Rabu, 02 November 2011

cerpen


Mozaik yang tercecer...

Herry Naif

Kisah cinta bagi manusia adalah penting. Manusia hidup tanpa cinta bagai hidup tak bernilai. Liku-liku cinta bagai sulaman yang tak terencana mau jadi apa. Cinta sering membius hidup manusia. Dalam cinta jati diri manusia menjadi perlahan ditemui. Karena manusia hidup dan lahir karena persemain cinta. Tak dipungkiri hidup ini dibangun dalam kisah cinta. Tidak salah bila manusia kemudian mengalami kisah cinta. 

Mengenal cinta pertama tentunya dihiasi dengan banyak ketidaktahuan apa yang harus dibuat dan apa yang harus dilakukan insan manusia. Manusia bagai kertas putih yang belum ternota sebuah pesan yang harus dimengerti oleh siapa pun. Hal yang sama pun menimpa diriku. Dalam keluguan saya mencoba mengenal cinta. 

Jujur sejak mengenal cita-cita hidup, ketika ditanya pasti jawabannya adalah menjadi imam. Bagiku pilihan ini adalah pilihan yang mulia, sebuah pilihan lugu tanpa dirasionalisasi dan tanpa argumentasi mendasar. Hanya berpikir sebuah citra imam dihargai banyak pihak. 

Angan-angan ini terus bersemai dalam seluruh perjalanan hidupku.
Ketika menunaikan pendidikan sekolah dasar, saya harus melanjutkan pendidikan di sebuah sekolah faforit di kotaku. Awalnya, pilihan orang tua adalah ke sebuah sekolah yang memiliki aturan diri demi sebuah penempaahan diri menuju kematangan. 

Suatu hari saya dibawa menuju sebuah sekolah favorit di kabupaten Belu. Di sana saya bersama kedua orang tua ku dan bersama teman guru bapaku harus beristirahat di sebuah bangunan tua yang disiapkan bagi orang tua siswa. Teman guru papaku pergi untuk menjenguk adiknya sedangkan kami pergi mencari informasi sekolah tentang sekolah itu. Lumayan sekolah itu indah, rindang dan cukup dikenal di Pulau Timor sebagai lembaga pendidikan yang punya nama dan berkualitas.Banyak orang berlomba-lomba masuk sekola itu.

Hari itu saya melihat sebuah kehidupan asarama yang penuh disiplin, dimana semua diatur oleh waktu. Hanya sayangnya makannya cukup menyengsarakan. Sebagai anak mami, saya melihat ini dalam diam ku bicara, ko hidup berasarama susah juga. Tetapi semua itu ku simpan dalam hati. 

Ketika usai menamatkan pendidikanku saya kemudian memilih lain. Dalam kompromiku dengan bapa mama bahwa lebih baik saya lanjutkan pendidikan di kota kefa biar dekat dengan orang tua. Permintaan ini kemudian direspon positif orang tua. Maklum anak pertama. Mereka juga tak sanggup untuk meninggalkan mereka begitu jauh. 

Kemudian masuklah saya pada sebuah sekolah kenamaan di kota kefa. Di sana saya harus bertemu dengan teman-temanku yang sudah fasi berbahasa indonesia. Maklum anak kampung. Hanya sebuah kebahagian ternota karena ternyata yang sekolah disini bukan hanya saya. Ada banyak anak teman guru dari bapa yang sekolah disana. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar