Minggu, 12 Juni 2016

MENGENAL SIKKA DALAM ANALISIS PERTANIAN

 Potret Sikka
Kabupaten Sikka memiliki luas wilayah 7.553,24 Km² terdiri atas luas daratan (Pulau Flores) 1.614,80 Km² dan pulau-pulau (18 buah) 117,11 Km² serta luas lautan 5.821,33 Km². Luas daratan  sebesar 3,66%  dari luas wilayah NTT atau seluas 47.349,91 Km². Terletak di antara 8”22 - 8”50 derajat Lintang Selatan dan 121”55’40” - 122”41’30” Bujur Timur. Di sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Flores Timur, di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Ende, di sebelah Utara berbatasan dengan Laut Flores, dan di sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Sawu.

Keadaan topografi sebagian besar berbukit, bergunung, dan berlembah dengan lereng-lereng yang curam yang kemiringan tanah (kelerengan) cukup bervariasi, berkisar dari 0”- 120” dan didominasi oleh kemiringan tanah yang lebih besar dari 80” dengan luas 81.167 ha atau sekitar 46,87%  dari luas wilayah Kabupaten Sikka. Beriklim tropis dengan suhu berkisar antara 27°C - 29°C. Kecepatan angin rata-rata 12–20 knots. Musim panas biasanya berlangsung 7 hingga 8 bulan (April/Mei– Oktober/November) dan musim hujan kurang lebih 4 bulan (November/Desember – Maret/April). Curah hujan per tahun berkisar 1.000 mm – 1.500 mm, dengan jumlah hari hujan   60-120 hari per tahun.  Memiliki 4 jenis tanah yakni mediteran, litosol, regosol dan jenis tanah kompleks. Didominasi tanah mediteran seluas 79.176 Ha (45,71%). Penggunaan tanah: lahan pertanian 90.138 Ha (52,05%), kawasan hutan 38.442,43 Ha (22,20%), semak belukar  23.745 Ha (13,71%) dan lain-lain 20.865,57 Ha (12,05%).

Secara administratif, kabupaten Sikka memiliki 21 kecamatan, 148 desa dan  12 kelurahan. Pendapatan perkapita penduduk  atas dasar harga berlaku sebesar Rp 4.538.457,00. Sementara  itu  jumlah penduduk mencapai  295.134  jiwa (139.123 laki-laki dan 156.011 perempuan) 71.220 kk. Jumlah penduduk miskin 56.100 jiwa (sikka dalam Angka 2007).

Potret Masalah dan Analisisnya
Masyarakat Sikka dan kabupaten lainnya di NTT dihadapkan pada problem keterbatasan pangan, air, kesehatan dan gizi. Situasi ini disikapi masyarakat dengan melakukan alternatif pekerjaan lain, yaitu dengan merambah hutan, melakukan aktifitas ilegal loging untuk kebutuhan kayu yang mana dijual dalam bentuk kayu bahan bangunan dan kayu bakar. Sedangkan pada wilayah pesisir terjadi aktifitas penangkapan ikan yang merusak lingkungan (penggunaan bom) dan pengrusakan kawasan mangrove.

Bagi pihak pemerintah, permasalahan ini  dihadapi dengan pendekatan kuratif dimana disiapkan beras untuk mengatasi masalah gagal panen. Padahal mayoritas masyarakat Sikka adalah petani yang mana belum terpateri sebuah program pemulihan dari sisi ekologis yang lebih sistimatis, yang diyakini bisa menyelesaikan permasalahan yang lebih holistik. Logikanya petani membutuhkan kondisi ekologi yang seimbang agar terciptanya iklim  yang baik bagi mereka.  Pendekatan kuratif tersebut hanyalah memanjakan rakyat dan pada perkembangannya dinilai tidak secara komprehensif memenuhi tuntutan kebutuhan yang semakin meningkat.
  
Dari analisis kerentanan dan kapasitas yang dibuat bersama masyarakat di 5 desa di kecamatan Mapitra dan Doreng pada tahun 2009/2010 dan hasil pertemuan petani Kecamatan Mapitara dan Doreng pada Juni 2012, serta hasil investigasi penjajakan wilayah di Desa Darat Pante, Desa Wairterang, dan Desa Egon pada bulan Agustus 2015, terungkap bahwa, upaya penanggulangan kemiskinan juga berhadapan dengan beberapa hal krusial antara lain :
  1. Topografi wilayah berbukit dengan kemiringan yang tajam (curam) rata-rata di atas 40%;
  2. Lahan garapan sempit dan menyebabkan terjadinya pengklaiman lahan antar warga, Dinas Kehutanan dan tokoh-tokoh adat;
  3. Perubahan iklim yang melanda dunia; Banyak petani salah menafsir waktu tanam sehingga mengalami gagal panen;
  4. Rata-rata kepemilikan tanah per kepala keluarga tani seluas 0,5 - 2 ha;
  5. Pengelolaan usaha tani yang tidak memperhatikan keseimbangan alam mengakibatkan kesuburan tanah berkurang dan akhirnya mengakibatkan rendahnya produksi tanaman;
  6. Kurangnya kemampuan teknologi pengelolaan usaha tani memungkinkan petani tetap menggunakan budaya bertani tebas bakar dan ladang berpindah-pindah (gilir-balik).

Kondisi yang digambarkan di atas berakibat pada:
1.    Kurangnya hasil tanaman pangan dan hortikultura, disebabkan:
•    Minimnya kemampuan dan pengetahuan petani mengelola usaha tanaman
•    Kurang adanya diversifikasi usaha tanaman pangan lokal,
•    Minimnya pengembangan pangan lokal dan tanaman buah-buahan.

2.    Kurang/menurunnya hasil tanaman perdagangan yang disebabkan:
  • Jumlah tanaman perkebunan  masih kurang;
  • Rendahnya tingkat produktifitas tanaman perkebunan dan pengolahannya;
  • Rendahnya pengetahuan dan ketrampilan petani mengelolaan usaha tani;
  • Tanaman perkebunan sering mengalami kerusakan akibat serangan hama dan penyakit sehingga dapat mengurangi hasil produksi sampai 50%-75 %.
3.    Kurangnya hasil ternak yang disebabkan oleh:
  • Ternak mati diserang penyakit; penyakit Tetelo pada ayam dan Hoc Kolera pada babi mengakibatkan kematian sampai 80%. Serangan menceret, perut kembung pada kambing dapat mengakibatkan kematian sampai 30%.
  • Pengetahuan tentang pemeliharaan ternak masih kurang
  • Terbatasnya jumlah ternak yang dimiliki petani
4.    Kurangnya Hasil tangkapan ikan yang disebabkan oleh:
  • Sering terjadi pengeboman ikan; sehingga rusaknya terumbuh karang
  • Minimnya peralatan tangkap ikan
  • Nelayan kurang terampil melakukan upaya penangkapan ikan yang ramah lingkungan;
5.    Rusaknya ekosistim kawasan hutan lindung dan marga satwa di kawasan Egon Ilin Medo dan Rusaknya terumbuh karang dan ekosisstem laut di Teluk Maumere
6.    Kurangnya upaya penyelamatan lingkungan, baik oleh masyarakat maupun pihak pemerintah yang disebabkan oleh :
  • Aturan tentang pelestarian hutan yang tidak dipahami secara baik oleh masyarakat
  • Kurangnya kampanye pelestarian lingkungan
  •  Lemahnya penegakan hukum dalam kasus-kasus lingkungan hidup
Dari beberapa hasil analisis itu, Wahana Tani Mandiri (WTM) melihat bahwa kenyataan-kenyataan tersebut di atas berpengaruh pada pemenuhan hak-hak dasar (pangan, pendidikan, kesehatan dan perumahan) untuk meningkatkan kualitas hidup layak. Untuk itu, dibutuhkan konsep pengelolaan yang komprehensif yang mengedepankan pengelolaan lingkungan dan ekologi yang berkeadilan sosial dan ekologis menuju tujuan keselamatan bersama.

Konsep ini didasari pada Akses dan Kontrol rakyat terhadap modal-modal penghidupan yang disebut pentagon asset, Pertama,  sumber daya manusia (human asset) meliputi, keterampilan, kreativitas, tenaga, kesehatan jasmani-rohani, kecerdasan, kemampuan kerja dan sebagainya. Kedua, Sumber daya alam (natural asset) tanah, air, iklim, perlindungan terhadap erosi, keanekaragaman hasil hutan dan sebagainya. Ketiga, Hubungan sosial (social asset) meliputi kekuatan ikatan-ikatan sosial, jaring pengaman sosial. Keempat, Infrasturktur (physical asset) meliputi, jalan, rumah, puskesmas, posyandu, irigasi dan sebagainya. Kelima, Keuangan (financial asset) yang meliputi uang cash yang dimiliki dan lembaga keuangan formal maupun informal.

Penguasaan seseorang terhadap akses dan kontrol terhadap asset-asset penghidupan menggambarkan tingkat kapasitas dan kerentanannya. Semakin besar penguasaan seseorang terhadap asset-asset penghidupan semakin tinggi kapasitasnya, semakin kecil penguasaan seseorang terhadap asset-asset penghidupan, semakin tinggi kerentanannya.

Konsep ini hendak menjawab tidak hanya pada usaha peningkatan kesejahteraan keluarga kelompok tani/nelayan, tetapi juga bisa mencapai perbaikan iklim mikro yang yang bisa mendukung, sekaligus juga pengembangan dan pengelolaan data yang bisa menjadi daya ungkit bagi pengembangan program dan dasar advokasi kebijakan yang memungkin perubahan kebijakan dan program di pemerintah daerah dalam daya upaya memperbaiki pendekatan dan pengembangan program yang lebih sistimatis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar