Jumat, 02 Desember 2016

KISAH SUKSES PETANI KAKAO, DARI DOBO NUAPU’U, SIKKA

KISAH SUKSES PETANI KAKAO
DARI DOBO NUAPU’U
(Oleh : Mus Muliadi, staf lapangan Wahana Tani Mandiri)

Bagi banyak petani perkebunan umumnya di Flores tentu ketika mendengar cerita tentang tanaman kakao atau theobroma cacao sebutan latinnya menjadi cerita yang biasa. Di Kabupaten Sikka, tanaman ini sudah ada sejak tahun 1950-an sebelum gencar dikampanyekan pemerintah. Tanaman kakao gencar didorong pengembangannya pada tahun 1980-an. Namun jauh sebelum itu jenis tanaman ini diperkenalkan oleh Pater Heinnrich Bollen SVD seorang birawan Katolik asal Jerman yang mengabdikan dirinya di Kabupaten Sikka yang membawa bibit tanaman ini dari Pantai Gading.

Namun dalam tulisan ini saya lebih khusus mengangkat soal motifasi dan keuletan dari seorang petani tuah asal desa Dobo Nuapu’u, kecamatan Mego, Kabupaten Sikka yang mungkin saja menjadi motivasi bagi petani lain hari ini yang punya keinginan untuk membudidayakan atau mau mengembangkan tanaman jenis ini.

Siapa sosok petani sukses itu?
Ketika kita mendengar kata sukses, tentunya di kepala kita membayangkan ada pahit getir dalam mencapainya apa lagi suksesnya seorang petani, begitu pula dengan sosok petani yang satu ini. Sebut saja namanya, Bapak Yohakim Bagi, seorang petani asal Dobo Nuapu’u, Kecamatan Mego, Kabupaten Sikka. Bapak Yohakim Bagi hanya berpendidikan kelas 6 SR di Ri’I Pu’a tamat pada tahun 1952. Ia mengenal tanaman kakao sejak tahun 1962 dimana saat itu banyak orang belum mengenal tanaman ini kecuali sebagian petani asal Watublapi, Kecamatan Kewapante, Kabupaten Sikka yang mungkin sudah mengenalnya lebih dahulu.

Walaupun demikian cerita petani Watublapi tentu berbeda, sebab mereka pasti punya acuan teknis yang jelas dari sumbernya. Lain hal dengan Bapak Yohakim Bagi, bagaimana dengan teknik menanam tanaman ini, tujuan dan manfaat menanam tanaman ini saja belum diketahuinya sacara pasti, namun tentu saja semangat dan kemauannya menjadi kunci. Dalam pikiran Bapak Yohakim adalah “yang penting tanam saja”. Bagaimana cerita bapak Yohakim mendapatkan bibit jenis tanaman yang berasal dari Meksiko, Amerika Tengah ini, kemudian mulai menanamnya dan bisa dibilang sukses di Dobo Nuapu’u?

Lima puluh empat tahun lalu tepatnya di tahun 1962, bapak Yohakim Bagi bekerja sebagai petani sawah sekaligus pengiris moke di kampungnya Dobo Nuapu’u. Di tahun yang sama, Bapak Yohakim mulai menekuni lahan kering miliknya dengan tanaman pangan sperti padi, jagung dan ubi-ubian dimana seperti halnya yang dikerjakan petani di kabupaten Sikka pada umumnya. Namun pengolahan lahan kering yang dilakukan oleh Bapak Yohakim berbeda dengan petani lain di kampungnya, walaupun saat itu belum ada intervensi pihak luar dalam hal teknis pertanian.

Bermodal semangat dan keuletan yang dimilikinya ditambah dengan beberapa inspirasi dari sebuah buku yang pernah dibacanya kalah itu membuat Bapak Yohakim bersama istrinya terus termotivasi untuk menekuni dalam hal bertani. Memang segalah sesuatu yang dikerjakannya tidak satu kali memberikan hasil sesuai keinginanya namun keuletan untuk mencoba selalu ada. Lalu bagaimana dengan cerita tanaman kakao dari babak Yohakim?

Ketika itu musim panas, Bapak Yohakim bersama istrinya sudah setengah hari menguras tenaga dari membersikan rumput, mengerjakan teras dan beberapa aktivitas lainnya di kebun, saatnya mereka harus sedikit melepaskan lelah sambil mengunya bekal yang dibawahnya dari rumah di pondok kecil yang berada di tengah-tengah kebun. Sementara itu datanglah Bapak Woi, teman dekat bapak Yohakim yang sengaja singga di pondoknya untuk sedikit menyegarkan dahaga dengan kelapa muda yang memang cukup menggoda apa lagi Bapak Woi yang saat itu baru saja menempuh jarak kurang lebih 20 km dengan berjalan kaki dari Maumere.

Sementara asyik bercerita, Bapak Woi mengeluarkan buah masak yang berwarna kuning dari kantong yang dibawahnya, jenis buah yang asing bagi Bapak Yohakim saat itu. “itu buah apa?”, tanya Bapak Yohakim kepada temannya. “Ini namanya buah kakao” jelas Bapak Woi semabari melanjukan ceritanya kepada Bapak Yohakim. “Saya baru dari Maumere, kemarin saya ke Watublapi di keluarga saya, kebetulan disana sedang ada pembagian bibit kakao, 10 buah per kepala keluarga, di rumah yang saya pergi itu ada tiga kepala keluarga jadi mereka dapat 30 buah, sehingga mereka kasih saya 10 buah”.

Karena penasaran Bapak yohakim terus bertanya kepada temannya terkait manfaat dan bagaimana cara menanam bibit kakao ini. Akhirnya waktu istirahat siang itu, berubah menjadi sebuah diskusi hangat antara Bapak Yohakim bersama temannya. Lalu Bapak Woi pun melanjutkan cerita sesuai apa yang dipesan oleh orang yang memberi bibit itu. “Mereka pesan katanya, ini kamu bawah kesana belah dan ambil bijinya lalu dicampur dengan abu dapur setelah itu ditanam, jarak tanamnya 3 atau 4 langkah kaki. Biji dari buah ini pun rasanya manis, sehingga bisa diisap sebagai manisan. Mereka juga bilang, katanya buah ini suatu saat bisa dijual”, jadi saya bawah saja, siapa tahu akan berguna di suatu saat, jelas Bapak Woi kepada Bapak yohakim sambil menyodorkan 2 buah kakao kepada Bapak Yohakim.

Penasaran dengan cerita Bapak Woi, Bapak yohakim pun dengan senang hati menerima tawaran dari temannya sambil membelah buah kakao yang baru diberikan itu dan langsung mencicipi rasanya. “Benar, ini rasanya manis dan enak, anak-anak pasti suka, saya harus menanamnya, kalau memang besok-besok tidak dijualpun, kita bisa gunakan untuk manisan buat anak-anak atau pun orang dewasa saat kerja di siang hari. Selain itu kita bisa gunakan untuk penahan teras, kebetulan disini saya sudah buat teras, jadi saya bisa gunakan untuk tanaman penahan teras” sambung Bapak Yohakim menyepakati pembicaraan Woi temannya. Cerita  siang itu pun berakhir dengan pamitnya Bapak Woi yang ingin melanjutkan perjalanannya ke kampong Detukoli, sebelah utara dari kampong Dobo Nuapu’u.

Dari dua buah menjadi dua Hektare
Tentunya tidak terlepas dari cerita sebelumnya, setelah menerima dua buah kakao dari temannya, Bapak Yohakim memulai dengan mengikuti petunjuk sesuai apa yang didengarnya dari cerita lepas bersama Woi temannya. Walaupun saat itu manfaat dari kakao yang sekarang menjadi salah satu bahan komoditi unggul belum diketahuinya secara pasti dan dengan pengetahuannya yang terbatas, namun ia serius dalam usaha membudidayakannya. Biji dari dua buah kakao yang berjumlah kurang lebih 80 biji itu kemudian ditanamnya di bagian teras kebun yang dibuat sebelumnya dan ia terus memperhatikannya setiap hari dengan menyiram secara rutin setiap pagi dan sore. Walaupun dengan kesibukan lain sebagai seorang petani ia selalu menyisikan waktunya untuk tetap memperhatikan tanaman ini. Ia pun penasaran dengan bentuk tanaman ini, dari daun, batang serta perkembangan fisik hingga berbunga dan berbuah nantinya karena menurutnya ini jenis tanaman baru baginya. Kesungguhan Bapak Yohakim dalam merawat tanaman ini memang tidak sia-sia, 80 biji dari benih ini tidak ada yang mati, semuanya tumbuh baik dan sehat.

Pada tahun 1969 kakao yang ditanam sekitar 80 pohon tersebut mulai berbuah, namun buahnya hanya dipetik dan dimakan sebagai manisan dari biji luarnya. Walaupun begitu biji-biji itu tidak dibuang begitu saja, ia memberitahu kepada anak-anaknya agar biji kako itu disimpan saja, siapa tahu ada yang membelinya. Bukan saja anak-anaknya, adapun warga lain dalam kampungnya datang meminta untuk makan sebagai manisan terlebih anak-anak, namun mereka tidak tahu, sehingga setelah mengisap manisannya bijinya dibuang begitu saja memang pada waktu itu di kabupaten Sikka kakao belum ada pasarnya. Memang ada beberapa teman dari Bapak yohakim yang menyarankan untuk ditebang saja, karena menurut mereka tanaman ini tidak bermanfaat dan hanya sebagai pengganggu tanaman lain. Namun Bapak yohakim tetap percaya dengan cerita temannya, sealain itu ia juga memanfaatkannya sebagai tanaman penahan teras pada kebunnya. Memang pada saat itu tanaman kakao belum menjadi focus utama bagi Bapak Yohakim. Ia bukan saja menanam satu jenis tanaman, tapi berbagai jenis tanaman baik pangan maupun tanaman komoditi ditanamnya karena menurutnya dalam rentang satu tahun pasti ada bulan-bulan dimana pasokan makanan akan berkurang, sehinga ia juga mengoleksi jenis tanaman yang menurutnya bisa mengatasi masa-masa sulit itu.

Tahun 1976 tanaman kakao sudah cukup berbuah lebat sehingga sudah cukup banyak biji yang dikumpulkan, namun pada tahun ini pun pasar untuk komoditi kakao belum jelas. Di tahun yang sama ada kunjungan seorang insiyur pertanian asal Lembata ke kampong Dobo Nuapu’u dan kebetulan insiyur itu mendatangi kebun bapak Yohakim. Insiyur itu heran dengan tanaman kakao yang sudah cukup banyak di kebunya, dan watu itu insiyur hanya berpesan kepada Bapak Yohakim agar tanaman ini perlu diperbanyak karena suatu saat tanaman ini akan menjadi salah satu jenis komoditi yang mahal. Pesan ini kemudian menambah motivasi dan keyakinan pada Bapak Yohakim untuk terus mengembangkannya.

Pada suatu hari di tahun 1979, Bapak Yohakim Bagi pergi ke Maumere, ketika sedang berbelanja di salah satu toko yang masih diingatnya dengan baik yakni Toko Irama, ia melihat ada satu box besar yang berisi biji kakao yang cukup banyak. Ia coba memperhatikannya secara dekat dan segera ia bertanya kepada cina pemilik toko tersebut, “Baba, ini beli kah?” lalu Cina itu menjawabnya, “iya, itu saya beli, bapak punya ada ko di rumah? Cina itu balik bertanya kepadanya. Dengan senang hati, Bapak Yohakim menjelaskan bahwa di rumahnya ada banyak. Ia pun bergegas pulang dan memberitahukan kepada istrinya, bahwa sudah ada toko yang membeli kakao. Waktu itu kakao yang dibeli cina tersesbut dengan harga Rp.400,-/kg.

Ketika mereka mengumpulkan biji kakao tersebut, saat itu biji kakao yang terkumpul mencapai 4 kantong terigu, pada hari itu juga ia kembali ke Maumere untuk menjualnya. Sampai disana setelah cina itu melihatnya, ternyata biji kakao yang dibawah Bapak Yohakim mutunya sangat bagus sehingga cina itu membelinya dengan harga 500/kg. Biji kakao yang dibawah Bapak Yohakim dari 4 kantong terigu mencapai 40 kg, sehingga ia mendapat Rp.20.000,- Menurut Bapak Yohakim, uang sebesar itu jika disamakan dengan saat ini maka kita sudah bisah membeli 1 ekor kuda. Namun dari hasil penjualan kakao pertama ini, Bapak yohakim langsung membeli seng untuk membuat rumah mereka.

Ketika mengetahui bahwa kakao sudah dapat dijual, maka semangat untuk mengembangkan tanaman ini semakin besar dalam niatnya. Usai mengerjakan rumah tinggalnya, ia bersama istrinya mulai menekuni untuk melakukan pembibitan dalam jumlah banyak. Sejak saat itu setiap hari Bapak Yohakim Bagi bersama istrinya melaukan pembibitan secara serius. Namun pembibitan kali ini berbeda dengan awalnya. Saat itu belum ada polibag seperti sekarang, maka ide kreatif dari bapak Yohakim mulai muncul, ia mulai merancang media pembibitan dari daun pisang dalam jumlah banyak, dan istrinya tinggal mengisi media-media itu dengan tanah hingga mencapai 1000-an koker. Pembibitan pun segera dilakukan dan dirawat secara baik sambil menunggu musim hujan tiba.

Pada tahun berikutnya, hasil pembibitan sudah siap ditanam dilahan yang sudah disiapkan sebelumnya yang luasnya kurang lebih 2 hektar yang saat itu pelindungnya adalah tanaman ubi kayu dan pisang serta kelapa. Akhirnya semua bibit berhasil ditanam seluruhnya. Memang dalam perawatanya tidak mudah seperti apa yang dibayangkan hingga tanaman berbunga dan berbuah namun sekali lagi keuletan menjadi kunci sukses bagi Bapak Yohakim Bagi.

Tujuh tahun kemudian tanaman kakao yang kurang lebih 2 hektar mencapai musim panen raya. Dari hasil kakao tersebut setiap tahunnya Bapak Yohakim kemudian berhasil membiayai adiknya dan beberapa anaknya hingga ke perguruan tinggi. Sejak itu bibit tanaman kakao miliknya mulai menyebar di kampungnya dan bahkan ke kampong sekitarnya seperti Dobo, Paga, Mego dan Sikka Lela. Sebagai bukti tanaman kakao tersebut walaupun sebagiannya sudah diganti dengan menanam ulang, namun ada beberapa pohon yang berdiri hingga hari ini.

Tentunya setiap petani ingin seperti Bapak Yohakim, namun semangat dan keuletan harus kembali ke pribadi setiap petani karena hal ini menjadi tantangan bagi petani kebanyakan. Maka ada ungkapan pesan yang selalu menjadi trend bagi Bapak Yohakim dalam tutur Lionya mengatakan bahwa: “BESU LA’E A’I BUGU MBALE, NO’E LA’E A’I BUGU O’A MBALE” yang artinya : “Kaya telapak kaki tanaman pasti jadi, Miskin telapak kaki tanaman pasti mati”, Sebuah ungakapan penuh makna yang perlu diresapi bagi setiap petani yang mendambahkan kesuksesan. Atau dalam tutur Sikka (krowe) “SUPUNG NAHA WI DERI, LOPA SUPUNG WI GERA” artinya, “menanam harus pake duduk, jangan menanam pake berdiri”. ‘deri=duduk’ dimaknai menetap setelah menanam, ‘gera=berdiri’ dimaknai setelah tanam jalan. (mis: setelah tanam, jalan merantau, maka tentu tanaman tidak akan terawat).


Semoga bermanfaat…