Jumat, 02 Desember 2016

KISAH SUKSES PETANI KAKAO, DARI DOBO NUAPU’U, SIKKA

KISAH SUKSES PETANI KAKAO
DARI DOBO NUAPU’U
(Oleh : Mus Muliadi, staf lapangan Wahana Tani Mandiri)

Bagi banyak petani perkebunan umumnya di Flores tentu ketika mendengar cerita tentang tanaman kakao atau theobroma cacao sebutan latinnya menjadi cerita yang biasa. Di Kabupaten Sikka, tanaman ini sudah ada sejak tahun 1950-an sebelum gencar dikampanyekan pemerintah. Tanaman kakao gencar didorong pengembangannya pada tahun 1980-an. Namun jauh sebelum itu jenis tanaman ini diperkenalkan oleh Pater Heinnrich Bollen SVD seorang birawan Katolik asal Jerman yang mengabdikan dirinya di Kabupaten Sikka yang membawa bibit tanaman ini dari Pantai Gading.

Namun dalam tulisan ini saya lebih khusus mengangkat soal motifasi dan keuletan dari seorang petani tuah asal desa Dobo Nuapu’u, kecamatan Mego, Kabupaten Sikka yang mungkin saja menjadi motivasi bagi petani lain hari ini yang punya keinginan untuk membudidayakan atau mau mengembangkan tanaman jenis ini.

Siapa sosok petani sukses itu?
Ketika kita mendengar kata sukses, tentunya di kepala kita membayangkan ada pahit getir dalam mencapainya apa lagi suksesnya seorang petani, begitu pula dengan sosok petani yang satu ini. Sebut saja namanya, Bapak Yohakim Bagi, seorang petani asal Dobo Nuapu’u, Kecamatan Mego, Kabupaten Sikka. Bapak Yohakim Bagi hanya berpendidikan kelas 6 SR di Ri’I Pu’a tamat pada tahun 1952. Ia mengenal tanaman kakao sejak tahun 1962 dimana saat itu banyak orang belum mengenal tanaman ini kecuali sebagian petani asal Watublapi, Kecamatan Kewapante, Kabupaten Sikka yang mungkin sudah mengenalnya lebih dahulu.

Walaupun demikian cerita petani Watublapi tentu berbeda, sebab mereka pasti punya acuan teknis yang jelas dari sumbernya. Lain hal dengan Bapak Yohakim Bagi, bagaimana dengan teknik menanam tanaman ini, tujuan dan manfaat menanam tanaman ini saja belum diketahuinya sacara pasti, namun tentu saja semangat dan kemauannya menjadi kunci. Dalam pikiran Bapak Yohakim adalah “yang penting tanam saja”. Bagaimana cerita bapak Yohakim mendapatkan bibit jenis tanaman yang berasal dari Meksiko, Amerika Tengah ini, kemudian mulai menanamnya dan bisa dibilang sukses di Dobo Nuapu’u?

Lima puluh empat tahun lalu tepatnya di tahun 1962, bapak Yohakim Bagi bekerja sebagai petani sawah sekaligus pengiris moke di kampungnya Dobo Nuapu’u. Di tahun yang sama, Bapak Yohakim mulai menekuni lahan kering miliknya dengan tanaman pangan sperti padi, jagung dan ubi-ubian dimana seperti halnya yang dikerjakan petani di kabupaten Sikka pada umumnya. Namun pengolahan lahan kering yang dilakukan oleh Bapak Yohakim berbeda dengan petani lain di kampungnya, walaupun saat itu belum ada intervensi pihak luar dalam hal teknis pertanian.

Bermodal semangat dan keuletan yang dimilikinya ditambah dengan beberapa inspirasi dari sebuah buku yang pernah dibacanya kalah itu membuat Bapak Yohakim bersama istrinya terus termotivasi untuk menekuni dalam hal bertani. Memang segalah sesuatu yang dikerjakannya tidak satu kali memberikan hasil sesuai keinginanya namun keuletan untuk mencoba selalu ada. Lalu bagaimana dengan cerita tanaman kakao dari babak Yohakim?

Ketika itu musim panas, Bapak Yohakim bersama istrinya sudah setengah hari menguras tenaga dari membersikan rumput, mengerjakan teras dan beberapa aktivitas lainnya di kebun, saatnya mereka harus sedikit melepaskan lelah sambil mengunya bekal yang dibawahnya dari rumah di pondok kecil yang berada di tengah-tengah kebun. Sementara itu datanglah Bapak Woi, teman dekat bapak Yohakim yang sengaja singga di pondoknya untuk sedikit menyegarkan dahaga dengan kelapa muda yang memang cukup menggoda apa lagi Bapak Woi yang saat itu baru saja menempuh jarak kurang lebih 20 km dengan berjalan kaki dari Maumere.

Sementara asyik bercerita, Bapak Woi mengeluarkan buah masak yang berwarna kuning dari kantong yang dibawahnya, jenis buah yang asing bagi Bapak Yohakim saat itu. “itu buah apa?”, tanya Bapak Yohakim kepada temannya. “Ini namanya buah kakao” jelas Bapak Woi semabari melanjukan ceritanya kepada Bapak Yohakim. “Saya baru dari Maumere, kemarin saya ke Watublapi di keluarga saya, kebetulan disana sedang ada pembagian bibit kakao, 10 buah per kepala keluarga, di rumah yang saya pergi itu ada tiga kepala keluarga jadi mereka dapat 30 buah, sehingga mereka kasih saya 10 buah”.

Karena penasaran Bapak yohakim terus bertanya kepada temannya terkait manfaat dan bagaimana cara menanam bibit kakao ini. Akhirnya waktu istirahat siang itu, berubah menjadi sebuah diskusi hangat antara Bapak Yohakim bersama temannya. Lalu Bapak Woi pun melanjutkan cerita sesuai apa yang dipesan oleh orang yang memberi bibit itu. “Mereka pesan katanya, ini kamu bawah kesana belah dan ambil bijinya lalu dicampur dengan abu dapur setelah itu ditanam, jarak tanamnya 3 atau 4 langkah kaki. Biji dari buah ini pun rasanya manis, sehingga bisa diisap sebagai manisan. Mereka juga bilang, katanya buah ini suatu saat bisa dijual”, jadi saya bawah saja, siapa tahu akan berguna di suatu saat, jelas Bapak Woi kepada Bapak yohakim sambil menyodorkan 2 buah kakao kepada Bapak Yohakim.

Penasaran dengan cerita Bapak Woi, Bapak yohakim pun dengan senang hati menerima tawaran dari temannya sambil membelah buah kakao yang baru diberikan itu dan langsung mencicipi rasanya. “Benar, ini rasanya manis dan enak, anak-anak pasti suka, saya harus menanamnya, kalau memang besok-besok tidak dijualpun, kita bisa gunakan untuk manisan buat anak-anak atau pun orang dewasa saat kerja di siang hari. Selain itu kita bisa gunakan untuk penahan teras, kebetulan disini saya sudah buat teras, jadi saya bisa gunakan untuk tanaman penahan teras” sambung Bapak Yohakim menyepakati pembicaraan Woi temannya. Cerita  siang itu pun berakhir dengan pamitnya Bapak Woi yang ingin melanjutkan perjalanannya ke kampong Detukoli, sebelah utara dari kampong Dobo Nuapu’u.

Dari dua buah menjadi dua Hektare
Tentunya tidak terlepas dari cerita sebelumnya, setelah menerima dua buah kakao dari temannya, Bapak Yohakim memulai dengan mengikuti petunjuk sesuai apa yang didengarnya dari cerita lepas bersama Woi temannya. Walaupun saat itu manfaat dari kakao yang sekarang menjadi salah satu bahan komoditi unggul belum diketahuinya secara pasti dan dengan pengetahuannya yang terbatas, namun ia serius dalam usaha membudidayakannya. Biji dari dua buah kakao yang berjumlah kurang lebih 80 biji itu kemudian ditanamnya di bagian teras kebun yang dibuat sebelumnya dan ia terus memperhatikannya setiap hari dengan menyiram secara rutin setiap pagi dan sore. Walaupun dengan kesibukan lain sebagai seorang petani ia selalu menyisikan waktunya untuk tetap memperhatikan tanaman ini. Ia pun penasaran dengan bentuk tanaman ini, dari daun, batang serta perkembangan fisik hingga berbunga dan berbuah nantinya karena menurutnya ini jenis tanaman baru baginya. Kesungguhan Bapak Yohakim dalam merawat tanaman ini memang tidak sia-sia, 80 biji dari benih ini tidak ada yang mati, semuanya tumbuh baik dan sehat.

Pada tahun 1969 kakao yang ditanam sekitar 80 pohon tersebut mulai berbuah, namun buahnya hanya dipetik dan dimakan sebagai manisan dari biji luarnya. Walaupun begitu biji-biji itu tidak dibuang begitu saja, ia memberitahu kepada anak-anaknya agar biji kako itu disimpan saja, siapa tahu ada yang membelinya. Bukan saja anak-anaknya, adapun warga lain dalam kampungnya datang meminta untuk makan sebagai manisan terlebih anak-anak, namun mereka tidak tahu, sehingga setelah mengisap manisannya bijinya dibuang begitu saja memang pada waktu itu di kabupaten Sikka kakao belum ada pasarnya. Memang ada beberapa teman dari Bapak yohakim yang menyarankan untuk ditebang saja, karena menurut mereka tanaman ini tidak bermanfaat dan hanya sebagai pengganggu tanaman lain. Namun Bapak yohakim tetap percaya dengan cerita temannya, sealain itu ia juga memanfaatkannya sebagai tanaman penahan teras pada kebunnya. Memang pada saat itu tanaman kakao belum menjadi focus utama bagi Bapak Yohakim. Ia bukan saja menanam satu jenis tanaman, tapi berbagai jenis tanaman baik pangan maupun tanaman komoditi ditanamnya karena menurutnya dalam rentang satu tahun pasti ada bulan-bulan dimana pasokan makanan akan berkurang, sehinga ia juga mengoleksi jenis tanaman yang menurutnya bisa mengatasi masa-masa sulit itu.

Tahun 1976 tanaman kakao sudah cukup berbuah lebat sehingga sudah cukup banyak biji yang dikumpulkan, namun pada tahun ini pun pasar untuk komoditi kakao belum jelas. Di tahun yang sama ada kunjungan seorang insiyur pertanian asal Lembata ke kampong Dobo Nuapu’u dan kebetulan insiyur itu mendatangi kebun bapak Yohakim. Insiyur itu heran dengan tanaman kakao yang sudah cukup banyak di kebunya, dan watu itu insiyur hanya berpesan kepada Bapak Yohakim agar tanaman ini perlu diperbanyak karena suatu saat tanaman ini akan menjadi salah satu jenis komoditi yang mahal. Pesan ini kemudian menambah motivasi dan keyakinan pada Bapak Yohakim untuk terus mengembangkannya.

Pada suatu hari di tahun 1979, Bapak Yohakim Bagi pergi ke Maumere, ketika sedang berbelanja di salah satu toko yang masih diingatnya dengan baik yakni Toko Irama, ia melihat ada satu box besar yang berisi biji kakao yang cukup banyak. Ia coba memperhatikannya secara dekat dan segera ia bertanya kepada cina pemilik toko tersebut, “Baba, ini beli kah?” lalu Cina itu menjawabnya, “iya, itu saya beli, bapak punya ada ko di rumah? Cina itu balik bertanya kepadanya. Dengan senang hati, Bapak Yohakim menjelaskan bahwa di rumahnya ada banyak. Ia pun bergegas pulang dan memberitahukan kepada istrinya, bahwa sudah ada toko yang membeli kakao. Waktu itu kakao yang dibeli cina tersesbut dengan harga Rp.400,-/kg.

Ketika mereka mengumpulkan biji kakao tersebut, saat itu biji kakao yang terkumpul mencapai 4 kantong terigu, pada hari itu juga ia kembali ke Maumere untuk menjualnya. Sampai disana setelah cina itu melihatnya, ternyata biji kakao yang dibawah Bapak Yohakim mutunya sangat bagus sehingga cina itu membelinya dengan harga 500/kg. Biji kakao yang dibawah Bapak Yohakim dari 4 kantong terigu mencapai 40 kg, sehingga ia mendapat Rp.20.000,- Menurut Bapak Yohakim, uang sebesar itu jika disamakan dengan saat ini maka kita sudah bisah membeli 1 ekor kuda. Namun dari hasil penjualan kakao pertama ini, Bapak yohakim langsung membeli seng untuk membuat rumah mereka.

Ketika mengetahui bahwa kakao sudah dapat dijual, maka semangat untuk mengembangkan tanaman ini semakin besar dalam niatnya. Usai mengerjakan rumah tinggalnya, ia bersama istrinya mulai menekuni untuk melakukan pembibitan dalam jumlah banyak. Sejak saat itu setiap hari Bapak Yohakim Bagi bersama istrinya melaukan pembibitan secara serius. Namun pembibitan kali ini berbeda dengan awalnya. Saat itu belum ada polibag seperti sekarang, maka ide kreatif dari bapak Yohakim mulai muncul, ia mulai merancang media pembibitan dari daun pisang dalam jumlah banyak, dan istrinya tinggal mengisi media-media itu dengan tanah hingga mencapai 1000-an koker. Pembibitan pun segera dilakukan dan dirawat secara baik sambil menunggu musim hujan tiba.

Pada tahun berikutnya, hasil pembibitan sudah siap ditanam dilahan yang sudah disiapkan sebelumnya yang luasnya kurang lebih 2 hektar yang saat itu pelindungnya adalah tanaman ubi kayu dan pisang serta kelapa. Akhirnya semua bibit berhasil ditanam seluruhnya. Memang dalam perawatanya tidak mudah seperti apa yang dibayangkan hingga tanaman berbunga dan berbuah namun sekali lagi keuletan menjadi kunci sukses bagi Bapak Yohakim Bagi.

Tujuh tahun kemudian tanaman kakao yang kurang lebih 2 hektar mencapai musim panen raya. Dari hasil kakao tersebut setiap tahunnya Bapak Yohakim kemudian berhasil membiayai adiknya dan beberapa anaknya hingga ke perguruan tinggi. Sejak itu bibit tanaman kakao miliknya mulai menyebar di kampungnya dan bahkan ke kampong sekitarnya seperti Dobo, Paga, Mego dan Sikka Lela. Sebagai bukti tanaman kakao tersebut walaupun sebagiannya sudah diganti dengan menanam ulang, namun ada beberapa pohon yang berdiri hingga hari ini.

Tentunya setiap petani ingin seperti Bapak Yohakim, namun semangat dan keuletan harus kembali ke pribadi setiap petani karena hal ini menjadi tantangan bagi petani kebanyakan. Maka ada ungkapan pesan yang selalu menjadi trend bagi Bapak Yohakim dalam tutur Lionya mengatakan bahwa: “BESU LA’E A’I BUGU MBALE, NO’E LA’E A’I BUGU O’A MBALE” yang artinya : “Kaya telapak kaki tanaman pasti jadi, Miskin telapak kaki tanaman pasti mati”, Sebuah ungakapan penuh makna yang perlu diresapi bagi setiap petani yang mendambahkan kesuksesan. Atau dalam tutur Sikka (krowe) “SUPUNG NAHA WI DERI, LOPA SUPUNG WI GERA” artinya, “menanam harus pake duduk, jangan menanam pake berdiri”. ‘deri=duduk’ dimaknai menetap setelah menanam, ‘gera=berdiri’ dimaknai setelah tanam jalan. (mis: setelah tanam, jalan merantau, maka tentu tanaman tidak akan terawat).


Semoga bermanfaat…

Sabtu, 22 Oktober 2016

Beatriks Rika, Perempuan Peraih Penghargaan Female Food Hero

Beatriks Rika, Perempuan Peraih Penghargaan Female Food Hero

Beatrix Rika, sosok petani perempuan sederhana yang memiliki dedikasi  tinggi terhadap masyarakat tani di wilayahnya. Ia menekuni dunia pertanian sejak masih muda dengan mengelola lahan sawah  dan kebun landang yang dimilikinya dengan menanami tanaman pangan, seperti: padi, jagung serta hortikutura, sambil aktif sebagai kader posyandu.
Sejak tahun 2014, WTM merekrutnya sebagai kader tani WTM yang siap membantu Fasilitator Lapangan untuk mendampingi 5 kelompok di desa Bhera, yakni: kelompok santu Yosef, Sinar Tani, Usaha Bersama, Lowo Lo’o, dan Wore Tau Mbombe. Beatrix adalah anggota kelompok tani Lowo Lo’o dan menjadi kader tani yang berperan mendampingi dan memotifasi 5 kelompok tani di wilayahnya dengan jumlah anggota 75 orang (55 perempuan. 25 laki-laki).
Di samping mendampingi kelompok tersebut, Beatriks Rika kemudian melakukan penelitian kawin silang padi, setelah mendapatkan pelatihan kawin silang padi (pemulian benih) yang diselenggarakan WTM dalam kerjasamanya dengan Misserior Jerman dalam Program “Penguatan Kapasitas Masyarakat Tani Adaptasi Perubahan Iklim lewat Pendekatan Usaha Tani Berbasis Konservasi” (2014 – 2016).
Beatriks mengawali penelitiannya dengan memilih padi varietas lokal, yakni: pare mite dan pare kupa. Dua varietas ini kemudian saya tanam di polibag. Hanya sayangnya, upaya ini kemudian gagal karena padi itu baru tumbuh sudah dipagut ayam. Namun, kejadian ini tidak membuat saya putus asa. Saya malah berpikir, bagaimana caranya agar saya bisa lakukan penelitian padi karena ini sesuatu yang baru. Saya kemudian  menyemaikan benih padi kupa dan ciherang di areal persawahan Lowo lo’o, biar bisa lebih nyaman, kisahnya.
Ia mengaku banyak waktunya tersita karena ia harus mengontrol padi yang ditelitinya. Malah warga di sekitar menganggapnya dia lagi gila. Ia tidak gubris, baginya yang penting, usahanya dalam penelitian ini harus sukses.
Berkat keseriusannya dalam melakukan penelitian ini, ia diakui sebagai salah satu perempuan pejuang pangan di Indonesia oleh Oxam Indonesia.
Selain Ibu Beatriks ada 8 perempuan lain dari beberapa daerah di Indonesia yang juga meraih penghargaan ini. Ibu Beatrix Rika dipilih menjadi salah satu pemenang oleh karena kontribusinya pada petani di Bhera, Sikka, NTT.
“Ibu Beatriks punya jasa besar dalam menggerakkan pertanian lokal dan memberdayakan komunitas di kampungnya, di Sikka terutama agar petani dapat berdaulat atas benih dan menguasai teknologi,” ujar Wiwid, Project Manager Hak Atas Pangan Oxfam Indonesia kepada media ini.
Penghargaan Female Food Hero atau Perempuan Pejuang Pangan ini dibuat untuk mendorong masyarakat dan pemerintah Indonesia agar memberikan peran yang besar kepada kaum perempuan dalam kegiatan produksi pangan. Selama ini, demikian Wiwid, penghargaan terhadap perempuan di NTT sangat kurang. “Perempuan tak dihargai, tak dianggap dalam kegiatan produksi pangan. Status mereka dianggap buruh, bayaran lebih rendah ketimbang laki-laki. Pemberian bantuan pemerintah juga cenderung lebih berpihak pada laki-laki,” ungkap Wiwid.

Petani Peneliti
Ibu Beatriks telah menekuni dunia pertanian sejak usia muda. Ia menanami lahannya dengan padi, jagung, umbi-umbian dan kacang-kacangan. Perempuan kelahiran Lekebai, 26 April 1968 ini merupakan salah satu kader tani dampingan Wahana Tani Mandiri di kampungnya, Desa Bhera.
Sebagai kader tani, Beatriks yang bergabung dalam kelompok tani Lowo Lo’o ini juga turut mendampingi empat kelompok tani lainnya di desa setempat dengan total anggota 75 orang, yang mana hanya 25 di antaranya adalah laki-laki.
Selain menjadi tempat bertanya petani lain di Desa Bhera, Beatriks juga mendampingi para petani secara khusus terkait teknis dan manajemen usaha tani. “Semua ini saya lakukan dengan sukarela. Ilmu yang saya pelajari dari teman-teman Wahana Tani Mandiri saya bagikan kepada petani di desa,” ujar Ibu Beatriks
Saat ini Ibu Beatriks sedang melakukan penelitian kawin silang atas benih padi lokal.
 “Alasan kami lakukan kawin silang ini karena selama ini kami bergantung pada benih dari luar sementara benih yang ada belum sempurna serta masih tidak mampu bertahan terhadap hama dan iklim setempat,” ungkapnya.
Berkat ketekunannya ia telah berhasil sampai pada tahap F2 untuk jenis padi baru. Hasil benih F2 akan dikawinkan lagi untuk kemudian menghasilkan benih lokal baru.
 ” Berdasarkan penelitian yang kami lakukan, apabila berhasil maka kami akan menghasilkan benih baru yang besar bulirnya, tahan hama, dan tahan terhadap iklim lokal yang panas,” ungkap Ibu Beatriks.
Selain itu, Beatrix Rika juga seorang fasilitator kader posyandu untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi bagi ibu dan anak. Sebelumnya, ia aktif sebagai anggota BPD Desa Bhera Kecamatan Mego.
Sedangkan menurut Carolus Winfridus Keupung WTM mengatakan bahwa ada beberapa alasan mengapa WTM mendorong penelitian kawin silang yakni: Pertama: Banyak padi lokal yang mulai punah karena masuknya padi-padi varietas luar, yang blum tentu cocok dengan wilayah lio (Pulau Flores); Kedua. Petani yang selama ini hanya dilihat sebagai penjaga kebun tetapi sekarang juga sudah punya kemampuan untuk melakukan pemulian benih, agar memenuhi kebutuhan petani dengan varietas lokal; Ketiga. Mengembangkan padi varietas lokal telah terbukti tahan terhadap hama dan cocok dengan iklim yang curah hujannya sedikit;  Keempat. Sebagai upaya kedaulatan benih, karena petani harus memenuhi kebutuhan benih jangan bergantung pada benih padi yang didatangkan dari luar; Kelima. Sebagai salah satu ilmu yang dapat meningkatkan kapasitas bagi petani di Sikka.
Sambung Herry Naif, koordinator Penelitian dan Pengelolaan Lingkungan mengatakan bahwa penelitian ini punya beberapa tujuan: Pertama. Menyediakan informasi yang holistik tentang varietas padi lokal dan karakter masing-masing varietas yang diidentifikasi dan dikawinkan; Kedua. Menjadikan Petani sebagai peneliti dalam meningkatkan kapasitas terutama penemuan varietas baru (pemulian) padi; Ketiga. Memperdalam hasil penelitian benih demi terciptanya laboratorium padi lokal di Puskolap Jiro-Jaro, demikian harapannya.

                                                                                                                                     





Kamis, 18 Agustus 2016

Drought leaves Indonesian province vulnerable to food shortages


Drought leaves Indonesian province vulnerable to food shortages
Climate change, illegal logging, mining are aggravating factors, environmentalists say
Drought leaves Indonesian province vulnerable to food shortages
A prolonged drought in Indonesia's East Nusa Tenggara has led to arid farmland throughout the province. (Photo by Ryan Dagur)
Ribka Tenis' family used to eat three square meals a day. Today, they're lucky to eat once as the seasonal rains have yet to arrive this year, leading to food shortages throughout Indonesia's East Nusa Tenggara province. 
"We planted corn in January. But the crops died because the rain stopped," the 45-year-old mother of three told ucanews.com in her home in Nunbena in South Central Timor district.
The family's only source of income is the US$1.80 a day her husband earns as a farmhand — when he works. But the family is squeezed since a side-effect of the drought has led to rising corn prices, the stricken region’s staple crop.
Tenis' family is one of thousands in rural areas in the province facing food shortages because of the lack of rainfall, which — according to environmentalists — is an effect of climate change.
They, along with 12,000 other families in Kualin and South Amanuban sub-districts who have suffered the worst of the crop failures, face an uncertain future, aid workers say.
The region's only other crop of note is copra, the dried meat from a coconut used to extract oil. But few families have it and the crop is cheap, selling for about 20 cents a kilogram, says Alexander Kmio, a village head in Toineke of Kualin sub-district. There's little income to be made from it, he added.
Farmers planted tubers — a typically rugged, drought-resistant crop — but those too died from lack of water, Kmio told ucanews.com.

Drought throughout
East Nusa Tenggara is one of 16 provinces in Indonesia suffering from drought this year, according to the National Disaster Management Agency. Only two of the province's 22 districts have been insulated from the current drought.
The agency's spokesman, Sutopo Purwo Nugroho, said the lack of rain has affected some 111,000 hectares of agricultural land.
And it's not expected to get better. A predicted El Nino event is forecast to blanket the region through November, bringing wind and steaming temperatures that will make it difficult for farmers to grow most crops. The consequences for East Nusa Tenggara could be dire.
"This will have an intense impact on the region,” Nugroho told ucanews.com. “Even next year's rainy season may be pushed back as a result.”
Herry Naif, executive director of the province's Forum for the Environment, says the region has seen a gradual decrease over several decades in the length of the rainy season, which he attributes to climate change.
Several decades ago, the rainy season lasted from October until April. "Currently, the rains come between November and March. And it's also inconsistent, sometimes falling only for two months," he told ucanews.com.
Water remains scarce in the province, leaving families with a desperate choice: use whatever is available to sustain crops, or to sustain lives. Once they water the crops, there's little left to drink, Naif says.
Usually, they choose to use the water for their crops, he said. “There's a very limited water catchment area [for drinking],” he said. Naif said deforestation caused by illegal logging and mining also has exacerbated the issue, with fewer trees left to absorb water.
Saulus Maus, 52, from Oebelo village in South Amanuban, recalled that until the 1990s water was plentiful and easy to find. Now he has to walk two kilometers to draw water from a well.
“When we wanted to find water, we would dig a well, but now it is hard to find. Not all places have water,” he told ucanews.com.
http://www.ucanews.com/postimg/IMG_1649.JPG
A villager sits outside a typical home found in Besipae, in Indonesia's East Nusa Tenggara. (Photo by Ryan Dagur)

Missteps
So far, the government has taken some preventive measures, allocating about US$1.6 million for the constructions of reservoirs and ponds. It also launched a project to dig 1,000 wellbores to try and capture whatever water can be found underground.
However, environmental activists say the measures were meaningless without addressing illegal logging and mining.
"They want to build dams and ponds, and at the same time clear the forests for mining. Then where is the water coming from?" asks Melky Nahar, campaign manager for the environmental group NTT WALHI.
Because of the inconsistent rainfall, it's difficult for farmers to plan and predict their planting and harvesting seasons, Nahar says.
For their part, community-based organizations are working with farmers to develop adaptive farming techniques to try and help families negotiate their way around unpredictable weather patterns and prolonged drought.
"It is difficult, however, we have to find the right way so that people are not constantly starving," Nahar says. 
In Besipae, a small village in South Amanuban, a pilot land-preparation program helped residents avoid crop failure through this year's drought.
Aid workers helped residents diversify their crops — adding vegetables like cassava and sorghum — so that they were less reliant on corn, an environmentally demanding crop, Nahar said.
In the town of Atambua, Franciscan Father Lazarus Subagi organized dozens of farmers to increase food production during the brief rainy season.
"We rented unused land. When it rained, we worked hard to process the land. So until now, our food supply is still sufficient," he said.
The priest also keeps 70 pigs on Church property to help raise revenue for villagers.

"Our Church must be able to convince farmers that God can also be found in a field," he said.

Minggu, 12 Juni 2016

MENGENAL SIKKA DALAM ANALISIS PERTANIAN

 Potret Sikka
Kabupaten Sikka memiliki luas wilayah 7.553,24 Km² terdiri atas luas daratan (Pulau Flores) 1.614,80 Km² dan pulau-pulau (18 buah) 117,11 Km² serta luas lautan 5.821,33 Km². Luas daratan  sebesar 3,66%  dari luas wilayah NTT atau seluas 47.349,91 Km². Terletak di antara 8”22 - 8”50 derajat Lintang Selatan dan 121”55’40” - 122”41’30” Bujur Timur. Di sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Flores Timur, di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Ende, di sebelah Utara berbatasan dengan Laut Flores, dan di sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Sawu.

Keadaan topografi sebagian besar berbukit, bergunung, dan berlembah dengan lereng-lereng yang curam yang kemiringan tanah (kelerengan) cukup bervariasi, berkisar dari 0”- 120” dan didominasi oleh kemiringan tanah yang lebih besar dari 80” dengan luas 81.167 ha atau sekitar 46,87%  dari luas wilayah Kabupaten Sikka. Beriklim tropis dengan suhu berkisar antara 27°C - 29°C. Kecepatan angin rata-rata 12–20 knots. Musim panas biasanya berlangsung 7 hingga 8 bulan (April/Mei– Oktober/November) dan musim hujan kurang lebih 4 bulan (November/Desember – Maret/April). Curah hujan per tahun berkisar 1.000 mm – 1.500 mm, dengan jumlah hari hujan   60-120 hari per tahun.  Memiliki 4 jenis tanah yakni mediteran, litosol, regosol dan jenis tanah kompleks. Didominasi tanah mediteran seluas 79.176 Ha (45,71%). Penggunaan tanah: lahan pertanian 90.138 Ha (52,05%), kawasan hutan 38.442,43 Ha (22,20%), semak belukar  23.745 Ha (13,71%) dan lain-lain 20.865,57 Ha (12,05%).

Secara administratif, kabupaten Sikka memiliki 21 kecamatan, 148 desa dan  12 kelurahan. Pendapatan perkapita penduduk  atas dasar harga berlaku sebesar Rp 4.538.457,00. Sementara  itu  jumlah penduduk mencapai  295.134  jiwa (139.123 laki-laki dan 156.011 perempuan) 71.220 kk. Jumlah penduduk miskin 56.100 jiwa (sikka dalam Angka 2007).

Potret Masalah dan Analisisnya
Masyarakat Sikka dan kabupaten lainnya di NTT dihadapkan pada problem keterbatasan pangan, air, kesehatan dan gizi. Situasi ini disikapi masyarakat dengan melakukan alternatif pekerjaan lain, yaitu dengan merambah hutan, melakukan aktifitas ilegal loging untuk kebutuhan kayu yang mana dijual dalam bentuk kayu bahan bangunan dan kayu bakar. Sedangkan pada wilayah pesisir terjadi aktifitas penangkapan ikan yang merusak lingkungan (penggunaan bom) dan pengrusakan kawasan mangrove.

Bagi pihak pemerintah, permasalahan ini  dihadapi dengan pendekatan kuratif dimana disiapkan beras untuk mengatasi masalah gagal panen. Padahal mayoritas masyarakat Sikka adalah petani yang mana belum terpateri sebuah program pemulihan dari sisi ekologis yang lebih sistimatis, yang diyakini bisa menyelesaikan permasalahan yang lebih holistik. Logikanya petani membutuhkan kondisi ekologi yang seimbang agar terciptanya iklim  yang baik bagi mereka.  Pendekatan kuratif tersebut hanyalah memanjakan rakyat dan pada perkembangannya dinilai tidak secara komprehensif memenuhi tuntutan kebutuhan yang semakin meningkat.
  
Dari analisis kerentanan dan kapasitas yang dibuat bersama masyarakat di 5 desa di kecamatan Mapitra dan Doreng pada tahun 2009/2010 dan hasil pertemuan petani Kecamatan Mapitara dan Doreng pada Juni 2012, serta hasil investigasi penjajakan wilayah di Desa Darat Pante, Desa Wairterang, dan Desa Egon pada bulan Agustus 2015, terungkap bahwa, upaya penanggulangan kemiskinan juga berhadapan dengan beberapa hal krusial antara lain :
  1. Topografi wilayah berbukit dengan kemiringan yang tajam (curam) rata-rata di atas 40%;
  2. Lahan garapan sempit dan menyebabkan terjadinya pengklaiman lahan antar warga, Dinas Kehutanan dan tokoh-tokoh adat;
  3. Perubahan iklim yang melanda dunia; Banyak petani salah menafsir waktu tanam sehingga mengalami gagal panen;
  4. Rata-rata kepemilikan tanah per kepala keluarga tani seluas 0,5 - 2 ha;
  5. Pengelolaan usaha tani yang tidak memperhatikan keseimbangan alam mengakibatkan kesuburan tanah berkurang dan akhirnya mengakibatkan rendahnya produksi tanaman;
  6. Kurangnya kemampuan teknologi pengelolaan usaha tani memungkinkan petani tetap menggunakan budaya bertani tebas bakar dan ladang berpindah-pindah (gilir-balik).

Kondisi yang digambarkan di atas berakibat pada:
1.    Kurangnya hasil tanaman pangan dan hortikultura, disebabkan:
•    Minimnya kemampuan dan pengetahuan petani mengelola usaha tanaman
•    Kurang adanya diversifikasi usaha tanaman pangan lokal,
•    Minimnya pengembangan pangan lokal dan tanaman buah-buahan.

2.    Kurang/menurunnya hasil tanaman perdagangan yang disebabkan:
  • Jumlah tanaman perkebunan  masih kurang;
  • Rendahnya tingkat produktifitas tanaman perkebunan dan pengolahannya;
  • Rendahnya pengetahuan dan ketrampilan petani mengelolaan usaha tani;
  • Tanaman perkebunan sering mengalami kerusakan akibat serangan hama dan penyakit sehingga dapat mengurangi hasil produksi sampai 50%-75 %.
3.    Kurangnya hasil ternak yang disebabkan oleh:
  • Ternak mati diserang penyakit; penyakit Tetelo pada ayam dan Hoc Kolera pada babi mengakibatkan kematian sampai 80%. Serangan menceret, perut kembung pada kambing dapat mengakibatkan kematian sampai 30%.
  • Pengetahuan tentang pemeliharaan ternak masih kurang
  • Terbatasnya jumlah ternak yang dimiliki petani
4.    Kurangnya Hasil tangkapan ikan yang disebabkan oleh:
  • Sering terjadi pengeboman ikan; sehingga rusaknya terumbuh karang
  • Minimnya peralatan tangkap ikan
  • Nelayan kurang terampil melakukan upaya penangkapan ikan yang ramah lingkungan;
5.    Rusaknya ekosistim kawasan hutan lindung dan marga satwa di kawasan Egon Ilin Medo dan Rusaknya terumbuh karang dan ekosisstem laut di Teluk Maumere
6.    Kurangnya upaya penyelamatan lingkungan, baik oleh masyarakat maupun pihak pemerintah yang disebabkan oleh :
  • Aturan tentang pelestarian hutan yang tidak dipahami secara baik oleh masyarakat
  • Kurangnya kampanye pelestarian lingkungan
  •  Lemahnya penegakan hukum dalam kasus-kasus lingkungan hidup
Dari beberapa hasil analisis itu, Wahana Tani Mandiri (WTM) melihat bahwa kenyataan-kenyataan tersebut di atas berpengaruh pada pemenuhan hak-hak dasar (pangan, pendidikan, kesehatan dan perumahan) untuk meningkatkan kualitas hidup layak. Untuk itu, dibutuhkan konsep pengelolaan yang komprehensif yang mengedepankan pengelolaan lingkungan dan ekologi yang berkeadilan sosial dan ekologis menuju tujuan keselamatan bersama.

Konsep ini didasari pada Akses dan Kontrol rakyat terhadap modal-modal penghidupan yang disebut pentagon asset, Pertama,  sumber daya manusia (human asset) meliputi, keterampilan, kreativitas, tenaga, kesehatan jasmani-rohani, kecerdasan, kemampuan kerja dan sebagainya. Kedua, Sumber daya alam (natural asset) tanah, air, iklim, perlindungan terhadap erosi, keanekaragaman hasil hutan dan sebagainya. Ketiga, Hubungan sosial (social asset) meliputi kekuatan ikatan-ikatan sosial, jaring pengaman sosial. Keempat, Infrasturktur (physical asset) meliputi, jalan, rumah, puskesmas, posyandu, irigasi dan sebagainya. Kelima, Keuangan (financial asset) yang meliputi uang cash yang dimiliki dan lembaga keuangan formal maupun informal.

Penguasaan seseorang terhadap akses dan kontrol terhadap asset-asset penghidupan menggambarkan tingkat kapasitas dan kerentanannya. Semakin besar penguasaan seseorang terhadap asset-asset penghidupan semakin tinggi kapasitasnya, semakin kecil penguasaan seseorang terhadap asset-asset penghidupan, semakin tinggi kerentanannya.

Konsep ini hendak menjawab tidak hanya pada usaha peningkatan kesejahteraan keluarga kelompok tani/nelayan, tetapi juga bisa mencapai perbaikan iklim mikro yang yang bisa mendukung, sekaligus juga pengembangan dan pengelolaan data yang bisa menjadi daya ungkit bagi pengembangan program dan dasar advokasi kebijakan yang memungkin perubahan kebijakan dan program di pemerintah daerah dalam daya upaya memperbaiki pendekatan dan pengembangan program yang lebih sistimatis.

Jumat, 10 Juni 2016

WTM PERKENALKAN KONSERVASI TANAH DAN AIR BAGI KADER TANI MAPITARA



Praktek Pembuatan pupuk organik dan pestisida organik

Pelatihan Konservasi Tanah dengan Air diselenggarakan Wahana Tani Mandiri (WTM) dalam kerja sama dengan Critycal Ecosystem Partnership Fund (CEPF) dalam program “Peningkatan Pendapatan Masyarakat dalam Mendukung Menejemen Ekositem Berkelanjutan di Kawasan Egon Ili Medo”.  Kegiatan pelatihan itu dihadiri 15 peserta, utusan dari Desa Natakoli, Hale, Hebing dan Egon Gahar difasilitasi oleh Kristoforus Gregorius dan Winfridus Keupung di Puskolap Jiro – Jaro, Tana Li, desa Bhera, Kec. Mego (9 – 11) Juni 2016
Dalam pembukaan acara tersebut, Carolus Winfridus Keupung mengatakan bahwa makhluk hidup dan alam semesta merupakan dua unsur penting  yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Keduanya memiliki ikatan saling ketergantungan yang sangat kuat. Porsi ketergantungan makhluk hidup terhadap alam jauh lebih besar. Mahkluk hidup memiliki ketergantungan yang penuh terhadap alam, sebaliknya alam menyediakan layanan; seperti tanah dan air bagi keberlangsungan semua mahkluk hidup di dunia.
Lebih lanjut, Win mengatakan bahwa WTM, awalnya menjadi agen pupuk kimia. Namun dalam perkembangannya, WTM kemudian melakukan kaji banding terhadap perbedaan penggunaan pupuk organik dan pupuk kimia.
Dari kajian itu, WTM menemukan sebuah dampak positif yang dimiliki pupuk organik. Bahwa petani di Flores yang masih banyak bergantung pada alam hendaknya menjadikan alam sebagai sebuah lalyanan. Karena itu dengan konsep ini tentunya petani juga turut menjaga kelestarian lingkungan. Mereka disebutnya green’s farmer, ujar win Keupung.
Dalam pelatihan ini juga win membawakan materi  tentang “Konservasi tanah dan air” dijelaskana juga soal struktur dan tekstur tanah. Bahwa tanah yang subur harus memiliki perimbangan antara unsur liat, pasir dan debu. Selain itu juga harus didukung oleh unsur hara makro seperti Nitrogen (untuk pertumbuhan tanaman), Kalium (memperkuat batang dan bunga) dan Phospor (pertumbuhan akar dan batang). Selain itu ada unsur hara mikro yang dibutuhkan tanaman yakni; besi (fe), Seng (zn) Tembaga (cu), mangan (Mn), Boron (B), Molipden (mo).
Sedangkan Kristo, membawakan materi tentang pertanain berkelanjutan yang mana harus dilihat dari aspek ekologi, ekonomi, teknologi dan pemberdayaan. Dalam materi Pemupukan tanaman, kristo menjelaskan tentang pupuk organik dan pestisida organik. Disebutkan beberapa manfaat pupuk organik diantaranya; Meningkatkan lapisan olah permukaan tanah, Meningkatkan populasi jasak renik atau mikroorganisme tanah, Meningkatkan daya serap akar dan daya serap tanah terhadap air, Memperbaiki perembesan air, serta pertukaran udara dalam tanah, Meningkatkan produksi tanaman semaksimal mungkin., Menstabilkan ph tanah, Meningkatkan kapasitas tukar kation, kapasitas buffer dan daya pegar air, Menyuburkan dan menggemburkan tanah, Mempercepat proses penguraian bahan-bahan organik, Merangsang pertumbuhan akar dan pembentukan sistem perakaran yang baik, sehingga dapat mengambil unsur hara yang banyak dan menjadikan tanaman sehat dan kuat, Memperbesar prosentase pembentukan bunga menjadi buah dan biji.
Sedangkan beberapa keunggulan pupuk organik diantaranya, Meningkatkan kandungan air dan dapat menahan air untuk kondisi berpasir, Meningkatkan daya tahan terhadap pengikisan, Meningkatkan pertukaran udara, jumlah pori-pori dan sifat peresapan air untuk kondisi tanah liat, Menurunkan tingkat kekerasan lapisan permukaan tanah, Mengandung unsur hara makro mikro yang lengkap, Aman (ramah lingkungan), Efektif dan ekonomis (murah/mudah di dapat), Menghilangkan rasidu kimia, Aplikasi yang mudah (bisa diaplikasikan sebelum atau sesudah masa tanam), demikian ulas Kristo.
Dalam melakukan usaha tani secara organik juga dituntut melalui sebuah proses yang benar dimana harus mengetahui jenis pupuk apa yang dibutuhkan dengan memperhatikan dosis nya. Di sisi lain juga perlu diperhatikan waktu, cara pemupukan sehingga tanaman itu subur.
Setelah proses belajar in class, peserta juga melakukan praktek pembuatan pestisida organik dan pupuk organik yang telah disiapkan. Diharapkan dengan pelatihan ini akan memberikan sebuah pemahaman riil agar para kader bisa memperaktekannya di lapangan. Sebab bahan-bahan dasar pembuatan pestisida organik ini banyak terdapat di kawasan Egon Ilimedo, kata Kristo.
Sedangkan, Hermus Peong salah satu peserta pelatihan yang juga adalah pemimpin kelas selama pelatihan mengatakan bahwa pelatihan ini sangat bermafaat bagi kami di lapangan. Bahwa, ini menjadi bekal bagi kami dalam upaya memfasilitasi kegiatan usaha tani di lapangan nanti.
Seminggu kami sudah dipasok dengan banyak ilmu, bagaimana memfasilitasi dan kemudian dengan beberapa pengetahuan dasar tentang konservasi tanah dan air. Ini adalah dasar, kami berharap WTM selalu siap meningkatkan kapasitas kami di lapangan dengan beberapa fasilitator lapangan WTM. Kami akan selalu berkoordinasi dengan WTM demi pengelolaan usaha tani terpadu.

Kamis, 09 Juni 2016

WTM LATIH 15 KADER TANI DARI MAPITARA

Maumere - KN, Mengawali program “Peningkatan Pendapatan Masyarakat dalam Mendukung Menejemen Ekositem Berkelanjutan di Kawasan Egon Ili Medo” dalam kerja sama Wahana Tani Mandiri (WTM) dengan Critycal Ecosystem Partnership Fund (CEPF) melakukan kegiatan Pelatihan untuk Pelatih (Traning of Trainer). Kegiatan yang dihadiri 15 peserta utusan dari Desa Natakoli, Hale, Hebing dan Egon Gahar difasilitasi oleh Herry Naif dan Win Keupung. Materi yang dilatih bagi kader tani diantaranya, Pendidikan community organizer, siapa itu fasilitator dan teknik memfasilitasi oleh Herry Naif, sedangkan peran dan fungsi kader tani dan apa peran kader tani dalam program oleh carolus Winfridus Keupung. Pelatihan ini berlangsung di Puskolap Jiro-Jaro, Tana li, desa Bhera, Kecamatan Mego, (6-9 Juni 2016).

Carolus Winfridus Keupung, Direktur WTM dalam acara pembukaan mengatakan bahwa kegiatan hari ini adalah awal dari program yang mana perlu ada agen-agen perubahan di lokasi. Kami sedang mendorong agar adanya peole led development (rakyat memimpin perubahan). Karena itu, kader Tani adalah petani yang memiliki jiwa kerelawanan dan kemampuan yang lebih dari petani lainnya di desa serta memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi dari masyarakat tani di wilayahnya. Kader tani harus dipersiapkan menjadi penghubung  dan penggerak di kelompok tani sekaligus tulang punggung pengembangan masyarakat tani baik dalam secara teknis pertanian. Bukan hanya itu, tetapi kader tani harus mampu mengadvokasi kebijakan agar anggaran desa itu berpihak pada petani yang adalah mayoritas penduduk desa. Kader Tani juga harus memiliki kemampuan memfasilitasi dan menterjemahkan berbagai teknologi usaha pertanian. Selai itu, kader tani harus memiliki pemahaman dasar tentang organisasi dan usaha tani,  serta mampu melakukan pemberdayaan petani atau kelompok tani. Untuk itu, seorang kader tani yang menjadi penghubung haruslah baik dan berkualitas, ujar Win.

Sedangkan, Herry Naif (Koordinator Program) menyatakan, bahwa penyebab utama kegagalan sebuah program selama ini adalah kualitas kerja yang dibangun dalam sebuah tim kerja baik dalam kerjaan administratif ataupun kerja-kerja lapangan. Karena itu, sejak awal, para pihak yang terlibat dalam program perlu membangun kerjasama yang baik diantara mereka dan pihak lain. Berbagai kekurangan tersebut justru sangat berpengaruh pada usaha mereka. Untuk itu pemberdayaan kepada para petani mutlak harus berjalan agar usaha tani mereka terus berkembang.

Sebab itu, menurut penilaian WTM, strategi ini akan sangat memberikan dampak positif kepada masyarakat tani. Sebab dengan pendekatan dari petani ke petani  memiliki beberapa keunggulan yakni: komunikasi lebih lancar karena tahu situasi dan kondisi, mempermudah penyebaran informasi, memperkuat keyakinan adanya perubahan, dan adanya kepastian berkelanjutan. Tujuan Pelatihan ini adalah Pertama, Meningkatkan kapasitas petani/kader tani dalam memimpin dan memfasilitasi berbagai kegiatan baik di tingkat kelompok maupun di tingkatan yang lebih tinggi. Kedua, Membantu meningkatkan Sumber Daya para petani/kader tani dalam pengelolaan usaha tani di wilayah Mapitara. Ketiga, Kader Tani mampu melakukan advokasi  kebijakan di tingkat pemerintah lokal, demikian ujar mantan Direktur Walhi NTT.

Acara pelatihan ini diakhir dengan praktek, dimana para kader tani memilih topik yang ingin difasilitasi dan kemudian dipraktekan, setelah itu dibenahi oleh tim fasilitator dan dicoba lagi sampai para peserta bisa dinilai sebagai seorang fasilitator.

WTM LAKUKAN PELATIHAN KONSERVASI TANAH DAN AIR

Maumere - Kabar Nuhang. Setelah dilakukan Pelatihan untuk Pelatih (Traning of Trainer), Wahana Tani Mandiri (WTM) dalam kerja samanya dengan Critycal Ecosystem Partnership Fund (CEPF) diselenggarakan Pelatihan Konservasi Tanah dengan Air. Kegiatan pelatihan itu dihadiri 15 peserta, utusan dari Desa Natakoli, Hale, Hebing dan Egon Gahar difasilitasi oleh Kristoforus Gregorius dan Winfridus Keupung di Puskolap Jiro – Jaro, Tana Li, desa Bhera, Kec. Mego (9 – 11) Juni 2016

Kegiatan ini merupakan salah satu kegiatan dalam program “Peningkatan Pendapatan Masyarakat dalam Mendukung Menejemen Ekositem Berkelanjutan di Kawasan Egon Ili Medo” dalam kerja sama Wahana Tani Mandiri (WTM) dengan Critycal Ecosystem Partnership Fund (CEPF).

Dalam pembukaan acara, Kristoforus mengatakan bahwa, makhluk hidup dan alam semesta merupakan dua unsur penting  yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Keduanya memiliki ikatan saling ketergantungan yang sangat kuat, walaupun di satu sisi, porsi ketergantungan makhluk hidup terhadap alam  jauh lebih besar. Mahkluk hidup memiliki ketergantungan yang penuh terhadap alam  sebab alam menyediakan layanan seperti tanah dan air bagi keberlangsungan semua mahkluk hidup di dunia.
 Tanah  dan air memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan manusia. Secara sederhana, tanah  diartikan sebagai salah satu unsur bumi yang terbentuk dari berbagai campuran bahan mineral, air,  udara dan organik, dimana di atas permukaanya terdapat berbagai macam kehidupan. Sedangkan air dapat diartikan sebagai salah satu unsur bumi  berbentuk cair yang berada di atas permukaan bumi dan di dalam perut bumi yang memberi kehidupan bagi makhluk hidup. Kemampuan tanah menahan air juga dipengaruhi antara lain oleh tekstur tanah. Tanah-tanah yang bertekstur kasar mempunyai daya menahan air lebih kecil daripada tanah bertekstur halus. Oleh karena itu, tanaman yang ditanam pada tanah pasir umumnya lebih mudah kekeringan daripada tanah-tanah bertekstur lempung atau liat, ujar Kristo.

Sedangkan Winfridus Keupung (Direktur WTM) mengatakan bahwa ketersedian air dalam tanah pun tidak terlepas dari peran hutan sebagai penyangga.  Air hujan yang jatuh ke permukaan bumi akan meresap dengan baik jika dipermukaan tanah ditumbuhi berbagai macam jenis pepohonan yang memiliki daya resap air yang tinggi. Manusia dan hewan serta tumbuhan menggunakan tanah dan air untuk hidup mereka.
 Tanpa tanah dan air manusia dan makhluk hidup lainnya tidak mungkin ada di dunia. Manusia menggunakan tanah dan air untuk berbagai usaha, misalnya: pertanian, peternakan, pembangunan dan berbagai kebutuhan lainnya untuk memenuhi berbagai keperluan demi keberlangsungan hidup mereka. Untuk itu, tanah air dan hutan harus dijaga  dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Dalam kedudukannya tanah air dan hutan memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan manusia, untuk itu kelestarian hutan perlu dijaga, ulas Win.
Lebih lanjut Win menemukan bahwa  hutan dan air perlu dilakukan upaya konservasi. Konservasi atau pengawetan adalah bentuk usaha penjagaan atau perlindungan terhadap kekayaan alam yang ada. Konservasi tanah adalah usaha-usaha untuk menjaga dan melindungi tanah agar tetap produktif, atau memperbaiki tanah yang rusak karena erosi sehingga menjadi lebih produktif. Sedangkan konservasi air adalah usaha-usaha yang dilakukan agar air dapat lebih banyak disimpan di dalam tanah sehingga dapat digunakan untuk kesuburan tanaman dan mengurangi terjadinya erosi.

Salah satu cara atau usaha dasar yang perlu dibuat adalah menggunakan tanah dan air sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itu, manusia umumnya dan petani khususnya dituntut untuk tetap menjaga ketersediaan layanan alam demi keberlangsungan kehidupan mereka, ujar mantan direktur Walhi NTT
Sedangkan Herry Naif (Koordinator Program) mengemukakan bahwa manusia memiliki tanggung jawab yang begitu besar terhadap keutuhan alam dan isinya. Bahwa selain memanfaatkan kekayaan  alam, mereka juga dituntut untuk menjaga kelestariannya demi keberlangsungan generasi yang akan datang. Bahwa sejauh pengalaman kami saat memimpin Walhi NTT melihat bahwa kondisi ekologi NTT sedang dalam kondisi genting. Karena itu, upaya konservasi perlu dilakukan oleh semua warga, terutama di kawasan-kawasan hutan (penyanggah).

Berangkat dari beberapa kondisi tersebut Wahana Tani (WTM) lakukan Pelatihan Konservasi Tanah dan Air kepada para kader tani dengan tujuan. Pertama memberi pemahaman kepada kader tani agar mampu menularkannya kepada masyarakat Mapitara dan menjadikan konservasi sebagai bagian dari pengelolaan pertanian mereka. Kedua, Meningkatnya pemahaman tentang pentingnya konservasi tanah dan air serta teknis pengelolaan pertanian yang berkaitan dengan konservasi tanah dan air bagi kehidupan para kader dan masyarakat Mapitara, demikian ulas Herry.