Rabu, 15 April 2015

Kedaulatan Petambak Garam: Tolak Import Garam di Indonesia

Kondisi Lingkungan hidup wilayah NTT dan Indonesia pada umumnya sedang menjadi perhatian publik, dimana dibicarakan banyak pihak dalam ruang publik, seperti: melalui media cetak, elektronik atau pertemuan-pertemuan formal maupun non-formal. Hampir setiap masyarakat sedang resah dengan kondisi alam NTT yang dinilainya tidak bersahabat (darurat genting). Dimana-mana terjadi bencana longsor, banjir, kekeringan dan lainnya.  Spontan orang berasumsi bahwa peristiwa-peristiwa itu signal alam tidak bersahabat dengan manusia. Alam seakan muak dengan perilaku manusia yang tidak ramah lingkungan. Akar masalah krisis lingkungan NTT disebabkan oleh amburadulnya kebijakan pengurusan sumberdaya alam.

Pemerintah yang dimandati melakukan pengurusan sumberdaya alam lebih mengedepankan kepentingan ekonomi daripada kepentingan ekologi, sosial dan budaya.  Akibatnya, kelompok tertentu saja yang menguasai keuntungan pengelolaan sumberdaya alam. Hak Pengelolaan Hutan (HPH), Ijin Usaha Pertambangan (IUP), Hak Pengelolaan Pesisir dan Perikanan (HP3), dan sebagainya adalah mekanisme formal negara untuk mengekploitasi sumberdaya alam mulai dari pegunungan, hutan, perkebunan, pemukiman, pesisir, dan laut atas nama negara tetapi untuk kepentingan investasi.

Masyarakat sekitar lokasi-lokasi konsesi sumberdaya alam pada umumnya tidak banyak dilibatkan dalam pengelolaan.  Dalam banyak kasus, mereka malah jadi korban penggusuran, pemaksaan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia.  Sumber-sumber penghidupan rakyat diposisikan sebagai sumber daya yang hanya dikuasai negara.
    
Pemerintah provinsi NTT atas nama negara lalu ‘menjual’ hak kelola kepada pemilik modal baik pemodal dalam negeri maupun pemodal asing, melalui Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang digelontorkan dan berbagai kegiatan eksploitasi lainnya. 
    
Secara politik, negara menyerahkan sebagian besar kekuasaannya kepada pemilik modal (skema neo-liberalisme) yang mana mengatur peruntukan pengelolaan sumberdaya alam untuk kepentingan mereka.  Atas nama liberalisasi ekonomi, sektor swasta lalu menyetir dan mengontrol kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam. Melalui lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia, IMF, dan turunannya mengatur skenario pengelolaan sumberdaya alam melalui mekanisme-mekanisme yang menegasikan posisi rakyat sebagai pemilik sumberdaya alam.
    
Skenario neoliberalism yang tamak, dalam konteks Indonesia dan NTT pada khususnya juga didukung oleh buruknya sistem negara.  Korupsi di dunia birokrat NTT merajalela, management pemerintahan yang masih terpusat, kurangnya strategi nasional untuk pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan, kurangnya kesadaran politik dan kesadaran publik, institusi-intitusi yang sukar beradaptasi satu sama lain, kegagalan mengikutsertakan para pihak dalam pengambilan dan implementasi keputusan, serta mandeknya  penegakan hukum merupakan keluhan-keluhan yang umum selama kurun waktu 32 tahun pemerintahan diktator dan militeristik yang berakhir tahun 1998.  Hal-hal inilah yang menyebabkan degradasi nilai dan lingkungan semakin tidak terkendali.
Sumber daya alam dieksploitasi secara serampangan untuk kepentingan pembayaran utang luar negeri serta mempertebal kantong-kantong kroni elit-elit kapitalis.  Semua kebijakan yang berkaitan dengan sumberdaya alam di-design menjadi sektoral dan teralienasi untuk memuluskan jalan untuk dalam mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
    
Bencana ekologi yang terjadi saat ini serta degradasi lingkungan NTT dapat dilihat dari bukti-bukti pola pengelolaan yang tidak hanya mengabaikan tetapi menghancurkan hubungan-hubungan dalam sistem sumberdaya alam bioregional.
  
Oleh karenanya, sebuah gerakan mengkounter dibutuhkan untuk dikembangkan  di NTT tidak hanya mengekspos akibat-akibat negatif dari pengelolaan sektoral sekarang ini. Namun perlu dilakukan sebuah perubahan visi dan paradigmanya.  Visi pengelolaan sumberdaya alam di perkotaan, pinggiran kota, pedesaan ditentukan oleh penghuninya berdasar pada hubungan terkait antara ekosistem, sebuah pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup bio-regional yang berbasis masyarakat. 
    
Pra-syarat pengelolaan sumberdaya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan adalah adanya kebutuhan untuk melakukan pendekatan bio-region untuk keberlanjutan dan keselamatan manusia.  Undang-undang Pengelolaan Sumberdaya Alam telah disetujui dan diimplementasikan untuk mengakhiri pengelolaan sektoral dan administratif.  Ini juga perlu diikuti oleh perubahan lembaga-lembaga pemerintahan sehingga pengelolaan sumberdaya alam menjadi lebih holistik. 
   
Kebutuhan mendasar umat manusia akan sumber pangan, kesehatan, dan pendidikan perlu di kedepankan dengan tetap mengakui kearifan lokal kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini eksis di berbagai tempat di Indonesia dan NTT pada khususnya.
    
Propinsi NTT merupakan propinsi kepulauan yang terdiri dari  tiga (3 ) pulau besar yaitu: Pulau Sumba, Flores, Timor barat dan gugusan pulau-pulau kecil berpenghuni seperti: Rote, Sabu, Alor, Lembata, Adonara, Palue, Solor, pulau Ende dan ratusan pulau kecil lainnya.  Seperti  halnya wilayah lain  di Indonesia, pemukiman masyarakat NTT terbagi atas dua (2) wilayah,  yakni pesisir dan pegunungan. Mata pencaharian  mereka pun akan berdasarkan wilayah domisili.
    
Masyarakat yang bermukim di pegunungan mengolah tanah (petani). Sementara masyarakat di pesisir pantai mengolah laut sebagai sumber nafkah (nelayan dan petani/petambak garam dan petani rumput laut). Sebagaimana masyarakat di pegunungan yang mengolah tanah untuk beragam jenis tanaman pangan, perkebunan dan buah-buahan, demikian juga masyarakat yang berdomisili di pesisir pantai selain  ikan, keluarga tani nelayan di pesisir pulau kecil  menambak garam sebagai salah satu mata pencaharian.
   
Dalam konteks pengelolaan pesisir, kini menjadi perhatian serius dari pemerintahan yang (Jokowi – Jusuf Kalla). Acungan jempol dari berbagai pihak pun harus dikritisi. Sebab orientasi pengelolaan sumber daya alam Indonesia selalu berorientasi pada investasi (modal) yang mana akan meminggirkan petani/petambak garam. Informasi terakhir bahwa produksi garam di NTT akan ditingkatkan dengan mendatangkan investor yang hendak mengelola kawasan garam di Nagekoe – NTT. Itu berarti bahwa sebuah kekuatiran akan timbul dimana modal akan mengambil alih produksi garam, dan proses peminggiran terhadap petani garam lokal pun akan terjadi.
   
Padahal, produksi garam dikerjakan secara manual selama ini dikonsumsi internal pulau maupun untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat di pegunungan dan pulau – pulau terdekat.  Lebih dari itu garam hasil produksi dijadikan sebagai sumber penghidupan warga petambak/petani garam.
    
Berbagai strategi peningkatan kualitas, kuantitas  dan pemasaran dilakukan oleh penambak garam tradisional agar dapat bersaing dengan garam – garam dari pabrik besar, di antaranya adalah: Penambak garam di pesisir pulau kecil (NTT) membeli bahan baku (garam besar) dari Bima Nusa Tenggara Barat dan mengolahnya menjadi garam putih. Cara ini memudahkan seorang petani garam dapat memproduksi garam putih setiap waktu tanpa harus menunggu musim kering tiba; Mempersiapkan segala fasilitas pendukung proses pembuatan garam yang menggunakan air laut langsung, agar di saat tiba musim kering fokus produksi garam tertuju pada peningkatan kuntitas dan pemasaran; Masyarakat pulau kecil, garam tidak hanya bernilai ekonomi. Garam menjadi  media  yang mempererat kekerabatan komunitas gunung dan pantai melalui jaringan perdagangan (Breun/teman) antar pulau kecil. Strategi jaringan dalam wujud barter ini mampu menyelamatkan akses pasar garam namun ancaman untuk jaringan ini semakin besar dengan adanya garam-garam pabrik di pasaran lokal.
    
Saat ini, pasar garam di pulau-pulau kecil tengah diramaikan oleh kehadiran garam dari pabrik-pabrik besar. Beragam merek garam seperti: Kerapan Sapi, (produksi Sumatraco Surabaya), Garam Kuda Mas (produksi UD Samudra Asia Surabaya), Garam 2 anak pintar dll.
    
Produksi garam dengan berbagai merk terus merambah pasar di NTT, akan tetapi kehadiran garam pabrik tidak mengurangi fokus masyarakat pesisir yang menambak garam, sebab petani nelayan belum mempunyai pilihan lain yang menjamin keberlanjutan ekonomi.
 
Karena itu, dalam konsolidasi Petambak Garam sedaratan Flores yang dilakukan oleh WALHI NTT dan KIARA di Maumere, pada tanggal 16 - 19 Desember 2014 merekomendasikan, bahwa semestinya pemerintah Provinsi NTT dan Pemerintah Kabupaten Se-NTTmenjalankan beberapa point penting, diantaranya:

1. Kedepan Pemerintah akan akan menjadi NTT sebagai sentra garam nasional dan program ini harus dipastikan dalam rangka untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir/petambak garam.
2. Pemerintah harus memiliki perhatian serius terhadap aktivtas tambak garam di NTT
3. Memberikan Perhatian serius kepada petambak garam dengan melibatkan petambak garam dalam rencana pembangunan desa yang ada potensi garam. Dengan cara: Adanya kemudahan mengakses dokumen APBD bagi petambak garam. Petambak di libatkan dalam proses musrembang dan RPMJ dari tingkat Desa hingga Propinsi. Ada anggaran APBD baik di pusat, provinsi dan kabupaten untuk pengembangan program garam  yang dialokasikan khusus untuk petambak garam skala kecil.
4. Untuk mendukung program pengenbangan garam berbasis kearifan lokal maka pemerintah harus memfasilitasi pengadaan lahan
5. Mendorong percepatan reforma agraria untuk kedaulatan garam nasional
6. sosialisasi tentang potensi lahan tambak kepada masyarakat terutama tuan tanah yang memiliki potensi garam.
7. Pemerintah harus menyediakan subsidi modal (adanya alokasi anggaran untuk pengembangan produksi garam)
8. Mendorong Pemerintah untuk pengembangan koperasi dengan dukungan modal untuk koperasi petambak garam.
9. Pemeirintah harus memfasilitasi dalam membangun kemitraan koperasi petani garam dan Bank penyedia KUR dengan bunga yang ringan.
10. Pemerintah harus mampu membangun komunikasi baik dengan DPRD (lobi politik dengan pemerintah dan DPRD) untuk memastikan kebijakan dan anggaran berpihak kepada petambak garam skala kecil
11. Pemerintah harus menyelenggarakan/menyediakan sarana dan prasarana pelatihan-pelatihan, magang,studi banding, dan kunjungan silang ke luar daerah yang sudah berhasil dalam pengelolaan garam.
12. Pemerintah harus menyediakan teknologi bagi baru untuk efektifitas pengelolaan garam yang ramah lingkungan serta penguatan pengutan kapasitas lembaga pendamping.
13. Pemerintah menyediakan laboratorium (BPOM, DINKES, DEPRINDAG) untuk menguji kandungan yodiumnya.
14. Pemerintah harus memfasilitasi peningkatan kualitas produksi garam untuk komsumsi, industri, dan kesehatan serta mengatur pengemasan yang menarik dan higenis.
15. Pemerintah harus dapat mewujudkan regulasi di tingkat daerah untuk memutuskan mata rantai pemasaran garam dari luar.
16. Pemerintah harus melakukan kompanye konsumsi garam lokal dan menolak impor
17. pemerintah harus menetapka  harga pasar yang menguntungkan petanni garam serta menyediakan akses pasar.


Perwakilan Petambak garam
Sikka, Lembata,