Selasa, 01 Maret 2016

PEMBANGUNAN DIPIMPIN RAKYAT (People-Led Development)

 Oleh: Herry Naif
Rakyat adalah pemegang kedaulatan. Pilihan model pemerintahan dimana saja dan apa pun bentuknya, rakyat adalah subjek.  Semua tujuan pembangunan diarahkan pada pemenuhan hak-hak dasar dalam upaya pencapaian kesejahteraan atau perbaikan kualitas hidup khalayak. Tak ada pemerintahan yang diciptakan untuk mengabaikan hak-hak rakyat. Setirani apa pun model  pemerintahannya, yang dikampanyekan adalah kesejahteraan.  Keterlibatan rakyat mutlak dibutuhan dalam pembangunan serta menjadi modal sosial bagi sebuah negara dalam menuaiakan cita-cita negaranya. Pengabaian rakyat dalam proses pembangunan adalah pengkhianatan demokrasi.

Demokrasi dan Penunaian Hak Rakyat
    Sejak kemerdekaan Indonesia, para pendiri bangsa (Soekarno, Hatta dan kawan-kawannya) memilih demokrasi sebagai pilihan atau model pemerintahan. Hingga hari ini banyak pengalaman yang ditinta-emaskan sebagai sejarah panjang demokrasi Indonesia. Deretan fakta dan pengalaman tentunya mengajak kita untuk memaknai demokrasi dan pembangunan yang sedang dan akan  terjadi di Indonesia terlebih di kampung kita.
    Prinsipnya, demokrasi dapat dipahami sederhana dari asal usul katanya. Demokrasi berasal dari bahasa latin. Demos berarti rakyat dan kratie berarti: pemerintahan.  Itu berarti, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
    Dalam pemahaman itu, dapat dilihat bahwa rakyat menjadi subjek penting dalam mekanisme pemerintahan mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi. Rakyat menjadi primadona dalam dunia demokrasi dan pembangunan. Rakyat ibarat gadis yang seyogyanya dijaga dan dicintai. Seluruh proses pembangunan dijalankan itu diharusutamakan pada rakyat, entah keterlibatannya sebagai pelaku ataupun tujuan dari pembangunan itu sendiri. Bukanya kelemahan rakyat dimanfaatkan agar memenuhi kepentingan elit dalam menggapai kekuasaan demokrasi, mulai dari tingkat lokal hingga nasional. Rakyat seolah berdaulat secara momental dimana ketika ada gawean demokrasi seperti pilkades, pileg, pilbup, pilgub dan pilpres. Ramai-ramai rakyat dimobilisasi untuk menggunakan hak politiknya.
    Menghadapi itu rakyat kadang terbuai dan lupa diri bahwa ia adalah pemilik kedaulatan. Rakyat seakan terbeli haknya dalam lembar-lembar rupiah yang beredar (money politik). Rakyat pun tanpa kesadaran kritis. Saya pilih itu dapat berapa? Dalam keterpurukan pendapatan ekonomi rakyat mudah menggadekan hak-hak politiknya. Ini seakan telah menjadi budaya politik dan sistem yang terdesign rapih.
    Setelah kekuasaan kekuasaan digapai, bukannya menunaikan janji-janji politis melainkan  dimanfaatkan untuk eksploitasi sumber daya alam demi kejayaan kelompoknya dan rakyat diabaikan. Tak heran bila obral sumber daya alam terjadi. Persekongkololan antara kekuasaan dan pemilik modal mulai menjadi prioritas. Hak rakyat untuk mendapatkan akses dan pelayanan pembangunan malah disepelehkan. Rakyat sekan hanya mendapatkan remah-remah pembangunan.

Mengurai Dasar Gagas People Lead Developmet
    Terlepas dari semua fakta politik dan realitas pembangunan yang ada, WTM sebagai lembaga yang sedang bekerja bersama dengan rakyat di tiga (3) kecamatan,  yakni: Mego, Tanawawo dan Magepanda memiliki gagasan pembangunan dipimpin rakyat (People-Led Development).
    Dalam kondisi ketidakjelasan sistem poltik dan tujuan muara politik, gagasan ini memberi nuansa baru dan dipandang perlu sebagai sebuah pemahaman baru yang mestinya dikembangkan. Gagasan People-Led Development hendaknya dijadikan sebagai semangat bersama. Yakin atau tidak bila ini dianut sebagai roh bersama yang menggerakan semangat perjuangan dan kebersamaan tentunya apa yang diimpikan menjadi kenyataan. Saatnya, rakyat perlu memiliki sebuah pemikiran baru bahwa sumber daya yang ada harus perlahan direbut untuk kepentingan rakyat. Untuk itu, rakyat terutama petani harus dikapasitasi agar mampu mengelola kesemuanya itu.
    Gagasan akan petani peneliti hendaknya dijadikan sebagai ajang bargaining petani, karena di sana petani menciptkan iklim kedaultan benih bagi dirinya. Padahal itu, adalah bagian dari ruang kampus yang hendaknya juga diambil oleh petani. Tentunya, petani punya keahlian yang perlu ditingkatkan. Ruang teliti perlu diberi agar menumbuhkan semangat bagi petani. Bahwa mereka pun memiliki kemampuan yang sama dengan yang lain. Petani dijadikan sebagai subjek. Bukannya objek untuk menanam bibit temuan para pakar dari luar yang tentunya belum diyakini itu cocok dikembangkan di wilayah kita.
    Banyak macam kegiatan yang sedang dikembangkan WTM hendaknya itu menjadi ruang publik yang dimanfaatkan petani dalam memimpin pembangunan. Konservasi tidak bisa kita berharap pada institusi negara yang sedang mengumbar janji akan penanaman seribu pohon yang hingga hari ini tidak ada realitas. Padahal bila dilihat setiap tahun anggaran penghijaun itu ada dan wilayah penghijauan dipetakan.
    Lebih dari itu, produksi dari kebun petani seperti pangan dan beberapa hasil perkebunan komoditi hendaknya menjadi fokus perhatian agar diemban sebagai embrio ekonomi yang dapat dijadikan sebagai ekonomi alternatif. Pengelolaan minyak di beberapa kelompok harus dimaknai sebagai upaya pemenuhan kebutuhan minyak. Kebutuhan minyak harus mulai dipasok dari kelapa yang ada di Sikka.  Pisang yang dijual serampangan melalui (truk jalan darat) dalam memenuhi kebutuhan pasar luar daerah harus dilihat sebagai potensi agar dijadikan sebagai sebuah potensi ekonomi.
    Masih ada begitu banyak produk kebun yang sering terabaikan dari perhatian petani dan berbagai komponen lain. Bila nurani bening kita diwarnai dengan semangat solidaritas dan pengembangan kualitas hidup yang lebih layak tentu itu akan menjadi potensi yang bisa dijadikan sebagai pendapatan.
    Pemerintah Kabupaten Sikka telah menggelar acara tenun ikat dengan menghadirkan seribu penenun dan berhasil merebut rekor muri. Apakah rekor muri hanya menjadi target Pemkab Sikka. Ataukah tenun ikat menjadi home industry (industri rumah tangga) yang perlu didorong dalam memenuhi kebutuhan tekstil di kabupaten Sikka.

Kesimpulan
    Beberapa deretan konsep lepas dan gagasan ini,  sebetulnya kita melihat bahwa petani Sikka memiliki kekayaan yang tak sebanding. Petani dan rakyat Sikka memiliki sumber daya alam dan produksi yang cukup. Hanya saja bagaimana ada upaya untuk memberdayakannnya menjadi kekuatan bersama. Dan semangat ini dapat tumbuh kembang bila rakyat didorong menjadi pemimpin pembangunan.
Untuk menjawabi berbagai permasalahan itu, WTM menjadikan Kader Tani sebagai agent of change agar terlibat dalam berbagai aktifitas program dan berbagai aktifitas lain yang berkontribusi pada perbaikan lingkungan dan kualitas hidup rakyat dengan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki para pihak.
Keterlibatan kader sebagai pengemban usaha tani terpadu, perlindungan lingkungan terutama di kawasan-kawasan genting, advokasi dilakukan untuk mengarusutamakan kepentingan petani dalam kebijakan pemerintah lokal dan daerah serta pengolahan hasil sebagai upaya alternaif dalam menaikan bargaining petani dalam produksi hasil kebun di pasar.
Selain itu, para kader petani pun terlibat dalam kaji banding  terap dan penilitian pemulian tanaman padi menjadi wujud bargaining potition rakyat yang terus ditindas dengan benih-benih hasil rekayasa genetik.
Diyakini bahwa berbagai aktifitas program yang dilakukan WTM – Miserior Jerman yang terberi dalam PEOPLE-LED DEVELOPMET ini memberi nilai positif yang mana akan perlahan menjawabi problem-problem yang ada dan lebih dari itu rakyat sendiri menjadi penyelesai masalah untuk dirinya.



Penulis adalah Koordinator Advokasi dan Riset Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Hasil Wahana Tani Mandiri (WTM) dan Mantan Direktur Walhi NTT (2011-2016)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar