Minggu, 20 Desember 2015

PERTAMBANGAN RAKYAT BUKAN SOLUSI 
 
Resistensi (perlawanan) masyarakat lokal terhadap ekspansi industri pertambangan di Nusa Tenggara Timur beberapa tahun terakhir menarik untuk dikaji dalam kaitan dengan hubungan antara Negara, korporasi dan masyarakat lokal yang mana sama-sama menjadi bagian dari proses hadirnya pertambangan di NTT. Resistensi ini sebetulnya hendak memaksa Negara untuk mengubah mekanisme regulasi yang berkaitan dengan pertambangan. Bila dianalisa lebih jauh, resistensi ini juga mengandung sebuah ‘kepercayaan’ sosial bahwasannya kekuatan perubahan sesungguhnya ada pada rakyat. Hal ini tentu merujuk pada kelompok yang memiliki hubungan langsung dengan kepemilikan sumber daya alam (asset) pada tanah dan kawasan ulayat, namun secara ekonomis, sosial, dan budaya tidak mendapat keuntungan guna mendukung keberlangsungan hidup mereka. 
 
Hampir seluruh cerita perlawanan masyarakat lokal terhadap laju ekspansi industri pertambangan di NTT berakhir baik. Artinya, perlawanan masyarakat lokal massif dan intensif berimplikasi pada moratorium terhadap beberapa aktifitas perusahaan di NTT. Lepas dari cerita sukacita di atas, setahun terakhir ini, wacana pertambangan rakyat mulai dihembuskan (lagi) oleh beberapa pihak. Wacana pertambangan rakyat diyakini kelompoknya sebagai bentuk kedaulatan rakyat atas sumber daya alam yang dimiliki. Dengannya, rakyat mempunyai posisi tawar sendiri dan mendatangkan keuntungan ekonomi sebanyak-banyaknya. 
 
Selain itu, pertambangan rakyat, konon, tidak banyak berkontribusi terhadap kerusakan ekologis. Karena semua dilakukan secara tradisonal tanpa pemakaian alat - alat berat. Dampak Ekonomi Indonesia merupakan Negara eksportir utama bahan mineral bagi Negara-negara antara lain Cina, Jepang dan India. Cadangan mangan Indonesia menyumbang setidaknya 10 persen cadangan mangan dunia. Dirjen Minerba (2012) memperkirakan cadangan mangan Indonesia mencapai 4 miliar ton. 
 
Ironinya, meskipun belum mendapat kajian matang, komoditas mangan Indonesia sudah banyak diproduksi dan diekspor, sehingga kita tak pernah paham berapa produksi mangan secara keseluruhan dari bumi nusantara ini. Mangan itu sendiri alah logam transisi. Sekitar 90 persen dari produksi mangan dunia saat ini digunakan sebagai bahan campuran pembuatan baja. Substitusi mangan hingga saat ini sulit ditemukan. Karena baja terbuat dari besi, maka besi dan mangan merupakan bahan komplemen dalam pembuatan baja. Mangan berguna meningkatkan kualitas tempaan baja, baik dari segi kemampuan pengerasan maupun kekuatannya. Dalam memenuhi kebutuhan pasar global tadi, permintaan akan produksi mangan pun semakin tinggi. Namun, permintaan pemenuhan kebutuhan komoditas mangan ini tidak linear dengan pembagian keuntungan (harga) mangan itu sendiri. Artinya berapa besar manfaat ekonomi yang diterima oleh rakyat NTT, pemilik dan pekerja mangan.
 
Catatan WALHI NTT menemukan banyak fakta (di TTU) bahwa harga mangan tidak adil, berkisar Rp 400 sampai Rp 1.500 per kilogram. Tentu harga ini tidak sebanding dengan biaya produksi mangan, dan dampak-dampak lanjutan lain yang dialami para penambang dan lingkungan. Negara dan masyarakat penambang sama sekali tidak turut terlibat dalam penentuan harga mangan. Semua bergantung pada mekanisme pasar, yakni korporasi itu sendiri. Dampak Ekologi Kabar pertambangan rakyat tidak merusak ekologi adalah irasional. Fakta menunjukkan, pertambangan, apa pun model dan bentuknya selalu merusak lingkungan. Di TTU (2011), para penambang rakyat membongkar tanah dan pohon untuk mendapatkan mangan. Akibatnya banyak lubang-lubang tambang menganga tanpa ada upaya pemulihan (reklamasi). Kondisi ini, selain berakibat terjadinya banjir – longsor, juga menyebabkan kematian dari pekerja di lubang tambang. 
 
Laporan Global Studies, Social Sciences and Planning, RMIT University, Melborne, Australia, September 2012, menyatakan dalam kurun waktu 2008 – 2010, sudah 54 warga di Timor Barat tewas di lubang tambang. Dampak sosial budaya cerita pertambangan adalah cerita soal rakyat yang kian tercerabut dari akar budaya dan ekonomi riil. Mereka yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian dan peternakan kian miskin karena lahannya sudah dikonversi menjadi wilayah pertambangan. 
 
Gagasan otonomi daerah untuk mengangkat daya juang petani-petani lokal kian berantakan. Dengan ‘surga tambang’, petani meninggalkan pekerjaan sebagai petani menjadi pengumpul bahan tambang. Tambang telah menciutkan generasi petani tangguh – kreatif yang mampu membangun strategi beradaptasi pada lingkungan kritis menjadi petani bermental instan yang menggali bahan tambang. 
 
Selain itu, dalam lingkup sosial budaya yang lain, pertambangan rakyat juga rentan terjadinya konflik horizontal di antara masyarakat, maupun konflik vertikal antara masyarakat dengan pemerintah. Klaim pemilikan tanah di antara para tuan tanah menjadi persoalan krusial, yang bukan tidak mungkin menjadi potensi konflik di antara para pemilik tanah ulayat. Belum lagi dengan keturunan para tuan-tuan tanah tersebut. Di antara masyarakat sekitar lokasi tambang, kemungkinan konflik bisa saja terjadi di antara kelompok pro tambang dan kontra tambang; kelompok yang diuntungkan oleh industri tambang dengan kelompok yang merasa dirugikan oleh industri tambang.
Lebih konyol lagi, argumentasi akan meniadakan mangan dari perut bumi agar pertanian menjadi efektif adalah sebuah rasionalisasi pembenaran atas kebirahian dalam merogo isi perut bumi Timor. Faktanya banyak pohon ditumbangkan pada saat penggalian mangan. Sederhana saja bahwa mangan adalah salah satu unsur hara mikro yang dibutuhkan tumbuhan. Lantas bagaimana dengan pasokan unsur hara mangan (Mn) bagi tumbuhan?
 
Litani panjang akan dampak negatif pertambangan semestinya menjadi refleksi masyarakat NTT baik di tingkat akademisi, aktifis dan warga. Pada tahun 2015, tentunya hampir seluruh wilayah di NTT mengalami keterbatasan air. Sepintas dilihatnya sebagai hal biasa. Padahal bila dianalisis lebih jauh, kekeringan panjang yang terjadi adalah bencana ekologi akibat akumulasi kerusakan hulu yang masif terjadi. Kontribusi pengelolaan sumber daya alam yang berorientasi pada tindakan eksploitasi tanpa sebuah pertimbangan keadilan ekologi dan keseimbangan ekosistem menjadi hal pemicu. 
 
Berangkat dari potret buram ekologi yang terus tidak menjanjikan sebuah kelestarian, pastinya juga menghantar kita pada sebuah lingkungan yang tak layak huni. Niat akan pertambangan rakyat hanyalah sebuah pelumas padahal tetap berlabelkan tindakan ekstraktif. Untuk itu, pemulihan ekologi mestinya menjadi landasan perubahan paradigma pengelolaan sumber daya alam yang lestari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar