Minggu, 12 Juni 2016

MENGENAL SIKKA DALAM ANALISIS PERTANIAN

 Potret Sikka
Kabupaten Sikka memiliki luas wilayah 7.553,24 Km² terdiri atas luas daratan (Pulau Flores) 1.614,80 Km² dan pulau-pulau (18 buah) 117,11 Km² serta luas lautan 5.821,33 Km². Luas daratan  sebesar 3,66%  dari luas wilayah NTT atau seluas 47.349,91 Km². Terletak di antara 8”22 - 8”50 derajat Lintang Selatan dan 121”55’40” - 122”41’30” Bujur Timur. Di sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Flores Timur, di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Ende, di sebelah Utara berbatasan dengan Laut Flores, dan di sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Sawu.

Keadaan topografi sebagian besar berbukit, bergunung, dan berlembah dengan lereng-lereng yang curam yang kemiringan tanah (kelerengan) cukup bervariasi, berkisar dari 0”- 120” dan didominasi oleh kemiringan tanah yang lebih besar dari 80” dengan luas 81.167 ha atau sekitar 46,87%  dari luas wilayah Kabupaten Sikka. Beriklim tropis dengan suhu berkisar antara 27°C - 29°C. Kecepatan angin rata-rata 12–20 knots. Musim panas biasanya berlangsung 7 hingga 8 bulan (April/Mei– Oktober/November) dan musim hujan kurang lebih 4 bulan (November/Desember – Maret/April). Curah hujan per tahun berkisar 1.000 mm – 1.500 mm, dengan jumlah hari hujan   60-120 hari per tahun.  Memiliki 4 jenis tanah yakni mediteran, litosol, regosol dan jenis tanah kompleks. Didominasi tanah mediteran seluas 79.176 Ha (45,71%). Penggunaan tanah: lahan pertanian 90.138 Ha (52,05%), kawasan hutan 38.442,43 Ha (22,20%), semak belukar  23.745 Ha (13,71%) dan lain-lain 20.865,57 Ha (12,05%).

Secara administratif, kabupaten Sikka memiliki 21 kecamatan, 148 desa dan  12 kelurahan. Pendapatan perkapita penduduk  atas dasar harga berlaku sebesar Rp 4.538.457,00. Sementara  itu  jumlah penduduk mencapai  295.134  jiwa (139.123 laki-laki dan 156.011 perempuan) 71.220 kk. Jumlah penduduk miskin 56.100 jiwa (sikka dalam Angka 2007).

Potret Masalah dan Analisisnya
Masyarakat Sikka dan kabupaten lainnya di NTT dihadapkan pada problem keterbatasan pangan, air, kesehatan dan gizi. Situasi ini disikapi masyarakat dengan melakukan alternatif pekerjaan lain, yaitu dengan merambah hutan, melakukan aktifitas ilegal loging untuk kebutuhan kayu yang mana dijual dalam bentuk kayu bahan bangunan dan kayu bakar. Sedangkan pada wilayah pesisir terjadi aktifitas penangkapan ikan yang merusak lingkungan (penggunaan bom) dan pengrusakan kawasan mangrove.

Bagi pihak pemerintah, permasalahan ini  dihadapi dengan pendekatan kuratif dimana disiapkan beras untuk mengatasi masalah gagal panen. Padahal mayoritas masyarakat Sikka adalah petani yang mana belum terpateri sebuah program pemulihan dari sisi ekologis yang lebih sistimatis, yang diyakini bisa menyelesaikan permasalahan yang lebih holistik. Logikanya petani membutuhkan kondisi ekologi yang seimbang agar terciptanya iklim  yang baik bagi mereka.  Pendekatan kuratif tersebut hanyalah memanjakan rakyat dan pada perkembangannya dinilai tidak secara komprehensif memenuhi tuntutan kebutuhan yang semakin meningkat.
  
Dari analisis kerentanan dan kapasitas yang dibuat bersama masyarakat di 5 desa di kecamatan Mapitra dan Doreng pada tahun 2009/2010 dan hasil pertemuan petani Kecamatan Mapitara dan Doreng pada Juni 2012, serta hasil investigasi penjajakan wilayah di Desa Darat Pante, Desa Wairterang, dan Desa Egon pada bulan Agustus 2015, terungkap bahwa, upaya penanggulangan kemiskinan juga berhadapan dengan beberapa hal krusial antara lain :
  1. Topografi wilayah berbukit dengan kemiringan yang tajam (curam) rata-rata di atas 40%;
  2. Lahan garapan sempit dan menyebabkan terjadinya pengklaiman lahan antar warga, Dinas Kehutanan dan tokoh-tokoh adat;
  3. Perubahan iklim yang melanda dunia; Banyak petani salah menafsir waktu tanam sehingga mengalami gagal panen;
  4. Rata-rata kepemilikan tanah per kepala keluarga tani seluas 0,5 - 2 ha;
  5. Pengelolaan usaha tani yang tidak memperhatikan keseimbangan alam mengakibatkan kesuburan tanah berkurang dan akhirnya mengakibatkan rendahnya produksi tanaman;
  6. Kurangnya kemampuan teknologi pengelolaan usaha tani memungkinkan petani tetap menggunakan budaya bertani tebas bakar dan ladang berpindah-pindah (gilir-balik).

Kondisi yang digambarkan di atas berakibat pada:
1.    Kurangnya hasil tanaman pangan dan hortikultura, disebabkan:
•    Minimnya kemampuan dan pengetahuan petani mengelola usaha tanaman
•    Kurang adanya diversifikasi usaha tanaman pangan lokal,
•    Minimnya pengembangan pangan lokal dan tanaman buah-buahan.

2.    Kurang/menurunnya hasil tanaman perdagangan yang disebabkan:
  • Jumlah tanaman perkebunan  masih kurang;
  • Rendahnya tingkat produktifitas tanaman perkebunan dan pengolahannya;
  • Rendahnya pengetahuan dan ketrampilan petani mengelolaan usaha tani;
  • Tanaman perkebunan sering mengalami kerusakan akibat serangan hama dan penyakit sehingga dapat mengurangi hasil produksi sampai 50%-75 %.
3.    Kurangnya hasil ternak yang disebabkan oleh:
  • Ternak mati diserang penyakit; penyakit Tetelo pada ayam dan Hoc Kolera pada babi mengakibatkan kematian sampai 80%. Serangan menceret, perut kembung pada kambing dapat mengakibatkan kematian sampai 30%.
  • Pengetahuan tentang pemeliharaan ternak masih kurang
  • Terbatasnya jumlah ternak yang dimiliki petani
4.    Kurangnya Hasil tangkapan ikan yang disebabkan oleh:
  • Sering terjadi pengeboman ikan; sehingga rusaknya terumbuh karang
  • Minimnya peralatan tangkap ikan
  • Nelayan kurang terampil melakukan upaya penangkapan ikan yang ramah lingkungan;
5.    Rusaknya ekosistim kawasan hutan lindung dan marga satwa di kawasan Egon Ilin Medo dan Rusaknya terumbuh karang dan ekosisstem laut di Teluk Maumere
6.    Kurangnya upaya penyelamatan lingkungan, baik oleh masyarakat maupun pihak pemerintah yang disebabkan oleh :
  • Aturan tentang pelestarian hutan yang tidak dipahami secara baik oleh masyarakat
  • Kurangnya kampanye pelestarian lingkungan
  •  Lemahnya penegakan hukum dalam kasus-kasus lingkungan hidup
Dari beberapa hasil analisis itu, Wahana Tani Mandiri (WTM) melihat bahwa kenyataan-kenyataan tersebut di atas berpengaruh pada pemenuhan hak-hak dasar (pangan, pendidikan, kesehatan dan perumahan) untuk meningkatkan kualitas hidup layak. Untuk itu, dibutuhkan konsep pengelolaan yang komprehensif yang mengedepankan pengelolaan lingkungan dan ekologi yang berkeadilan sosial dan ekologis menuju tujuan keselamatan bersama.

Konsep ini didasari pada Akses dan Kontrol rakyat terhadap modal-modal penghidupan yang disebut pentagon asset, Pertama,  sumber daya manusia (human asset) meliputi, keterampilan, kreativitas, tenaga, kesehatan jasmani-rohani, kecerdasan, kemampuan kerja dan sebagainya. Kedua, Sumber daya alam (natural asset) tanah, air, iklim, perlindungan terhadap erosi, keanekaragaman hasil hutan dan sebagainya. Ketiga, Hubungan sosial (social asset) meliputi kekuatan ikatan-ikatan sosial, jaring pengaman sosial. Keempat, Infrasturktur (physical asset) meliputi, jalan, rumah, puskesmas, posyandu, irigasi dan sebagainya. Kelima, Keuangan (financial asset) yang meliputi uang cash yang dimiliki dan lembaga keuangan formal maupun informal.

Penguasaan seseorang terhadap akses dan kontrol terhadap asset-asset penghidupan menggambarkan tingkat kapasitas dan kerentanannya. Semakin besar penguasaan seseorang terhadap asset-asset penghidupan semakin tinggi kapasitasnya, semakin kecil penguasaan seseorang terhadap asset-asset penghidupan, semakin tinggi kerentanannya.

Konsep ini hendak menjawab tidak hanya pada usaha peningkatan kesejahteraan keluarga kelompok tani/nelayan, tetapi juga bisa mencapai perbaikan iklim mikro yang yang bisa mendukung, sekaligus juga pengembangan dan pengelolaan data yang bisa menjadi daya ungkit bagi pengembangan program dan dasar advokasi kebijakan yang memungkin perubahan kebijakan dan program di pemerintah daerah dalam daya upaya memperbaiki pendekatan dan pengembangan program yang lebih sistimatis.

Jumat, 10 Juni 2016

WTM PERKENALKAN KONSERVASI TANAH DAN AIR BAGI KADER TANI MAPITARA



Praktek Pembuatan pupuk organik dan pestisida organik

Pelatihan Konservasi Tanah dengan Air diselenggarakan Wahana Tani Mandiri (WTM) dalam kerja sama dengan Critycal Ecosystem Partnership Fund (CEPF) dalam program “Peningkatan Pendapatan Masyarakat dalam Mendukung Menejemen Ekositem Berkelanjutan di Kawasan Egon Ili Medo”.  Kegiatan pelatihan itu dihadiri 15 peserta, utusan dari Desa Natakoli, Hale, Hebing dan Egon Gahar difasilitasi oleh Kristoforus Gregorius dan Winfridus Keupung di Puskolap Jiro – Jaro, Tana Li, desa Bhera, Kec. Mego (9 – 11) Juni 2016
Dalam pembukaan acara tersebut, Carolus Winfridus Keupung mengatakan bahwa makhluk hidup dan alam semesta merupakan dua unsur penting  yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Keduanya memiliki ikatan saling ketergantungan yang sangat kuat. Porsi ketergantungan makhluk hidup terhadap alam jauh lebih besar. Mahkluk hidup memiliki ketergantungan yang penuh terhadap alam, sebaliknya alam menyediakan layanan; seperti tanah dan air bagi keberlangsungan semua mahkluk hidup di dunia.
Lebih lanjut, Win mengatakan bahwa WTM, awalnya menjadi agen pupuk kimia. Namun dalam perkembangannya, WTM kemudian melakukan kaji banding terhadap perbedaan penggunaan pupuk organik dan pupuk kimia.
Dari kajian itu, WTM menemukan sebuah dampak positif yang dimiliki pupuk organik. Bahwa petani di Flores yang masih banyak bergantung pada alam hendaknya menjadikan alam sebagai sebuah lalyanan. Karena itu dengan konsep ini tentunya petani juga turut menjaga kelestarian lingkungan. Mereka disebutnya green’s farmer, ujar win Keupung.
Dalam pelatihan ini juga win membawakan materi  tentang “Konservasi tanah dan air” dijelaskana juga soal struktur dan tekstur tanah. Bahwa tanah yang subur harus memiliki perimbangan antara unsur liat, pasir dan debu. Selain itu juga harus didukung oleh unsur hara makro seperti Nitrogen (untuk pertumbuhan tanaman), Kalium (memperkuat batang dan bunga) dan Phospor (pertumbuhan akar dan batang). Selain itu ada unsur hara mikro yang dibutuhkan tanaman yakni; besi (fe), Seng (zn) Tembaga (cu), mangan (Mn), Boron (B), Molipden (mo).
Sedangkan Kristo, membawakan materi tentang pertanain berkelanjutan yang mana harus dilihat dari aspek ekologi, ekonomi, teknologi dan pemberdayaan. Dalam materi Pemupukan tanaman, kristo menjelaskan tentang pupuk organik dan pestisida organik. Disebutkan beberapa manfaat pupuk organik diantaranya; Meningkatkan lapisan olah permukaan tanah, Meningkatkan populasi jasak renik atau mikroorganisme tanah, Meningkatkan daya serap akar dan daya serap tanah terhadap air, Memperbaiki perembesan air, serta pertukaran udara dalam tanah, Meningkatkan produksi tanaman semaksimal mungkin., Menstabilkan ph tanah, Meningkatkan kapasitas tukar kation, kapasitas buffer dan daya pegar air, Menyuburkan dan menggemburkan tanah, Mempercepat proses penguraian bahan-bahan organik, Merangsang pertumbuhan akar dan pembentukan sistem perakaran yang baik, sehingga dapat mengambil unsur hara yang banyak dan menjadikan tanaman sehat dan kuat, Memperbesar prosentase pembentukan bunga menjadi buah dan biji.
Sedangkan beberapa keunggulan pupuk organik diantaranya, Meningkatkan kandungan air dan dapat menahan air untuk kondisi berpasir, Meningkatkan daya tahan terhadap pengikisan, Meningkatkan pertukaran udara, jumlah pori-pori dan sifat peresapan air untuk kondisi tanah liat, Menurunkan tingkat kekerasan lapisan permukaan tanah, Mengandung unsur hara makro mikro yang lengkap, Aman (ramah lingkungan), Efektif dan ekonomis (murah/mudah di dapat), Menghilangkan rasidu kimia, Aplikasi yang mudah (bisa diaplikasikan sebelum atau sesudah masa tanam), demikian ulas Kristo.
Dalam melakukan usaha tani secara organik juga dituntut melalui sebuah proses yang benar dimana harus mengetahui jenis pupuk apa yang dibutuhkan dengan memperhatikan dosis nya. Di sisi lain juga perlu diperhatikan waktu, cara pemupukan sehingga tanaman itu subur.
Setelah proses belajar in class, peserta juga melakukan praktek pembuatan pestisida organik dan pupuk organik yang telah disiapkan. Diharapkan dengan pelatihan ini akan memberikan sebuah pemahaman riil agar para kader bisa memperaktekannya di lapangan. Sebab bahan-bahan dasar pembuatan pestisida organik ini banyak terdapat di kawasan Egon Ilimedo, kata Kristo.
Sedangkan, Hermus Peong salah satu peserta pelatihan yang juga adalah pemimpin kelas selama pelatihan mengatakan bahwa pelatihan ini sangat bermafaat bagi kami di lapangan. Bahwa, ini menjadi bekal bagi kami dalam upaya memfasilitasi kegiatan usaha tani di lapangan nanti.
Seminggu kami sudah dipasok dengan banyak ilmu, bagaimana memfasilitasi dan kemudian dengan beberapa pengetahuan dasar tentang konservasi tanah dan air. Ini adalah dasar, kami berharap WTM selalu siap meningkatkan kapasitas kami di lapangan dengan beberapa fasilitator lapangan WTM. Kami akan selalu berkoordinasi dengan WTM demi pengelolaan usaha tani terpadu.

Kamis, 09 Juni 2016

WTM LATIH 15 KADER TANI DARI MAPITARA

Maumere - KN, Mengawali program “Peningkatan Pendapatan Masyarakat dalam Mendukung Menejemen Ekositem Berkelanjutan di Kawasan Egon Ili Medo” dalam kerja sama Wahana Tani Mandiri (WTM) dengan Critycal Ecosystem Partnership Fund (CEPF) melakukan kegiatan Pelatihan untuk Pelatih (Traning of Trainer). Kegiatan yang dihadiri 15 peserta utusan dari Desa Natakoli, Hale, Hebing dan Egon Gahar difasilitasi oleh Herry Naif dan Win Keupung. Materi yang dilatih bagi kader tani diantaranya, Pendidikan community organizer, siapa itu fasilitator dan teknik memfasilitasi oleh Herry Naif, sedangkan peran dan fungsi kader tani dan apa peran kader tani dalam program oleh carolus Winfridus Keupung. Pelatihan ini berlangsung di Puskolap Jiro-Jaro, Tana li, desa Bhera, Kecamatan Mego, (6-9 Juni 2016).

Carolus Winfridus Keupung, Direktur WTM dalam acara pembukaan mengatakan bahwa kegiatan hari ini adalah awal dari program yang mana perlu ada agen-agen perubahan di lokasi. Kami sedang mendorong agar adanya peole led development (rakyat memimpin perubahan). Karena itu, kader Tani adalah petani yang memiliki jiwa kerelawanan dan kemampuan yang lebih dari petani lainnya di desa serta memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi dari masyarakat tani di wilayahnya. Kader tani harus dipersiapkan menjadi penghubung  dan penggerak di kelompok tani sekaligus tulang punggung pengembangan masyarakat tani baik dalam secara teknis pertanian. Bukan hanya itu, tetapi kader tani harus mampu mengadvokasi kebijakan agar anggaran desa itu berpihak pada petani yang adalah mayoritas penduduk desa. Kader Tani juga harus memiliki kemampuan memfasilitasi dan menterjemahkan berbagai teknologi usaha pertanian. Selai itu, kader tani harus memiliki pemahaman dasar tentang organisasi dan usaha tani,  serta mampu melakukan pemberdayaan petani atau kelompok tani. Untuk itu, seorang kader tani yang menjadi penghubung haruslah baik dan berkualitas, ujar Win.

Sedangkan, Herry Naif (Koordinator Program) menyatakan, bahwa penyebab utama kegagalan sebuah program selama ini adalah kualitas kerja yang dibangun dalam sebuah tim kerja baik dalam kerjaan administratif ataupun kerja-kerja lapangan. Karena itu, sejak awal, para pihak yang terlibat dalam program perlu membangun kerjasama yang baik diantara mereka dan pihak lain. Berbagai kekurangan tersebut justru sangat berpengaruh pada usaha mereka. Untuk itu pemberdayaan kepada para petani mutlak harus berjalan agar usaha tani mereka terus berkembang.

Sebab itu, menurut penilaian WTM, strategi ini akan sangat memberikan dampak positif kepada masyarakat tani. Sebab dengan pendekatan dari petani ke petani  memiliki beberapa keunggulan yakni: komunikasi lebih lancar karena tahu situasi dan kondisi, mempermudah penyebaran informasi, memperkuat keyakinan adanya perubahan, dan adanya kepastian berkelanjutan. Tujuan Pelatihan ini adalah Pertama, Meningkatkan kapasitas petani/kader tani dalam memimpin dan memfasilitasi berbagai kegiatan baik di tingkat kelompok maupun di tingkatan yang lebih tinggi. Kedua, Membantu meningkatkan Sumber Daya para petani/kader tani dalam pengelolaan usaha tani di wilayah Mapitara. Ketiga, Kader Tani mampu melakukan advokasi  kebijakan di tingkat pemerintah lokal, demikian ujar mantan Direktur Walhi NTT.

Acara pelatihan ini diakhir dengan praktek, dimana para kader tani memilih topik yang ingin difasilitasi dan kemudian dipraktekan, setelah itu dibenahi oleh tim fasilitator dan dicoba lagi sampai para peserta bisa dinilai sebagai seorang fasilitator.

WTM LAKUKAN PELATIHAN KONSERVASI TANAH DAN AIR

Maumere - Kabar Nuhang. Setelah dilakukan Pelatihan untuk Pelatih (Traning of Trainer), Wahana Tani Mandiri (WTM) dalam kerja samanya dengan Critycal Ecosystem Partnership Fund (CEPF) diselenggarakan Pelatihan Konservasi Tanah dengan Air. Kegiatan pelatihan itu dihadiri 15 peserta, utusan dari Desa Natakoli, Hale, Hebing dan Egon Gahar difasilitasi oleh Kristoforus Gregorius dan Winfridus Keupung di Puskolap Jiro – Jaro, Tana Li, desa Bhera, Kec. Mego (9 – 11) Juni 2016

Kegiatan ini merupakan salah satu kegiatan dalam program “Peningkatan Pendapatan Masyarakat dalam Mendukung Menejemen Ekositem Berkelanjutan di Kawasan Egon Ili Medo” dalam kerja sama Wahana Tani Mandiri (WTM) dengan Critycal Ecosystem Partnership Fund (CEPF).

Dalam pembukaan acara, Kristoforus mengatakan bahwa, makhluk hidup dan alam semesta merupakan dua unsur penting  yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Keduanya memiliki ikatan saling ketergantungan yang sangat kuat, walaupun di satu sisi, porsi ketergantungan makhluk hidup terhadap alam  jauh lebih besar. Mahkluk hidup memiliki ketergantungan yang penuh terhadap alam  sebab alam menyediakan layanan seperti tanah dan air bagi keberlangsungan semua mahkluk hidup di dunia.
 Tanah  dan air memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan manusia. Secara sederhana, tanah  diartikan sebagai salah satu unsur bumi yang terbentuk dari berbagai campuran bahan mineral, air,  udara dan organik, dimana di atas permukaanya terdapat berbagai macam kehidupan. Sedangkan air dapat diartikan sebagai salah satu unsur bumi  berbentuk cair yang berada di atas permukaan bumi dan di dalam perut bumi yang memberi kehidupan bagi makhluk hidup. Kemampuan tanah menahan air juga dipengaruhi antara lain oleh tekstur tanah. Tanah-tanah yang bertekstur kasar mempunyai daya menahan air lebih kecil daripada tanah bertekstur halus. Oleh karena itu, tanaman yang ditanam pada tanah pasir umumnya lebih mudah kekeringan daripada tanah-tanah bertekstur lempung atau liat, ujar Kristo.

Sedangkan Winfridus Keupung (Direktur WTM) mengatakan bahwa ketersedian air dalam tanah pun tidak terlepas dari peran hutan sebagai penyangga.  Air hujan yang jatuh ke permukaan bumi akan meresap dengan baik jika dipermukaan tanah ditumbuhi berbagai macam jenis pepohonan yang memiliki daya resap air yang tinggi. Manusia dan hewan serta tumbuhan menggunakan tanah dan air untuk hidup mereka.
 Tanpa tanah dan air manusia dan makhluk hidup lainnya tidak mungkin ada di dunia. Manusia menggunakan tanah dan air untuk berbagai usaha, misalnya: pertanian, peternakan, pembangunan dan berbagai kebutuhan lainnya untuk memenuhi berbagai keperluan demi keberlangsungan hidup mereka. Untuk itu, tanah air dan hutan harus dijaga  dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Dalam kedudukannya tanah air dan hutan memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan manusia, untuk itu kelestarian hutan perlu dijaga, ulas Win.
Lebih lanjut Win menemukan bahwa  hutan dan air perlu dilakukan upaya konservasi. Konservasi atau pengawetan adalah bentuk usaha penjagaan atau perlindungan terhadap kekayaan alam yang ada. Konservasi tanah adalah usaha-usaha untuk menjaga dan melindungi tanah agar tetap produktif, atau memperbaiki tanah yang rusak karena erosi sehingga menjadi lebih produktif. Sedangkan konservasi air adalah usaha-usaha yang dilakukan agar air dapat lebih banyak disimpan di dalam tanah sehingga dapat digunakan untuk kesuburan tanaman dan mengurangi terjadinya erosi.

Salah satu cara atau usaha dasar yang perlu dibuat adalah menggunakan tanah dan air sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itu, manusia umumnya dan petani khususnya dituntut untuk tetap menjaga ketersediaan layanan alam demi keberlangsungan kehidupan mereka, ujar mantan direktur Walhi NTT
Sedangkan Herry Naif (Koordinator Program) mengemukakan bahwa manusia memiliki tanggung jawab yang begitu besar terhadap keutuhan alam dan isinya. Bahwa selain memanfaatkan kekayaan  alam, mereka juga dituntut untuk menjaga kelestariannya demi keberlangsungan generasi yang akan datang. Bahwa sejauh pengalaman kami saat memimpin Walhi NTT melihat bahwa kondisi ekologi NTT sedang dalam kondisi genting. Karena itu, upaya konservasi perlu dilakukan oleh semua warga, terutama di kawasan-kawasan hutan (penyanggah).

Berangkat dari beberapa kondisi tersebut Wahana Tani (WTM) lakukan Pelatihan Konservasi Tanah dan Air kepada para kader tani dengan tujuan. Pertama memberi pemahaman kepada kader tani agar mampu menularkannya kepada masyarakat Mapitara dan menjadikan konservasi sebagai bagian dari pengelolaan pertanian mereka. Kedua, Meningkatnya pemahaman tentang pentingnya konservasi tanah dan air serta teknis pengelolaan pertanian yang berkaitan dengan konservasi tanah dan air bagi kehidupan para kader dan masyarakat Mapitara, demikian ulas Herry.

Rabu, 01 Juni 2016

Hutan dan Air untuk Semua

 Oleh: Herry Naif,
Mantan Direktur WALHI NTT, sekarang menjadi Koordinator Advokasi, Riset Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Hasil -  WTM

Dalam kehidupan manusia, hutan dan air merupakan sesuatu yang sungguh dibutuhkan untuk mendukungnya dalam mencapai hidup layak. Tanpa hutan dan air manusia bisa mati kekeringan. Hutan dan Air memiliki hubungan intim yang tak bisa dipisahkan. Atau, hutan dan air memiliki relasi timbal balik.

Hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan memiliki 3 (tiga) fungsi diantaranya: fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi (ekonomi).

Sedangkan air adalah unsur hakiki bukan saja bagi manusia melainkan juga bagi tanaman dan hewan. Tiada kehidupan tanpa air. Dulu, krisis air adalah permasalah perkotaan. Kini, krisis air tanpa mengenal sekat wilayah, baik di daerah kota maupun daerah hulu  seiring dengan masifnya kerusakan lingkungan di kawasan hutan (kawasan resapan).

Gencarnya eksploitasi (pengambilan) sumber daya alam besar-besaran, seperti penebangan hutan, destructive logging, pertambangan, perluasan pemukiman terus menerus menyebabkan sempitnya luasan kawasan dan menurunnya kualitas hutan. Semua fakta ini tengah berdampak buruk pada keselamatan lingkungan dan manusia.

Dari pemahaman sederhana ini, dilihat betapa pentingnya hutan dan air. Keduanya menjadi aset yang harus dimiliki petani dalam mendukung pengelolaan pertanian berkelanjutan.  Ironis, bila petani tidak punya tanah dan tidak  menjaga hutan dan air untuk menciptakan kehidupan yang lebih layak.

HUTAN DAN PEMANFAATANNYA

Seturut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Atau, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.

“Kawasan hutan adalah wilayah tertentu dan/atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaanya sebagai hutan tetap” (lih. pasal 1). Dari pemahaman ini juga dapat dimaknai bahwa hutan menjadi penting bagi kehidupan manusia. Hutan harus dilindungi untuk sebuah kehidupan yang layak.
Hakikatnya, hutan memiliki 3 (tiga) fungsi diantaranya: fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi.

Berasas pada tiga fungsi ini maka seluruh aktifitas dalam kawasan hutan harus diasaskan pada prosedur hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 19, Undang-undan No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, ayat 1-3 bahwa;
  1. Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.
  2. Perubahan peruntukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
  3. Ketentuan tentang tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud ada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan, (Pasal 2). Penyelenggaraan Kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan;“Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional;   Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi yang seimbang dan lestari; Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
    Dalam kawasan hutan, rakyat pun memiliki hak dan peran.
    Seturut Pasal 68, Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat dapat:
  • Memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  • Mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan;
  • Memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan
  • Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung.
Semua itu bermuara pada upaya perlindungan hutan untuk mewujudkan kelestarian lingkungan.

Untuk mempertegas akses dan kontrol rakyat terhadap kawasan maka dikeluarkannya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.14/Menhut-RI/2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Pinjam pakai kawasan hutan adalah penggunaan atas sebagian kawasan hutan kepada pihak lain untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah status, peruntukan dan fungsi kawasan tersebut (Pasal 1).

Beberapa pasal yang dikemukakan itu, hakikatnya pengelolaan hutan dilihat dalam satu kesatuan, yang dikenal dengan pengelolaan lingkungan hidup yang dimuarakan pada kesejahteraan rakyat. Hal penting yang harus diperhatikan adalah bahwa hutan yang ada bukanlah warisan nenek moyang yang seenaknya digunakan melainkan perlu dicatat bahwa hutan merupakan titipan dari generasi yang akan datang, sehingga dalam memanfaatkannya harus diperhatikan kelangsungan dan kelestariannya agar dapat digunakan generasi yang akan datang.

Kerusakan lingkungan hidup (hutan) dapat disebabkan faktor proses alam dan karena aktivitas manusia. Penurunan kualitas dan penurunan kuantitas hutan berdampak pada terjadinya “bencana ekologi”.

AIR DAN PERMASALAHANYA

Air merupakan material yang vital bagi kelangsungan hidup seluruh makhluk hidup di bumi, sebagaimana dinyatakan oleh Enger dan Smith: "Semua organisme yang hidup tersusun atas sel-sel yang berisi air sedikitnya 60% dan aktivitas metaboliknya mengambil tempat di larutan air". Selanjutnya, tokoh dunia Goethe pernah menyatakan: "Everything originated is the water. Everything is sustained by water."

Pada Tahun 2002, Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (dalam Komentar Umum No. 15, secara tegas memberikan penafsiran tentang pasal 11 dan pasal 12 dari Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya bahwa hak atas air adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari hak-hak asasi manusia lainnya.  

Persaingan atas sumber daya air, baik dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari (konsumen rumah tangga) maupun kebutuhan irigasi dan lainya sering hanya menguntungkan para penguasa dan pemodal. Mereka yang tak berdaya (rakyat) terlantar dan kehausan.

Misal, banyak warga kota Maumere mengeluh karena sering tidak mendapatkan distribusi air. Padahal ada lembaga daerah yang ditugaskan mengurus pemenuhan air bagi warga, seperti Perusahan Daerah Air Minum (PDAM). Ada pula lembaga yang didanai World bank seperti Pansinmas. Mengherankan, kondisi ini kemudian melahirkan begitu banyak perusahaan air minum (swasta) yang mengambil air tanah dan dijadikan sebagai lahan bisnis.

DAMPAK KERUSAKAN HUTAN

Menurunnya Debit Air/Krisis Air
 Kerusakan hutan yang dimaksud adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik, atau hayatinya, yang meyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya. Bahwa dengan kerusakan tersebut berpengaruh terhadap perubahan tata hidrologi air.

Kegiatan pengelolaan hutan yang mempunyai dampak terhadap kehidupan bangsa, misalnya penebangan liar, pencurian kayu, penyelundupan kayu, perambahan hutan, dan penambangan dalam kawasan hutan.

Berhadapan dengan berbagai persoalan tersebut hanya sedikit orang yang menganalisis bahwa keterbatasan  air dan pangan diakibatkan kondisi ekologi, terutama kesimbangan ekologi yang mana makin sempitnya kawasan penyanggah di setiap pulau. Ini diperparah dengan merebaknya dampak pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change).

Lebih jauh ditelusuri, NTT yang merupakan gugus pulau api (ring of fire) yang sangat kecil. Ini dituntut agar benar memiliki kawasan penyangga yang cukup seimbang.

Dari waktu ke waktu debit  air pada sumber-sumber mata air yang ada di kampung semakin menurun dan ketersedian air tanah semakin dalam. Beberapa tahun lalu dengan kedalaman 5-10 meter orang sudah mendapatkan mata air tetapi kini harus melebihi 10 meter. Fakta-fakta ini adalah permasalahan kongkret yang menandakan bahwa ada kerusakan dan penurunan kualitas hutan kita. Semua ini terjadi akibat semakin menyempitnya luas kawasan hutan dan menurunya kualitas hutan kita. Sebab prinsipnya, hutan dan air itu selalu seiring. Hutan rusak maka terjadi krisis air.

Dari pemahaman ini, NTT yang berkarakter kepulauan dan termasuk kawasan ring of fire, rentan terhadap kekeringan/kelangkaan air.

Iklan “sumber air su dekat, kotong sonde terlambat lagi adalah sebuah ungkapan yang ironis bagi masyarakat Timor dan NTT pada umumnya.     Di tengah kegentingan ekologi, pemerintah provinsi NTT dan pemerintah kabupaten mengobral Ijin Usaha Pertambangan. Kebijakan ini dinilai tidak sinkron dengan paradigma pengurangan resiko bencana dan Penyelamatan lingkungan

Banjir
Banjir dapat terjadi karena murni gejala alam dan juga karena dampak dari ulah manusia sendiri. Banjir dikatakan sebagai gejala alam murni jika kondisi alam memang mempengaruhi terjadinya banjir, misalnya hujan yang turun terus menerus, terjadi di daerah basin, dataran rendah, di lembah-lembah sungai.

Banjir dapat juga disebabkan karena ulah manusia. Misalnya, karena penggundulan hutan di kawasan resapan, timbunan sampah yang menyumbat aliran air, ataupun karena rusaknya dan atau pintu pengendali aliran air. Kerugian yang ditimbulkan akibat banjir, antara lain, hilangnya lapisan permukaan tanah yang subur karena tererosi aliran air, rusaknya tanaman, dan rusaknya berbagai bangunan hasil budidaya manusia.

Tanah Longsor
 Karakteristik tanah longsor hampir sama dengan karakteristik banjir. Longsor dapat terjadi karena proses alam atau pun karena dampak kecerobohan manusia.

Longsor dapat merusak struktur tanah, merusak lahan pertanian, pemukiman, sarana dan prasarana penduduk serta berbagai bangunan lainnya.
   
TAWARAN SOLUSI

Krisis air dilihat sebagai  ancaman bersama yang dijadikan refleksi dan evaluasi terhadap kualitas ekologi.

Prinsipnya hutan, tanah dan air harus dilihat dalam satu kesatuan yang utuh. Hutan harusnya dilihat sebagai pelayan alam dan air adalah darah kehidupan serta tanah adalah daging.  

Dari analogi ini ketiganya menjadi bagian dari hidup manusia yang tak terpisahkan. Proses pemulihan ekologi melalui perluasan wilayah kawasan penyanggah dan perbaikan atas sistem pertanian berkelanjutan perlu mendapat perhatian serius pemerintah.


KESIMPULAN
Vandhana Shiva, seorang aktivis lingkungan dunia yang gencar menyoal privatisasi air dalam bukunya Water Wars: Privatisasi, Profit dan Polusi (2003). Budaya ekologi adalah budaya untuk pelestarian dan pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat, sehingga air sebagai salah satu sumber daya alam adalah milik publik yang dapat dipergunakan oleh seluruh umat manusia dengan bebas dan gratis. Sementara, budaya kapitalisme adalah budaya yang mengabdi pada kepentingan orang beruang, di mana segala sesuatu di lihat dar keuntungan ekonomis. Air tak ubahnya barang di pasar yang siap untuk diperjual belikan.

Sedangkan dalam konteks di Sikka analisis difokuskan beberapa rekomendasi  aktifitas penting yang perlu dilakukan adalah: Monitoring dan evaluasi terhadap kualitas kawasan lindung dan hulu yang ada di kabupaten Sikka agar diketahui kondisinya.

Perlu penanaman kembali pada kawasan yang dinilai rusak dan hendaknya ini menjadi gerakan bersama rakyat. Rakyat harus dilibatkan secara penuh dan diberi tanggung jawab.     Rakyat yang sukses menghijaukan dan menjaga wilayahnya perlu diberi apreseasi dana stimulan.

Dari beberapa catatan ini, mau dikatakan bahwa Orang Sikka sejak dulu selalu hidup bersama alam dan selalu menjaga alam.