Rabu, 24 Februari 2016

Mengurai Pertambangan Mangan Oekopa dan Oerinbesi (Kajian-Analisis Ekonomi, Sosial, Budaya dan Politik)


Mengurai Pertambangan Mangan Oekopa dan Oerinbesi
(Kajian-Analisis Ekonomi, Sosial, Budaya dan Politik) 1
Oleh: Herry Naif 2

  1. Profil Oekopa
    Secara historis, desa Oekopa termasuk wilayah kevetoran Tamkesi (Biboki). Suku yang dominan ada di wilayah itu adalah Usatnesi Sonaf'Kbat, Soanbubu, Suilkono selain itu ada suku Monemnasi, Tasi, Amteme Taekab, Amsikan, Naitsea, Leoklaran, Taslulu, Usboko.3

    Secara Administrasi-geografis, desa Oekopa terletak di Kecamatan Biboki Tanpah, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), dimana sebelah Utara Berbatasan dengan dengan desa Tualene, Selatan dengan desa Oerinbesi, Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Belu, Sebelah Barat berbatasan dengan desa Tautpah. Jumlah penduduk desa Oekopa, 1.271 jiwa (2010), 1.563 (2011). 

    Mayoritas penduduknya berprofesi petani sawah. Karena itu, Oekopa dikenal sebagai salah satu pemasok beras bagi masyarakat Kabupaten TTU dan Kabupaten Belu. Kondisi jarak tempuh menuju Atambua lebih dekat bila dibandingkan dengan kota Kefa, tidak heran bila kemudian para petani lebih memilih menjual panen beras ke Atambua. Namun tidak berarti bahwa dengan kondisi ini kemudian tanggung jawab pemerintah kabupaten TTU tidak memberikan perhatian serius agar bagaimana mengefektifkan pola pertanian di desa tersebut.

    Seyogyanya, Oekopa dan Oerinbesi diidentifikasi sebagai daerah potensial pertanian (persawahan) dalam kerangka mendukung program pertanian yang telah dicanangkan sebagai salah satu program strategis Pemerintahan Kabupaten TTU, yakni: Program Padat Karya Pangan (PKP) yang sedang gencar dikampanyekan.

    Potensi persawahan Oekopa dan Oerinbesi didukung kawasan penyanggah yang mana terdapat enam sumber mata air, yakni: Oetobe, Oenenas, Oecikam, oeekam, Oeoni dan Oesanlat. Keenam sumber mata air tersebut digunakan untuk mengairi persawahan Oekopa seluas 840 ha.

    Selain itu, kawasan itu menjadi kawasan penyangga bagi desa Oekopa dan lima (5) Desa lainnya, seperti: (Tualene, Oerinbesi, Tautpah, Taunbaen dan Biloe). Bahkan juga menjadi salah satu kawasan penyangga untuk hamparan persawahan Lurasik, Inggareo, Matamaro. Kawasan ini pun menjadi kawasan penggembalaan ternak (sapi 752 ekor) bagi warga Oekopa.4

    Malah secara historis-cultural, wilayah ini dipandang warga sebagai kawasan yang harus dilindungi karena di kawasan itu ada tempat ritus adat (fatukanaf5 dan Oekanaf) dari beberapa suku yang ada di Oekopa.

    Itu berarti, pengelolaan lingkungan berasas pada sebuah kearifan lokal yang bernuansa nilai perlindungan ekologis perlu dilestarikan dan diakomodir dalam konsep pengeloaan sumber daya alam.. Hubungan timbal-balik manusia dengan alam dipandang dalam sebuah keadilan demi pewarisan lingkungan bagi generasi selanjutnya.

  2. Hasil Temuan6
    Sejak tahun 2010, diwacanakan akan adanya pertambangan mangan di desa Oekopa oleh PT. Gema Energi Indonesia (GEI). Sosialisasi dilakukan sekali sebagai bentuk perkenalan perusahan dengan warga. Setelah itu, perusahaan atau pun pemerintah Kabaupaten TTU tidak pernah mendatangi Oekopa untuk melakukan sosialisasi tentang adanya pertambangan tersebut.

    Kendatipun demikian, tahun 2012 perusahaan kembali ke Oekopa dengan mengantongi surat Bupati TTU No. Ek.540/102/IV/2012 tentang Ijin Prinsip Pembangunan Pabrik Pengolahan dan Pemurnian Bijih Mangan kepada PT. Gema Energy Indonesia.
    Dari hasil pantauan lapangan yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT dan Lembaga Advokasi Masyarakat Sipil (Lakmas) Cendana Wangi (09/08/12) di Oekopa ditemukan beberapa fakta, diantaranya:
  • Pembangunan stock phile mangan di Oekopa, yang berjarak 10 M dari Pemukiman dan 30 M dari persawahan rakyat;
  • Kawasan ini oleh masyarakat adat dilihat sebagai kawasan yang perlu dijaga (naestala) karena ada tempat-tempat ritual adat, seperti Busao, lan faot naine mnune dan Fatutasu.7 Dan kemudian oleh Negara dilarang agar rakyat menebang pohon dan merusak lingkungan. Herannya, sekarang dikampling untuk wilayah pertambangan mangan dan Pembangunan Stok file)
  • Wilayah pertambangan (WP) seluas 200 hektare, pada kawasan penyangga dan penggembalaan tenak warga dan kawasan itu merupakan kawasan penyangga sosial-budaya karena terdapat tempat-tempat ritus adat masyarakat setempat dan pekuburan warga; seperti Busao, Koi, Kukbit. Selain itu, kawasan ini juga ada beberapa kampung lama (kuamnasi) seperti: Haubesi, Usapi kolen, Fatule. Namun hingga hari ini, Usapikolen yang masih didiami oleh 8 KK.
  • Sosialisasi dilakukan sekali pada tahun 2010 oleh PT. Gema Energi Indonesia (GEI) yang dihadiri 22 orang dari Oekopa; Pada dokument ini membuktikan pemalsuan dokumen karena kepala desa mengambil hak sebagai tokoh adat, sedangkan sekretaris desa menduduki posisi sebagai kepala desa;
  • Ganti-rugi lahan dimana per/hektare 22,5 juta; Sebagai ikatan dengan setiap warga pemilik lahan per/hektare 2 juta namun pada realisasinya 1 juta/pemilik lahan;
  • Pohon-pohon jati yang berada di lokasi pertambangan diganti dengan harga yang bervariasi Rp. 50.000 – Rp. 500.000
  • Wacana pertambangan mangan di Oekopa menyebabkan ketidaknyamanan bagi warga dan malah menimbulkan pro-kontra antar warga;
  • Janji perusahaan akan dibangun tangki-tangki limbah dan akan melakukan penanaman kembali pada lokasi yang telah digali;
  • Adanya penolakan warga dari suku Usatnesi sonaf'kbat yang sudah disampaikan kepada Bupati TTU dan DPRD TTU, Sebagai respon DPRD TTU, Ketua komisi C DPRD TTU bersama dua anggota DPRD TTU bertemu langsung dengan pihak penolak di kantor desa Oekopa dengan tujuan menghimpun usulan penolak, (3 Agustus 2012)
  • Perusahaan (PT. Gema Energi Indonesia – GEI) telah menurunkan 6 peralatan bor di Oekopa dan sementara melakukan aktivitas pemboran; untuk melakukan pencarian mangan, (Hendrikus Abatan, Kepala Desa Oekopa), Fredy Tan (Penanggungjawab perusahaan di Kefa) dan pernyataan beberapa warga yang ditemui di Oekopa;
  • Janji perusahaan adalah membangun kapela (tempat ibadat) Oekopa;

  1. Kajian – Analisis atas Fakta Pertambangan Oekopa

    Sejak tahun 2007, pertambangan mangan masif dilakukan hampir di seluruh wilayah di Pulau Timor seolah menjadi leading sector dari berbagai bidang lainnya. Pertambangan mangan di Pulau Timor dilihat sebagai pertambangan berjemaat. Tanpa sebuah kajian-kritis atas pertambangan yang dilakukan para pihak, tidak heran bila kemudian banyak wilayah pertambangan yang mendapat reaksi penolakan dari warga setempat. 
     
    Beberapa temuan lapangan di Oekopa yang disampaikan sebelumnya, tentunya tidak jauh berbeda dengan fakta pertambangan lain di Indonesia dan NTT. 

    Dengan demikian, kami Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)8 Daerah NTT dan Lembaga Advokasi Masyarakat Sipil (LAKMAS)9 mencoba membuat analisa dan kajian atas beberapa fakta yang ditemukan 09 Agustus dan 18 Agustus 2012 sebagai pertimbangan kritis untuk kembali melihat dan meninjau kebijakan pertambangan Oekopa dan Oerinbesi yang sedang ramai dibicarakan.
      1. 3.1. Apa itu Pertambangan
  • Pertambangan adalah kegiatan untuk mendapatkan logam dan mineral dengan cara bongkar: gunung, hutan, sungai, laut dan penduduk kampung.
  • Pertambangan adalah kegiatan paling merusak (alam dan kehidupan sosial) yang dimiliki orang kaya dan hanya menguntungan orang kaya.
  • Pertambangan adalah lubang besar yang menganga dan digali oleh para pembohong (Mark Twian)
  • Pertambangan adalah industri yang banyak mitos dan kebohongan:
        Dari beberapa defenisi ini tidak jarang menimbulkan perdebatan mengenai kegiatan pertambangan itu sendiri karena akan menimbulkan peluang kerusakan lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan hidup yang terjadi dikarenakan adanya penggerukan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan. Kerusakan lingkungan telah mengganggu proses alam, sehingga banyak fungsi ekologi alam akan terganggu.
        3.2. Dampak Ekologi
                Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum, (Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup), Pasal 1 (2).
Topografi wilayah Oekopa sangat mendukung pengembangan persawahan. Sejak tahun 1970-an warga Oekopa mulai mengenal sebuah pola pengelolaan persawahan yang baik. Kehidupan mereka ditopang oleh persawahan dan pengembangan peternakan.
Apabila kebijakan diarahkan pada pertambangan mangan dengan dibangun stok file dan wilayah pertambangan seluas 200 hektare pada wilayah yang sama maka akan berakibat pada:
  1. Perubahan Bentangan Alam (land-scape)
    Pertambangan Oekopa dan Oerinbesi tentunya membawa perubahan land-scape yang berakibat pada penyempitan lahan pertanian, dan penghilangan padang penggembalaan. Lebih dari itu akan berakibat pada terganggunya ekosistem di wilayah tersebut seiring dengan berubahnya land-scape wilayah itu.
    Apalagi pembongkaran permukaan tanah itu dilakukan di kawasan penyangga tentunya akan berakibat fatal pada pengembangan persawahan dan peternakan yang selama ini menjadi penopang hidup warga.
  2. Mengganggu Tata Hidrologi air
    Kenyataannya pada wilayah itu terdapat 6 sumber mata air, seperti: Oetobe, Oenenas, Oecikam, oeekam, Oeoni dan Oesanlat. Itu berarti wilayah tersebut adalah water scathman area (daerah tangkapan air) yang dimanfaatkan mengairi persawahan yang selama ini menjadi sumber penghidupan warga. Dikhatirkan bahwa konversi wilayah penyangga ini pun dapat berakibat pada kekeringan sumber mata air karena terjadi perubahan tata hidrologi air.
    Karena itu, pembangunan pabrik pengolahan biji mangan di Oekopa harus mendapat kajian serius, terutama mempertimbangkan ketersedian air.
    Apakah ketersedian air di wilayah Oekopa dan Oerinbesi akan mampu mengairi persawahan bila air itu harus didistribusikan lagi untuk kepentingan proses pemurnian mangan. Sebab, kebutuhan pabrik akan air untuk proses pemurnian mineral mangan (Mn) tidak seperti yang dibayangkan mencuci perabot rumah tangga.
  3. Harus ada Kajian Analisa Resiko
    Pertambangan mangan yang dilakukan di Oekopa dan Oerinbesi pun harus berbasis analisa resiko. Pembongkaran permukaan tanah yang luas dapat menimbulkan tanah longsor. Selain itu, ledakan tambang, keruntuhan tambang serta keselamatan warga pekerja apa sudah dipertimbangkan.
    Tanpa pembongkaran tanah saja, Kabupaten TTU sering mengalami bencana longor saat hujan dan kekeringan pada musim panas. Malah menurut beberapa warga Oekopa bahwa sering terjadi longsor ketika musim hujan.
    Padahal dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tengan Penanggulangan Bencana, Pasal 6 (a dan b) menyatakan bahwa “Tanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi: a. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan; b.Perlindungan Masyarakat dari dampak bencana;
    Dalam kaitan dengan pertambangan Oekopa dan sesuai perintah Undang-Undang dilihat bahwa secara faktual negara tidak melakukan tindakan mitigatif dengan melakukan analisa resiko bencana. Hal ini secara jelas diungkap dalam Pasal 7 (b) yang menyatakan bahwa perencanaan pembangunan yang memasuk unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana; Atau dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Pasal 13 yang mengatur soal pengendalian kerusakan lingkungan itu meliputi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan.
    Itu berarti, Pemerintah Kabupaten TTU belum memiliki kajian analisa resiko dalam kasus pertambangan Oekopa dan Oerinbesi; Pertanyaannya, siapa yang harus melakukan undang-undang ini? Bila ada bencana longsor pada musim hujan dan kekeringan pada musim panas yang berdampak pada persawahan rakyat siapa yang harus bertanggung jawab?
  4. Harus Diasaskan pada Kebijakan Tata Ruang
    Kebijakan penataan ruang secara formal ditetapkan bersamaan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang kemudian diperbaharui dengan Undang- undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Kebijakan tersebut ditujukan untuk mewujudkan kualitas tata ruang yang semakin baik, yang oleh undang-undang dinyatakan dengan kriteria aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan.
    Dalam konteks itu, apakah pertambangan Oekopa dan Oerinbesi sudah melalui penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) agar tidak mengganggu ruang persawahan dan peternakan warga sebagai sumber penghidupan warga.
    Apabila pertambangan mangan di Oekopa dan Oerinbesi diberlakukannya sesuai dengan kebijakan penataan ruang, semstinya tidak mengganggu ruang hidup rakyat. Tata ruang menjadi produk dari rangkaian proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang sehingga tidak menimbulkan over-lap pengelolaan.
    Kebijakan tata ruang berguna membantu mengupayakan perbaikan kualitas rencana tata ruang wilayah maka Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau Strategic Environmental Assessment (SEA).
    Pemerintah Kabupaten TTU menjadikan KLH dan SEA sebagai salah satu pilihan alat bantu melalui perbaikan kerangka pikir (framework of thinking) perencanaan tata ruang wilayah untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup di Kabupaten TTU.
    Pemerintah Kabupaten TTU perlu melakukan penataan ruang (Rencana Tata Ruang Wilayah) sesuai dengan perintah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007. Hanya dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) secara komprehensif Pemkab TTU mampu memetakan seluruh potensinya, baik di bidang pertanian, peternakan, pariwisata, kehutanan, dll yang dilandasi pada analisa keseimbangan ekologi dan analisa resiko ancaman.
    Padahal, masyarakat Oekopa sendiri sudah memiliki konsep perlindungan ekologi yang mestinya diadopsi pemerintah kabupaten TTU. Kearifan lokal mereka telah melakukan penataan ruang dimana kawasan lindung, mata air yang mana melindungi wilayah kelola rakyat.
    Sebetulnya hal ini pun telah diatur dalam Udang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang terutama Pasal 34 (1), yang menyatakan bahwa “Dalam pemanfaatan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota dilakukan:
    a. perumusan kebijakan strategis operasionalisasi rencana tata ruang wilayah dan rencana tata ruang kawasan strategis; b. perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur ruang dan pola ruang wilayah dan kawasan strategis; dan c.pelaksanaan pembangunan sesuai dengan program pemanfaatan ruang wilayah dan kawasan strategis. Hal ini dipertegas dalam (ayat 4) bahwa penataan ruang harus dilaksakan sesuai dengan standar kualitas lingkungan; dan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
    Dengan dasar ini, kita bisa melihat bahwa apakah ijin pertambangan oekopa dan oerinbesi sudah dilandaskan pada Penataan Ruang, sehingga kemudina tidak mengganggu kualitas lingkungna dan daya dukung lingkungan terutama oekopa dan oerinbesi sebagai kawasan strategis persawahan.

3.3. Dampak Limba Industri
Setiap usaha pertambangan memiliki karakter yang berbeda antara mineral yang satu dengan mineral yang lainnya. Namun prinsipnya pertambangan dilihat sebagai aktivitas yang sangat beresiko terhadap ekosistem dan lingkungan hidup.
Begitu pun usaha pertambangan mangan di Oekopa dan Oerinbesi pun harus dilihat dari dampak industri yang mana dapat menimbulkan potensi gangguan antara lain;
  • Pencemaran akibat debu dan asap yang mengotori udara dan air limbah dari buangan tambang yang mengandung zat-zat beracun. Hal ini dapat menyebabkan pencemaran air. Dengan demikian, pertambangan mangan Oekopa dan Oerinbesi akan berdampak buruk pada persawahan dan peternakan akibat pencemaran air dan udara yang ditimbulkan dari proses pencucian mangan tersebut.
  • Gangguan berupa suara bising dari berbagai alat berat, berupa suara ledakan eksplosive (bahan peledak) dan gangguan terhadap kesehatan masyarakat sehingga dapat muncul jenis penyakit baru yang bersifat endemik dan epidemik;
    Karena itu, kajian Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) kiranya menjadi fundamen dalam mengevaluasi kebijakan tersebut. Bukannya AMDAL dilihat sebagai legal formal yang akan meligitimasi sebuah prosudure formal dalam memenuhi ketentuan formal. Tetapi harus dilakukan sebagai kiat baik dalam upaya menjaga keseimbangan ekologi di setiap wilayah.
  • Pertambangan Oekopa dan Oerinbesi belum mendapat kajian AMDAL secara serius. Malah, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Daerah Kabupaten TTU belum mengetahui tentang adanya perijinan tersebut. Dan itu dapat dibenarkan karena dari Ijin Prinsip Pembangunan Pabrik Pengolahan Mangan itu diketahui oleh BLH Daerah Kabupaten TTU. Padahal, Badan Lingkungan Hidup Daerah adalah sebuah instansi yang ada dikabupaten TTU yang memiliki kewenangan untuk merekomendasikan layak tidaknya sebuah proses pengelolaan lingkungan hidup apalagi pertambangan.
    Berlandas pada beberapa fakta ini dapat disimpulkan sementara bahwa pertambangan mangan Oekopa dan Oerinbesi belum dilakukan secara transparan agar dilakukan upaya minimalisasi dampak lingkungan yang terjadi.

    3.4. Dampak Kesehatan10
      Pertambangan adalah sebuah usaha yang tidak ramah lingkungan dan berakibat fatal bagi kesehatan manusia. Karena itu, pertambangan mangan di Oekopa dan Oerinbesi perlu dilihat dampak kesehatan yang tentunya akan dialami warga. Sebab dampak Mangan terutama terjadi di saluran pernapasan dan otak. Gejala keracunan mangan adalah halusinasi, pelupa dan kerusakan saraf. Manganese can also cause Parkinson, lung embolism and bronchitis.Mangan juga dapat menyebabkan Parkinson, emboli paru-paru dan bronkitis. When men are exposed to manganese for a longer period of time they may become impotent. Ketika orang-orang yang terkena mangan untuk jangka waktu yang lebih lama mereka menjadi impoten.
    Suatu sindrom yang disebabkan oleh mangan memiliki gejala seperti schizophrenia, kebodohan, lemah otot, sakit kepala dan insomnia.
    Mangan senyawa alami ada di lingkungan sebagai padatan di tanah dan partikel kecil di dalam air. Manganese particles in air are present in dust particles. Mangan partikel di udara yang hadir dalam partikel debu. These usually settle to earth within a few days. Ini biasanya menetap ke bumi dalam waktu beberapa hari. Humans enhance manganese concentrations in the air by industrial activities and through burning fossil fuels.Manusia meningkatkan konsentrasi mangan di udara oleh aktivitas industri dan melalui pembakaran bahan bakar fosil. Manganese that derives from human sources can also enter surface water, groundwater and sewage water.
    Mangan yang berasal dari sumber manusia juga dapat memasukkan air permukaan, air tanah dan air limbah. Through the application of manganese pesticides, manganese will enter soils. Melalui penerapan pestisida mangan, sehingga mangan akan memasuki tanah.
    Pertambangan Mangan dapat mengancam kesehatan dengan berbagai cara:
  • Debu, tumpahan bahan kimia/limbah, asap-asap yang beracun, logam-logam berat dan radiasi dapat meracuni penambang dan menyebabkan gangguan kesehatan sepanjang hidup mereka;
  • Mengangkat peralatan berat dan bekerja dengan posisi tubuh yang janggal dapat menyebabkan luka-luka pada tangan, kaki, dan punggung;
  • Penggunaan bor batu dan mesin-mesin vibrasi dapat menyebabkan kerusakan pada urat syaraf serta peredaran darah, dan dapat menimbulkan kehilangan rasa, kemudian jika ada infeksi yang sangat berbahaya seperti gangrene, bisa mengakibatkan kematian;
  • Bunyi yang keras dan konstan dari peralatan dapat menyebabkan masalah pendengaran, termasuk kehilangan pendengaran;
  • Jam kerja yang lama di bawah tanah dengan cahaya yang redup dapat merusak penglihatan;
  • Bekerja di kondisi yang panas terik tanpa minum air yang cukup dapat menyebabkan stres kepanasan.Gejala-gejala dari stres kepanasan berupa pusing-pusing, lemah, dan detak jantung yang cepat, kehausan yang sangat, dan jatuh pingsan;
  • Pencemaran air dan penggunaan sumberdaya air berlebihan dapat menyebabkan banyak masalah-masalah kesehatan
  • Lahan dan tanah menjadi rusak, menyebabkan kesulitan pangan dan kelaparan.
  • Pencemaran udara dari pembangkit listrik yang dibangun dekat dengan daerah pertambangan dan mobilisasi transportasi dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang serius
    Dari beberapa fakta yang diperkirakan dapat terjadi ini, apakah pernah dipertimbangkan secara serius oleh Pemerintah Kabupaten TTU? Ataukah dengan alasan ekonomi kemudian semua dampak ini dibiarkan atau seolah tidak diketahui.
    Karena itu sejak awal, pemerintah kabupaten terutama dinas kesehatan mestinya melakukan studi dan analisis kesehatan agar dapat dilihat dan diminimalisir dampak kesehatan agar semua fakta itu tidak menimpah warga Oekopa dan Oerinbesi bahkan masyarakat yang sedang gencar melakukan pertambangan mangan di wilayahnya.
      3.5. Dampak Sosial-Budaya
      Setiap wilayah memiliki sebuah norma dan budaya yang dianut dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam konteks pengelolaan Sumber Daya Alam pun pasti setiap wilayah memiliki konsep dasar pengelolaan atau yang dikenal dengan istilah kearifan lokal (local wisdom).
      Secara historis, kabupaten TTU dikenal dengan istilah salu miomaffo, kulun maubes yang berarti bahwa Miomaffo, Insana dan Biboki memiliki kedekatan historis. Ketiga kevetoran ini secara historis memiliki beberapa kesepakatan sejarah dan kesamaan nilai dan budaya yang dianut bersama.
      Dalam kaitan dengan Pengelolaan Sumber Daya Alam, mereka mengelolanya sesuia dengan zonasi yang disepakati. Untuk kawasan-kawasan tertentu yang ingin dilindungi maka dianggap keramat atau sakral yang tidak bisa diganggu. Misalnya Naesleu (hutan adat), Naes tala (hutan larangan) dan kemudian dikenal istilah oekanaf dan faot kanaf dan demi pengawasan kemudian dibagi seturut suku-suku yang ada.
      Tidak heran di setiap kampung di Timor pasti setiap suku memiliki faot kanaf dan oe kanaf yang mana menjadi tempat pemujaan leluhur dan terintegrasinya suku tersebut.
      Begitu pun dengan desa Oekopa, Suku Usatnesi Sonaf'kbat dan beberapa suku lainnya menganggap kawasan itu sebagai kawasan yang perlu dilindungi dan tidak boleh diganggu oleh siapa pun.
      Sistem kepemilikan lahan adalah sistem kolektif artinya dimiliki bersama oleh suku tersebut. Tidak benar bila kemudian dikampling oleh turunannya sebagai milik pribadi, karena setiap turunan hanya diberi hak untuk mengelola.
      Hanya saja sistem ini kemudian tergerus oleh perkembangan zaman yang bernuansa individualistik dan kapitalistik. Sehingga segala keputusan kemudian tunduk dengan modal dan kepentingan pribadi.
      Berpijak pada beberapa pemikiran ini, dari hasil pantauan kami menemukan, bahwa:
  • Kehadiran Pertambangan di desa Oekopa dan Oerinbesi menciptakan hubungan kekeluargaan menjadi renggang atau kurang harmonis; Atau merusak hubungan kekeluargaan dan persaudaraan dalam masyarakat;
  • Belum ada suatu rumusan kesepakatan yang baik dengan masyarakat (community attribute): peran lembaga adat atau dewan pemangku adat, peran serta masyarakat lokal tentang upaya pengelolaan dan perlindungan LH dalam usaha pertambangan;
    Padahal masyarakat di Oekopa sejak dulu punya kearifan lokal untuk melindungi dan menyelamatkan lingkungan hidup dengan melakukan zonasi pengelolaan. Malah, menurut apao ume adat (penjaga rumah adat) suku usatnesi sonaf'kbat mengatakan bahwa masyarkat dilarang menebang pohon dan merusak wilayah itu tetapi pertambangan dibolehkan.
  • Belum ada kesepahaman antara Pemerintah Kabupaten TTU, pengusaha dengan masyarakat lokal Lembaga Adat/Pemangku Adat- Tobe);
    Padahal perintah Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara jelas, bahwa Penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilaksanakan: a. secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab; b. secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan; dan c. dengan memperhatikan aspirasi daerah.
  • Pertambangan Mangan di Oekopa dan Oerinbesi membawa dampak konflik agraria, karena sejak dulu sistem kepemilikan lahan itu adalah kolektif, tetapi kemudian dengan pertambangan tanah dikapling sebagian warga.
    3.6. Dampak Kebijakan dan Politik
Pertambangan yang dilakukan di Oekopa dan Oerinbesi adalah sebuah kebijakan yang tentunya memiliki keterkaitan dengan keputusan politik. Untuk itu, kebijakan ini perlu dicermati dalam kacamata politik yang lebih detail agar kemudian tidak berimplikasi buruk bagi warga.
Pertambangan selalu menjadi arena perjudian dalam kanca perpolitikan. Sering sumber daya alam menjadi bargaining potition dalam membuat kesepakatan-kesepakatan. Alasan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanyalah sebuah rasionalisasi pembenaran atas kerusakan lingkungan. Mengapa? Karena selama sistem politik yang dijalankan itu mementingkan kekuasaan dan modal maka rakyat hanyalah sebagai tumbal.
Dalam kaitan dengan itu, kebijakan pertambangan yang digelontarkan pemerintah Kabupaten TTU dalam Surat Bupati TTU No. Ek.540/102/IV/2012 tentang Ijin Prinsip Pembangunan Pabrik Pengolahan dan Pemurnian Bijih Mangan kepada PT. Gema Energy Indonesia di desa Oekopa dan Oerinbesi perlu dicermati dan dianalisa secara cermat.
Beberapa hal yang perlu dilihat sebagai evaluasi atas kinerja pemerintahan kabupaten TTU, diantaranya:
  • Berasas pada Surat Bupati TTU No. Ek.540/102/IV/2012 tentang Ijin Prinsip Pembangunan Pabrik Pengolahan dan Pemurnian Bijih Mangan kepada PT. Gema Energy Indonesia di desa Oekopa dan Oerinbesi.
    Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup. sedangkan Tahap Produksi/Eksploitasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan (Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Psl. 1 (15 & 17).
    Dari dua terminologi atau tahapan ini kami menilai bahwa Ijin Usaha Pertambangan dalam Surat Bupati TTU No. Ek.540/102/IV/2012 tentang Ijin Prinsip Pembangunan Pabrik Pengolahan dan Pemurnian Bijih Mangan kepada PT. Gema Energy Indonesia di desa Oekopa dan Oerinbesi, tidak sesuai dengan tahapan pertambangan karena kenyataan di lapangan masih melakukan pencarian dengan pemboran untuk mengetahui lokasi dan sebaran mangan di Oekopa.
    Padahal bila perijinan itu sejalan dengan kenyataan di lapangan maka sudah ada konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan.
  • Kebijakan ini dinilai tidak populis dan tidak sinkron dengan skala prioritas program strategis yang sementara dilakoni dimana pertanian menjadi salah satu program strategis. Apabila pemerintah kabupaten TTU serius menjalankan RPJMD dan Visi-Misi sertaProgram Padat Karya Pangan (PKP), maka Oekopa, Oerinbesi dan beberapa wilayah sentral persawahan harus dijadikan sebagai pemasuk pangan terutama beras agar tidak terus mengharapkan pasokan pangan dari luar misalnya RASKIN (Beras Miskin)
    Karena itu semestinya Pemkab TTU perlu diidentifikasi wilayah-wilayah potensial pertanian karena tanpa didorong pemerintah pun telah berkontribusi sebagai pemasok pangan.
  • Sejak tahun 2010, pemerintah mengeluarkan kebijakan moratirium pertambangan tetapi kemudian hasil moratorium itu tidak dipublikasikan agar publik mengetahui apa hasil evaluasi dan apa solusi dari permasalahan tersebut.
  • Pertambangan mangan di Oekopa dan Oerinbesi tidak berasaskan pada Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Padahal kawasan yang dijadikan sebagai wilayah pertambangan tersebut sejak dulu warga dilarang untuk menebang pohon atau merusakannya;
      3.7. Dampak Ekonomi
      Hampir semua aktivitas pertambangan dilandaskan pada analisis ekonomi. Argumentasi peningkatan ekonomi warga dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dipandang sebagai alasan mumpuni dari pertambangan. Dengan pertambangan akan diserap tenaga kerja dan perubahan kualitas hidup masyarakat sekitar wilayah pertambangan.
      Argumentasi yang sama pun ditemukan di Oekopa dan Oerinbesi bahwa dengan pertambangan mangan akan menyerap tenaga kerja dan memberikan dampak positif bagi kehidupan rakyat.
      Padahal, secara ekonomi yang perlu dikaji lebih jauh adalah kegiatan Produksi, Distribusi dan Konsumsi.
      Untuk pertambangan Oekopa dan Oerinbesi perlu dicermati daya rusak tambang pada ekonomi warga setempat, apakah terjadi penghancuran pada tata produksi, distribusi dan konsumsi lokal.
    • Rusaknya Tata Produksi
      Masyarakat Oekopa dan Oerinbesi sejak keberadaannya, persawahan menjadi sumber penghidupan utama disamping peternakan. Apabila pemerintah berinisiasi untuk meningkatkan pendapatan mereka mestinya yang dilakukan adalah kembali menata dan memulihkan lokasi-lokasi penyanggah agar debit air semakin memadai agar seluruh hamparan itu dimanfaatkan secara efektif untuk persawahan. Malah yang harus dipikirkan adalah pascah panen apa yang harus dilakukan petani dan bagaimana mengentaskan sistem ijon yang ramai dilakoni petani.
      Bila kawasan itu dikonversi menjadi pertambangan, akan terjadi rusaknya tata produksi. Karena operasi pertambangan membutuhkan lahan yang luas, dipenuhi dengan cara menggusur tanah milik dan wilayah kelola rakyat. Kehilangan sumber produksi (tanah dan kekayaan alam) melumpuhkan kemampuan masyarakat Oekopa dan Oerinbesi yang selama ini menghasilkan beras (pangan) untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
      Bagi warga Oekopa dan Oerinbesi tanah dan persawahan adalah sumber penghidupan yang tidak bisa ditukarkan/digadaikan.
    • Rusaknya tata konsumsi,
      Lumpuhnya tata produksi (persawahan dan peternakan) menjadikan masyarakat Oekopa dan Oerinbesi makin tergantung pada barang dan jasa dari luar. Untuk kebutuhan sehari-hari mereka semakin lebih jauh dalam jeratan ekonomi.
      Uang tunai yang cendrung dilihat besar, tanah dan kekayaan alam sebagai faktor produksi dan bisa ditukar dengan sejumlah uang untuk sementara waktu (instant) tetapi apa pernah dipikirkan tentang rusaknya lahan dan tata konsumsi wargayang selama ini mengalami kedaulatan pangan;
    • Rusaknya tata distribusi,
      Kegiatan distribusi setempat semakin didominasi oleh arus masuknya barang dan jasa ke dalam komunitas termasuk beras (pangan) yang merupakan kebutuhan paling pokok.
      Padahal, biasanya pada awal sebuah proses pertambangan akan dibangun opini publik bahwa pertambangan akan membawa kesejateraan dengan meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat setempat.
      Tetapi yang terjadi warga Oekopa dan Oerinbesi menjadi kuli di negeri sendiri, bila ia menjadi seorang petani, ia akan berdaulat dengan dirinya.
      Tawaran akan pertambangan perlu dikaji secara cermat dengan melihat fakta-takta yang sudah ada. Bukan dengan pragramtis lalu pertambangan disetujui, setelah itu baru diakhiri dengan kekesalan.
  1. Kesimpulan dan Rekomendasi:
    Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan dan direkomendasikan beberapa hal diantaranya:
  • Pertambangan Mangan di Oekopa dan Oerinbesi tidak layak dilakukan, segera dihentikan karena sedikit memiliki manfaat positif bagi warga dibanding dampak-dampak negatif yang ditimbulkan bagi lingkungan dan warga;
  • Pulihkan kawasan penyangga agar Oekopa dan Oerinbesi agar terus menjadi daerah pemasok beras bagi Kabupaten TTU, begitupun dengan kawasan persawahan lain agar TTU memiliki daerah pemasok beras;
  • Perijinan pertambangan itu dinilai cacat hukum, karena tidak sesuai dengan prosedur tahapan pertambangan antara status perijinan dan kenyataan di lapangan;
  • Pemkab TTU semestinya secara transparan dan akuntable membuat kajian dan analisis agar pembangunan tidak bias program dari apa yang sudah direncanakan;
1Tulisan ini dipersiapkan sebagai bahan presentasi JPIC SVD Timor, Lakmas Cendana Wangi, WALHI NTT dengan Komisi C, DPRD Kabupaten TTU, Rabu, 22 Agustus 2012 di Kantor DPRD TTU
2Aktifis lingkungan yang sedang dipercaya menjadi Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT dan menjadi kontak person Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
3Pernyataan Gabriel Manek, tokoh masyarakat desa Oekopa dan Ketua Forum Peduli Kelestarian Lingkungan, Alam dan Budaya Oekopa
4Hasil Wawancara dengan beberapa masyarakat Oekopa dan Data Statistik Desa Oekopa yang diambil, Kamis 09 Agustus 2012
5Fatukanaf (batu nama) dalam budaya orang timor, batu itu memiliki nama seturut suku yang ada dan itu dihormati dan mendapat perlindungan. Sedangkan Oekanaf (air pemali), dalam budaya orang Timor air dihormati dan dilindungi oleh suku-suku yang ada. Oekanaf ini menjadi tempat ritus bagi suku tertentu sebagai bentuk pemujaan mereka terhadap leluhur
6Hasil temuan lapangan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Daerah NTT dan Lembaga Advokasi Masyarakat Sipil (Lakmas) Cendana Wangi NTT, Kamis 09 Agustus 2012
7Busao, tempat merayakan ritual adat bagi suku Usatnesi, Lan faot naine mnune, tempat ritual adat untuk menghubungkan Tamkesi dan Mandeu dan Fatu Tasu itu untuk Monemnasi, Taekab, Amteme, Tasi
8WALHI – (Walhana Lingkungan Hidup Indonesia – Friends of The Earth Indonesia) adalah forum organisasi non pemerintah dan kelompok pencinta alam terbesar di Indonesia dengan 26 Perwakilan di 26 Propinsi dan 436 Anggota. Sedangkan WALHI NTT didirikan 1996 yang kini memiliki 43 lembaga anggota tersebar di seluruh NTT;
9LAKMAS (Lembaga Advokasi Masyarakat Sipil) adalah salah satu lembaga sosial yang bekerja secara sukarela untuk kepentingan publik. Lembaga ini berkedudukan di Kefamenanu.
10Beny Ulu Meak, Masa Depan Pertambangan Mangan di Kabupaten TTU, materi yang Disamapaikan pada Lokakarya “Perempuan dan Mangan di Timor Barat -NTT dalam aspek Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Hidup” tanggal 19 Agustus 2010 di Kefamenanu

“PERTAMBANGAN MANGAN: MENJAWABI ATAU MEMBAWA MULTI-KRISIS?”


PERTAMBANGAN MANGAN:
MENJAWABI ATAU MEMBAWA MULTI-KRISIS?” (1)1
Oleh: Herry Naif2

Abstract    

Manusia memerlukan sumberdaya alam berupa tanah, air, udara, energi dan sumberdaya alam lain termasuk keadaan sumberdaya alam yang terbaharukan ataupun yang tidak terbaharukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sumberdaya alam yang dibutuhkan itu memiliki keterbatasan kuantitas, kualitas serta keterbatasan ruang dan waktu.  

Sumberdaya alam dan manusia mempunyai kaitan yang erat. Kualitas kehidupan manusia ditentukan oleh dirinya dan keadaan sumberdaya alam di sekitarnya atau sebaliknya aktivitas manusia berpengaruh terhadap keberadaan sumberdaya dan lingkungan. Kerusakan lingkungan banyak ditentukan oleh aktivitas manusia. Misalnya;  pencemaran udara, pencemaran air, pencemaran tanah serta kerusakan hutan. 

Alasan sekelompok orang bahwa pembangunan dengan berfokus pada penggerukan sumber daya alam untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat hanyalah rasionalisasi pembenaran atas kebinalannya yang terurai dalam tindakan eksploitatif dan ekstraktif tanpa mengindahkan kemampuan dan daya dukung lingkungan yang berimbang. 

Maraknya pertambangan mangan di pulau Timor bukan merupakan pilihan yang arif dalam menjawabi krisis pangan akibat gagal panen. Apalagi kondisi ekologi, sosial-budaya dan kesehatan masyarakat tengah di ambang kegentingan. Pilhan ini akan berdampak pada krisis pangan, krisis air, kriris energi dan lingkungan yang berkepanjangan.


Sekilas Tentang Provinsi NTT

Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan propinsi kepulauan dengan total pulau sebanyak 566 buah pulau, diantaranya terdapat 3 gugusan pulau yaitu Flores, (Komodo, Rinca, Flores, Solor, Adonara, Lembata), Sumba dan Timor (Sabu, Rote, Semau, Timor, Alor dan Pantar). Dari gugugasan pulau itu yang sudah berpenghuni (42 buah), tak berpenghuni (524 buah), sudah bernama (246 buah), belum bernama (320 buah). Batas wilayah propinsi ini sebelah Utara: Laut Flores; Selatan: Laut Hindia; Barat: Selat Sape (Propinsi NTB); Timur: Negara Timor Leste dan Australia.

Secara administratif, NTT memiliki 20 Kabupaten dan 1 Kota, 215 kecamatan dan 2.762 desa. Jumlah penduduk NTT tahun 2009: 4.534.319 jiwa, dengan kepadatan penduduk 95,76 jiwa per km2. Lebih dari 70% penduduk bermukim di pedesaan. Sedangkan secara geografis, provinsi NTT memiliki posisi strategis dimana sebagai pintu masuk perdagangan menuju benua Australia. Peluang ini sama sekali sepih dari pehatian pemerintah, malah justru dimanfaatkan amat baik oleh investor pertambangan Cina, Korea, Jepang, India dan Australia untuk menggeruk sumber daya alam yang ada di kepulauan ini.

NTT yang dilabeli sebagai daerah gersang, kering-kerontang, kurang pangan dan air (daerah serba kekurangan) ternyata menyimpan segudang potensi mineral yang menyilaukan mata para komprador untuk kepentingan investasi dan kepentingan para penguasa dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Setelah diketahui NTT memiliki banyak potensi mineral, para pemimpin seakan kehilangan daya kreatif-inovatif dalam mengembangkan sumber-sumber penghidupan yang bersentuhan langsung dengan kenyataan hidup rakyat Timor dan NTT pada umumnya, seperti: pertanian, peternakan, perikanan dan pariwisata. Padahal, sebelum diketahui akan adanya potensi mineral seperti mangan, marmer, emas, minyak bumi, biji besi dan beberapa potensi mineral lainnya, hampir seluruh perhatian dikonsentrasikan pada sumber-sumber penghidupan rakyat tersebut. Ini terbukti bahwa sepanjang sejarah kehidupan masyarakat NTT disuplai oleh semua sumber penghidupan tersebut.

Pulau Timor pernah dikenang sebagai gudang ternak setelah Sumatera. Tetapi kini peternakan tidak lagi mendapatkan perhatian serius sebagai salah satu potensi dalam mengembangkan kualitas hidup rakyat. Rupanya orang sedang lupa-ingatan. Padahal hampir seluruh pemenuhan hak-hak dasar rakyat (pendidikan, kesehatan, perumahan, pangan) ditopang oleh adanya peternakan sapi. Jawaban “kami sekolah karena hasil jual ternak sapi” akan ditemukan dari bibir para penguasa di daratan Timor. Jawaban ini sebetulnya membuktikan peternakan mampu memberi jaminan pemenuhan hak-hak dasar warga tanpa merusak yang lain. Masih ada potensi lain yang semestinya dikembangkan oleh Pemerintah Provinsi dan pemerintah kabupaten di NTT dalam mendorong kesejahteraan rakyat.

Provinsi NTT sedang gencar melakukan pengembangan industri garam, pengembangan ternak, pengembangan rumput laut, pengembangan cendana dan gaharu, pariwisata. Artinya, perlu mengedepankan keunggulan daerah masing-masing sehingga pembangunan terfokus3.

Ironis, seiring dengan gencarnya pengembangan program-program tersebut, aktivitas industri ekstraktif (pertambangan) pun tak kalah dilakukan di seluruh wilayah kepulauan NTT. Misalnya Jumlah pemohon ijin di Kabupaten Kupang sampai Desember 2010, 80 perusahaan (rata-rata sudah beroperasi. Jumlah pemohon ijin di Kabupaten TTS 176 (IPR dan IUP), 3 telah mendapat IUP Produksi yaitu PT. Soe Makmur Resources (2010), PT. Elang Perkasa Resources dan PT. Nisso Steel Indonesia (2011) Sedangkan di Kabupaten TTU jumlah pemohon ijin 27 IUP eksplorasi, 112 IPR, 4 telah mendapat IUP eksplorasi PT. Elang Perkasa Resources Indonesia, PT. Elang Perkasa Kencana Resources Indonesia, PT. Elgary Resources Indonesia. Dan di Kabupaten Belu ada 89 perusahaan. Dan di Kabupaten Belu ada 89 perusahaan. Selain itu ada pertambangan Minyak di Blok Migas Kolbano – TTS yang mencakupi 16 Kecamtan TTS dan 2 Kecamatan Kabupaten Kupang oleh PT. Eni West Timor. Di pulau Sumba; Sumba Timur dan Sumba Tengah yang mencakupi kawasan Lai Wanggi Wanggameti dan Kawasan Manupeu Tana Daru. Sedangkan di Pulau Flores, pertambangan mangan di Sirise, Torong besi (Kabupaten Manggarai) yang memasuki areal kawasan hutan lindung, pertambangan biji besi dan batu bara di Riung Kabupaten Ngada, yang merupakan kawasan penyangga untuk kawasan pariwisata 17 pulau. Pertambangan emas di Tebedo dan Batu Gosok (Kabupaten Manggarai Barat), serta pertambangan emas di pulau Alor, daerah yang sering dikunjungi bencana gempa bumi. Tambang Emas di pulau Lembata yang mendapatkan perlawanan rakyat dan Gereja yang kemudian Surat Keputusan Bupati harus dicabut.4

Selama ini, beberapa pertambangan yang mendapatkan perlawanan adalah pertambangan emas di Lai Wanggi Wanggameti (Sumba Timur) dan Manupeu Tanadaru (Sumba Tengah). Kedua tempat ini adalah kawasan lindung yang mana terdaftar sebagai Taman Nasional. Tambang Mangan di Sirise dan Torong besi sementara dalam proses hukum dimana ada gugatan class action dari warga setempat. Di Kabupaten Manggarai Barat semua Ijin Usaha Pertambangan (IUP) dicabut dan ditolak permohonannya oleh Bupati Agustinus Dula. Masyarakat Adat Leragere menolak pertambangan emas lembata. Aliansi Rakyat Anti Tambang (ARANG) TTS menolak semua pertambangan mangan di Kabupaten TTS dan NTT pada umumnya.
Tulisan ini, difokuskan pada pertambangan mangan di pulau Timor yang hampir terjadi di wilayah kabupaten, (TTU, Belu, TTS, Kupang dan Kota Kupang) yang menimbulkan banyak perdebatan baik di tingkat rakyat atau pun para elit penguasa.

Mangan menurut Atoni pah meto

Mangan dalam bahasa dawan disebut fatu metan. Fatu metan adalah padanan bahasa dawan, fatu yang berarti batu dan metan berarti hitam. Secara harafiah fatu metan diterjemahkan batu hitam. Mayarakat dawan memberikan nama berdasarkan jenis dan wujud yang dilihatnya. Namun secara historis-cultural mangan bagi atoin pah meto5 sungguh bernilai. Mangan dipandang bernilai mistik-magis yang harus dihormati. Bila tidak bencana longsor, angin kencang, kekeringan dan bencana lainnya akan terjadi sebagai konsekuensi atas tindakan tersebut. Mangan tidak sembarang diambil atau dipungut untuk kepentingan apa pun, sekalipun mangan hampir ditemukan dalam semua wilayah Timor. Pada masa kejayaan kekuasaan tuan tanah (tobe)6, siapa pun tidak diperkenankan untuk memilih atau memindahkan dari tempatnya.

Tradisi ini dipertegas dalam filosofi atoni pah meto melihat alam (bumi). Bahwa bumi diidentifikasi sesuai dengan struktur fital tubuh manusia. Tanah (nijan) dilihatnya sebagai daging; Batu (fatu) dipandangnya sebagai tulang. Air (oel) bagai darah yang terus mengalir dalam tubuh. Sedangkan hutan adalah paru-paru. Sesuai dengan paradigma bisa dibayangkan bila seluruh tulang manusia diambil dari tubuh seseorang bisa disaksikan apa yang terjadi di sana?

Selain itu, batu dipakai atoin pah meto sebagai simbol untuk suku (fatu kanaf). Tidak heran bila hampir semua gunung batu di Pulau Timor dinamakan sesuai dengan suku yang ada di pulau Timor. Pemberian nama suku pada sebuah gunung batu, sekalian suku itu adalah penguasa di wilayah tersebut. Di sini, setiap kita pasti tergugah dan bertanya: Mengapa batu sangat penting bagi masyarakat di pulau Timor. Atau mengapa, kearifan lokal masyarakat Timor menempatkan batu pada posisi yang sangat berharga?
Prinsipnya, kepercayaan ini dilandasi pada sebuah argumentasi mendasar yang tidak bisa dilepaspisahkan dari kelestarian lingkungan. Lebih dari itu, dalam konteks struktur tanah dan geologi, Pulau Timor adalah sebuah pulau kecil yang unik. Timor disebut daerah gersang, kering-kerontang. Topografinya, berbukit-bukit dan kering. Dimanakah kawasan penyimpan air (water scatchman area) berupa kawasan hutan. Kawasan hutan yang ada kualitasnya tidak sama dengan hutan di Kalimantan, Papua dan Sumatera.
Herannya di pulau Timor, air muncul di daerah gunung batu. Berarti secara geologi, pulau ini unik. Daerah-daerah gunung batu ada air. Dengan demikian, orang Timor memberikan penghargaan yang luar biasa kepada sebuah batu. Alasannya, dengan banyak batu akan memberikan sumber mata air dan kehidupan bagi pulau ini.

Sekilas Pertambangan Mangan di Pulau Timor
Setelah diketahui NTT memiliki banyak potensi mineral, para pemimpin seakan kehilangan daya kreatif-inovatif dalam mengembangkan sumber-sumber penghidupan seperti: pertanian, peternakan, perikanan dan pariwisata. Sumber-sumber penghidupan ini bersentuhan langsung dengan kenyataan hidup rakyat Timor dan NTT pada umumnya,. Oleh sebab itu, sebelum diketahui akan adanya potensi mineral seperti mangan, marmer, emas, minyak bumi, biji besi dan beberapa potensi mineral lainnya, hampir seluruh perhatian dikonsentrasikan pada sumber-sumber penghidupan tersebut.

Banyaknya deposit mangan ini, mendorong para geolog berdatangan ke pulau Timor. Sejak tahun 2000-an, mangan mulai diperkenalkan para geolog kepada masyarakat di Pulau Timor. Bahwa di dalam perut pulau Timor banyak terkandung mineral mangan yang sangat berharga. Informasi ini disambut gembira masyarakat di pulau Timor. Mayoritas masyarakat Timor adalah petani lahan kering yang mana sangat bergantung pada cuaca. Ketika itu mereka sedang mengalami perubahan cuaca ekstrem dimana kelebihan curah hujan sehingga membuat para petani tidak bisa bertani pada lahan kering.

Informasi ini seakan menjadi jawaban atas krisis pangan, ketika tidak ada pilihan lain dalam menghadapi keterdesakan ekonomi saat itu. Kapasitas mereka umumnya sangat terbatas. Tanpa mengerti apa itu mangan dan dampak-dampaknya, secara berjemaat orang berubah menjadi penambang. Mayoritas masyarakat Timor yang sebelumnya adalah petani lahan kering serentak berubah profesi menjadi penambang mangan. Malah ada yang sebelumnya sopir, tukang, honorer, buruh bangunan di kota pun beralih profesi menjadi penambang mangan. Pergeseran profesi ini seakan membawa kegemilangan hidup melalui uang tunai yang diterima.

Pilihan ruang aktivitas menambang disesuaikan dengan kapasitas yang dimiliki dan diminati masyarakat. Ada yang harus setiap berhari dan bahkan berminggu-minggu berada di lokasi pertambangan untuk menggali. Ada penimbun atau penampung mangan, yang akan mengambil fee dari hasil penjualan kepada pengusaha. Ada pelobi antar warga dengan pengusaha (calo mangan) dan Pengusa tambang dan Ijin Resmi (Petir). Sedangkan di Soe Kabupaten TTS, ada kelompok Obama7 (Ojek Bawa Mangan).

Pertambangan mangan di Timor bisa disebut Pertambangan Berjemaat.
Ini tergambar jelas dari jumlah perijinan yang dikeluarkan oleh pemberintah kabupaten di daratan Timor. Misalnya: Jumlah pemohon ijin di Kabupaten Kupang sampai Desember 2010, 80 perusahaan (rata-rata sudah beroperasi. Jumlah pemohon ijin di Kabupaten TTS 176 (IPR dan IUP), 3 telah mendapat IUP Produksi yaitu PT. Soe Makmur Resources (2010), PT. Elang Perkasa Resources dan PT. Nisso Steel Indonesia (2011) Sedangkan di Kabupaten TTU jumlah pemohon ijin 27 IUP eksplorasi, 112 IPR, 4 telah mendapat IUP eksplorasi PT. Elang Perkasa Resources Indonesia, PT. Elang Perkasa Kencana Resources Indonesia, PT. Elgary Resources Indonesia. Dan di Kabupaten Belu ada 89 perusahaan.

Melihat masifnya pertambangan berjemaat ini, kemudian banyak pihak memperdebatkannya dalam berbagai aspek kehidupan, entah pada dampak ekonomis, lingkungan, sosial dan budaya.

Kerusakan lingkungan dan nilai-nilai sosial lainnya tidak sebanding dengan yang diterima masyarakat dan pemerintah kabupaten. Bahkan banyak perusahaan masih menunggak keuangannya yang semestinya wajib disetor ke Pemerintah Kabupaten sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) bandingkan Tabel 1.

Tabel 1. Data Perusahaan-perusahaan Penunggak Royalti dan Iuran Tetap di Kabupaten TTU

NO
PERUSAHAAN
JENIS TUNGGAKAN
JUMLAH (RP)
1 PT. Bola Dunia Mandiri Royalti
22.750.000,00
Iuran Tetap
2.000.000,00
2 PT. Putra Indonesia Jaya Royalti
24.817.500,00
3 CV. Lintas Jaya Group Royalti
30.940.000,00
Iuran Tetap
2.500.000,00
4 PT. Wanda Jaya Utama Royalti
11.990.000,00
5 PT. Batavia Cyclindo Industry Royalti
3.503.500,00
6 CV. Bumi Timor Pantura Royalti
27.570.000,00
7 CV. Titian Kasih Roayalti
45.500.000,00
8 CV. Asia Traco Royalti
12.097.000,00
9 PT. Elgary Resources Royalti
15.925.000,00
10 PT. Elgary Resources Indonesia Royalti
22.750.000,00
11 PT. Ainun Persada Sakti Royalti
45.500.000,00
12 PT. Artha Envirotama Iuran Tetap
1.200.000,00
13 CV. Fajar Utama Iuran Tetap
1.000.000,00


Total Tunggakan Royalti dan Iuran Tetap
271.102.000,00
Sumber: Pos Kupang

Mencermati data tabel 1. Data Perusahaan-perusahaan Penunggak Royalti dan Iuran Tetap di kabupaten TTU, sebuah pertanyaan terus menggugah bahwa apakah dengan besar dana yang ada akan mampu menghantar rakyat pada kualitas hidup yang baik? Dan apa dana sebesar ini akan mampu memulihkan kerusakan lingkungan yang timbul akibat penggalian mangan yang masif dilakukan?

Di sini, dibutuhkan sebuah kebeningan berpikir untuk mencermati lebih jauh tentang manfaat pertambangan mangan bagi masyarakat Timor. Ataukah keadilan ekonomi (economy justice) ini akan terbayar setelah adanya Peraturan Daerah tentang Pertambangan Mangan di Kabupaten TTU, Belu, TTS dan Kupang?

Ataukah ada yang lebih substansi harus dilihat sebagai sebuah proses penjajahan baru (neo-liberalisme) yang selama ini dikampanyekan secara luas oleh anak negeri yang masih peduli dengan kemandirian bangsa. Bahwa skema Neo-liberalisme terurai dalam kepentingan Trans National Corporation (TNC) dan Multi National Corporation (MNC) harus kemudian diamini dengan adanya program Corporation Social Reponsibility (CSR) yang diberikan melalui kelompok-kelompok kritis seperti LSM, Akademisi, OKP-OKP atau langsung pada komunitas di kawasan tambang. Alasan bahwa ada program pemberdayaan hanya pelumas hati yang diberikan perusahaan untuk menghindari kekritisan rakyat atas ketidakadilan ekonomi yang diterimanya.

Disadari atau tidak, pertambangan mangan berjemaat tengah membius kekritisan rakyat dan kelompok civil society di pulau Timor yang sedang berangan-angan bahwa pertambangan akan memberikan dampak ekonomi. Dimana ditemukan bahwa dengan pertambangan mangan, warga membeli motor, Telivisi dan perabot lainnya yang dinilai elit. Tetapi ketika pendapatan dari hasil penggalian mangan mulai menurun, semua peralatan yang dibeli ini kembali digadai/dijual untuk membeli makan atau memenuhi kebutuhan lainnya. Peningkatan ekonomi sesaat memang dirasakan rakyat. Bagaimana dengan lubang-lubang yang dibiarakan mengangah itu, apa bisa dipulihkan agar kembali menjadi lahan pertanian.
Pembenaran pertambangan melalui perhitungan uang tunai yang diterima masyarakat dan berbagai kajian sebagai alasan tambahan merupakan sebuah proses pelegitimasian atas kerusakan ekologi yang tengah berada di ambang kegentingan.

Pertanian, peternakan dan Industri Rumah Tangga (tenun-ikat) yang sudah ratusan tahun terbukti menjadi pemenuh kehidupan masyarakat di Pulau Timor. Lalu ini harus ditinggalkan dengan bayangan akan adanya uang tunai yang diterima. Apa yang diprioritaskan adalah memenuhi kebutuhan hari ini dengan merusak lingkungan hidup secara permanen, hilangnya sumber air, memotong keberlangsungan hidup generasi yang akan datang, sampai pada kehilangan nyawa akibat tertimbun tanah dan batu mangan. Baca Tabel 2, data korban mangan.
Tabel 2. Data Korban Mangan8

No.
HARI /TANGGAL
NAMA
USIA (thn)
KEJADIAN
LOKASI
1.
17 Agust. 2009
Daud Lomi Pita
48
Tewas tertimbun galian mangan
RT 22 / RW 06 Dusun C, Desa Tubuhue, Kec. Amanuban Barat, TTS
2.
10/02/09
    Simon Linsini
    Etri Linsini

Tewas tertimbun tanah saat sedang menggali mangan
Kel. Naioni
3.
10/06/09
    Melianus Bariut
    Petrus Sabloit
    Ambrosius Seran
    Marice Ton
51
38
11
38
Tewas tertimbun saat sedang menggali mangan
Kiumabun, Desa Oebola dalam, Kec. Fatuleu, Kab. Kupang
4.
18 oktober 2009
    Klara Abuk
    Hans
50
30
Tewas Tetimbun tanah ketika sedang menggali batu mangan
Tuataun, Kec.Feoana, TTS
5.
1 Desember 2009
Agustinus Sila
30
Tewas mengenaskan dalam lubang tambang mangan
RT 09, Lingkungan 2, Kel.Oelami, Kec. Bikomi Selatan, TTU, Tempat penggalian mangan, Fatukoko
6.
1 Desember 2009
Timotius Sali Lisu
29
Ditemukan sekarat dilubang galian mangan, dan harus mnjalani perawatan intensif di RSU Kefamenanu
Kel. Oelami, Kec.Bikomi Selatan, TTU, Tempat penggalian mangan, Fatukoko
7
15 Desember 2009
Marta Laitoto
39
Tewan tertimbun tanah di lokasi tambang Nulopo
Kelurahan Ponu, Kecamatan Biboki Ainleu, Kabupaten TTU
8
27 Februari 2010
Marsel Amnesi
30
Tewas tertimbun tanah dilokasi penggalian mangan
RT 20 / RW 2, Naioni,Kupang (Lokasi penggalian mangan Oelnunfafi, kel. Naioni, Kec. Alak,Kota Kupang)
9
5 Mei 2010
Remon Aklili
8
Tewas tertimbun bongkahan tanah saat menggali batu mangan
Murid kelas 2, SDI Oelusapi, dusun 3, Desa Poto,Kec. Fatuleu Barat
10

Dita Nono
38
Tewas di tempat Penggalian Mangan
Desa Nimasi, Kecamatan Kab. TTU
11
10/01/10
Martinus Tasik
Maria Bita Luan

Tertimbun longsoran tanah akibat penggalian Mangan
Tabean B, Desa Tukuneno Kecamatan Tasifeto Barat, Kab. Belu
Sumber : Pos Kupang dan informasi lapangan

Harus dimengerti juga tentang apa dan bagaimana dampak dari pertambangan serta urgensinya bagi kondisi NTT sebagai provinsi kepulauan yang merupakan daerah ring of fire yang mana rentan terhadap berbagai bencana seperti: kekeringan, longsor, gempa bumi, tsunami, banjir serta bencana lainnya yang terus menjadi langganan masyarakat di pulau Timor.

Respon Para Pihak di Kabupaten TTU

Carut-marut pertambangan di Kabupaten TTU yang lagi santer dibicarakan publik baik media maupun dalam pembicaraan warga TTU dan pulau Timor pada umumnya. Pada tahun 2008, Pemerintah Kabupaten TTU telah menerbitkan 82 Surat Kuasa Pertambangan yang terdiri dari 64 Ijin KP eksplorasi dan 18 KPR dengan total areal tambang 92.532 hektar tidak termasuk areal tambang yang belum mendapatkan ijin.

Semangat jual murah, keruk habis bahan tambang sedang dipertontonkan dengan alasan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Padahal, daerah ini terkenal dengan busung lapar, rawan tanah longsor, gagal panen. Dipikirnya bahwa pertambangan menjadi jawaban atas kemiskinan yang terus menggurita.

Merespon semua fakta permasalahan pertambangan mangan di Kabupaten TTU yang selalu diwarnai pro-kontra, DPRD Kabupaten TTU berinisiasi untuk menyikapi pertambangan mangan tersebut dengan membahasnya secara khusus. Dibentuklah Tim Panitia Khusus (Pansus) Mangan untuk melakukan kajian administrasi dan lapangan.

Lambannya inisiasi pembentukan Pansus Mangan di Kabupaten TTU, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) cabang Kefamenanu dan Gerakan Mahasiswa Indonesia (GMNI) cabang Kefamenanu mendesak DPRD TTU segera menindaklanjuti membentuk Tim Pansus. Aspirasi ini kemudian ditindaklanjuti dengan dibentuk Tim yang beranggotakan: H. Frengky Saunoah, SE (Ketua), Yasintus Naif, SE (Wakil Ketua), Aloysius Talan, SP (Sekretaris) serta beranggotakan: Frans Tatang Salu, Atonius M. Z. Lake, SH., Karolus Sonbai, F. X. Dwiyanto Tantri Sanak, Thimotheus Atolan dan Agustinus Ndun. Tim ini kemudian melakukan aktivitas dalam rangka memberikan kesimpulan dan rekomendasi atas berbagai masalah yang berkaitan dengan pengelolaan pertambangan mangan di wilayah Kabupaten TTU.

Hasil kerja Tim Pansus sudah dirampung sejak akhir bulan Juni 2010 sesuai dengan Jadwal Sidang semestinya dilaporkan pada Sidang Paripurna tanggal 6 Juli 2010. Namun itu tidak bisa dijalankan karena ketidakhadiran Bupati TTU (Drs. Gabriel Manek. Msi.) lalu diputuskan untuk diundurkan sampai pada tanggal 8 Juli 2010. Akan tetapi pada kesempatan itu juga tidak dihadiri oleh Bupati TTU dan instansi-instansi terkait. Sikap menyepelehkan ini akhirnya berdampak pada belum terlaksananya Sidang I DPRD Kabupaten TTU tahun sidang 2010 dan fakta yang tidak bisa dipungkiri adalah mundurunya penghargaan dan penghormatan terhadap Tugas, Fungsi, Wewenang dan Kedudukan DPRD sebagaimana diamanatkan oleh Ketentuan Peraturan Perundang-udangan.9

Pembentukan Pansus tidak ada niat apa pun yang terselubung mencederai dan mendiskreditkan individu dan atau sekelompok orang tertentu melainkan sebagai suatu wahana tertentu bagi terlaksananya penataan kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara yang baik dalam semangat “good government and clean government”.
Akhirnya, pada tanggal 4 September 2010 dipresentasikan hasil kesimpulan dan rekomendasi DPRD TTU atas permasalahan pertambangan Mangan di Kabupaten TTU. Beberapa Kesimpulan10 diantaranya:
  1. Dalam menerbitkan Surat Keputusan Bupati tentang Ijin Kuasa Pertambangan Eksplorasi Bupati Timor Tengah Utara telah melanggar Pasal 8 ayat 1, 2, 4, 5 huruf c dan Pasal 9 ayat (2) Peraturan Daerah Kabupaten TTU Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Pertambangan Umum;
  2. Pemerintah Daerah melalui Dinas-Dinas terkait tidak melakukan pengawasan yang baik terhadap kegiatan pertambangan mangan sehingga investor telah melakukan kegiatan yang melampaui ijin yang diberikan dimana kegiatan yang dilakukan sudah pada tahap eksploitasi
  3. Penetapan harga yang tidak berpihak pada masyarakat sehingga tidak ada jaminan menuju kesejahteraan bagi masyarakat penambang
  4. Sistem Administrasi Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten TTU sangat Amburadul sehingga berada di bawah garis kewajaran sebuah institus pemerintahan.
  5. Ada Ijin Kuasa Pertambangan Eksplorasi yang tidak tercatat pada dokumen pengiriman batu mangan (dok. Dari kantor Perhubungan laut Atapupu Atambuan).
Dari beberapa kesimpulan itu, DPRD TTU memberikan beberapa rekomendasi yang harus ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kabupaten TTU. Beberapa rekomendasi11 yakni:
  1. Sehubungan dengan perbuatan melawan hukum yang dilakukan baik dilakukan secara sendiri atau bersama-sama terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pertambangan maka Pansus merekomendasikan kepada Paripurna DPRD untuk meminta aparat penegak hukum melakukan proses hukum sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
  2. Pansus merekomendasikan kepada paripurna DPRD untuk meminta aparat penegak hukum mengusut dugaan kerugian negara dan daerah;
  3. Pansus merekomendasikan kepada Paripurna DPRD untuk meminta aparat penegak hukum mengusut dugaan tindak pidana pemalsuan paraf Sekretaris Daerah kabupaten TTU
  4. Pansus merekomendasikan kepada Paripurna DPRD untuk meminta aparat penegak hukum untuk mengusut dugaan pemalsuan surat Keputusan Bupati TTU tentang Ijin Kuasa Pertambangan Mangan oleh PT Tiara Utfar Mandiri dan PT Parikesit Tambang Jaya;
  5. Pansus merekomendasikan kepada Paripurna DPRD untuk menegaskan kepada Bupati TTU untuk menghentikan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten TTU Lodofikus Sila, SH dari jabatannya karena tidak mempunyai kecakapan dan kapasitas yang memadai untuk memimpin Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten TTU;
  6. Pansus merekomendasikan kepada Paripurna DPRD untuk menegaskan kepada Bupati TTU mencabut ijin Perusahaan-Perusahaan yang mendapat penolakan dari masyarakat dan melakukan praktek kolusi dengan oknum pada Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten TTU
  7. Pansus merekomendasikan kepada Paripurna DPRD untuk menegaskan kepada Bupati TTU agar segera melakukan revisi terhadap Perda Kabupaten TTU No. 5 Tahun 2003
  8. Pansus merekomendasikan kepada Paripurna DPRD untuk menegaskan kepada Bupati TTU agar pengelolaan potensi pertambangan mangan lebih memprioritas pemberdayaan pengusaha lokal dan peningkatan kesejahteraan masyarakat TTU dengan memberi akses yang luas untuk pola pengelolaan melalui Ijin pertambangan Rakyat [IPR]
  9. Pansus merekomendasikan kepada paripurna DPRD untuk menegaskan kepada Bupati TTU agar segera mencabut surat Keputusan Bupati tentang harga mangan dan selanjutnya harga mangan dibiarkan untuk mengikuti mekanisme pasar
  10. Pansus merekomendsikan kepada Paripurna DPRD agar menegaskan kepada Bupati TTU untuk segera melaksanakan Peraturan Bupati TTU Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Pelimpahan sebagian Kewenangan Bupati di Bidang Peijinan kepada kepala KP2YSP Kabupaten TTU khususnya perijinan bahan Galian B karena sampai saat ini masih melekat pada Dinas Pertanbangan dan Energi
  11. Pansus merekomendasikan kepada Paripura DPRD untuk membentuk tim Pengawas Pelaksanaan Keputusan DPRD
Dari beberapa kesimpulan dan rekomendasi ini, sejak dipresentasikan hingga hari ini belum ada kemajuan yang jelas dalam mengatasi permasalahan pertambangan mangan di kabupaten TTU.

Di tengah perguncingan itu, muncul kelompok civil society yang melakukan studi cepat, Perempuan dan Pertambangan Mangan di Timor Barat yang dikoordinir oleh Yayasan Bife Kuan. Hasil studi cepat ini kemudian ditindaklanjuti dengan Workshop “Perempuan dan Pertambangan Mangan di Timor Barat” yang dilakukan pada tanggal, 23 November 2010 dengan Nara Sumber: Bupati Kupang, Bupati TTU Terpilih (Raymundus Fernandez), Herry Naif (WALHI NTT) dan Fili Tahu (Direktris Yabiku). Ada beberapa poin rekomendasi yang dihasilkan, terutama harus ada penghentian sementara pertambangan mangan sampai pada sebuah kejelasan.

Setelah Pelantikan Bupati TTU, 21 Desember 2010 Bupati TTU terlantik (Raymundus Sau Fernandez) mengeluarkan SK Bupati No.188.33 pada tanggal 31 Desember 2011 bahwa untuk melakukan evaluasi kegiatan pertambangan dalam wilayah Kabupaten TTU serta untuk mewujudkan pengelolaan pertambangan yang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan ketentuan perudang-perundangan: sejak tanggal 1 Januari 2011 untuk sementara segala pengurusan berkaitan dengan perijinan pertambangan batu mangan baik IUP eksplorasi, IUP Operasi pertambangan maupun ijin pertambangan rakyat. 12

Sebagai tindak lanjut dari surat Penghentian Tambang Mangan di Kabupaten TTU, dibentuklah Tim Verifikasi Mangan. Tim ini juga kemudian melakukan akvitasnya misalnya melakukan pemantauan lapangan, kajian administrasi. Dengan hasil itu, Yabiku13 menindaklanjuti program ini hingga pada penyusunan draft akademis menuju sebuah Rancangan Peraturan Daerah Pengelolaan Pertambangan di Kabupaten TTU.

Untuk mencapai tujuan itu, dilakukan Seminar dan lokakarya: Membangun Tata Kelola Minerba yang Pro Eco-Populis, yang diselenggarakan oleh Yabiku, Oxfam Australia dan Pemkab TTU. Kegiatan ini dilakukan di hotel Frawijawa pada tanggal 20 – 21 Juni 2011. Kegiatan ini dihadiri oleh para pihak seperti: instansi-instansi terkait dengan lingkungan dan pertambangan, masyarakat, LSM, Pers, Pengusaha, Mahasiswa, kelompok perempuan dan para pihak lainnya. Narasumber dalam kegiatan tersebut, Bupati TTU, Ketua Pansus Mangan, Ketua Komisi C, Ketua Tim Verifikasi Mangan, Perwakilan CSO dan Ketua LKBH Undana.
 
Materi-materi yang disampaikan nara sumber dan peserta difokuskan pada kompromi akan adanya pertambangan dengan memperhatikan keadilan ekonomi dan reklamasi dilakukan pada pasca tambang. Pemerintah Kabupaten perlu menetapkan Peraturan Daerah (Perda) sesui dengan ketetapan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu bara (minerba) serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan dan Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pengawasan Perijinan. Diyakini bahwa dengan hadirnya Perda tentang pengelolaan pertambangan mangan di Kabupaten TTU akan menyelesaikan berbagai konflik yang terungkap dalam forum-forum atau diskusi.

Analisis Dampak Pertambangan Mangan di Kabupaten TTU

Perubahan Bentangan Alam (landscape)
Luas wilayah kabupaten TTU adalah 2.669.70 km2 atau 5,6% dari Luas Provinsi NTT. Sedangkan, luas laut Kabupaten TTU adalah 950 km2. Dari luas wilayah daratan ini, diklasifikasi bahwa tanah yang rawan erosi seluas 142, 99 Ha (39,4%) sedangkan tanah yang relatif stabil seluas 161, 74 (60,6%).14
Penggalian dan pengambilan mangan di Kabupaten TTU yang dilegitimasi Pemerintah Kabupaten TTU dengan diterbitkannya 82 Surat Kuasa Pertambangan yang terdiri dari 64 Ijin KP eksplorasi dan 18 KPR dengan total areal tambang 92.532 hektar tidak termasuk areal tambang yang belum mendapatkan ijin. Kondisi ini diperparah dengan tanah rawan erosi di Kabupaten TTU, seluas 142,99 Ha (39,4%).
Permukaan tanah dikupas, digali, menjadi lubang-lubang, dan hilangnya keanekaragaman hayati, akibat perubahan bentangan alam dan kerusakan ekologi. “Selama ini, struktur perekonomian Kabupaten TTU didominasi sektor pertanian (74,7%) khususnya sub-sektor tanaman pangan yang menjadi tempat sebagian besar masyarakatnya mencari sumber penghasilan, sehingga keberadaan dan keberlangsungan sub sektor ini menjadi sangat strategis”.15
Perubahan bentangan alam yang tergambar jelas dalam ratusan lubang yang kedalamannya 2 – 8 meter. Selain itu berdampak juga pada menyempitnya lahan pertanian rakyat. Alasan cuaca ekstrem selama dua tahun 2009 – 2010 ini mestinya menjadi kajian pemerintah kabupaten dan memfasilitas rakyat menuju musim paceklik (keterdesakan ekonomi) seperti yang dialami sekarang. Bukannya memperparah kondisi ekologi dengan banyak tanah dibongkar (lubang). Praksisnya tidak gampang dipulihkan untuk dijadikan lahan pertanian seperti sebelumnya.
Kerusakan Tata Hidrologi Air
Ketersedian air sangat bergantung pada luas hutan dimana berfungsi sebagai water cathcman area (kawasan penangkapan air). Kabupaten TTU memiliki luas hutan seluas 126,235 ha (47,3%) dari luas wilayah daratan16. Itu berarti, Kabupaten TTU memiliki kawasan penyangga yang memenuhi syarat, tetapi apakah kondisinya memenuhi syarat sebagai hutan. Ataukah itu hanya data administratif yang tidak pernah dimoratorium kerusakannya?Logikanya, bila Kabupaten TTU memiliki wilayah hutan seluas itu dalam kondisi baik semestinya tidak ada permasalahan kekurangan air seperti yang dialami?
Kenyataan bahwa sebagian besar wilayah TTU ada daerah kekurangan air. Malah ada tempat yang ketiadaan air. Masyarakat dapat memenuhi kebutuhan air dengan mendatangkan air dari tempat yang jauh. Misalnya: warga kota kefa memenuhi kebutuhan air dengan berharap pada air yang didatangkan dari Sumber Mata Air di Mutis.
Belum ada itikad baik pemerintah kabupaten TTU dalam proses pemulihan ekologi.
Pertambangan mangan berdampak pada kerusakan hutan dan perubahan tata hidrologi air. Pertambangan mangan dilakukan di luar kawasan hutan pun akan sangat mengganggu ekologi dimana akan menimbulkan pencemaran udara dan air. Kondisi keterbatasan air ini pun akan semakin menambah permasalahan karena air juga harus didistribusi untuk persawahan rakyat dan berbagai kebutuhan lainnya. Mumpung, belum dilakukan proses pencucian dan pemurnian mangan dilakukan di wilayah kabupaten TTU.

Limbah Beracun/Tailing
Secara teoritis, mangan adalah kimia logam aktif, abu-abu merah muda yang di tunjukkan pada symbol Mn dan nomor atom 25. Ini adalah elemen pertama di Grup 7 dari tabel periodic. Mangan merupakan dua belas unsur paling berlimpah di kerak bumi (sekitar 0,1%) yang terjadi secara alamiah. Mangan merupakan logam keras dan sangat rapuh. Sulit untuk meleleh, tetapi mudah teroksidasi. Mangan bersifat reaktif ketika murni, dan sebagai bubuk itu akan terbakar dalam oksigen, bereaksi dengan air dan larut dalam asam encer. Menyerupai besi tapi lebih keras dan lebih rapuh.”17
Mangan bila diserap tubuh terlalu banyak akan merusak hati, membuat iritasi, karsinogen atau menyebabkan kanker. Kondisi ini dikwatirkan akan menimpah para penambang mangan di Kabupaten TTU yang tanpa dilengkapi dengan masker dan kaos tangan. Perlahan-lahan penambang mengalami keracunan.
Mengenai hal tersebut ada warga yang melakukan eksperimen dengan merendam mangan di air dan kemudian air tersebut diberikan kepada anjing. Hasilnya bahwa anjing tersebut mati.18
Dari eksperimen rakyat tersebut, disimpulkan bahwa mangan memiliki kadar racun yang cukup tinggi. Bisa dibayangkan bila itu kemudian dialami oleh penambang, yang tidak pernah mengetahui dampak fatal tersebut. Rakyat menambang tanpa mengerti apa dampak dari pertambangan mangan.

Pragmatis Ekonomi-Politik
Politik sesungguhnya memiliki arti yang sangat luhur, dimana tercipta banyak cara untuk mecapai kesejahteraan bersama (bonum commune). Apakah itu sungguh terjadi? Ataukah politik telah disalahpahami untuk kekuasaan dan meraup keuntungan untuk diri penguasa dan kelompoknya.
Dalam konteks perhelatan politik di kabuapten TTU, pertambangan menjadi sesuatu yang dipakai sebagai kampanye publik untuk meraup kemenangan demokrasi. Tetapi apakah kemenangan itu kemudian berdampak pada perbaikan pengelolaan sumber daya alam.
Pada masa kepemimpinan sebelumnya (2005 - 2010), pemerintah Kabupaten TTU menerbitkan 82 Surat Kuasa Pertambangan yang terdiri dari 64 Ijin KP eksplorasi dan 18 KPR dengan total areal tambang 92.532 hektar tidak termasuk areal tambang yang belum mendapatkan ijin. Argumentasi Pemerintah yang diwakili Dinas Pertambangan Kabupaten TTU bahwa ada jaminan tiap titik 50 juta. Bila didistribusikan pada titik tambang maka tidak ada artinya dibanding kerusakan yang ditimbulkan. Dana itu bila diperlukan untuk rabat jalan dusun pada sebuah desa juga tidak cukup.
Kepemimpinan TTU (2010 – 2015) tetap melihat pertanian dan peternakan sebagai lokomotif pembangunan Kabupaten TTU. Tetapi kenyataan bahwa dunia pertambangan pun tetapi mendapat perhatian serius dimana sedang didorong adanya Perda Pertambangan. Malah sementara juga dilakukan penyesuaian ijin pertambangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dan PP 22 dan PP 23 Tahun 2010. Dari 60 pemohon Kuasa Pertambangan sementara 48 IUP Eksplorasi dalam taraf proses penyesuaian sambil menunggu kajian AMDAL dari Bapedalda TTU.
Dari kenyataan ini terlihat bahwa sistem politik yang ada cendrung pro tambang. Semua proses yang sedang dilakukan hanyalah simbol kompromistis antara berbagai kepentingan pemodal dan para pihak berkepentingan. Bahwa harmonisasi para pihak ini apakah akan melahirkan sebuah konsep perbaikan ekologi atas berbagai kerusakan yang telah ditimbulkan akibat pertambangan.
Kearifan Lokal Tergusur
Masyarakat dawan menganalogikan bumi seperti seorang manusia. Batu dipandangnya sebagai tulang, tanah sebagai daging, hutan sebagai paru-paru dan air adalah darah yang terus mengalir. Keluhuran pandangan ini harus dipelihara anak cucu masyarakat dawan, yangmana bernuansakan perlindungan bumi dan isinya demi menjaga keseimbangan ekologi.
Akibat pergeseran zaman, sosial communal yang dihidupi masyarakat dawan gampang digeser kepentingan individualistik - kapitalistik. Hubungan sosial terbentuk karena kesamaan kepentingan atas pengelolaan sumber-sumber produksi setempat, kesamaan atas tanah dan kekayaan alam, serta kesamaan sejarah dan adat budaya. Direnggutnya penguasaan masyarakat atas tanah dan kekayaan alam menyebabkan fondasi modal sosial mereka lenyap dan berdampak pada: lenyapnya daya ingat sosial, hilangnya tatanan nilai sosial yang dulunya dimiliki komunitas. Misalnya, budaya nekaf mese ansaof mese akan ditinggalkan akibat perebutan mineral (mangan).

Keracunan Bumi dan Manusia
Mangan diserap tubuh terlalu banyak akan merusak hati, membuat iritasi, karsinogen atau menyebabkan kanker atau menurunnya daya tahan tubuh, karena merosotnya mutu kesehatan, mental warga, dan seringkali munculnya penyakit-penyakit baru, baik penyakit yang berupa metabolisme akut akibat pencemaran (udara, air, tanah dan bahan-bahan hayati yang dikonsumsi), penyakit menular (kelamin)dan penyakit lain yang dibawa oleh pekerja yang berasal dari luar daerah.
Di Kabupaten TTU, jumlah penderita rawat jalan pada Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan RSUD Kefamenanu selama 2006 sebanyak 17248 kali kunjungan (pasien) atau turun 11,8% dibanding tahun 2005 (19568). Jenis penyakit yang dominan masing-masing: Infeksi saluran pernapasan Akut (ISPA) 50,8 %, penyakit lainnya 29,6%, penyakit dengan tanda gejala tak jelas lainnya 6,3%, penyakit yang lainnya di bawah 5%. Sedangkan Penderita rawat inap selama tahun 2006 pada RSUD Kefamenanu sebanyak 2.267 kunjungan (pasien) atau turun 38,3 persen dari keadaan tahun sebelumnya. Penyakit dominan untuk kunjungan rawat inap: Diare 34,7% penyakit lainnya sebesar 24,6 %, pneumonia 11,5%, penyakit dengan tanda gejala dan keadaan tak jelas 5,69%, malaria 5,43%, penyakit lainnya dibawah 5% (lihat: Timor Tengah Utara dalam Angka 2006/2007, BPS TTU dan (TTU).
Pertambangan mangan yang dilakukan manual di Kabupaten TTU akan berakibat buruk terhadap kondisi kesehatan masyarakat Kabupaten TTU akibat tercemarnya lahan pertanian, sumber air dan peternakan. Sebelum adanya pertambangan mangan di Kabupaten TTU, penyakit dominan yang dialami adalah ISPA (Infeksi memperburuk kondisi kesehatan masyarakat kabupaten TTU. Dengan 82 SKP yang dilakukan hampir di seluruh wilayah kabupaten TTU. Pencemaran bumi dialami akibat pertambangan pada wilayah tertentu.
Kondisi ini diperparah karena Dinas Kesehatan Saluran Pernapasan Akut) dan diare akan mengalami peningkatan yang luar biasa, karena tercemarnya udara, air dan lahan pertanian. Sebelum pertambangan, data BPS (2006) menunjukkan dari 236.853 balita, 142. 535 dalam keadaan baik gizinya, 78.883 mengalami gizi sedang dan 15.435 mengalami gizi buruk.
Jumlah balita yang mengalami gizi buruk ini akan mengalami peningkatan karena ibu hamil dan anak juga ikut dalam pertambangan mangan. Apalagi, kedua penyakit ini memiliki korelasi dengan pencemaran udara dan air. Untuk itu, pencemaran udara dan air akibat pertambangan mangan akan sendiri tidak memiliki rekomendasi layak tidaknya pertambangan. Dinas Kesehatan bukan pemadam kebakaran tetapi mestinya sebelum pertambangan Dinas Kesehatan sudah memiliki Kajian tentang dampat Pertambangan bagi kesehatan masyarakat.

Pola Konsumeristik dan Kapitalistik
Kehilangan sumber produksi (tanah dan kekayaan alam) melumpuhkan kemampuan masyarakat setempat menghasilkan barang-barang dan kebutuhan pangan.
Pertambangan mangan akan mempersempit lahan pertanian dan peternakan yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat TTU. Misalnya, pengembangbiakan ternak sapi 70.229 (2005) meningkat menjadi 75. 475 (2006) (lihat: Timor Tengah Utara dalam Angka 2006/2007, BPS TTU dan BAPEDA TTU). Artinya, ternak sapi sangat cocok dikembangkan di Kabupaten TTU yang selama ini juga menjadi pendapatan alternatif rakyat dalam memenuhi hak-hak dasar seperti pendidikan, kesehatan dan perumahan.
Rusaknya tata konsumsi. Pertambangan mangan akan membawa perubahan pola konsumsi yang individualistik dan konsumeristik. Masyarakat akan sangat bergantung pada pada pasokan pangan dari luar. Selain itu pertambangan berdampak pada rusaknya tata distribusi. Kegiatan distribusi setempat semakin didominasi oleh arus masuknya barang dan jasa ke dalam komunitas. Biasanya awal sebuah pertambangan dibangun opini publik bahwa pertambangan akan membawa kesejahteraan dengan meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat setempat.
Kenyataan di berbagai tempat lain, janji investor dan Pemerintah Kabupaten TTU adalah peningkatan ekonomi rakyat akan berubah roman menjadi kuli di negeri sendiri, seperti yang terjadi pada Pertambangan Buyat Minahasa Raya dimana warga harus meniggalkan tempat kelahirannya karena tidak mampu menanggung derita dampak pertambangan.

Kesimpulan
Akselerasi pembangunan melalui pengelolaan sumber daya alam terutama melalui bidang pertambangan sebagai jawaban untuk peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), penyedian lapangan kerja, percepatan pertumbuhan ekonomi, percepatan pembangunan desa tertinggal atau pengurangan kemiskinan di kabupaten TTU perlu dicermati. Para pelaku pertambangan juga selalu memberikan ilusi-ilusi tentang kemakmuran dan kesejahteraan dari eksploitasi kekayaan alam yang dikeruk dari bumi Indonesia umumnya dan Kabupaten TTU pada khususnya adalah mantera yang digulirkan terus-menerus untuk menghegemoni rakyat bahwa kehadiran industri tambang mangan mutlak diperlukan.
Dari kenyataan yang ada, belum pernah ada bukti. Tambang Emas Freeport di Papua hanya bisa dibanggakan Indonesia sebagai Tambang Emas terbesar tetapi hasilnya adalah Propinsi Papua menjadi propinsi termiskin. Atau tambang Buyat Minahasa, masyarakat setempat harus melepastinggalkan tanah warisan leluhur karena tidak mampu menanggung derita akibat pertambangan.
Prinsipnya, pertambangan merusak sistem hidrologi tanah sekitarnya melalui penggalian. Masyarakat hanya akan menjadi penikmat warisan jutaan ton limbah tambang dan kerusakan lingkungan dan sosial lainnya. Apalagi dicermati bahwa lingkungan hidup di NTT diambang kegentingan akibat pemanasan global, global warming dan perubahan iklim, climate change yang terus terjadi.
Apabila kondisi ini tidak disikapi secara objektif oleh pemerintah maupun masyarakat TTU, tidak heran wilayah ini akan mengalami kondisi yang mengenaskan. Pertama, bumi Biinmaffo berada di antara tiga lempeng yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng pasifik Pan lempeng Eurosia. Karena letak ini, maka tak heran wilayah ini sering terjadi bencana. Kedua, bumi Biinmaffo berada di Pulau Timor yang merupakan gugus pulau kecil karena itu sangat rentan dengan kehilangan pulau. Ketiga, bumi Binmaffo tidak hanya bisa dibangun dengan pertambangan. Kabupaten TTU bisa membangun dengan potensi alam dalam bidang pertanian dan kelautan yang terkandung di dalamnya. Keempat, bumi Biinmaffo harus dikembalikan keasriannya dengan menolak seluruh pertambangan yang sedang diproses, karena pertambangan akan menghancurkan ekosistem yang ada di Kabupaten TTU.
1Karya ini adalah hasil “Survey Lapangan” yang didukung ecosochright
2Penulis adalah aktivis lingkungan yang sementara menjadi Manajer Program WALHI NTT
3Lih. Pos Kupang, 1 Februari 2011, hal. 1 & 11
4Dok. WALHI NTT, 2009-2011
5Atoin pah meto julukan bagi orang dawan: artinya orang yang tinggal di daerah kering. Timor adalah wilayah yang dikenal gersang maka pertanian yang dikembangkan adalah pertanian lahan kering terkecuali bagi beberapa daerah yang memiliki areal persawahan.
6Tobe adalah salah struktur adat yang mengatur proses pengelolaan lahan dan dia adalah penguasa wilayah, kendatipun wilayah itu dimiliki secara kolektif oleh suku-suku yang ada di wilayah itu. Tobe adalah pemimpin upacara di saat pembukaan kebun bagi tob ana (rakyat) ingin melakukan upacara.
7Obama (Ojek Bawa Mangan), sebuah kelompok yang muncul di daerah Supul Kabupaten TTS. Kelompok ini muncul sebagai bentuk protes warga terhadap hadirnya PT. SMR yang membeli mangan di bawah harga di tempat lain, misalnya kefamenanu – TTU. Karena itu kelompok ini mendistribusikan mangan ke TTU menggunakan motor ojek.
8Data ini dikumpulkan dari hasil liputan Pos Kupang, 2009 – 2011 dan beberapa data lapangan lainnya.
9Dikutip dari Laporan Hasil Kerja Pansus Pertambangan Mangan DPRD Kabupaten TTU, Kefamenanu, 04 September 2010
10Dok. Laporan Hasil Kerja Pansus Pertambangan Mangan DPRD Kabupaten TTU
11Dok. Laporan Hasil Kerja Pansus Pertambangan Mangan DPRD Kabupaten TTU
12Dok. Copian SK Bupati
13Yabiku (Yayasan Bife Kuan) salah satu lembaga non profit yang selama ini bekerja untuk kelompok terpinggir terutama dalam isu hak-hak perempuan dan pangan
14 Timor Tengah Utara dalam Angka 2006/2007, BPS TTU dan BAPEDA TTU).
15Ibid.,
16Ibid.,
17 http://id.wikipedia.org/wiki/Mangan
18Hasil temuan Yabiku (Yayasan Bife Kuan), Kefamenanu