Minggu, 14 Februari 2016

Menemukan Srikandi Hijau Oekopa


Oleh: Herry Naif
Wilfrida Lalian, seorang perempuan desa yang hidup sederhana tapi gigi berjuang untuk kelestarian lingkungan. Ia tinggal di kampung Oekopa, kecamatan BIboki Tanpah, kabupaten TTU, salah satu Wilayah yang pernah mau digebuk oleh pertambangan. 
 
Wilffrida berasal dari suku Usat Nese Sonafkbat, sebuah suku yang menjadi mayoritas di Oekopa. Suku ini yang selalu menjadi pembicara adat dalam ritual-ritual adat di Oekopa selain beberapa suku seperti amfotis, Soanbubu, Suilkono. Selain itu ada suku Monemnasi, Tasi, Amteme Taekab, Amsikan, Naitsea, Leoklaran, Taslulu, Usboko, dll
Seharian ia bekerja sebagai honorer pada SMP Negeri Oekopa, selain  harus mengurus ketiga anaknya.
Tapi kesibukan ini bukannya memadamkan gelora semangat untuk mempertahankan wilayahnya dari ancaman pertambangan mangan oleh PT. Gema Energi Indonesia (GEI).  Ia mengorganisir keluarganya untuk menolak pertambangan yang ingin masuk ke Oekopa. Ia sadar bahwa ia adalah perempuan yang secara adat tidak memiliki hak warisan dalam keluarga tetapi berkewajiban mempertahankan lingkungan hidup itu penting, ujarnya. 
Naluri perjuangannya terus tumbuh dan ia harus setiap malam harus meninggalkan anak-anaknya untuk berkumpul dengan saudara-saudaranya untuk mendiskusikan penolakan pertambangan yang mau masuk ke wilayahnya. Ia mengorganisir warga untuk tolak pertambangan, sampai ia pernah mau dipanggil karena menolak pertambangan. Dia tidak gentar menghadapi semua tuduhan itu. 

Kemudian, bersama para orang tua menuju kubur dan tempat sakral dari suku-suku yang ada di sana untuk menyerahkannya kepada mereka bahwa bila mereka adalah penguasa tanah Oekopa, tunjukkanlah bahwa tanah dan air harus dirawat buat anak-cucumu. Upacara ini dalam bahasa setempat di sebut "na hake neu paham ma nifu". 

Bila dilihat dari potensi wilayahnya, Oekopa diidentikan sebagai daerah yang kaya. Oekopa dikenal sebagai salah satu daerah penghasil beras karena daerah ini adalah daerah persawahan. Turun-temurun wilayah ini mengandalkan persawahan (beras) sebagai sumber hidup mereka, selain ternak

Secara administrasi-geografis, desa Oekopa terletak di Kecamatan Biboki Tanpah, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yang mana sebelah Utara Berbatasan dengan dengan desa Tualene, Selatan dengan desa Oerinbesi, Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Belu, Sebelah Barat berbatasan dengan desa Tautpah. Jumlah penduduk desa Oekopa, 1.271 jiwa (2010), 1.563 (2011). 

Dari topografinya, Oekopa memiliki kawasan hutan, kawasan resapan air (water scatchman area) bagi desa Oekopa dan lima (5) desa lainnya, seperti: Tualene, Oerinbesi, Tautpah, Taunbaen dan Biloe. Bahkan juga menjadi salah satu kawasan penyangga untuk hamparan persawahan Lurasik, Inggareo, Matamaro. Di Oekopa juga terdapat enam sumber mata air, yakni: Oetobe, Oenenas, Oecikam, oeekam, Oeoni dan Oesanlat. Keenam sumber mata air tersebut, selain digunakan untuk kebutuhan warga juga untuk mengairi persawahan Oekopa seluas 840 ha dan peternakan. Kawasan itu pun menjadi kawasan penggembalaan ternak yang mana setelah panen ternak itu akan digembalakan di wilayah persawahan tetapi ketika persawahan dikelola maka ternak akan digembalakan di wilayah yang akan dijadikan sebagai wilayah pertambangan. Desa Oekopa memiliki sapi 752 ekor. Belum terhitung binatang lainnya, seperti kerbau, kambing, babi dan lain-lain yang sedang dimiliki rakyat Oekopa.

Beberapa rangkaian kegiatan dilakukan baik oleh warga sendiri maupun beberapa kelompok yang turut terilibat sebagai ekspresi keprihatinan dan kemudian bersuara bersama mereka. Itu berarti bahwa sejak dulu kampung itu sebetulnya mendapatkan sebuah posisi secara ekonomis. 

Menariknya dalam kotbanya Pater Piter Piter Bataona, SVD (JPIC SVD Timor)  mengatakan bahwa dalam pemahaman Kristiani, Bangsa Israel melihat wilayahnya yang penuh dengan susu dan madu. Inti renungan yang disampaikan seorang pastor Katolik ketika sedang memimpin perayaan Ekaristi menyongsong upacara (nahake pao paham ma nifu). Sebuah ritual adat yang dilakuan untuk menjaga alam dan air yang dilakukan pada tanggal, 2 September 2012.
Sejak tahun 2010, diwacanakan akan adanya pertambangan mangan di desa Oekopa oleh PT. Gema Energi Indonesia (GEI). Pertemuan dilakukan sekali sebagai bentuk perkenalan perusahan dengan warga. Setelah itu, perusahaan dan pemerintah Kabaupaten TTU tidak pernah mendatangi wilayah Oekopa untuk dilakukan sosialisasi tentang adanya pertambangan tersebut.
Tahun 2012 perusahaan kembali ke Oekopa dengan mengantongi Surat Bupati TTU No. Ek.540/102/IV/2012 tentang Ijin Prinsip Pembangunan Pabrik Pengolahan dan Pemurnian Biji Mangan kepada PT. Gema Energy Indonesia.
Ketika tahun 2012, SK Eksplorasi telah ditingkatkan menjadi IUP eksplotasi. Bermodalkan SK yang diperolehnya PT. GEI mendatangi kampung Oekopa untuk melakukan pertambangan, kami kaget kalau wilayah kami mau dikapling untuk pertambangan, demikian kenang wilfrida.
Informasi ini kemudian menjadi awal terbentuknya dua kelompok. Ada kelompok yang bersepakat dengan adanya pertambangan (Pro-tambang) dan ada kelompok lain yang menolak tambang. Keduanya yang awalnya hidup harmonis, berbasis pada kepentingan yang berbeda, interaksi sosial yang terjalin baik itu memudar. Padahal hampir semua yang tinggal di kampung itu adalah satu keturunan. Artinya bahwa kekerabatan sosial dibangun karena keturunan. Dalam berbagai urusan, kami selalu bersama-sama, demikian urai ibu Wilfrida Lalian.
Lebih lanjut, Wilfrida mengutarakan bahwa perpecahan mulai tampak. Kelompok tambang yang koordinir oleh pemimpin wilayah dengan iming-iming akan mendapatkan ganti rugi dan peningkatan kualitas hidup rakyat, dan kelompok yang melihat sawah sebagai sumber penghidupan masing-masing saling berkoordinasi.
Awal perpecahan, jumlah kelompok yang bersepakat itu menjadi mayoritas. Bahwa tanah yang masuk dalam wilayah pertambangan akan diganti rugi sebesar dua puluh juta rupiah (20.000.000) dan pohon-pohon yang telah diberi tanda pun akan diganti dengan harga yang bervariasi sesuai dengan diameter pohon. (50.000 – 250.000). Bila secara ekonomis, jumlah uang ini cukup menggiurkan bagi warga yang setahun baru mendapatkan uang.
Jumlah yang kecil itu tidak menjadi sebuah permasalahan bagi kelompok yang menolak pertambangan yang tentunya melawan kebijakan dari pemerintah wilayah kabupaten. Secara sederhana argumentasinya, bahwa: pertama, bila ditambang mereka akan menjadi apa? Kedua, Dan bila tanah ini rusak siapa yang bertanggungjawab? Demikian kata, ibu Wilfrida Lalian. 

Sejak penolakan melalui ritual adat itu, setelah itu PT. GEI pergi membawa alat operasional dan tidak kembali lagi, kami berharap tidak ada perusahaan yang datang lagi mengganggu kami di sini, demikian kata ibu tiga anak itu.

Secuil cerita bersama, Wilfrida Lalian ketika diwawancarai Arimbi Heroeputri (16 Agustus 2015) 

3 komentar:

  1. Blm terjadi sudah komat Kamit sampe media palsu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya benar komentarmu sdra....
      Adanya pertambangan utk merubah hidup masyarakat oekopa menjadi lebih baik, bukan merusak. Org yg komentar itu, tdk pernah membangun oekopa tp menghancurkan.

      Hapus
  2. oh ya yang sudah dirusaki apa pak...terus yang membangun siapa memangnya dari narasumber itu da pastikan...

    BalasHapus