Selasa, 01 Oktober 2013


Hentikan Tambang, Lindungi Ekosistem

DAERAH Kepulauan Sunda Kecil dan Maluku memiliki garis pantai terpanjang di antara regional Indonesia. Hal tersebut setidaknya berarti bahwa Sunda Kecil dan Maluku memiliki kekayaan maritim yang cukup untuk mensejahterakan masyarakat pesisir.

Namun kondisi tersebut ternyata tidak berlaku otomatis, dimana fakta-fakta lapangan justeru menunjukkan bagaimana masyarakat pesisir hidup dalam keterbelakangan sosial serta ekonomi.

Direktur Walhi NTT, Herry Naif, mengatakan bahwa di NTT yang juga merupakan wilayah kepulauan, memiliki perairan laut yang sangat kaya potensi. Salah satunya adalah terumbu karang. Kekayaan ini tidak tidak disertai dengan upaya pelestarian pengembangan ekosistem laut termasuk mangrove, kestraoni dan padang lamun.

Padahal, menurut Herry Naif terumbu karang memiliki manfaat yang sangat luar biasa, misalnya sebagai tempat ikan memijar, berkembang biak, dan tempat ikan mencari makan. Keberadaan terumbuh karang hampir merata di semua kabupaten/kota di NTT. Namun, yang cukup significant terdaftar di sekitar Teluk Kupang, Teluk Maumere, Riung 17 Pulau, pantai Utara, Timur dan selatan Sumba, Alor Lembata dan Labuan Bajo.

Menurutnya NTT termasuk daerah yang memiliki terumbu karang yang cukup baik di Indonesia. Namun dalam perkembangan dapatn disinyalir oleh para peneliti, bahwa kurang dari 33,4 persen saja yang masih bagus.
Itu berarti, terumbu karang di NTT juga mengalami kerusakan akibat aktivias penambangan karang, pengangkapan ikan degnan alat tangkap terlarang, pengeboman, penggunaan bahan beracun ditambah lagi lemahnya koordinasi dan pengawasan antar sektor pemangku kepentingan. Belum lagi, kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang urgensitas pelestarian terumbu karang, buangan limbah dan sampah rumah tangga.

Herry menyebutan, NTT sebetulnya merupakan daerah yang memiliki potensi perairan yang seharusnya menjadi modal bagi pemerintah provinsi untuk dikelola dan dilestarikan sebagai kekayaan. Dan, keberadaan pesisir NTT yang sebelumnya hampir bersih dari pencemaran, kini semakin terancam dengan masuknya industri pertambangan.

Disebutkan, peluang investasi pertambangan dilihat sebagai akses pengelolaan SDA untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD seakan menjadi pra-syarat mutlak untuk mendapatkan kue pembangunan. Akibatnya, pemerintah daerah mengmbil jalan pintas untuk meningkat PAD dengan masifnya eksploitasi SDA hampir di seluruh wilayah NTT.

Kondisi ini pun, jelas Herry dialami di NTT, yang mana hampir sebagian pemerintah kabupaten melakukan kontrak kesepahaman dengan investor tambang dengan argumentasi peningkatan PAD, dan aktivitas pertambangan pun tak kalah dilakukan di seluruh wilayah kepulauan NTT. Misalnya jumlah pemohon ijin di Kabupaten Kupang sampai bulan Desember 2010 terdata 80 persen yang rata-rata sudah beroperasi.

Disebutkan jumlah peromohonan ijin di Kabupaten TTS ada 126 (IPR dan IUP), dimana tiga perusahanan telah mendapatkan IUP produksi yaitu PT. Soe Makmur Resourcess (2010), PT. Elang Perkasa Resourcess dan PT. Nisso Steel Indonesia (2011). Sedangkan di Kabupaten TTU jumlah permohonan ijin 27 IUP eksplorasi, 112 IPR dan empat perusahaan telah mendapat IUP eksplorasi. Dua diantaranya adalah PT. Elang Perkasa Resourcess Indonesia dan PT. Elgari Perkasa Resourcess Indonesia. “Di Kabupaten Belu ada 89 perusahaan. Ada pertambangan minyak di blok migas Kolbano yang mencakupi 16 Kecamamatan di Kabupaten TTS dan dua kecamatan di Kabupaten Kupang oleh PT. Eny West Timor, sebut Herry.

Sedangkan di Pulau Sumba, khusus Kabupaten Sumba Timur dan Sumba Tengah mencakupi kawasan Lai Wanggi Wanggameti dan Kawasan Manupeu Tanadaru.

Sedangkan di Pulau Flores, ada pertambangan mangan di Sirise dan Torong Besi di Kabupaten Manggarai yang memasuki areal kawasan hutan lindung. Ada juga pertambangan biji besi dan batu bara di Riung, Kabupaten Ngada yang merupakan kawasan penyangga untk kawasan pariwisata 17 pulau.
“Ada pula pertambangan emas di Tebedo dan Batu Gosok di Kabupaten Manggarai Barat, serta pertambangan emas di Pulau Alor, daerah yang sering dikunjungi bencana gempa bumi. Termasuk pertambangan emas di Pulau Lembata yang mendapatkan perlawanan rakyat dan Gereja yang kemudian surat keputusan Bupati harus dicabut, “sebut Herry.

Selama ini, jelas Herry, beberapa pertambangan emas di Lai Wanggi Wanggameti Kabupaten Sumba Timur dan Manupeu Tana Daru, dimana kedua tempat ini adalah kawasan lindung yang terdaftar sebagai Taman Nasional.
Sedangkan tambang mangan di Sirise dan Torong Besi, sementara dalam proses hukum dimana ada gugatan class action dari warga setempat. “Di Kabupaten Manggarai Barat, semua ijin usaha pertambangan (IUP) dicabut dan ditolak permohonannya oleh Bupati Agustinus Dula” imbuhnya.

Bagi Herry, dari data yang ada terlihat bahwa NTT masif dilakukan pertambangan. Dia menilai, pertambangan hampir menjadi pilihan bidang yang dikembangkan di NTT, pragmatis. Padahal, dalam sebuah kajian yang lebih luas dan terbukti bahwa pertambangan membawa degradasi kualitas lingkungan yang luar biasa.

“Hutan yang dilindungi dengan aturan adat dan Undang-undang Kehutanan akan hancur, hanya untuk memenuhi kepentingan sesaat. Tidak heran, dimana-mana terjadi konflik vertikal antara pemerintah dan masyarakat. Kesulitan air untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Banyak lahan pertanian rakyat dicaplok perusahaan. Kualitas kesehatan masyarakat makin menurun, hilangnya kearifan lokal akibatnya masuknya nilai-nilai luar. Dan masih banyak lagi masalah yang timbul dan bisa dilitanikan ,” urai Herry Naif. (Obed Gerimu/Semy)

sumber: timex, 29 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar