PERTAMBANGAN RAKYAT BUKAN SOLUSI
Resistensi (perlawanan) masyarakat lokal terhadap ekspansi industri
pertambangan di Nusa Tenggara Timur beberapa tahun terakhir menarik
untuk dikaji dalam kaitan dengan hubungan antara Negara, korporasi dan
masyarakat lokal yang mana sama-sama menjadi bagian dari proses hadirnya
pertambangan di NTT. Resistensi ini sebetulnya hendak memaksa Negara
untuk mengubah mekanisme regulasi yang berkaitan dengan pertambangan.
Bila dianalisa lebih jauh, resistensi ini juga mengandung sebuah
‘kepercayaan’ sosial bahwasannya kekuatan perubahan sesungguhnya ada
pada rakyat. Hal ini tentu merujuk pada kelompok yang memiliki hubungan
langsung dengan kepemilikan sumber daya alam (asset) pada tanah dan
kawasan ulayat, namun secara ekonomis, sosial, dan budaya tidak mendapat
keuntungan guna mendukung keberlangsungan hidup mereka.
Hampir seluruh cerita perlawanan masyarakat lokal terhadap laju
ekspansi industri pertambangan di NTT berakhir baik. Artinya, perlawanan
masyarakat lokal massif dan intensif berimplikasi pada moratorium
terhadap beberapa aktifitas perusahaan di NTT. Lepas dari cerita
sukacita di atas, setahun terakhir ini, wacana pertambangan rakyat mulai
dihembuskan (lagi) oleh beberapa pihak. Wacana pertambangan rakyat
diyakini kelompoknya sebagai bentuk kedaulatan rakyat atas sumber daya
alam yang dimiliki. Dengannya, rakyat mempunyai posisi tawar sendiri dan
mendatangkan keuntungan ekonomi sebanyak-banyaknya.
Selain itu, pertambangan rakyat, konon, tidak banyak berkontribusi
terhadap kerusakan ekologis. Karena semua dilakukan secara tradisonal
tanpa pemakaian alat - alat berat. Dampak Ekonomi Indonesia merupakan
Negara eksportir utama bahan mineral bagi Negara-negara antara lain
Cina, Jepang dan India. Cadangan mangan Indonesia menyumbang setidaknya
10 persen cadangan mangan dunia. Dirjen Minerba (2012) memperkirakan
cadangan mangan Indonesia mencapai 4 miliar ton.
Ironinya, meskipun belum mendapat kajian matang, komoditas mangan
Indonesia sudah banyak diproduksi dan diekspor, sehingga kita tak pernah
paham berapa produksi mangan secara keseluruhan dari bumi nusantara
ini. Mangan itu sendiri alah logam transisi. Sekitar 90 persen dari
produksi mangan dunia saat ini digunakan sebagai bahan campuran
pembuatan baja. Substitusi mangan hingga saat ini sulit ditemukan.
Karena baja terbuat dari besi, maka besi dan mangan merupakan bahan
komplemen dalam pembuatan baja. Mangan berguna meningkatkan kualitas
tempaan baja, baik dari segi kemampuan pengerasan maupun kekuatannya.
Dalam memenuhi kebutuhan pasar global tadi, permintaan akan produksi
mangan pun semakin tinggi. Namun, permintaan pemenuhan kebutuhan
komoditas mangan ini tidak linear dengan pembagian keuntungan (harga)
mangan itu sendiri. Artinya berapa besar manfaat ekonomi yang diterima
oleh rakyat NTT, pemilik dan pekerja mangan.
Catatan WALHI NTT menemukan banyak fakta (di TTU) bahwa harga mangan
tidak adil, berkisar Rp 400 sampai Rp 1.500 per kilogram. Tentu harga
ini tidak sebanding dengan biaya produksi mangan, dan dampak-dampak
lanjutan lain yang dialami para penambang dan lingkungan. Negara dan
masyarakat penambang sama sekali tidak turut terlibat dalam penentuan
harga mangan. Semua bergantung pada mekanisme pasar, yakni korporasi itu
sendiri. Dampak Ekologi Kabar pertambangan rakyat tidak merusak ekologi
adalah irasional. Fakta menunjukkan, pertambangan, apa pun model dan
bentuknya selalu merusak lingkungan. Di TTU (2011), para penambang
rakyat membongkar tanah dan pohon untuk mendapatkan mangan. Akibatnya
banyak lubang-lubang tambang menganga tanpa ada upaya pemulihan
(reklamasi). Kondisi ini, selain berakibat terjadinya banjir – longsor,
juga menyebabkan kematian dari pekerja di lubang tambang.
Laporan Global Studies, Social Sciences and Planning, RMIT University,
Melborne, Australia, September 2012, menyatakan dalam kurun waktu 2008 –
2010, sudah 54 warga di Timor Barat tewas di lubang tambang. Dampak
sosial budaya cerita pertambangan adalah cerita soal rakyat yang kian
tercerabut dari akar budaya dan ekonomi riil. Mereka yang menggantungkan
hidupnya pada sektor pertanian dan peternakan kian miskin karena
lahannya sudah dikonversi menjadi wilayah pertambangan.
Gagasan otonomi daerah untuk mengangkat daya juang petani-petani lokal
kian berantakan. Dengan ‘surga tambang’, petani meninggalkan pekerjaan
sebagai petani menjadi pengumpul bahan tambang. Tambang telah menciutkan
generasi petani tangguh – kreatif yang mampu membangun strategi
beradaptasi pada lingkungan kritis menjadi petani bermental instan yang
menggali bahan tambang.
Selain itu, dalam lingkup sosial budaya yang lain, pertambangan rakyat
juga rentan terjadinya konflik horizontal di antara masyarakat, maupun
konflik vertikal antara masyarakat dengan pemerintah. Klaim pemilikan
tanah di antara para tuan tanah menjadi persoalan krusial, yang bukan
tidak mungkin menjadi potensi konflik di antara para pemilik tanah
ulayat. Belum lagi dengan keturunan para tuan-tuan tanah tersebut. Di
antara masyarakat sekitar lokasi tambang, kemungkinan konflik bisa saja
terjadi di antara kelompok pro tambang dan kontra tambang; kelompok yang
diuntungkan oleh industri tambang dengan kelompok yang merasa dirugikan
oleh industri tambang.
Lebih konyol lagi, argumentasi akan meniadakan mangan dari perut bumi
agar pertanian menjadi efektif adalah sebuah rasionalisasi pembenaran
atas kebirahian dalam merogo isi perut bumi Timor. Faktanya banyak pohon
ditumbangkan pada saat penggalian mangan. Sederhana saja bahwa mangan
adalah salah satu unsur hara mikro yang dibutuhkan tumbuhan. Lantas
bagaimana dengan pasokan unsur hara mangan (Mn) bagi tumbuhan?
Litani panjang akan dampak negatif pertambangan semestinya menjadi
refleksi masyarakat NTT baik di tingkat akademisi, aktifis dan warga.
Pada tahun 2015, tentunya hampir seluruh wilayah di NTT mengalami
keterbatasan air. Sepintas dilihatnya sebagai hal biasa. Padahal bila
dianalisis lebih jauh, kekeringan panjang yang terjadi adalah bencana
ekologi akibat akumulasi kerusakan hulu yang masif terjadi. Kontribusi
pengelolaan sumber daya alam yang berorientasi pada tindakan eksploitasi
tanpa sebuah pertimbangan keadilan ekologi dan keseimbangan ekosistem
menjadi hal pemicu.
Berangkat dari potret buram ekologi yang terus tidak menjanjikan sebuah
kelestarian, pastinya juga menghantar kita pada sebuah lingkungan yang
tak layak huni. Niat akan pertambangan rakyat hanyalah sebuah pelumas
padahal tetap berlabelkan tindakan ekstraktif. Untuk itu, pemulihan
ekologi mestinya menjadi landasan perubahan paradigma pengelolaan sumber
daya alam yang lestari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar