Selasa, 25 November 2014

Festival Nekafmese Tafena To Halat, Pulihkan Alam dan Kemandirian Ekonomi

Festival Nekafmese Tafena To Halat, Pulihkan Alam dan Kemandirian Ekonomi

SUARAFLORES.COM,- Festival masyarakat adat Tiga Batu Tungku kembali digelar keempat kalinya di Naususu Mollo, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur sejak Kamis 19 – 23 Juni 2014. Festival “Nekafmese Tafena To Halat” yang disingkat Festival Nakafmese, kali ini menyerukan agar masyarakat adat atau warga di manapun untuk memulihkan alam yang makin rusak dan mampu menghadapi krisis iklim menuju kemandirian ekonomi.

Tindakan yang justru makin dilupakan para pemimpin Indonesia sejak rrde baru yang memperlakukan kekayaan alam semata komoditas global, melalui pengerukan bahan tambang dan alih fungi hutan. Buktinya, bersama Enam kawasan lainnya, Nusa Tenggara digambarkan dalam peta Wilayah Pertambangan (WP) hanya gugusan kepulauan yang 95% wilayahnya mengandung berbagai kandungan mineral yang bisa digali, di manapun dia berada. Peta WP ditetapkan Kepmen ESDM No. 1329 K/30/MEM/2014. NTT sendiri hinga kini sudah 20 persen atau 837.802 hektar wilayahnya telah dikapling 314 perusahaan tambang khususnya  tambang Mangan, juga ada tambang migas di TTS.

Perampasan ruang hidup terus terjadi akibat ekstraksi ruang hidup warga. Di pulau Sumba, ada PT. Fathi Resources yang akan membongkar sebagian kawasan Taman Nasional Laiwangi-Wanggameti yang merupakan sumber air bagi DAS utama di Sumba. Tiga warga di Sumba Timur dkiriminalisasi karena menolak kehadiran tambang emas tersebut. Hal sama dialami warga Tumbak,  Manggarai Timur, pada 5 Mei 2014 lalu dua warga ditahan dan 16 lainnya diperiksa karena menolak tambang mangan PT. Aditya Bumi Pertambangan masuk tanah adat mereka.

Masalah kesehatan juga menyertai kehadiran pertambangan di NTT. Salah satunya  di Kabupaten Belu. Sumber air masyarakat tambang mangan PT. Nusa Lontar Resources dan menyebabkan wabah penyakit kulit yang menyerang  150 warga sepanjang Sungai Welakason.

Aleta Baun, Ketua Organisasi Attaemamus (OAT) penyelenggara Fetival Nekafmese  mengingatkan bahwa pertambangan di pulau-pulau seperti di pulau Timor akan membuat rakyat makin sengsara.

“Pernah kami alami di Naususu. Itu sebabnya, kita jangan kasih lepas tanah supaya kita masih bisa makan dan mandiri,” tegasnya, Rabu (18/6) melalui rilis yang diterima suaraflores.com.

Di saat yang sama Aleta juga mengingatkan warga di sekitar pertambangan tak hanya menghadapi masalah perampasan lahan, pelanggaran HAM dan krisis air. Tapi juga harus menghadapi dampak perubahan iklim yang mengakibatkan musim makin tak menentu, yang berakibat gagal tanam maupun panen bagi petani.

“Perampasan ruang hidup dan keselamatan masyarakat yang direstui oleh Negara ini jelas semakin meningkatkan konflik dan pelanggaran HAM. Festival Nekafmese seharusnya menjadi panutan bagi penyelenggara Negara, bagaimana masyarakat mampu membangun ekonomi tanding yang berkelanjutan tanpa bergantung pada ekstraksi sumber daya alam,” kata Ki Bagus Hadi Kusuma, Juru Kampanye JATAM.

Sementara itu, Siti Maimunah dari TKPT JATAM, mengatakan, festival ini ingin menyerukan bahwa masyarakat adat di manapun harus mempertahankan tanahnya, melakukan pemulihan lingkungan yang rusak dan menghidupkan lagi kearifan-kearifan lokal untuk menghadapi dampak perubahan iklim.

Menurut dia, Festival Nakafmese, lahir dari perjuangan panjang sejak 1999 mengusir pertambangan marmer yang sedang dan akan menghancurkan gunung batu, ritus adat sekaligus sumber air dan identitas sejarah masyarakat adat Tiga batu Tungku. Perjuangan ini membuat masyarakat adat makin kuat dan dihargai.

“Kami tidak akan menjual apa yang tidak bisa kami buat menjadi ikrar yang menginspirasi kelompok lainnya. Ikrar ini juga mendorong masyarakat Amanuban, Amanatun dan Mollo untuk menata kembali pola produksi – konsumsi mereka sebagai bentuk pemulihan dan perawatan tatanan sosial ekologis yang selama ini telah dirusak industri ekstraktif,” terangnya.

Lanjut dia, salah satu upaya yang harus dilakukan adalah menggalakkan tenun dan pertanian organik. Saat ini  anggota OAT termasuk  44  kelompok penenun perempuan yang mengembangkan tenun, juga lebih 100 kelompok tani  yang mengembangkan pertanian organik.  Wakil-wakil mereka akan menyampaikan pengalamannya pada Festival Nekafmese.

Dalam Festival ini akan diselenggarakan workshop perempuan penenun, workshop petani menghadapi dampak perubahan iklim, perjalanan ritual adat dari desa Tune ke Naususu yang panjangnya mencapai 30 kilometer,  gotong royong adat, pentas seni dan lomba-lomba, juga direncanakan dialog dengan Bupati Timor Tengah Selatan dan Menteri Pembangunan daerah Tertinggal. Festival ini didukung oleh organisasi lokal dan nasional: Perkumpulan PIKUL, JATAM, Walhi NTT, GEF-SGP, Samdhana, CSF-CJI dan Lawe.(MP/Akr)

Sumber: http://suaraflores.com/festival-nekafmese-tafena-halat-pulihkan-alam-dan-kemandirian-ekonomi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar