Selamatkan
Pulau-Pulau Kecil dari Ancaman Perubahan Iklim
Kupang-suaraflores.com,
Direktur Ekseutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Nusa Tenggara
Timur (WALHI NTT), Heribertus Naif, mengatakan, pulau-pulau kecil
harus diselamatkan sedini mungkin. Karena, ditengah permasalahan
pemanasan global dan perubahaan iklim yang berakibat pada
ketersediaan air dan pangan menjadi hal yang krusial. Dengan kondisi
ini, semua pihak dituntut untuk berperan dalam mendorong upaya
mitigasi dan adaptasi terhadap perubahaan iklim. Oleh karena itu,
penyelamatan pulau-pulau kecil yang terurai dalam kajian daya dukung
dan daya tampung lingkunan menjadi hal krusial.
“Artinya,
bahwa kita perlu mengetahui seberapa luas, kawasan hutan dan resapan,
yang mana menjadi water scathaman area (kawasan penyimpan air),
Mustahil, ada air tanpa hutan,” katanya kepada suaraflores.com,
Selasa/01/10/2013, di Kantor Walhi NTT.
Heribertus
Naif mengatakan, gugus Sunda Kecil (Bali, NTB dan NTT) dan Maluku
serta Maluku Utara,
terdiri dari lebih kurang 5. 037 pulau, dan berpenduduk 13. 963. 958
jiwa. Sebagaimana daerah kepulauan lainnya, Sunda Kecil dan Maluku
merupakan daerah vulkanik aktif dan memiliki patahan lempeng yang
mudah menimbulkan gempa bumi dan tsunami. Daerah resapan air lebih
sempit, sedangkan tingkat erosi lebih tinggi. Sebagian besar wilayah
pulau, terdiri dari pesisir dan laut. Iklim regional merupakan, iklim
mikro yang dipengaruhi keadaan topografi dan laut. Kemudian
menimbulkan iklim musiman yang khas dengan suhu yang relatif panas,
dan curah hujan yang relatif kurang, jika dibandingkan pulau besar.
Kontur daratan yang berpegunungan, dan pesisir yang sangat luas
menjadikan Sunda Kecil dan Maluku memiliki kekayaan alam (hayati,
Mineral dll) yang berlimpah.
Dia
mengatakan, lingkungan lebih terspesialisasi dengan proporsi jenis
endemik yang lebih tinggi dibandingkan komunitas keseluruhan yang
secara kuantitatif miskin. Hal tersebut juga berarti, Sunda Kecil dan
Maluku memiliki kerentanan ekologis, fisik serta sosial-budaya.
Kesamaan
karakteristik yang menyatukan Bali, Nusa Tenggara dan Maluku adalah
kesamaan geografis (merupakan pulau‐pulau
kecil) dengan ciri khas sama. Di antaranya, luasan lahan dan hutannya
yang terbatas, dan memiliki keragaman hayati yang rendah, tetapi
memiliki keragaman sosial, budaya dan ekonomi, yang pluralis seturut
karakteristik sebuah pulau.
Mantan
Manajer Eksekutif Walhi NTT ini menambahkan, pulau kecil juga
memiliki relasi kebergantungan antara satu pulau dengan pulau
tetangganya,
agar
saling memenuhi kebutuhan. Sunda Kecil dan Maluku,
memiliki keunikan antar satu pulau dengan pulau lainnya. Baik dari
segi etnisitas, keanekaragaman hayati, dan sumber daya alamnya.
Keragaman tersebut menumbuhkan keragaman budaya dari relasi
manusia dengan alamnya.
Selain
itu, sunda Kecil dan Maluku memiliki tingkat kerentanan tinggi
terhadap ancaman geologis, dinamika sosial politik serta ekonomi
budaya di tingkat lokal maupun nasional, terhadap ekspansi
eksploitasi dan ekstraksi sumber daya alam (Pesisir dan daratan)
untuk memenuhi kebutuhan pasar bebas.
Wacana
pemanasan global dan perubahan iklim yang lagi santer dibicarakan
menjadi kerisauhan warga pulau-pulau kecil. Karena itu, dibutuhkan
model pendekatan pengelolaan Sumber Daya Alam yang berbeda dengan
pulau-pulau besar dalam upaya memastikan terjaganya sumber-sumber
kehidupan rakyat.
Model pengelolaan sumber daya alam bias pulau besar, sejak lama tidak
disadari sebagai sebuah permasalahan yang tidak melihat daya tampung
dan daya dukung lingkungan. Sebab, pulau-pulau kecil memiliki
kerentanan terhadap ancaman perubahan ikllim.
Lebih lanjut dia
menambahkan, bahwa evaluasi atas Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
menjadi fundamen untuk menentukan ruang kelola yang sesuai dengan
potensi kewilayahan. Bukannya serampangan dilakukan pengelolaan,
kuatirnya akan terjadi overlapping (tumpang tindih) wilayah kelola
yang tidak sesuai peruntukannya.
Selain itu, juga
dibutuhkan kerja sama antar instansi pemerintah yang berkorelasi
dengan isu lingkungan hidup, agar dilakukan sebuah kajian yang
komprehensif.
Nilai
kearifan lokal yang kosmosentris hendaknya dijadikan sebagai sumber
inspirasi, agar diakomodir dalam kebijakan pengelolaan sumber daya
alam. Untuk mendukung itu, masyarakat kepulauan harus dijadikan
sebagai subjek dalam pengelolaan sumber daya alam, bukannya dijadikan
sebagai penonton. (nes)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar