KISAH SUKSES PETANI
KAKAO
DARI DOBO NUAPU’U
(Oleh
: Mus Muliadi, staf lapangan Wahana Tani Mandiri)
Bagi banyak petani
perkebunan umumnya di Flores tentu ketika mendengar cerita tentang tanaman kakao
atau theobroma cacao sebutan
latinnya
menjadi cerita yang biasa. Di Kabupaten Sikka, tanaman ini
sudah ada sejak tahun 1950-an sebelum gencar dikampanyekan pemerintah.
Tanaman kakao
gencar didorong pengembangannya pada tahun
1980-an. Namun jauh sebelum itu jenis tanaman ini diperkenalkan oleh Pater
Heinnrich Bollen SVD seorang birawan Katolik asal Jerman yang mengabdikan
dirinya di Kabupaten Sikka yang membawa bibit tanaman ini dari Pantai Gading.
Namun dalam
tulisan ini saya lebih khusus mengangkat soal motifasi dan keuletan dari
seorang petani tuah asal desa Dobo Nuapu’u, kecamatan Mego, Kabupaten Sikka
yang mungkin saja menjadi motivasi bagi petani lain hari ini yang punya
keinginan untuk membudidayakan atau mau mengembangkan tanaman jenis ini.
Siapa sosok petani sukses itu?
Ketika kita mendengar
kata sukses, tentunya di kepala kita membayangkan ada pahit getir dalam
mencapainya apa lagi suksesnya seorang petani, begitu pula dengan sosok petani
yang satu ini. Sebut saja namanya, Bapak Yohakim Bagi, seorang petani asal Dobo
Nuapu’u, Kecamatan Mego, Kabupaten Sikka. Bapak Yohakim Bagi hanya
berpendidikan kelas 6 SR di Ri’I Pu’a tamat pada tahun 1952. Ia mengenal
tanaman kakao sejak tahun 1962 dimana saat itu banyak orang belum mengenal
tanaman ini kecuali sebagian petani asal Watublapi, Kecamatan Kewapante,
Kabupaten Sikka yang mungkin sudah mengenalnya lebih dahulu.
Walaupun
demikian cerita petani Watublapi tentu berbeda, sebab mereka pasti punya acuan
teknis yang jelas dari sumbernya. Lain hal dengan Bapak Yohakim Bagi, bagaimana
dengan teknik menanam tanaman ini, tujuan dan manfaat menanam tanaman ini saja
belum diketahuinya sacara pasti, namun tentu saja semangat dan kemauannya
menjadi kunci. Dalam pikiran Bapak Yohakim adalah “yang penting tanam saja”. Bagaimana cerita bapak Yohakim
mendapatkan bibit jenis tanaman yang berasal dari Meksiko, Amerika Tengah ini,
kemudian mulai menanamnya dan bisa dibilang sukses di Dobo Nuapu’u?
Lima puluh
empat tahun lalu tepatnya di tahun 1962, bapak Yohakim Bagi bekerja sebagai
petani sawah sekaligus pengiris moke di kampungnya Dobo Nuapu’u. Di tahun yang
sama, Bapak Yohakim mulai menekuni lahan kering miliknya dengan tanaman pangan
sperti padi, jagung dan ubi-ubian dimana seperti halnya yang dikerjakan petani di
kabupaten Sikka pada umumnya. Namun pengolahan lahan kering yang dilakukan oleh
Bapak Yohakim berbeda dengan petani lain di kampungnya, walaupun saat itu belum
ada intervensi pihak luar dalam hal teknis pertanian.
Bermodal
semangat dan keuletan yang dimilikinya ditambah dengan beberapa inspirasi dari
sebuah buku yang pernah dibacanya kalah itu membuat Bapak Yohakim bersama
istrinya terus termotivasi untuk menekuni dalam hal bertani. Memang segalah
sesuatu yang dikerjakannya tidak satu kali memberikan hasil sesuai keinginanya
namun keuletan untuk mencoba selalu ada. Lalu bagaimana dengan cerita tanaman
kakao dari babak Yohakim?
Ketika itu
musim panas, Bapak Yohakim bersama istrinya sudah setengah hari menguras tenaga
dari membersikan rumput, mengerjakan teras dan beberapa aktivitas lainnya di
kebun, saatnya mereka harus sedikit melepaskan lelah sambil mengunya bekal yang
dibawahnya dari rumah di pondok kecil yang berada di tengah-tengah kebun.
Sementara itu datanglah Bapak Woi, teman dekat bapak Yohakim yang sengaja
singga di pondoknya untuk sedikit menyegarkan dahaga dengan kelapa muda yang
memang cukup menggoda apa lagi Bapak Woi yang saat itu baru saja menempuh jarak
kurang lebih 20 km dengan berjalan kaki dari Maumere.
Sementara asyik
bercerita, Bapak Woi mengeluarkan buah masak yang berwarna kuning dari kantong
yang dibawahnya, jenis buah yang asing bagi Bapak Yohakim saat itu. “itu buah apa?”, tanya Bapak Yohakim
kepada temannya. “Ini namanya buah kakao”
jelas Bapak Woi semabari melanjukan ceritanya kepada Bapak Yohakim. “Saya baru
dari Maumere, kemarin saya ke Watublapi di keluarga saya, kebetulan disana
sedang ada pembagian bibit kakao, 10 buah per kepala keluarga, di rumah yang
saya pergi itu ada tiga kepala keluarga jadi mereka dapat 30 buah, sehingga
mereka kasih saya 10 buah”.
Karena
penasaran Bapak yohakim terus bertanya kepada temannya terkait manfaat dan
bagaimana cara menanam bibit kakao ini. Akhirnya waktu istirahat siang itu,
berubah menjadi sebuah diskusi hangat antara Bapak Yohakim bersama temannya.
Lalu Bapak Woi pun melanjutkan cerita sesuai apa yang dipesan oleh orang yang
memberi bibit itu. “Mereka pesan katanya,
ini kamu bawah kesana belah dan ambil bijinya lalu dicampur dengan abu dapur
setelah itu ditanam, jarak tanamnya 3 atau 4 langkah kaki. Biji dari buah ini
pun rasanya manis, sehingga bisa diisap sebagai manisan. Mereka juga bilang,
katanya buah ini suatu saat bisa dijual”, jadi saya bawah saja, siapa tahu
akan berguna di suatu saat, jelas Bapak Woi kepada Bapak yohakim sambil
menyodorkan 2 buah kakao kepada Bapak Yohakim.
Penasaran
dengan cerita Bapak Woi, Bapak yohakim pun dengan senang hati menerima tawaran
dari temannya sambil membelah buah kakao yang baru diberikan itu dan langsung
mencicipi rasanya. “Benar, ini rasanya
manis dan enak, anak-anak pasti suka, saya harus menanamnya, kalau memang
besok-besok tidak dijualpun, kita bisa gunakan untuk manisan buat anak-anak
atau pun orang dewasa saat kerja di siang hari. Selain itu kita bisa gunakan
untuk penahan teras, kebetulan disini saya sudah buat teras, jadi saya bisa
gunakan untuk tanaman penahan teras” sambung Bapak Yohakim menyepakati
pembicaraan Woi temannya. Cerita siang
itu pun berakhir dengan pamitnya Bapak Woi yang ingin melanjutkan perjalanannya
ke kampong Detukoli, sebelah utara dari kampong Dobo Nuapu’u.
Dari dua buah menjadi dua Hektare
Tentunya tidak
terlepas dari cerita sebelumnya, setelah menerima dua buah kakao dari temannya,
Bapak Yohakim memulai dengan mengikuti petunjuk sesuai apa yang didengarnya
dari cerita lepas bersama Woi temannya. Walaupun saat itu manfaat dari kakao
yang sekarang menjadi salah satu bahan komoditi unggul belum diketahuinya
secara pasti dan dengan pengetahuannya yang terbatas, namun ia serius dalam usaha
membudidayakannya. Biji dari dua buah kakao yang berjumlah kurang lebih 80 biji
itu kemudian ditanamnya di bagian teras kebun yang dibuat sebelumnya dan ia
terus memperhatikannya setiap hari dengan menyiram secara rutin setiap pagi dan
sore. Walaupun dengan kesibukan lain sebagai seorang petani ia selalu menyisikan
waktunya untuk tetap memperhatikan tanaman ini. Ia pun penasaran dengan bentuk
tanaman ini, dari daun, batang serta perkembangan fisik hingga berbunga dan berbuah
nantinya karena menurutnya ini jenis tanaman baru baginya. Kesungguhan Bapak
Yohakim dalam merawat tanaman ini memang tidak sia-sia, 80 biji dari benih ini
tidak ada yang mati, semuanya tumbuh baik dan sehat.
Pada tahun
1969 kakao yang ditanam sekitar 80 pohon tersebut mulai berbuah, namun buahnya
hanya dipetik dan dimakan sebagai manisan dari biji luarnya. Walaupun begitu
biji-biji itu tidak dibuang begitu saja, ia memberitahu kepada anak-anaknya
agar biji kako itu disimpan saja, siapa tahu ada yang membelinya. Bukan saja
anak-anaknya, adapun warga lain dalam kampungnya datang meminta untuk makan
sebagai manisan terlebih anak-anak, namun mereka tidak tahu, sehingga setelah
mengisap manisannya bijinya dibuang begitu saja memang pada waktu itu di
kabupaten Sikka kakao belum ada pasarnya. Memang ada beberapa teman dari Bapak
yohakim yang menyarankan untuk ditebang saja, karena menurut mereka tanaman ini
tidak bermanfaat dan hanya sebagai pengganggu tanaman lain. Namun Bapak yohakim
tetap percaya dengan cerita temannya, sealain itu ia juga memanfaatkannya
sebagai tanaman penahan teras pada kebunnya. Memang pada saat itu tanaman kakao
belum menjadi focus utama bagi Bapak Yohakim. Ia bukan saja menanam satu jenis
tanaman, tapi berbagai jenis tanaman baik pangan maupun tanaman komoditi
ditanamnya karena menurutnya dalam rentang satu tahun pasti ada bulan-bulan
dimana pasokan makanan akan berkurang, sehinga ia juga mengoleksi jenis tanaman
yang menurutnya bisa mengatasi masa-masa sulit itu.
Tahun 1976
tanaman kakao sudah cukup berbuah lebat sehingga sudah cukup banyak biji yang
dikumpulkan, namun pada tahun ini pun pasar untuk komoditi kakao belum jelas.
Di tahun yang sama ada kunjungan seorang insiyur pertanian asal Lembata ke
kampong Dobo Nuapu’u dan kebetulan insiyur itu mendatangi kebun bapak Yohakim.
Insiyur itu heran dengan tanaman kakao yang sudah cukup banyak di kebunya, dan
watu itu insiyur hanya berpesan kepada Bapak Yohakim agar tanaman ini perlu
diperbanyak karena suatu saat tanaman ini akan menjadi salah satu jenis
komoditi yang mahal. Pesan ini kemudian menambah motivasi dan keyakinan pada
Bapak Yohakim untuk terus mengembangkannya.
Pada suatu
hari di tahun 1979, Bapak Yohakim Bagi pergi ke Maumere, ketika sedang
berbelanja di salah satu toko yang masih diingatnya dengan baik yakni Toko
Irama, ia melihat ada satu box besar yang berisi biji kakao yang cukup banyak.
Ia coba memperhatikannya secara dekat dan segera ia bertanya kepada cina
pemilik toko tersebut, “Baba, ini beli kah?” lalu Cina itu menjawabnya, “iya,
itu saya beli, bapak punya ada ko di rumah? Cina itu balik bertanya kepadanya. Dengan
senang hati, Bapak Yohakim menjelaskan bahwa di rumahnya ada banyak. Ia pun
bergegas pulang dan memberitahukan kepada istrinya, bahwa sudah ada toko yang
membeli kakao. Waktu itu kakao yang dibeli cina tersesbut dengan harga
Rp.400,-/kg.
Ketika mereka
mengumpulkan biji kakao tersebut, saat itu biji kakao yang terkumpul mencapai 4
kantong terigu, pada hari itu juga ia kembali ke Maumere untuk menjualnya. Sampai
disana setelah cina itu melihatnya, ternyata biji kakao yang dibawah Bapak
Yohakim mutunya sangat bagus sehingga cina itu membelinya dengan harga 500/kg.
Biji kakao yang dibawah Bapak Yohakim dari 4 kantong terigu mencapai 40 kg,
sehingga ia mendapat Rp.20.000,- Menurut Bapak Yohakim, uang sebesar itu jika
disamakan dengan saat ini maka kita sudah bisah membeli 1 ekor kuda. Namun dari
hasil penjualan kakao pertama ini, Bapak yohakim langsung membeli seng untuk
membuat rumah mereka.
Ketika
mengetahui bahwa kakao sudah dapat dijual, maka semangat untuk mengembangkan
tanaman ini semakin besar dalam niatnya. Usai mengerjakan rumah tinggalnya, ia
bersama istrinya mulai menekuni untuk melakukan pembibitan dalam jumlah banyak.
Sejak saat itu setiap hari Bapak Yohakim Bagi bersama istrinya melaukan
pembibitan secara serius. Namun pembibitan kali ini berbeda dengan awalnya.
Saat itu belum ada polibag seperti sekarang, maka ide kreatif dari bapak
Yohakim mulai muncul, ia mulai merancang media pembibitan dari daun pisang
dalam jumlah banyak, dan istrinya tinggal mengisi media-media itu dengan tanah
hingga mencapai 1000-an koker. Pembibitan pun segera dilakukan dan dirawat secara
baik sambil menunggu musim hujan tiba.
Pada tahun
berikutnya, hasil pembibitan sudah siap ditanam dilahan yang sudah disiapkan
sebelumnya yang luasnya kurang lebih 2 hektar yang saat itu pelindungnya adalah
tanaman ubi kayu dan pisang serta kelapa. Akhirnya semua bibit berhasil ditanam
seluruhnya. Memang dalam perawatanya tidak mudah seperti apa yang dibayangkan
hingga tanaman berbunga dan berbuah namun sekali lagi keuletan menjadi kunci
sukses bagi Bapak Yohakim Bagi.
Tujuh tahun
kemudian tanaman kakao yang kurang lebih 2 hektar mencapai musim panen raya. Dari
hasil kakao tersebut setiap tahunnya Bapak Yohakim kemudian berhasil membiayai
adiknya dan beberapa anaknya hingga ke perguruan tinggi. Sejak itu bibit
tanaman kakao miliknya mulai menyebar di kampungnya dan bahkan ke kampong
sekitarnya seperti Dobo, Paga, Mego dan Sikka Lela. Sebagai bukti tanaman kakao
tersebut walaupun sebagiannya sudah diganti dengan menanam ulang, namun ada
beberapa pohon yang berdiri hingga hari ini.
Tentunya
setiap petani ingin seperti Bapak Yohakim, namun semangat dan keuletan harus
kembali ke pribadi setiap petani karena hal ini menjadi tantangan bagi petani
kebanyakan. Maka ada ungkapan pesan yang selalu menjadi trend bagi Bapak
Yohakim dalam tutur Lionya mengatakan bahwa: “BESU LA’E A’I BUGU MBALE, NO’E LA’E A’I BUGU O’A MBALE” yang
artinya : “Kaya telapak kaki tanaman
pasti jadi, Miskin telapak kaki tanaman pasti mati”, Sebuah ungakapan penuh
makna yang perlu diresapi bagi setiap petani yang mendambahkan kesuksesan. Atau
dalam tutur Sikka (krowe) “SUPUNG NAHA
WI DERI, LOPA SUPUNG WI GERA” artinya, “menanam
harus pake duduk, jangan menanam pake berdiri”. ‘deri=duduk’ dimaknai
menetap setelah menanam, ‘gera=berdiri’ dimaknai setelah tanam jalan. (mis:
setelah tanam, jalan merantau, maka tentu tanaman tidak akan terawat).
Semoga
bermanfaat…