Minggu, 20 Desember 2015

BELU BUTUH PEMIMPIN HUMANIS, EKOLOGIS DAN VISIONER


BELU BUTUH PEMIMPIN HUMANIS - EKOLOGIS DAN VISIONER
(catatan pinggir buat pemimpin BELU 2015 - 2020)
Oleh: Herry Naif
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Daerah NTT
 
Sebagian besar wilayah di Indonesia akan melaksanakan sebuah hajatan demokrasi, yakni pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung. Bagi rakyat Indonesia pada umumnya, dan Belu pada khususnya tentu berpandangan bahwa momentum demokrasi ini bukanlah hal yang asing lagi, malah dimaknai sebagai ajang partisipasi rakyat dalam menentukan siapa pemimpin sesuai dengan pilihan kepentingannya.
Menghadapi momentum ini, kesepuluh partai politik yang ada pastinya sibuk dari awal persiapan hingga sampai menentukan figurnya untuk maju dalam pertarungan ini. Kesibukan partai politik pun terus meningkat seiring dengan kiat memenangkan pertarungan tersebut. Wacana akan siapa pemimpin Belu dalam waktu lima (5) tahun ke depan sedang pembicaraan menarik dan masih penuh tanya bagi parpol, paket figur yang dalam semangat gegap gempita mengkampanyekan diri.
Tak dipungkiri bahwa pelbagai pihak yang berkepentingan pun terlibat dalam hajatan tersebut. Ada yang berperan sebagai penyelenggara (Komisi Pemilihan Umum) dan yang lainnya dipercaya sebagai pengawas pemilukada yang difasilitasi negara. Sedangkan secara kelompok atau dalam paket tertentu, menjadi tim thank, tim strategi pemenang dan sebagainya. Atau lazim dikenal tim sukses (timses). Lalu ada pula yang hanya menonton dengan menikmati hingar-bingarnya hajatan tersebut. Keterlibatan mereka yang pasif itu jangan dipikir tak berharga, namun mereka sebetulnya adalah empunya mutiara yang ikut menentukan siapa pemimpin di Kabupaten Belu pada periode 2015-2020.
Perdebatan ramai warga baik secara individu atau pun kelompok dengan mengacu pada berbagai aspek nilai, baik kualitas intelektual, moral, visi-misi dan spiritual yang ingin diemban tidak terhindarkan. Rekam jejak atas track record dari setiap pasangan calon sedang dilakukan berbagai pihak. Itu wujud penilaian atas setiap pasangan calon yang akan ikut bertarung dalam pemilukadal. Atau masih banyak aspek yang disoroti sebagai pra-syarat calon untuk membawa bahtera Belu untuk mengarungi samudera yang dihiasi dengan berbagai problem rakyat menuju janji kemaslahatan yang ditawarkan untuk dilakoninya selama lima tahun ke depan.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah Belu telah menentukan 3 paket yang lolos seleksi diantaranya; drg. Falentinus Parera – Cyprianus Temu (fansmu NKRI) yang didukung PDIP dan Nasdem, Wilibrodus Lay – J.T Ose Luan (Sahabat) diusung Demkrat, Gerindra, Gokar, PAN dan PKPI . Sedangkan Ventje J.R Abanit Bona (Bowe) diusung oleh Hanura, PKB PKS. Ketiga paket ini sudah pasti merias diri dengan visi-misi dan isu – strategi yang akan dimanfaatkan sebagai istrumen pelumas hati rakyat dalam meraih suara terbanyak.
Terlepas dari perdebatan politik yang ada, isu human trafficking (perdagagan manusia), pemberantasan kemiskinan dan korupsi terus mendaptkan perhatian. Selain itu, isu penyelamatan ekologi dengan perbaikan manajemen pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan ekonomi dan ekologis dibutuhkan. Mengingat fakta yang sedang terjadi bahwa eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan akan menyisahkan berbagai kerusakan yang akan diwariskan bagi anak-cucu. Padahal mereka tidak pernah tahu dan menadapatkan keuntungan dari pengelolaan tersebut.


Belu dalam Teropong PSDA
Dari pantauan kami Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) melihat bahwa ada sebuah trend pengelolaan bagi negara yang diwakili oleh pemerintah kabupaten seenaknya mengobal sumber daya alam yang dimiliki wilayah tersebut, berupa Ijin Usaha Pertambangan (IUP). Dari data yang diambil dari kementrian Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) terlihat bahwa Pemkab Belu menjadi salah satu pemberi Ijin Usaha Pertambagan (IUP) terbanyak di NTT. Apakah itu sebuah prestasi yang perlu mendapat kebanggaan? Ataukah sebuah kebijakan yang tidak berpihak pada lingkungan menimbulkan sebuah kerentanan dalam bencana ekologi di masa depan? Lazimnya dikenal bencana ekologi. Kedua pertanyaan ini hendaknya menggugah para calon pemimpin dan rakyat dalam menentukan arah kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Ketiga pasangan (paket) calon Bupati dan Wakil Bupati Belu yang bertarung pada hajatan ini sekiranya tidak lupa membicarakan pertambangan (industri ekstraktif) sebagai satu substansi yang dibicarakan serius. Itu berarti, bahwa wacana akan adanya kelestarian dan penyelamatan ekologi tersisa juga sedang mendapat perhatian dalam perhelatan politik di Kabupaten Belu.
De fakto, ada pasangan calon yang terang-terangan menyatakan sikap menolak tambang, monitoring pertambangan tetapi ada pula yang seolah-olah buta-tuli terhadap kontraversi pertambangan yang terjadi di wilayah-wilayah pertambangan di Kabupaten Belu. Di tengah kegentingan ekologi, rakyat Belu membutuhkan pemimpin yang punya itikad baik dalam memulihkan dan menyelematkan ekologi Belu.
Sebagai warga yang cerdas dan kritis, tentunya tidak gampang menerima namun menyimak dan menganalisanya semua wacana yang ada. Seyogyanya, perlu dilakukakn kajian-sintesis antara gagasan dan pengalaman empirik-historis agar tidak dinilainya sedang onani politik untuk mendapatkan simpati dari kelompok-kelompok masyarakat yang secara tegas menolak adanya pertambangan. Wacana tolak tambang harusnya berbasis pada “political will” yang teruji dari berbagai faktor seperti rekam jejak, bahwa apakah pasangan calon itu adalah orang yang pernah punya cerita menyelamatkan lingkungan hidup.
Memang cerita dari Kabupaten Belu agak berbeda dengan beberapa kabupaten lain yang mana ada kelompok-kelompok yang konsisten menolak pertambangan di wilayahnya. Pergunjingan ini pun hendaknya dihantar sampai pada refleksi kritis atas model pengelolaan sumber daya alam yang humanis-ekologis.

Penyelamatan Ekologi Urgen di Belu
Pembahasan penyelamatan ekologi di Kabupaten Belu tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik (mati) dan biotik (hidup). Faktor abiotik antara lain suhu, air, kelembaban, cahaya, dan topografi, sedangkan faktor biotik adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga berhubungan erat dengan tingkatan-tingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling mempengaruhi dan merupakan suatu sistem yang menunjukkan kesatuan.
Karena itu, model pengelolaan sumberdaya alam yang eksploitatif dan ekstraktif mestinya dipertimbangkan secara matang dalam kacamata ekologi di Kabupaten Belu yang mana adalah deretan pulau-pulau kecil yang memiliki keterbatasan ekosistem yang tentunya rentan terhadap masifnya bencana ekologi. Industri ekstraktif tidak ramah terhadap hutan, air, ekosistem, perkampungan. Malah menimbulkan banyak kerusakan lingkungan hidup yang tak bisa dipulihkan dalam rentang waktu yang singkat.
Disadarai atau tidak, bencana ekologi sedang melanda dunia. Kerusakan alam hampir tidak dapat dibendung. Hutan yang memiliki fungsi penting dalam menyiapkan carbon, pelindung sumber mata air serta penyeimbang flora dan fauna tidak digubris. Tak heran banyak sumber mata air menjadi kering. Apabila semangat eksploitatif dan tindakan-tindakan ekstraktif masih terus meracuni masyarakat dan pemimpin di Belu, kiat mewujudkongkretkan pembangunan yang mengayomi masyarakat menuju kesejahteraan hanyalah menjadi sebuah utopia. Kemudian, disimpulkan bahwa lingkungan rusak karena kemiskinan.
Siapa bilang, kemiskinan mendorong orang untuk melakukan tindakan penggerukan alam tanpa pertimbangan keseimbangan ekologi. Mari kita menjawab?
Bukankah realitas kemiskinan seakan memaksa para pengambil kebijakan agar kemudian berkompromi dengan pemodal untuk melakukan pengelolalaan Sumberdaya alam? Ataukah, mereka itu yang sedang dijerat kemiskinan?
Lukisan tentang Indonesia dalam buku “Tanah Air”, Dewes Deker menyimpulkan bahwa Indonesia adalah zamrud katholistiwa. Indonesia memiliki potensi alam yang luar biasa didukung dengan keanekaramana hayati yang tidak dimiliki bangsa lain. Seiring dengan kekayaan itu, herannya kemiskinan itu terus menggurita. Lalu, apakah kemiskinan harus dijawab dengan penggerukan alam? Ataukah pengambilan kekayaan alam yang mempertimbangkan nilai keseimbangan (value judgement) akan membawa keadilan ekonomi dan ekologi?
Kita belajar dari negerinya Fidel Castro (Kuba) yang mana telah menemukan jurus jitu yang mirip dengan konsep “berdikari” yang pernah menjadi slogan Indonesia. Bahwa “produksilah apa yang kita miliki dan kita butuhkan dengan cara dan arah yang kita inginkan”. Bukannya memproduksi sesuatu yang dibutuhkan pemodal dan asing. Dan sangat tidak logis, menyiapkan bahan baku bagi negara asing dan mengivestasikan kerusakan bagi anak negeri. Tak heran bencana ekologi yang masif terjadi, jeritan kemiskinan terus menjadi hasil tuaian bersama.
Kenyataan itu tidak sedang kita disadari. Ketidakseimbangan curah hujan sedang menjadi keluhan petani. Abrasi pantai, longosoran, banjir, kekeringan sumber mata air dan lainnya harusnya menjadi refleksi-kritis warga terutama para calon pemimpin Belu yang sedang bertarung, sampai kapan bencana itu diminimalisir.

Analisa ekologis terhadap salah urus sumber daya alam
Hakekatnya, pemerintah dimandati mengurus sumberdaya alam yang mengedepankan kepentingan ekonomi daripada kepentingan ekologi, sosial dan budaya. Akibatnya, kelompok tertentu saja yang menguasai keuntungan pengelolaan sumberdaya alam. Hak Pengelolaan Hutan (HPH), Kontrak Karya Pertambangan, Hak Pengelolaan Pesisir dan Perikanan (HP3), dan sebagainya adalah mekanisme formal negara dalam mengekploitasi sumberdaya alam mulai dari pegunungan, hutan, perkebunan, pemukiman, pesisir, dan laut atas nama negara untuk kepentingan investasi.
Tidak heran, di sekitar lokasi-lokasi konsesi sumberdaya alam, pada umumnya masyarakat tidak banyak dilibatkan dalam pengelolaan. Dalam banyak kasus, mereka menjadi korban penggusuran, pemaksaan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Sumber-sumber penghidupan rakyat dikuasai negara dan digadaikan pada modal. Rakyat hanya dijadikan sebagai subjek penonton dalam seluruh kebijakan dengan basis argumentasi adalah peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pertanyaannya, dimanakah posisi rakyat? Bukankah kita sedang menanti remah-remah keuntungan yang diperoleh modal. Kita sedang terasing di negeri sendiri.
Herannya, fakta ini tidak pernah dijadikan sebagai bahan refleksi agar model pengelolaan sumberdaya alam diubah dengan mengutamakan kepentingan rakyat dan lingkungan hidup. Artinya, pengelolan sumberdaya alam yang humanis-ekologis menjadi solusi alternatif pemimpin dan warganya dalam mengelola sumber-sumber penghidupan yang dimilikinya.
Berbagai permasalahan ini menjadi cerminan bahwa kita sedang dimiskinkan oleh sistem pengelolaan sumberdaya alam yang dikembangkan selama ini. Pertanian, Peternakan, Kehutanan, Perikanan dan Kelautan serta home industry, industri rumah tangga (tenun-ikat) dan berbagai kerajinan rakyat lainnya mestinya didorong menjadi modal dan sumber penghidupan yang mendapatkan asupan perhatian serius dari pemerintah. Bukannya, para petani divonis perusak hutan tanpa sebuah solusi? Peternak dinilai gagal karena jumlah ternak berkurang dari tahun ke tahun. Nelayan dinilai sebagai yang menuai tanpa menanam. Kelompok tenun-ikat dari ibu-ibu hanya sekedar jadi peserta festival atau pameran budaya. Pariwisata hanya menjadi ajang kampanye tanpa mempersiapkan infrastruktur yang mendukung pertumbuhan industri tersebut.
Sejauhmana tawaran alternatif yang diemban dalam mendorong pertanian selaras alam, bukan sekedar seremoni food summit dan festival pangan sebagai rutinitas tahunan. Peternakan yang seharusnya memenuhi pasaran daging, bukan impor daging sapi besar-besaran yang bermotifkan korupsi. Para nelayan mestinya memenuhi asupan protein anak-anak Belu bukanya potensi laut yang ada dibiarkan terus dijarah oleh kapal-kapal asing. Produksi kelompok tenun ikat mestinya menyaingi pasaran batik, bukannya dihadirkan saat festival dan pameran budaya.
Sadar atau tidak, pilihan akan adanya pertambangan di Belu adalah wujud kegagalan negara (pemerintah kabupaten) Belu dalam mengembangkan sumber-sumber penghidupan seperti pertanian dan peternakan. Bila ditelaah secara logis dalam melakukan studi perbandingan antara in come (pendapatan) dari sebuah pertambangan tidak sebanding dengan biaya reklamasi. Kita tidak hanya fokus pada kerusakan lingkungan tetapi harus dilihat dalam ranah kerusakan ekosistem, perubahan tata hidrologi air dan land scape yang ditimbulkan.
Rendanya pendapatan dari beberapa sumber-sumber penghidupan masyarakat Belu seolah-olah mengamini bahwa dengan investasi pertambangan akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Padahal, sumberdaya alam dieksploitasi secara serampangan untuk kepentingan pembayaran utang luar negeri serta mempertebal kantong-kantong kroni elit-elit kapitalis. Semua kebijakan yang berkaitan dengan sumberdaya alam di-design menjadi sektoral dan teralienasi untuk maksud-maksud mulusnya jalan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Pra-syarat yang perlu dilakukan untuk sebuah pengelolaan sumberdaya alam yang visioner, humanis-ekologis perlu diimplementasikan dengan beberapa wujud, diantaranya; Pertama, bagaimana penataan ruang kelola agar menghindari tumpang tindi (over laping). Kedua, pengelolaan sumberdaya alam berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS) Bioregion. Semestinya pertimbangan keadilan akses dan kontrol bagi masyarakat hilir-hulu. Lebih dari itu monitoring akan adanya deforestrasi dan degradasi kualitas lingkungan di kawasan hulu untuk meminimalisir bencana di daerah hilir. Ketiga, perlindungan kawasan peresapan air (water scatchman area) agar melihat sejauhmana kualitas kawasan penyangga tersebut. Dengan demikian, perlindungan terhadap sumber mata air lokal mendapat perhatian. Keempat, bagaimana mendorong partisipasi rakyat dalam penyelamatan lingkungan hidup menjadi tanggung jawab bersama. Bila setiap tahun, setiap warga menanam satu pohon saja dan dipeliharanya sampai besar bisa dibayangkan berapa pohon akan tumbuh di Kabupaten Belu dalam waktu lima tahun.
Mengakhiri tulisan ini, seluruh komponen diajak untuk “Pulihkan Belu, Utamakan Keselamatan Rakyat” dengan memilih calon pemimpin yang visioner, humanis-ekologis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar