Minggu, 06 Maret 2016

REVITALISASI NILAI LOKAL


REVITALISASI NILAI LOKAL
News Analisis, Herry Naif, Mantan Direktur WALHI NTT

TAHUN lalu beberapa daerah di NTT dilanda fenomena alam yang berbeda yaitu ketiadaan hujan. Hujan baru turn pertengahan Februari dan awal Maret 2016 tapi intensitasnya belum mampu meningkatkan debit air yang menjadi sumber PDAM Sikka melayani warga kota Maumere dan sekitarnya.

Minimnya curuh hujan hendaknya dilihat sebagai momentum refleksi berbagai pihak di NTT dan kabupaten Sikka pada khususnya. Kondisi ini menuntut perhatian pemerintah Kabupaten Sikka agar melakukan tindakan-tindakan adaptif mitigatif.

Air adalah unsur hakiki bukan saja bagi manusia melainkan bagi tanama dan heawan. Tiada kehiduapan tanpa air. Dulu krisis air adalah masalah perkotaan sebab di sana banyak jumlah penduduk dan banyak lahan dikonversi. Kini kelangkaan air tanpa mengenal sekat wilayah, baik di daerah kota maupun daerah hulu sekalipun. Penurunan debit air dari waktu ke waktu terjadi seiring dengan kerusakan lingkungan di kawasan resapan (kawasan hutan), atau gencarnya eksploitasi sumber daya alam besar-besaran.

Persaingan atas sumber daya air, baik dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari (konsumen rumah tangga) maupun kebuhan irigasi dan lainya sering hanya menguntungkan para penguasa dan pemodal sehingga mereka yang tak berdaya (rakyat) terlantar dan kehausan.

Banyak warga kota Maumere mengeluh karena mendapatkan distribusi air. Padahal ada lembaga daerah yang ditugaskan mengurus pemenuhan air bagi warga seperti Perusahan Daerah Air Minum (PDAM). Ada pula lembaga yang didanai oleh Word bank seperti Pansinmas. Mengherankan, kondisi ini kemudian melahirkan begitu banyak perusahaan air minum (swasta) yang mengambil air tanah dan dijadikan sebagai lahan bisnis.

Sebagian orang mungkin mengatakan bawa krisis air terkait jumlah penduduk yang semakin bertambah. Sebahagian berujar bahwa pembagian pemborosan dan kurangnya penghormatan terhadap air di tengah masyarakat yang materialistis dan konsumeristis. Yang lain akan mengatakan bahwa krisis air berkenaan dengan privatisasi pelayanan pasokan air dan kepemilikan atasnya dimana 9 persen dari pelayanan air dikendalikan oleh sektor publik.

Berhadapan dnegna persoalan tersebut hanya sedikit orang yang menganalisis bahwa keterbatasan air dan pangan diakibatkan oleh kondisi ekologi, terutama kesimbagan ekologi dan makin sempitnya kawasan penyanggah di setiaip pulau. Ini diperparah oleh merebaknya dampak global warming dan climate change. Lebih jauh telusuri NTT yang merupakan gugus pulau api (ring of fire) yang sangat kecil. Ini dituntut agar benar memiliki kawasan penyangga yang cukup seimbang.

Dari beberapa uraian di atas tentang krisis air di Sikka maka beberapa rekomendasi aktifitas penting yang perlu dilakukan adalah monitoring dan evaluasi terhadap kualitas kawasan lindung dan hulu yang ada di kabupaten Sikka agar diketahui kondisinya.

Perlu penanaman kembali paada kawasan yang dinilai rusak dan hendaknya ini menjadi gerakan bersama rakyat. Rakyat harus dilibatkan secara penuh dan diberi tanggung jawab . Bahwa rakyat yang sukses menghijaukan dan menjaga wilayahnya perlu diberi apreseasi dana stimulan.

Rakyat Sikka perlu merevitalisasi nilai-nilai lokal yang seperti yang pernah dikaji PBH Nusra. Opi dun kare dunan adalah sistem ruang yang mengalokasikan wilayah-wilayah puncak gunung sebagai daerah jebakan air atau untuk kepentingan adat lainnya. Di wilayah ini dilarang penebangan dan pengembangan pertanian.
Opi Dun Kare Taden, bentangan alam yang secara fungsional merupakan cadangan lahan garapan untuk mengantisipasi ledakan penduduk dan keterbatasan lahan. Dalam areal ini masih harus diperhatikan beberapa fungsi perlindungan yang harus dijaga, terutama apa yang disebut Lian Puan Wair Matan, yakni areal di sekitar mata air dan sungai.

Wua Dua Mahe Moan, yakni tempat-tempat pelaksanaan ritus dan perlindungan menhir ada suku. Ai Wau Watu Narin, tempat peristirahatan, tempat hiburan. Biasanya berada di antara ruas jalan dan areal pertanian.

Repi goit raen rahat, yakni: wilayah yang memiliki kemiringan di atas 60 derajat tidak boleh dikelola. Nian koben bue tana namang pare, yakni lahan garapan untuk pertanian. Wilayah yang layak biasanya berada pada areal yang datar, cukup jauh dari daerah mata air dan bentangan sungai, tidak dalam kawasan tempat pelaksaan ritus dan tidak berada pada kemirigan di atas 60 derajat.

Dari beberapa catatan ini saya mau katakan bahwa Orang Sikka sejak dulu selalu hidup bersama alam dan selalu menjaga alam. Apalbila pemerintah kabupaten Sikka mengakomodir nilai-nilai lokal ini, maka tentunya penyelamatan lingkungan dapat terwujud. Hanya perlu dipertegas dalam produk hukum (Perda) Perlindungan Kawasan mata air lokal yang berada di setiap kampung. Pemkab Sikka juga perlu memberi stimulan bagi masyarakat kawasan hulu agar tetap menjaga kawasan hulu agar tetap lestari. Pemerintah perlu menertibkan proses pengambilan air tanah di kota Maumere yang dari hari ke hari semakin meningkat, karena ini hanya dimanfaatkan sebagai ladang bisnis yang tidak punya kontribusi bagi pemulian lingkungan hidup (ris)

Sumber: Pos Kupang Cetak, Kamis 3 Maret 2016, Halaman 1 dan 7.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar