Minggu, 14 Februari 2016

RINTIHAN ANAK NEGERI


Herry Naif
 
Pohon dan dedaunan menghijau membentur cakrawala biru di musim berair. Langit mendesah madu memelukmu erat seakan dalam cengkraman kegersangan dihiasi menguning dan dedaunan yang berguguran di musim kering. Keelokkanmu menakjubkan. Kendati gunung batu menjulang tinggi, tanah liat menghias, rumput yang terus bergoyang ditiup angin. Ironis, dalam kegersangan engkau tetap setia sebagai ibu yang mengandung dan menyusui sejuta jemaat manusia.
Pertambangan Mangan di Supul yang diobrak-abrik
Panoramamu tak seelok yang dipuja orang. Kesuburan dan kekayaan alam tak sebanding pulau lain yang menghidupi banyak negera. Dalam keterbatasanmu tak pernah putus asa mengasihi setiap insan yang menumpahkan darahnya. Tetesan darah telah menodai dirimu seakan terberi sebuah tanggung jawab. Kau laksanakan bagai bunda pengasuh tak pernah lelah.
Kau bosan melihat anak negeri yang terus berujar. Kau memilih diam tak banyak berujar. Para pahlawan anak negeri terus merayumu, bisakah sebagian kuasa untuk mengurusmu diperolehnya?
Senyummu tak dihirauhkan. Kasihmu terabai begitu saja. Malah Isi perutmu telah dilihat. Katanya isi perutmu mau dipakai untuk mengisi perut mereka. Janjinya akan sejahtarahkan anak-anakmu. Lantas, kemudian mereka hanya mengisi pundi-pundi mereka. Mereka merayumu dengan sejuta jemaat untuk membongkarmu demi mengisi perut mereka yang penuh cacing itu. Mereka tak malu melihatmu ketika tubuhmu disobek dan dilukai. Mereka malah punya sejuta alasan bahwa ini sesuai standar hukum dan malah mereka mau menghojat para pembelamu yang setia. 
Ketika bumi memelas lemah. Bayang hutan belantara kian teriris. Badai bencana datang menerpah. Sang pahlawan terus datang menyapa dengan asa pengusir kabut menghalau kemiskinan yang hampir terus melilit insan bangsa. Prahara kemiskinan bertabur suka dalam kesejahteraan yang terus melipstiki bibir mereka. Suara anak kami butuh buat perubahan sejengkal demi menikmati hasil tipuanmu itu. Lantas anak negeri memuja-mujanya sebagai penguasa yang adil. Diapun terbuai lupa akan tangannya yang penuh dengan lumpur kejahatan lingkungan yang ia ciptakan. 
Umatmu baru sadar bahwa rasa percayanya telah dingkari. Lalu mau bagaimana? Bukankah kami salah mengandung anak negeri yang lagi bertakta dalam kemewahan penderitaan rakyat. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar