Rabu, 02 November 2011

Bencana Ekologi, Kemiskinan Vs Ketahanan Pangan

(Refleksi sosial atas Pengelolaan Sumberdaya Alam di Bumi Flobamora, tahun 2010)

Herry Naif *

Penolakan Penyulapan Gaharu di Sikka
Indonesia terus digebuki dengan begitu banyak bencana, baik bencana alam maupun bencana non alam, akibat tingkah laku manusia. Bencana menjadi topik yang ramai dibicarakan media publik ataupun pembicaran rakyat dalam lingkup mereka. Indonesia dijuluki sebagai super market bencana. Keberadaan wilayah Indonesia di antara pertemuan tiga lempeng tektonik (Eurosia, Pasifik dan Australia) menyebabkan kerentanan terhadap berbagai jenis bencana. Herannya, kesadaran itu baru muncul empat tahun terakhir setelah terjadi bencana alam katastropik secara berturut-turut mulai dari bencana Alor hingga bencana Aceh yang dikenal maha dasyat sepanjang sejarah karena menelan enam ratus ribuan korban nyawa dan kerugian materi hingga triliunan rupiah.

Untuk mengguggah dan mempertegas kesadaran itu, tentunya perlu dilitanikan beberapa pertayaan mendasar. Sejauh mana tindakan proteksi manusia dalam menghadapi bencana ekologi yang masif terjadi? Apakah pembangunan yang gencar dilakukan telah mengurangi jumlah penduduk miskin? Bukankah Penggerukkan sumberdaya alam telah menghantar rakyat pada ketidakadilan? Ataukah bencana ekologi dan kemiskinan terus memporakporankan upaya ketahanan pangan? 
 
Komitmen akan penanggulangan bencana perlu digugat karena korban yang berjatuhan saat bencana tidak mengalami perubahan yang signifikan. Misalnya; Gempa berkekuatan 7,2 skala richter yang diikuti tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, telah menewaskan 112 orang, 502 lainnya dinyatakan hilang dan 4.000 keluarga mengungsi. Bencana banjir bandang Wasior, Kabupaten Teluk Wondowa, Papua Barat menelan korban 134 orang. Erupsi Merapi hingga hari ini telah menelan 277 orang, berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman. Sedangkan Propinsi NTT dilanda Bencana Banjir di dusun C dan D desa Skinu, Kecamatan Toianas, Kabupaten TTS ada 361 KK dan dari 611 KK yang menjadi korban banjir. Rinciannya terdiri 123 KK, dusun C 38 rumah di dusun D hilang tanpa bekas. Selain itu, ada beberapa peristiwa yang boleh diklasifikasi sebagai bencana, seperti tenggelamnya kapal Karya Pinang di perairan Sadak-Watu Manuk dalam perjalanan dari Pulau Palue menuju Maumere. Dalam tragedi itu, 23 orang harus menjadi bayaran dari puting beliung dan ketidakjelasan manajemen angkutan antar pulau di NTT. 
 
Itu berarti, kerusakan alam hampir tidak dapat dibendung. Hutan yang memiliki fungsi penting dalam menyiapkan carbon, pelindung sumber mata air serta penyeimbang flora dan fauna tidak digubris. Semangat eksploitatif dan tindakan-tindakan ekstraktif telah meracuni manusia dalam rangka mewujudkongkretkan pembangunan yang mengayomi masyarakat menuju kesejahteraan yang absurd. Lantas, apa dengan gampang disimpulkan bahwa “lingkungan rusak karena kemiskinan atau kemiskinan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup?” Tidak serta merta alasan kemiskinan mendorong orang untuk melakukan tindakan penggerukan alam tanpa pertimbangan arif dan bijaksana akan nilai keseimbangan (judgement value). Realitas kemiskinan seolah memaksa para pengambil kebijakan agar berkompromi dengan pemodal untuk melakukan pengelolalaan sumberdaya alam.

Dewes Decker yang membuat lukisan tentang Indonesia dalam buku Tanah Air, ia menyimpulkan bahwa Indonesia adalah zamrud katholistiwa. Untuk itu, Indonesia memiliki potensi alam yang luar biasa didukung dengan keanekaragaman hayati yang tidak dimiliki bangsa lain. Seiring dengan kekayaan itu, kemiskinan itu terus menggurita.

Pemerintah Indonesia mestinya belajar dari negrinya Fidel Castro (Kuba) yang mana telah menemukan jurus jitu yang mirip dengan konsep “berdikari” yang pernah menjadi slogan Indonesia. Bahwa “produksilah apa yang kita miliki dan kita butuhkan dengan cara dan arah yang kita inginkan”. Bukan memproduksi sesuatu yang tidak dibutuhkan rakyat Indonesia. 
 
Bila tidak Indonesia akan terus dijebak penggerukan Sumberdaya alam terbarukan dan tak terbarukan yang dapat berdampak pada bencana yang masif terjadi. Misalnya, perubahan iklim. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kadar karbondioksida dan gas-gas polutif lainnya di dalam atmosfer. Gas-gas itu dihasilkan akibat pembakaran batubara, minyak bumi dan menjebak panas yang dipancarkan matahari di seputar permukaan bumi. Sekali emisi gas itu memasuki atmosfer akibat emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan dari pembakaran energi fosil akan menetap di sana beberapa tahun. 
 
Perubahan iklim membuat masyarakat petani tidak tepat memprediksikan cuaca akibat ketidakseimbangan curah hujan malah dapat menimbulkan abrasi pantai, longosoran, banjir dan lainnya.

Itu berarti, pegurusan sumberdaya alam seyogyanya mengedepankan kepentingan ekologi, sosial dan budaya selain kepentingan ekonomi. Bila tidak, kelompok tertentu saja yang menguasai keuntungan pengelolaan sumberdaya alam. Hak Pengelolaan Hutan (HPH), Kontrak Karya Pertambangan, Hak Pengelolaan Pesisir dan Perikanan (HP3), dan sebagainya adalah mekanisme formal negara untuk mengekploitasi sumberdaya alam mulai dari pegunungan, hutan, perkebunan, pemukiman, pesisir, dan laut atas nama negara untuk kepentingan investasi.

Herannya, seluruh proses gadaian ini sangat lamban menghantar rakyat menuju kesejahteraan. Sektor pertanian, peternakan dan pariwisata yang bersentuhan dengan mayoritas profesi rakyat diabaikan. Ini bukti kegagalan pemerintah. Praktek pertaniaan dan ternak yang hampir terjadi di semua wilayah NTT dilakukan bukan karena hasil pembekalan atau pelatihan melainkan warisan leluhur dengan sistem “perladangan gilir balik”. Sistem ini dilakukan setelah mereka mempelajari perilaku lingkungan selama puluhan tahun. Sebuah lahan dikelola kemudian dilepas untuk mengembalikan kesuburannya dengan dihijauhkan untuk jangka waktu tertentu lalu kembali dikelola sebagai kebun. Dalam konteks sekarang, konsep perladangan gilir balik tidak kontekstual karena pertambahan penduduk yang berpengaruh terhadap jarak waktu dan luas lahan garapan yang digunakan petani. Hal serupa telah diingatkan Thomas Robert Maltus akan keterbatasan pangan yang dialami, dalam tulisan essay on population bahwa “pertambahan penduduk berpola deret ukur, sedangkan pertumbuhan pangan berpola deret hitung”. Bakal pada suatu momentum jumlah penduduk lebih besar dari pasokan pangan dan kelaparan menjadi sebuah keniscayaan. 
 
Permasalahan inilah yang mesti dijawab dalam pengembangan pertanian di wilayah NTT. Bukannya para petani divonis salah tanpa sebuah solusi. Sejauhmana tawaran alternatif pertanian dari para penyuluh pertaniaan yang dibiayai rakyat melalui dinas pertanian? Ataukah mereka hanya difasilitasi sekedar menambah pekerja demi mengurangi pengangguran? Lebih parah lagi, alokasi budget bagi sektor-sektor ini di bawah sektor-sektor lain. Ataukah sekedar melakukan seremoni food summit yang hingga hari ini tidak ada hasilnya. Julukan propinsi jagung yang dituai adalah gagal panen. Tanpa didasari evaluasi program dan kajian, Badan Ketahanan Pangan Provinsi NTT harus meminta beras 3900 ton kepada pemerintah pusat untuk mengatasi krisis pangan di NTT. 
 
Menghindari perdebatan panjang, pemerintah provinsi NTT atas nama negara lalu ‘menjual’ hak kelola kepada pemilik modal baik pemodal dalam negeri maupun pemodal asing, melalui investasi pertambangan dan berbagai kegiatan eksploitasi lainnya. Sehingga dimana-mana ada pertambangan. Pertambangan seakan menjadi leading sektor daripada sektor pertanian, peternakan, pariwisata yang puluhan tahun menghidupi NTT. Rendanya Pendapatan beberapa sektor ini kemudian mengamini investasi pertambangan akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemkab TTU mengeluarkan 86 Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Mangan yang akan melahap habis lahan pertanian rakyat. Pemkab Manggarai telah mengeluarkan 28 SK Pertambangan yang kemudian bisa menggusur tanaman kopi unggulan. 8 SK Pertambangan di Kabupaten Manggarai Barat akan berdampak pada rusaknya panorama keindahan Labuanbajo dan gugus pulaunya. Padahal, di kabupaten ini spesies komodo sedang dipromosikan menjadi the seven wonders di dunia. Dunia pariwisata ini telah terbukti dengan 2500 wisatawan asing menghadiri Natal di Labuanbajo untuk sekaligus menikmati pariwisata (Pos Kupang, 28 Desember 2009). Gubernur NTT mengeluarkan SK No. 14 Tahun 2008 tentang Penyelidikan Umum yang melintasi 4 Kabupaten di Pulau Sumba dan melakukan MoU, Memorandum of Understanding dengan beberapa investor untuk melakukan pertambangan di beberapa Kabupaten di Pulau Timor. 
 
Ironisnya, dalam menyikapi bencana banjir di desa Skinu, Kabupaten TTS Gubernur NTT menghimbau agar masyarakat di sekitar kawasan hutan menjaga kelestarian lingkungan. Atau dalam kasus meledaknya Kilang Montara pada 21 agustus 2009. Akibatnya, minyak mentah di kilang itu tumpah dan mencemari perairan di sekitar Kabupaten Rote Ndao, bahkan hingga laut Sawu terutama sekitar Kabupatan Sabu Raijua dan pantai selatan Pulau Timor. Akibatnya petani rumput laut di Rote dan Sabu merugi. Menyikapi itu, Lens Haning (Bupati Rote-Ndao) berkali-kali menyampaikan keluhan berkaitan dengan pencemaran tersebut, antara hasil tangkapan nelayan berkurang dan rumput laut yang dikembangkan warga di pesisir Pulau Rote mati karena tercemar gumpalan-gumpalan minyak mentah. Bahwa tumpahan minyak itu mencemari sekitar 16.420 km persegi wilayah Laut Timor yang tercakup dalam zona ekonomi eksklusif Indonesia. Kerusakan ekosistem laut dan kematian berbagai jenis biota laut telah menyebabkan anjloknya pendapatan nelayan dan petani rumput laut. Sebelum terjadinya pencemaran petani rumput laut di Rote Ndao dapat memproduksi 7.334 ton rumput laut kering per tahun. Setelah pencemaran terjadi produksi turun hingga 1.512 ton. Bahkan, hingga Juni 2010 produksi rumput laut kering di Rote baru mencapai 341,4 ton. (Pos Kupang, Agustus 2010). Menyikapi laporan Lens, Gubernur berjuang untuk ganti rugi atas kerusakan biota laut akibat pencemaran tersebut. Apabila perjuangan ini sungguh dilandasi oleh gugatan akan gagasan pemulihan ekologi, semestinya sebagai pihak yang memiliki otoritas perlu mencabut seluruh Surat Kuasa Pertambangan yang tidak jauh berbeda dengan Perusahaan Montara. Ataukah ini hanya berintensi mendapatkan biaya kerugian yang begitu besar?

Itu berarti, tanpa disadari skema neo-liberalisme telah merasuki para pemimpin sehingga mengatur peruntukan pengelolaan sumberdaya alam untuk kepentingan mereka. Atas nama liberalisasi ekonomi, sektor swasta lalu menyetir dan mengontrol kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam. Lewat lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, IMF, dan turunannya mengatur skenario pengelolaan sumberdaya alam melalui mekanisme-mekanisme yang menegasikan posisi rakyat sebagai pemilik sumberdaya alam.

Dalam konteks Indonesia dan NTT pada khususnya juga didukung oleh buruknya sistem negara. Korupsi di dunia birokrat NTT merajalela, management pemerintahan yang masih terpusat, kurangnya strategi nasional untuk pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan, kurangnya kesadaran politik dan kesadaran publik, institusi-institusi yang sukar beradaptasi satu sama lain. Pemeritah gagal mengikutsertakan para pihak dalam pengambilan dan implementasi keputusan, serta mandeknya penegakan hukum yang merupakan keluhan-keluhan masyarakat dalam menghadapi berbagai ketidakadilan hukum, ekonomi dan ketidakadilan ekologi. Hal-hal inilah yang menyebabkan degradasi lingkungan semakin tidak terkendali.
Sumberdaya alam dieksploitasi secara serampangan untuk kepentingan pembayaran utang luar negeri serta mempertebal kantong-kantong kroni elit-elit kapitalis. Semua kebijakan yang berkaitan dengan sumberdaya alam didesign menjadi sektoral dan teralienasi untuk memuluskan jalan mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Pra-syarat pengelolaan sumberdaya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan adalah adanya kebutuhan untuk melakukan pendekatan bio-region untuk keberlanjutan dan keselamatan manusia. Undang-undang Pengelolaan Sumberdaya Alam telah disetujui dan diimplementasikan untuk mengakhiri pengelolaan sektoral dan administratif. Ini juga perlu diikuti oleh perubahan lembaga-lembaga pemerintahan sehingga pengelolaan sumberdaya alam menjadi lebih holistik.
Peran negara yang harus dijalankan; diantaranya: melindungi, menghormati, memenuhi, serta memajukan pemenuhan hak-hak dasar rakyat. Kebutuhan mendasar rakyat adalah pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan perumahan yang layak perlu dikedepankan dengan tetap mengakui kearifan lokal masyarakat yang selama ini eksis di berbagai tempat di Indonesia dan NTT pada khususnya.
Pengelolaan sumberdaya alam (PSDA) pemerintah hendaknya juga memperhatikan beberapa pilar, seperti: Pertama; Pertimbangan ekologi hendaknya menjadi poros kebijakan lingkungan yang bercita-cita mengurangi dampak buruk aktivitas manusia. Bukan sekedar menyelamatkan kehidupan manusia melainkan mengubah pola pikir antroposentrik yang mana mendudukan manusia sebagai pusat segalanya dan segala potensi pun dipersembahkan baginya. Kedua; Keadilan sosial (social equality dan econimic justice) hendaknya dicerminkan sebagai penolakan terhadap berbagai diskriminasi yang dilahirkan misalnya: perjuangan kelas, gender, etnisitas. Ketidakadilan sosial menjadi sumber perusakan lingkungan hidup oleh negara dan corporat harus dihindari. Ketiga; Kerakyatan. Artinya pengelolaan sumberdaya alam hendaknya memposisikan rakyat sebagai subjek penikmat. Rakyat tidak dipinggirkan dari proses-proses kebijakan terutama yang berkorelasi dengan akses dan kontrol. Keempat; Pengelolaan Sumberdaya alam hendaknya mengaktifkan dan menyeimbangkan Feeling, Acting, dan Thinking. Setiap individu bisa merasakan nilai keagungan inisiasinya (feeling). Secara konseptual ini didorong untuk melahirkan visi bersama dengan memahami apa yang menjadi penting (definisi) serta menemukan dan mengapresiasi apa yang telah ada dan tentunya itu terbaik (discovery), menemukan apa yang semestinya ada (dream), menstrukturkan apa yang ada (design) dan merawatnya hingga menjadi ada (destiny) sehingga hasilnya akan melampaui dari apa yang dinginkan dan sangat sinergi dengan konteks realitas yang ada dalam kehidupan.
Mengakhiri tulisan ini, seluruh komponen diajak untuk mengejawantakan pulihkan NTT utamakan keselamatan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar