agak berbeda dengan beberapa kabupaten
lain yang mana ada kelompok-kelompok yang konsisten menolak
pertambangan di wilayahnya. Pergunjingan
ini pun hendaknya dihantar sampai pada refleksi
kritis atas model pengelolaan sumber daya alam yang humanis-ekologis.
Penyelamatan
Ekologi Urgen di Belu
Pembahasan
penyelamatan ekologi di Kabupaten Belu
tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen
penyusunnya, yaitu faktor abiotik (mati) dan biotik (hidup). Faktor
abiotik antara lain suhu, air, kelembaban, cahaya, dan topografi,
sedangkan faktor biotik adalah makhluk hidup yang terdiri dari
manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga berhubungan erat
dengan tingkatan-tingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu populasi,
komunitas, dan ekosistem yang saling mempengaruhi dan merupakan suatu
sistem yang menunjukkan kesatuan.
Karena
itu, model pengelolaan sumberdaya alam yang eksploitatif dan
ekstraktif mestinya dipertimbangkan secara matang dalam kacamata
ekologi di Kabupaten Belu yang mana adalah deretan pulau-pulau kecil
yang memiliki keterbatasan ekosistem yang tentunya rentan terhadap
masifnya bencana ekologi. Industri ekstraktif tidak ramah terhadap
hutan, air, ekosistem, perkampungan. Malah menimbulkan banyak
kerusakan lingkungan hidup yang tak bisa dipulihkan dalam rentang
waktu yang singkat.
Disadarai
atau tidak, bencana ekologi sedang melanda
dunia. Kerusakan alam hampir tidak dapat dibendung. Hutan yang
memiliki fungsi penting dalam menyiapkan carbon, pelindung sumber
mata air serta penyeimbang flora
dan fauna
tidak digubris. Tak heran banyak sumber
mata air menjadi kering. Apabila semangat
eksploitatif dan tindakan-tindakan ekstraktif masih
terus meracuni masyarakat
dan pemimpin di Belu, kiat
mewujudkongkretkan pembangunan yang mengayomi masyarakat menuju
kesejahteraan hanyalah menjadi sebuah
utopia. Kemudian, disimpulkan bahwa
lingkungan rusak karena kemiskinan.
Siapa
bilang, kemiskinan mendorong orang untuk melakukan tindakan
penggerukan alam tanpa pertimbangan keseimbangan ekologi. Mari kita
menjawab?
Bukankah
realitas kemiskinan seakan memaksa para pengambil kebijakan
agar kemudian berkompromi dengan pemodal untuk melakukan
pengelolalaan Sumberdaya alam? Ataukah, mereka itu yang sedang
dijerat kemiskinan?
Lukisan
tentang Indonesia dalam buku “Tanah Air”, Dewes
Deker
menyimpulkan bahwa Indonesia adalah zamrud
katholistiwa.
Indonesia memiliki potensi alam yang luar biasa didukung dengan
keanekaramana hayati yang tidak dimiliki bangsa lain. Seiring dengan
kekayaan itu, herannya kemiskinan itu terus menggurita. Lalu,
apakah
kemiskinan harus dijawab dengan penggerukan alam? Ataukah pengambilan
kekayaan alam yang mempertimbangkan nilai keseimbangan (value
judgement) akan membawa keadilan ekonomi dan ekologi?
Kita
belajar dari negerinya Fidel Castro (Kuba) yang mana telah menemukan
jurus jitu yang mirip dengan konsep “berdikari” yang pernah
menjadi slogan Indonesia. Bahwa “produksilah
apa yang kita miliki dan kita butuhkan dengan cara dan arah yang kita
inginkan”.
Bukannya memproduksi sesuatu yang dibutuhkan pemodal dan asing. Dan
sangat tidak logis, menyiapkan bahan baku bagi negara asing dan
mengivestasikan kerusakan bagi anak negeri.
Tak
heran bencana ekologi yang masif terjadi, jeritan
kemiskinan terus
menjadi hasil tuaian bersama.
Kenyataan
itu tidak sedang kita disadari. Ketidakseimbangan curah hujan sedang
menjadi keluhan petani. Abrasi pantai, longosoran, banjir, kekeringan
sumber mata air dan lainnya harusnya menjadi refleksi-kritis warga
terutama para calon pemimpin Belu yang sedang bertarung, sampai kapan
bencana itu diminimalisir.
Analisa
ekologis terhadap salah urus sumber daya alam
Hakekatnya,
pemerintah
dimandati mengurus sumberdaya alam yang mengedepankan kepentingan
ekonomi daripada kepentingan ekologi, sosial dan budaya. Akibatnya,
kelompok tertentu saja yang menguasai keuntungan pengelolaan
sumberdaya alam. Hak Pengelolaan Hutan (HPH), Kontrak Karya
Pertambangan, Hak Pengelolaan Pesisir dan Perikanan (HP3), dan
sebagainya adalah mekanisme formal negara dalam mengekploitasi
sumberdaya alam mulai dari pegunungan, hutan, perkebunan, pemukiman,
pesisir, dan laut atas nama negara untuk kepentingan investasi.
Tidak
heran, di sekitar lokasi-lokasi konsesi sumberdaya alam, pada umumnya
masyarakat tidak banyak dilibatkan dalam pengelolaan. Dalam banyak
kasus, mereka menjadi korban penggusuran, pemaksaan dan pelanggaran
Hak Asasi Manusia. Sumber-sumber penghidupan rakyat dikuasai negara
dan digadaikan pada modal. Rakyat hanya dijadikan sebagai subjek
penonton dalam seluruh kebijakan dengan basis argumentasi adalah
peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pertanyaannya, dimanakah
posisi rakyat? Bukankah kita sedang menanti remah-remah keuntungan
yang diperoleh modal. Kita sedang terasing di negeri sendiri.
Herannya,
fakta ini tidak pernah dijadikan sebagai bahan refleksi agar model
pengelolaan sumberdaya alam diubah dengan mengutamakan kepentingan
rakyat dan lingkungan hidup. Artinya, pengelolan sumberdaya alam yang
humanis-ekologis menjadi solusi alternatif pemimpin dan warganya
dalam mengelola sumber-sumber penghidupan yang dimilikinya.
Berbagai
permasalahan ini menjadi cerminan bahwa kita sedang dimiskinkan oleh
sistem pengelolaan sumberdaya alam yang dikembangkan selama ini.
Pertanian, Peternakan, Kehutanan, Perikanan dan Kelautan serta home
industry, industri
rumah tangga (tenun-ikat) dan berbagai kerajinan rakyat lainnya
mestinya didorong menjadi modal dan sumber penghidupan yang
mendapatkan asupan perhatian serius dari pemerintah. Bukannya,
para petani divonis perusak hutan tanpa sebuah solusi? Peternak
dinilai gagal karena jumlah ternak berkurang dari tahun ke tahun.
Nelayan dinilai sebagai yang menuai tanpa menanam. Kelompok
tenun-ikat dari ibu-ibu hanya sekedar jadi peserta festival atau
pameran budaya. Pariwisata hanya menjadi ajang kampanye tanpa
mempersiapkan infrastruktur yang mendukung pertumbuhan industri
tersebut.
Sejauhmana
tawaran alternatif yang diemban dalam mendorong pertanian selaras
alam, bukan sekedar seremoni food summit dan
festival pangan sebagai
rutinitas tahunan.
Peternakan yang seharusnya memenuhi pasaran daging, bukan impor
daging sapi besar-besaran yang bermotifkan korupsi. Para nelayan
mestinya memenuhi asupan protein anak-anak Belu bukanya potensi laut
yang ada dibiarkan terus dijarah oleh kapal-kapal asing. Produksi
kelompok tenun ikat mestinya menyaingi pasaran batik, bukannya
dihadirkan saat festival dan pameran budaya.
Sadar
atau tidak, pilihan akan adanya pertambangan di Belu
adalah wujud kegagalan
negara (pemerintah
kabupaten)
Belu
dalam mengembangkan sumber-sumber
penghidupan seperti pertanian dan peternakan.
Bila
ditelaah secara logis dalam
melakukan studi perbandingan antara in
come (pendapatan)
dari
sebuah pertambangan
tidak sebanding dengan biaya reklamasi. Kita tidak hanya fokus pada
kerusakan lingkungan tetapi harus dilihat dalam ranah kerusakan
ekosistem, perubahan
tata hidrologi air dan
land scape
yang
ditimbulkan.
Rendanya
pendapatan dari beberapa sumber-sumber
penghidupan masyarakat Belu seolah-olah
mengamini
bahwa dengan
investasi pertambangan akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD). Padahal,
sumberdaya
alam dieksploitasi secara serampangan untuk kepentingan pembayaran
utang luar negeri serta mempertebal kantong-kantong kroni elit-elit
kapitalis. Semua kebijakan yang berkaitan dengan sumberdaya alam
di-design
menjadi sektoral dan teralienasi untuk maksud-maksud mulusnya jalan
untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Pra-syarat
yang perlu dilakukan untuk sebuah pengelolaan sumberdaya alam yang
visioner, humanis-ekologis perlu diimplementasikan dengan beberapa
wujud, diantaranya; Pertama,
bagaimana penataan ruang kelola agar menghindari tumpang tindi (over
laping). Kedua,
pengelolaan sumberdaya alam berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS)
Bioregion. Semestinya pertimbangan keadilan akses dan
kontrol
bagi masyarakat hilir-hulu. Lebih dari itu monitoring akan adanya
deforestrasi dan degradasi kualitas lingkungan di
kawasan hulu
untuk meminimalisir bencana di daerah hilir. Ketiga,
perlindungan kawasan peresapan air (water scatchman area) agar
melihat sejauhmana kualitas kawasan penyangga tersebut. Dengan
demikian, perlindungan terhadap sumber mata air lokal mendapat
perhatian.
Keempat,
bagaimana
mendorong
partisipasi rakyat dalam penyelamatan lingkungan hidup menjadi
tanggung jawab bersama. Bila
setiap tahun, setiap warga menanam satu pohon saja dan dipeliharanya
sampai besar bisa dibayangkan berapa pohon akan tumbuh di Kabupaten
Belu dalam waktu lima tahun.
Mengakhiri
tulisan ini, seluruh komponen diajak untuk “Pulihkan Belu, Utamakan
Keselamatan Rakyat” dengan memilih calon pemimpin yang visioner,
humanis-ekologis.