Beatriks Rika, Perempuan Peraih Penghargaan Female
Food Hero
Beatrix Rika, sosok petani perempuan sederhana yang memiliki
dedikasi tinggi terhadap masyarakat tani
di wilayahnya. Ia menekuni dunia pertanian sejak masih muda dengan mengelola
lahan sawah dan kebun landang yang
dimilikinya dengan menanami tanaman pangan, seperti: padi, jagung serta hortikutura, sambil aktif
sebagai kader posyandu.
Sejak
tahun 2014, WTM merekrutnya sebagai kader tani WTM yang siap membantu
Fasilitator Lapangan untuk mendampingi 5 kelompok di desa Bhera, yakni:
kelompok santu Yosef, Sinar Tani, Usaha Bersama, Lowo Lo’o, dan Wore Tau Mbombe.
Beatrix adalah anggota kelompok tani Lowo Lo’o dan
menjadi kader tani yang berperan mendampingi dan memotifasi 5 kelompok tani di
wilayahnya dengan jumlah anggota 75 orang (55 perempuan. 25 laki-laki).
Di samping mendampingi
kelompok tersebut, Beatriks Rika kemudian melakukan penelitian kawin silang
padi, setelah mendapatkan pelatihan kawin silang padi (pemulian benih) yang
diselenggarakan WTM dalam kerjasamanya dengan Misserior Jerman dalam Program “Penguatan Kapasitas
Masyarakat Tani Adaptasi Perubahan Iklim lewat Pendekatan Usaha Tani Berbasis
Konservasi” (2014 – 2016).
Beatriks
mengawali penelitiannya dengan memilih padi varietas lokal, yakni: pare mite
dan pare kupa. Dua varietas ini kemudian saya tanam di polibag. Hanya
sayangnya, upaya ini kemudian gagal karena padi itu baru tumbuh sudah dipagut
ayam. Namun, kejadian ini tidak membuat saya putus asa. Saya malah berpikir,
bagaimana caranya agar saya bisa lakukan penelitian padi karena ini sesuatu
yang baru. Saya kemudian menyemaikan
benih padi kupa dan ciherang di areal persawahan Lowo lo’o, biar bisa lebih
nyaman, kisahnya.
Ia
mengaku banyak waktunya tersita karena ia harus mengontrol padi yang
ditelitinya. Malah warga di sekitar menganggapnya dia lagi gila. Ia tidak
gubris, baginya yang penting, usahanya dalam penelitian ini harus sukses.
Berkat
keseriusannya dalam melakukan penelitian ini, ia diakui sebagai salah satu
perempuan pejuang pangan di Indonesia oleh Oxam Indonesia.
Selain Ibu Beatriks ada
8 perempuan lain dari beberapa daerah di Indonesia yang juga meraih penghargaan
ini. Ibu Beatrix Rika dipilih menjadi salah satu pemenang oleh karena
kontribusinya pada petani di Bhera, Sikka, NTT.
“Ibu
Beatriks punya jasa besar dalam menggerakkan pertanian lokal dan memberdayakan
komunitas di kampungnya, di Sikka terutama agar petani dapat berdaulat atas
benih dan menguasai teknologi,” ujar Wiwid, Project Manager Hak Atas
Pangan Oxfam Indonesia kepada media ini.
Penghargaan
Female Food Hero atau Perempuan Pejuang Pangan ini dibuat untuk mendorong
masyarakat dan pemerintah Indonesia agar memberikan peran yang besar kepada
kaum perempuan dalam kegiatan produksi pangan. Selama ini, demikian Wiwid,
penghargaan terhadap perempuan di NTT sangat kurang. “Perempuan tak dihargai,
tak dianggap dalam kegiatan produksi pangan. Status mereka dianggap buruh,
bayaran lebih rendah ketimbang laki-laki. Pemberian bantuan pemerintah juga
cenderung lebih berpihak pada laki-laki,” ungkap Wiwid.
Petani Peneliti
Ibu
Beatriks telah menekuni dunia pertanian sejak usia muda. Ia menanami lahannya
dengan padi, jagung, umbi-umbian dan kacang-kacangan. Perempuan kelahiran
Lekebai, 26 April 1968 ini merupakan salah satu kader tani dampingan Wahana
Tani Mandiri di kampungnya, Desa Bhera.
Sebagai
kader tani, Beatriks yang bergabung dalam kelompok tani Lowo Lo’o ini juga
turut mendampingi empat kelompok tani lainnya di desa setempat dengan total
anggota 75 orang, yang mana hanya 25 di antaranya adalah laki-laki.
Selain
menjadi tempat bertanya petani lain di Desa Bhera, Beatriks juga mendampingi
para petani secara khusus terkait teknis dan manajemen usaha tani. “Semua ini
saya lakukan dengan sukarela. Ilmu yang saya pelajari dari teman-teman Wahana
Tani Mandiri saya bagikan kepada petani di desa,” ujar Ibu Beatriks
Saat
ini Ibu Beatriks sedang melakukan penelitian kawin silang atas benih padi
lokal.
“Alasan kami
lakukan kawin silang ini karena selama ini kami bergantung pada benih dari luar
sementara benih yang ada belum sempurna serta masih tidak mampu bertahan
terhadap hama dan iklim setempat,” ungkapnya.
Berkat
ketekunannya ia telah berhasil sampai pada tahap F2 untuk jenis padi baru.
Hasil benih F2 akan dikawinkan lagi untuk kemudian menghasilkan benih lokal
baru.
” Berdasarkan
penelitian yang kami lakukan, apabila berhasil maka kami akan menghasilkan
benih baru yang besar bulirnya, tahan hama, dan tahan terhadap iklim lokal yang
panas,” ungkap Ibu Beatriks.
Selain
itu, Beatrix Rika juga seorang fasilitator kader posyandu untuk pemenuhan
kebutuhan pangan dan gizi bagi ibu dan anak. Sebelumnya, ia aktif sebagai
anggota BPD Desa Bhera Kecamatan Mego.
Sedangkan menurut Carolus Winfridus
Keupung WTM mengatakan bahwa ada beberapa alasan mengapa WTM mendorong
penelitian kawin silang yakni: Pertama:
Banyak padi lokal yang mulai punah karena masuknya padi-padi varietas
luar, yang blum tentu cocok dengan wilayah lio (Pulau Flores); Kedua. Petani yang selama ini hanya dilihat sebagai penjaga kebun
tetapi sekarang juga sudah punya kemampuan untuk melakukan pemulian benih, agar
memenuhi kebutuhan petani dengan varietas lokal; Ketiga. Mengembangkan
padi varietas lokal telah terbukti tahan terhadap hama dan cocok dengan iklim
yang curah hujannya sedikit; Keempat. Sebagai upaya kedaulatan benih, karena petani harus memenuhi
kebutuhan benih jangan bergantung pada benih padi yang didatangkan dari luar;
Kelima. Sebagai salah satu ilmu yang dapat meningkatkan kapasitas
bagi petani di Sikka.
Sambung Herry Naif, koordinator
Penelitian dan Pengelolaan Lingkungan mengatakan bahwa penelitian ini punya
beberapa tujuan: Pertama. Menyediakan informasi yang holistik
tentang varietas padi lokal dan karakter masing-masing varietas yang
diidentifikasi dan dikawinkan; Kedua. Menjadikan
Petani sebagai peneliti dalam meningkatkan kapasitas terutama penemuan
varietas baru (pemulian) padi; Ketiga. Memperdalam
hasil penelitian benih demi terciptanya laboratorium padi lokal di Puskolap
Jiro-Jaro, demikian
harapannya.