Mozaik yang
tercecer...
Herry Naif
Kisah cinta bagi manusia
adalah penting. Manusia hidup tanpa cinta bagai hidup tak bernilai.
Liku-liku cinta bagai sulaman yang tak terencana mau jadi apa. Cinta
sering membius hidup manusia. Dalam cinta jati diri manusia menjadi
perlahan ditemui. Karena manusia hidup dan lahir karena persemain
cinta. Tak dipungkiri hidup ini dibangun dalam kisah cinta. Tidak
salah bila manusia kemudian mengalami kisah cinta.
Mengenal cinta pertama
tentunya dihiasi dengan banyak ketidaktahuan apa yang harus dibuat
dan apa yang harus dilakukan insan manusia. Manusia bagai kertas
putih yang belum ternota sebuah pesan yang harus dimengerti oleh
siapa pun. Hal yang sama pun menimpa diriku. Dalam keluguan saya
mencoba mengenal cinta.
Jujur sejak mengenal
cita-cita hidup, ketika ditanya pasti jawabannya adalah menjadi imam.
Bagiku pilihan ini adalah pilihan yang mulia, sebuah pilihan lugu
tanpa dirasionalisasi dan tanpa argumentasi mendasar. Hanya berpikir
sebuah citra imam dihargai banyak pihak.
Angan-angan ini terus
bersemai dalam seluruh perjalanan hidupku.
Ketika menunaikan
pendidikan sekolah dasar, saya harus melanjutkan pendidikan di sebuah
sekolah faforit di kotaku. Awalnya, pilihan orang tua adalah ke
sebuah sekolah yang memiliki aturan diri demi sebuah penempaahan diri
menuju kematangan.
Suatu hari saya dibawa
menuju sebuah sekolah favorit di kabupaten Belu. Di sana saya bersama
kedua orang tua ku dan bersama teman guru bapaku harus beristirahat
di sebuah bangunan tua yang disiapkan bagi orang tua siswa. Teman
guru papaku pergi untuk menjenguk adiknya sedangkan kami pergi
mencari informasi sekolah tentang sekolah itu. Lumayan sekolah itu
indah, rindang dan cukup dikenal di Pulau Timor sebagai lembaga
pendidikan yang punya nama dan berkualitas.Banyak orang
berlomba-lomba masuk sekola itu.
Hari itu saya melihat
sebuah kehidupan asarama yang penuh disiplin, dimana semua diatur
oleh waktu. Hanya sayangnya makannya cukup menyengsarakan. Sebagai
anak mami, saya melihat ini dalam diam ku bicara, ko hidup berasarama
susah juga. Tetapi semua itu ku simpan dalam hati.
Ketika usai menamatkan
pendidikanku saya kemudian memilih lain. Dalam kompromiku dengan bapa
mama bahwa lebih baik saya lanjutkan pendidikan di kota kefa biar
dekat dengan orang tua. Permintaan ini kemudian direspon positif
orang tua. Maklum anak pertama. Mereka juga tak sanggup untuk
meninggalkan mereka begitu jauh.
Kemudian masuklah saya
pada sebuah sekolah kenamaan di kota kefa. Di sana saya harus bertemu
dengan teman-temanku yang sudah fasi berbahasa indonesia. Maklum anak
kampung. Hanya sebuah kebahagian ternota karena ternyata yang sekolah
disini bukan hanya saya. Ada banyak anak teman guru dari bapa yang
sekolah disana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar