Jumat, 04 Desember 2015

KOMUNITAS ADAT PUBABU – BESIPAE SEBAGAI TITIK PEMBELAJARAN
Oleh: Herry Naif*

Berbagai kampanye akan kedaulatan pangan yang digalakkan berbagai komponen sebagai upaya memenuhi hak atas pangan yang  berkualitas seakan tidak menjawabi permasalahan tersebut.
    Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Daerah NTT dalam kerja samanya dengan Global Environment Facility (GEF) dalam Small Grant Program (SGP) melakukan program “Membangun Kedaulatan Pangan melalui Penyelamatan Hutan dan Air berbasis Kearifan Lokal di Pubabu – Besipae”. Hakekatnya, program bertujuan membangun kedaulatan pangan mulai dari komunitas-komunitas kecil, dengan menanam kembali berbagai varietas pangan lokal yang pernah dikembangkan masyarakat setempat. Pertanian merupakan sumber penghidupan (modal ekonomi) warga Besipae sejak dulu. Selain itu juga, pertanian dipandang sebagai modal budaya, yang mana hampir keseluruhan budaya mereka membicarakan tentang relasi mereka dengan lingkungannya dan modal sosial dimana interaksi sosial yang harmonis menjadi tuntutan.  Bila ini dilakukan dalam kesadaran baru yang terus menggelora, tentunya tawaran akan nilai-nilai baru tidak akan mengendusnya dalam berbagai problem,  namun ditolak pula dalam sebuah bingkai argumentansi yang tak dapat diperdebatkan.
    Di sisi lain, pertanian seakan dinilainya tak mampu mensejahterahkan rakyat. Secara sederhana diindikasikan oleh kebijakan pemerintah terlalu menghandalkan pertambangan (industri ekstraktif) ketimbang mengurus pertanian dan peternakan hingga kini masih menjadi lokomotif ekonomi masyarakat NTT.
    Padahal, ekspansi pertambangan yang terberi dalam 315 Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang semakin meluas ini akan berdampak pada perampasan lahan pertanian dan kerusakan lingkungan sebagai bayarannya. Provinsi NTT sebagai daerah gugus pulau kecil tentunya rentan terhadap keterbatasan pangan dan air akibat dari kurangnya curah hujan. Lebih mengkwatirkan bila ruang pertanian terus menyempit selain akibat perluasan kawasan pumikaman, pertambangan dan peruntukan lainnya.
    Dalam menjalankan program ini, WALHI NTT bekerja sama dengan Ikatan Toko Adat Penegak Kebenaran dan Keadilan (ITA – PKK)  sejak September sampai sekarang menjalankan program tersebut.  Mulai dari persiapan lahan pangan, penanaman, perawatan hingga pemanenan. Sedangkan berbagai kegiatan peningkatan kapasitas petani, seperti pelatihan konservasi tanah, pelatihan pengembangan pangan lokal (shorgum), jagung lokal, padi, sain (sesawi) dan lain-lain, pelatihan manajemen kelompok tani, pelatihan pembuatan pupuk organik dan pelatihan teknik penanaman yang ramah lingkungan.     Dan berbagai aktivitas lainnya dijalankan dalam upaya mendukung program membangun kedaulatan di komunitas tersebut.
    Rangkaian berbagai kegiatan dalam program ini berpuncak pada acara Festival Pangan Lokal di Komunitas Adat Pubabu – Besipae, pada tanggal 27 – 29 Maret 2015. Festival ini sebagai simbolisasi kampanye atas kedaulatan pangan. Kegiatan ini dihadiri oleh anggota komunitas dan beberapa undangan. Festival ini diselingi dengan kegiatan Diskusi Pengelolaan Kawasan Hutan yang difasilitasi oleh Magnus Kobesi (Direktur LBH Timor). Diskusi Pertanian Organik dan Penggunan Biogas yang difasilitasi oleh Geng Motor Imut.  Disksusi tenun ikat  dalam kaitan dengan pelestarian hutan oleh Aleta Baun (Koordinator Organisasi A'Taimamus (OAT) yang kini juga sebagai anggota DPRD NTT. Kegiatan festival ini berjalan semarak diiringi dengan musik dan tarian lokal seperti; tarian ma ekat, bsoat (tarian giring-giring) dan beberapa acara kreasi lainnya dari komunitas dalam memeriahrayakan kegiatan tersebut.
    Kegiatan ini dibuka dengan seremonial adat oleh para tokoh adat dengan penyembelihan binatang sebagai penghormatan terhadap leluhur dan permohonan kepada mereka agar acara ini berjalan lancar. Setelah itu dilakukan seremonial pembukaan dengan penyambutan para tamu.  Dalam acara pembukaan ini, Herry Naif (Direktur WALHI NTT) mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang sejak awal terlibat dalam memberi dukungan kepada masyarakat adat Pubabu Besipae dalam memperebutkan hak atas tanah yang telah lama dikontrakan kepada pihak Australia dalam program pengembangan ternak. Tidak ada petani yang akan bertani baik bila tidak memiliki tanah. Tanah sebagai alat produksi. Tidak heran bila kemudian komunitas Besipae berjuang untuk merebut tanah ini sebagai alat produksinya atau menjadi sumber penghidupan. Sejauh pengalaman di beberapa tempat lain di NTT, bahwa solidaritas terbangun di saat perjuangan, setelah memperoleh tanah yang terjadi justru tidak saling menghargai satu sama lain dan malah ada kelompok yang mengklaimnya sendiri. Lalu tanah itu juga kemudian tidak dimanfaatkan secara efektif. Pertanyaannya, mengapa warga berjuang merebut lahan kalau hanya untuk dibiarkan? Demikian kenangnya dan otokritik terhadap komunitas yang pernah didampinginya.
    Sedangkan, Niko Manao, salah satu amaf dari komunitas adat Pubabu Besipae, mengatakan bahwa perjuangan kita tidak selesai pada acara festival ini, tetapi perebutan ini harus menunjukkan nilai lebih kepada pihak lain di luar komunitas. Nilai yang akan menjadi buah pembelajaran kepada kita dalam komunitas dan berbagai pihak lain. Pada acara ini tentunya kita semua akan bergembira dan bersyukur atas hasil panen ini sebagai ungkapan syukur atas berkah yang kita terima. Setelah menyampaikan beberapa hal, beliau membuka acara festival dalam bahasa setempat (dawan).
    Dengan demikian, kegiatan festival pangan lokal dimaknai dalam beberapa bertujuan diantaranya; Pertama: Mengembangkan model pengolahan hasil produksi tanaman pangan lokal jagung (pena), shorgum (pen buka), sesawi (sain), kacang-kacangan dan beberapa jenis tanaman umur panjang seperti: Mangga, Nangka, Jeruk dll. Selain itu dilakukan Penghijauan (penanaman beringin) dan beberapa pohon lainnya sebagai wujud menghijauhkan daerah-daerah tandus. Kedua; Menemukan suatu metode/model pengelolaan pertanian yang adaptif terhadap perubahan iklim; Bila iklim ini tidak mampu dibaca dalam sebuah kelender musim secara tepat dapat berakibat fatal pada gagal panen. Ketiga: Mendorong partisipasi masyarakat dan pemerintah desa dalam upaya mewujudkan kedaulatan pangan. Pada musim tanam tahun ini, komunitas Besipae telah mendapatkan sebuah gambaran pembelajaran akan bagaimana mengelolah pertanian secara lestari.
   
   
   
* Penulis adalah Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT, periode 2011 -2015
   
Persoalan Pangan sedang menjadi permasalahan yang langgeng terjadi setiap tahun di Indonesia dan bangsa-bangsa lainnya di dunia. Pemenuhan pangan sebagai salah satu hak dasar merupakan tanggung jawab negara. Untuk mewujud-kongkretkan pemenuhan atau kedaulatan atas pangan sesungguhnya tak hanya pekerjaan pemerintah semata, tetapi seluruh komponen bangsa dituntut berperan aktif. Hingga hari ini, krisis pangan seolah terus membelit rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar