Selasa, 01 Maret 2016

WATER FOR ALL (AIR UNTUK SEMUA)


Oleh: Herry Naif

Pada tahun 2015, beberapa daerah di NTT dilanda sebuah fenomena alam yang berbeda seperti sebelumnya. Benar, bahwa curah hujan di NTT diketahui publik itu terbatas tetapi tidak seperti yang terjadi tahun ini, yang mana ketiadaan hujan sejak April hingga Desember. Malah pada musim hujan pun, curah hujan sangat terbatas, tidak seperti biasanya. Sepengetahuan dan pengalaman biasanya bulan Januari hingga Februari dilihat sebagai bulan hujan. Tetapi kondisi tahun ini berbeda. Kekeringan panjang. Hujan sangat sedikit, berdampak pada banyak tanaman pangan dan bahkan tanaman umur panjang seperti kelapa, kakao dan mente petani banyak yang mati kekeringan. 

Realitas ini tentunya akan berdampak buruk terhadap pemenuhan kebutuhan pangan dan air di NTT dan Sikka pada khususnya. Sedikitnya curah hujan tahun ini hendaknya dilihat sebagai momentum refleksi berbagai pihak di NTT dan kabupaten Sikka pada khususnya. Dari kondisi ini dibutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak, terutama Pemerintah Kabupaten Sikka agar dengan kewenangannya malakukan tindakan-tindakan adaptif dan mitigatif dalam menghadapi keterbatasan pangan dan air yang akan semakin parah dalam waktu yang akan datang. 

Air adalah unsur hakiki bukan saja bagi manusia melainkan bagi tanaman, hewan. Tiada kehidupan tanpa air. Air sebagai sebagai sumber kehidupan, dimana pun dan kapan pun akan selalu dibutuhkan manusia dan berbagai makhluk hidup. 

Dulu, krisis air adalah persoalan wilayah perkotaan, sebab di sana banyak penghuni dan banyak lahan dikonversi menjadi lahan penduduk. Atau dilihatnya sebagai persoaan bagi wilayah-wilayah yang tidak memiliki sumber mata air. Kini, kelangkaan air telah menggejala tanpa mengenal sekat-sekat wilayah baik di kota maupun di daerah-daerah hulu sekalipun. Penurunan debit air dari waktu ke waktu terjadi seiring dengan kerusakan lingkungan di kawasan-kawasan resapan (kawasan hutan), atau gencarnya eksploitasi sumber daya alam besar-besaran dalam kawasan tanpa mengenal ruang. 

Persaingan atas sumber daya air baik dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari (konsumen rumah tangga) maupun dalam pemenuhan kebutuhan irigasi dan pemanfaatan lainnya sering hanya menguntungkan para penguasa dan modal sehingga mereka yang tak berdaya (rakyat) terus diterlantarkan dalam kehausan. 

Banyak warga kota Maumere terus mengeluh karena tidak mendapatkan distribusi air. Padahal, di tengah krisis air, ada lembaga-lembaga di daerah yang ditugaskan mengurus pemenuhan air bagi warga seperti: Perusahan Daerah Air Minum (PDAM). Kegentingan akan keterbatasan air membuat tuding-menuding antara konsumen dan pendistribusi (PDAM). Selain itu, ada lembaga yang didanai Word Bank untuk melakukan pedistribusian dan pemenuhan kebutuhan akan air seperti Pansinmas. Tetapi mengherankan, bahwa kondisi ini kemudian melahirkan begitu banyak perusahaan air minum, yang mengambil air tanah dan kemudian dijadikan lahan bisnis. Bayangkan NTT, yang dikenal sebagai daerah krisis air tetapi perusahan air terbesar di Indonesia (Aqua Danone) dalam iklannya, mengambil NTT sebagai wilayah kampanye, “sumber air su dekat, kotong son terlambat lai”. Banyak orang NTT tentunya senang dengan iklan tersebut tetapi tidak disadari bahwa dalam krisis air, rakyat NTT masih sempat dieksploitasi untuk penumpukan modal bagi perusahaan aqua. Lantas, siapa yang harus dipersalahkan? Kebutuhan warga akan air harus dipenuhi. 

Sebagian orang mungkin mengatakan bahwa krisis air menyangkut kekurangan air akibat penduduk yang semakin bertambah. Sebagian berujar bahwa pembagian, pemborosan dan kurangnya penghormatan terhadap air di tengah masyarakat yang materialistis dan konsumeristis. Yang lain akan mengatakan bahwa krisis air berkenaan dengan privatisasi pelayanan pasokan air dan kepemilikan atasnya – di mana 95% dari kegiatan-kegiatan pelayanan air ini masih dikendalikan oleh sektor publik. 

Berhadapan dengan persoalan tersebut hanya sedikit orang yang menganalisis bahwa keterbatasan Pangan dan air diakibatkan oleh kondisi ekologi terutama keseimbangan ekologi dan makin sempitnya kawasan penyangga di setiap wilayah pulau. Ini diperparah oleh merebaknya global warming dan climate change. Lebih jauh telusuri NTT yang merupakan gugus pulau api (ring of fire) yang sangat kecil. Ini dituntut agar benar memiliki kawasan penyangga yang cukup seimbang.


Dari beberapa uraian di atas tentang krisis air di Sikka, maka beberapa rekomendasi aktifitas penting yang perlu dilakukan adalah:
  1. Adanya monitoring dan evaluasi terhadap kualitas kawasan lindung dan hulu yang ada di kabupaten Sikka, agar diketahui kondisi sesungguhnya
  2. Perlu dilakukan penanaman kembali pada kawasan yang dinilai rusak dan hendaknya ini menjadi gerakan bersama rakyat. Rakyat harus dilibatkan secara penuh dan diberi tanggung jawab. Bahwa rakyat yang sukses menghijaukan dan menjaga wilayahnya perlu diberi apreseasi dan dana stimulans
  3.  
  1. Rakyat Sikka perlu merevitalitasi nilai-nilai lokal yang ada seperti yang pernah dikaji PBH Nusra, bahwa
  • Opi Dun Kare Dunan adalah sistem ruang yang mengalokasikan wilayah-wilayah puncak gunung sebagai daerah jebakan air ataupun untuk kepentingan adat lainnya. Di wilayah ini dilarang dilakukan penebangan dan pengembangan pertanian
  • Opi Dun Kare Taden, bentang alam yang secara fungsional merupakan cadangan lahan garapan untuk mengantisipasi ledakan penduduk dan keterbatasan lahan. Dalam areal ini masih harus perhatikan beberapa fungsi perlindungan yang harus dijaga terutama apa yang disebut dengan :
  • Lian Puan Wair Matan , yakni : Arel disekitar mata air dan sungai.
  • Wua Dua Mahe Moan, yakni : Tempat-tempat pelaksanaan ritus dan perlindungan menhir adat suku .
  • Ai Wa’u watu Narin : Tempat peristrahatan/tempat hiburan. Biasanya berada di antara ruas jalan antara perkampungan dan areal pertanian.
  • Repi goit raen raat, yakni : wilayah yang memiliki kemiringan di atas 60tidak boleh dikelola.
  • Dari beberapa catatan ini, mau dikatakan bahwa Orang Sikka sejak dulu selalu hidup bersama alam dan selalu menjaga alam. Apa bila pemerintah kabupaten sikka mengakomodir nilai-nilai lokal ini maka tentunya penyelamatan lingkungan dapat terwujud hanya saja perlu dipertegas dalam produk hukum (Perda).
  • Nian koben bue tana namang pare, yakni Lahan garapan untuk pertanian. Wilayah yang layak biasanya berada pada areal yang datar, cukup jauh dari daerah mata air dan batangan sungai, tidak dalam kawasan tempat pelaksanaan ritus dan tidak berada pada kemiringan di atas 60.
  1. Perlindungan kawasan-kawasan mata air lokal yang ada di setiap kampung karena ini untuk memenuhi kebutuhan air di kampung tersebut.
  2. Pemkab Sikka juga perlu memberi stimulans bagi masyarakat kawasan hulu agar tetap menjaga kawasan hulu tetap lestari.
  3. Pemerintah perlu menertibkan proses pengambilan air tanah di kota maumere yang dari hari ke hari semakin meningkat, karena ini hanya dimanfaatkan sebagai ladang bisnis yang tidak punya kontribusi bagi pemulihan lingkungan hidup.


Herry Naif,
Mantan Direktur Walhi NTT (2011-2016) dan Sekarang sebagai Koordinator Advokasi, Riset dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Wahana Tani Mandiri (WTM)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar