Senin, 24 Juni 2013

Koalisi Bebas Berserikat NTT Tolak RUU ORMAS


PERNYATAAN SIKAP
UU ORMAS HARUS DI CABUT BUKAN DI REVISI

Menanggapi rencana Panitia Kerja (Panja) RUU ORMAS akan melakukan konsultasi publik RUU Ormas di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tanggal 3-4 Juni 2013, maka dengan ini kami yang tergabung dalam Koalisi Kebebasan Berserikat Nusa Tenggara Timur akan menyampaikan saran dan sikap sebagai wujud partisipasi masyarakat.

Konsultasi publik yang dilakukan oleh Panja RUU ORMAS ini terkesan menghambur-hamburkan uang rakyat karena sikap tegas warga NTT yang diundang untuk terlibat dalam konsultasi publik pada Juni 2012 di Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW)  adalah menolak RUU ORMAS dan segera mencabut UU No.8/1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

Sangat disayangkan RUU Ormas yang teramat penting ini dalam konsultasi publik kali ini dilakukan sangat tertutup dengan tidak melibatkan LSM terkait, Organisasi Kemahasiswaan dan Organisasi kemasyarakatan untuk terlibat dalam konsultasi publik di NTT.

Perlu dipahami bahwa kerangka hukum yang ada untuk organisasi yang bergerak di bidang sosial di Indonesia terbagi menjadi dua jenis. Pertama, untuk organisasi tanpa anggota (non-membership organisation), hukum Indonesia menyediakan jenis badan hukum Yayasan yang diatur melalui UU Yayasan. Kedua, untuk organisasi yang berdasarkan keanggotaan (membership-based organisation), hukum Indonesia menyediakan jenis badan hukum Perkumpulan yang masih diatur dalam peraturan kuno Stb.1870-64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtpersoonlijkheid van Verenegingen).

Bentuk Ormas tidak dikenal dalam kerangka hukum yang benar, ini merupakan kreasi rezim Orde Baru yang bertujuan mengontrol dinamika organisasi masyarakat di Indonesia. UU No. 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) lahir dengan semangat ‘mengerdilkan’ dinamika organisasi masyarakat. Bentuk Ormas sendiri adalah bentuk yang sebetulnya tidak memiliki tempat dalam kerangka hukum di Indonesia, namun dipaksakan karena kebutuhan rezim Orde Baru untuk menerapkan konsep “wadah tunggal” nya. Konsep wadah tunggal bertujuan untuk mempermudah upaya kontrol pemerintah. Selain itu, UU Ormas juga memuat ancaman pembekuan dan pembubaran yang  represif tanpa mensyaratkan proses pengadilan yang adil dan berimbang. Tindakan pemerintah semacam ini merupakan warisan dari pemerintahan kolonial.

UU Ormas ini jelas merupakan UU yang salah kaprah, dan salah arah. Untuk itu UU ini seharusnya dicabut, bukan direvisi. Untuk mengatur organisasi yang merupakan sekumpulan orang, DPR dan Pemerintah seharusnya kembali pada kerangka hukum yang benar yaitu UU Perkumpulan. 

RUU Perkumpulan sendiri sudah masuk dalam Prolegnas 2010-2014. Namun RUU Perkumpulan yang telah masuk dalam Prioritas Legislasi tahun 2011 dan secara hukum lebih punya dasar, malah tergeser dengan RUU Ormas yang salah arah,.

Ironisnya, para pengambil kebijakan sampai dengan saat ini tidak berniat untuk mencabut UU Ormas yang salah kaprah ini. Bahkan, sejak tahun 2006 Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri malah terus berupaya menghidupkan UU yang salah kaprah dan tidak efektif ini. Hal ini tentu tidaklah mengherankan, karena Kemendagri sangat berkepentingan untuk mempertahankan kewenangannya terkait kegiatan masyarakat untuk berserikat berkumpul di Indonesia. Pada masa Orde Baru, Ditjen Sospol (kini Ditjen Kesatuan Bangsa dan politik - Kesbangpol), merupakan salah satu ujung tombak rezim Orde Baru dalam mengawasi dinamika dan kebebasan berorganisasi bagi masyarakat. Bila UU Ormas ini dicabut dan dikembalikan kepada kerangka hukum yang benar (diatur UU Perkumpulan di bawah kewenangan Departemen Hukum dan HAM), maka kewenangan Ditjen Kesbangpol terkait organisasi masyarakat akan hilang.

Upaya represif semakin tampak jadi benar ketika Pemerintah seperti tak berdaya menghadapi berbagai kasus kekerasan yang dikaitkan dengan beberapa Ormas. Pasca rentetan tindak kekerasan beberapa waktu lalu, Presiden SBY bahkan sampai memerintahkan pada aparat penegak hukum agar mencarikan jalan yang sah atau legal untuk membubarkan Ormas perusuh.

Tidak tegasnya aparat penegak hukum, dalam hal ini Kepolisian, tidak ada kaitannya dengan UU Ormas maupun upaya untuk merevisinya. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kita sudah lebih dari cukup untuk menjerat pelaku, yang turut serta, yang memerintahkan suatu tindak kejahatan, ataupun yang menyatakan permusuhan ataupun kebencian terhadap suatu golongan secara terbuka di muka umum. Seringkali tindak kejahatan itu bahkan tampil gamblang ditayangkan di layar kaca, sehingga seharusnya tidak lagi ada alasan bagi Kepolisian untuk tidak menindak tegas para pelaku.

Buruknya pola pikir dari pengambil kebijakan sebagaimana yang telah digambarkan diatas tergambar dengan jelas dalam Naskah akademik RUU ORMAS. Agumentasi utama dari pengambil kebijakan untuk menghadirkan RUU ORMAS bertolak dari latar belakang bahwa “Pesatnya perkembangan organisasi masyarakat paska reformasi, tidak diiringi dengan penyesuaian peraturan. Ditambahkan Bahwa Undang- Undang 5/1985 tentang Organisasi Kemayarakatan sudah tua dan perlu “disempurnakan”. Ditambahkan, bahwa telah terjadi berbagai “aktivitas organisasi masyarakat yang oleh sebagian kalangan dinilai mengganggu stabilitas sosial masyarakat. Fakta-fakta munculnya berbagai  anarkisme, seperti di Cikeusik, Pandeglang, Banten terkait konflik jemaat  Ahmadiyah dan anarkisme di Temanggung Jawa Tengah, memicu desakan untuk melakukan pembubaran organisasi masyarakat yang dianggap terlibat dalam peristiwa tersebut.”

Dengan naskah akademik yang seperti ini, maka harus tegas dikatakan bahwa perancang naskah akademik ini telah gagal mendiagnosa masalah-masalah social yang ditimbulkan oleh ormas2 bermasalah. Di samping itu, RUU Ormas secara epistimik tidak diperlukan karena ormas adalah kebutuhan organik manusia yang juga di jamin oleh UUD 1945. Buruknya naskah akademik ini, juga  menunjukan bahwa Parlemen Indonesia saat ini kehilangan semangat reformasi karena secara telak gagal mengawal proses lahirnya legislasi-legislasi yang pro reformasi, sebaliknya mengkianati semangat reformasi, sebagaimana terlihat dari draft RUU versi Badan Legislasi yang saat ini di bahas di DPR.

Berdasarkan paradigm diatas, maka kami dari Koalisi kebebasan berserikat Nusa tenggara Timur menyatakan menolak RUU ORMAS dan mendesak pemerintah dan DPR untuk:
1.Mencabut UU No. 8 Tahun 1985, tentang Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS) dan mengembalikan pengaturan mengenai organisasi masyarakat pada kerangka hukum yang benar dan relevan yaitu berdasarkan keanggotaan (Membership-Based Organization) yang diatur dalam UU Perkumpulan dan yang tidak berdasarkan keanggotaan (Membership-Based Organization) diatur dengan UU Yayasan.
2.Menghentikan pembahasan dan pengesahan RUU ORMAS, serta mendorong pembahasan RUU Perkumpulan yang sudah masuk dalam program legislasi nasinal (Prolegnas) 2010-2014.


Kupang, 2 Juni 2013
Koalisi Kebebasan Berserikat Nusa Tenggara Timur

Kontak Person:
Elcid Li/IRGSC - (HP: 081219650415)
Merry Kolimon/JPIT - (HP:  081339469002)
Winston Rondo/CIS Timor - (HP: 0811383960)
Paul SinlaEloE/PIAR NTT - (HP: 085239052689)

 KOALISI KEBEBASAN BERSERIKAT NUSA TENGGARA TIMUR
PIAR NTT, IRGSC, CIS Timor, Forum Academia NTT, LBH APIK NTT, RUMAH PEREMPUAN, BP.Pemuda GMIT Sinode, WALHI NTT, Yayasan Cemara, Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT), INCREASE, Forum Peduli Aspirasi Rakyat (FPAR), Forum Karya Ampera, Himpunan Kelompok Serabutan Oebobo (HKSO), Komunitas Pasar Kuanino (KPK), GMKI Cab. Kupang, Forum Kebijakan NTT, KoAR NTT, Serikat Persaudaraan Guru (SPG) Kota Kupang, Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) NTT, Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI), Kampanye We Can NTT, Komunitas Pace Maker Kupang (KOMPAK)
Sekretariat: Jln. Lalamentik, RT.32/RW.10, Kel. Fatululi, Kec. Oebobo, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, Tlp/Fax: 0380-827917



 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar