Festival Ningkam Haumeni
untuk Masa
Depan Timor
Walhinews, Festival Ningkam Haumeni
III mulai di gelar di bukit keramat Anjaf-Nausus, Desa Fatukoto,
Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timur Tengah Selatan (TTS), Provinsi
NTT, Selasa (24/7). Festival yang bertajuk “Masyarakat Adat Menuju
Kedaulatan Pangan, Air dan Energi” ini dihadiri oleh ratusan
masyarakat adat yang terbagi dalam tiga suku besar di Kabupaten TTS,
yakni suku Amanuban, suku Molo, dan suku Amanatun, yang dikenal
sebagai Masyarakat Tiga Batu Tungku.
Festival Ningkam Haumeni
adalah sebuah festival yang mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal
Masyarakat Tiga Batu Tungku, yang diinspirasi perjuangan Suku Mollo
dalam mengusir pertambangan marmer dari area keramat mereka Anjaf dan
Nausus, dan kini masyarakatnya lebih memilih pengembangan ekonomi
yang tidak merusak alam dan jati diri mereka. Ningkam Haumeni sendiri
tidak ada terminologi khusus, namun secara adat Ningkam artinya
Lilin/madu dan Haumeni artinya cendana yang keduanya kini sudah mulai
nyaris punah dari NTT atau bumi Timor. Karena itu Festival akan
selalu mengingatkan berbagai komitmen adat untuk lebih mengedepankan
hal-hal yang baik namun kii mulai nyaris dilupakan banyak orang.
Festival ini juga
dilakukan atas inisiasi dan kemauan m Masyarakat Adat Tiga Batu
Tungku sendiri dan bukan atas inisiasi pemerintah atau bantuan dari
pihak mana pun. Karena itu Festival ini digelar dengan sangat
sederhana, tanpa panggung, tanpa hingar bingar, tanpa listrik.
Festival juga digelar tidak hanya sekedar menari,tetapi juga mencari
solusi-solusi bersama yang tengah dihadapi masyaarakat itu.
Festival III akan
berlangsung hingga 26 Juli 2012. Mereka akan membahas masalah terkini
yang mereka hadapi, terutama soal kerawanan pangan yang kini sudah
ada di hadapan mereka.. Aleta Baun, sebagai perempuan penggerak
perjuangan Masyarakat Mollo, dalam sambutan pembukaan di festival
menandaskan, Festival harus bisa memberikan solusi alternatif secara
bersama dengan cara kearifan Masyarakat Tiga Batu Tungku sendiri
terkait mencari upaya alternatif guna memenuhi kebutuhan hidup
masyarakat dengan tidak merusak ekosistem dan ekologi yang ada di
alam Masyarakat Tiga Batu Tungku.
“Selama tiga tahun ini
kami mengalami gagal panen, dan kerawanan pangan selalu menghantui
kami. Tapi kini kami harus siap menghadapinya. Kami coba
mengembangkan berbagai bibit pangan lokal yang bisa bertahan hidup
dalam kondisi perubahan iklim yang tidak menentu. Kami juga akan
berbagi pengalaman dengan para petani lainnya dalam bertani, termasuk
mendatangkan Mama Tata (Maria Loretha) dari Adonara, Flores, yang
telah sukses mengembangkan tanaman lokal sorgum dan semacamnya,”
jelasnya.
Dalam Festival ini juga
akan mengingatkan pemerintah agar mereka tidak mengedepankan
kebijakan yang lebih mengeksploitasi alam, termasuk pertambangan.
Karena persoalan yang mereka hadapi adalah bagaimana mereka bisa
mengembangkan pertanian dan peternakan dengan baik. Bagi Masyarakat
Tiga Batu Tungku, tambang harusnya tetap berada di dalam bumi.
“Tambang dan semacamnya
bukan kita yang buat. Tidak boleh kita ambil dan menjualnya. Biarkan
mereka ada di dalam tanah saja. Kita akan menjual yang bisa kita buat
saja misalnya tenun, pertanian dan sebagainya. Itu yang kami pilih,”
tandas Aleta.
Sementara itu,
koordinator seksi acara, Herry Naif, mengatakan berbagai macam
kegiatan seperti tari-tarian, pameran tenun, pantun berbalas pantun,
malam budaya kesenian, dan nonton film tentang lingkungan hidup akan
mewarnai selama kegiatan berlangsung. Selain itu, akan diadakan
dialog terbuka dengan bupati TTS, Paul Mela, dan anggota DPR RI,
Farry Francis, rabu, (25/7) soal upaya mengatasi krisis pangan di
TTS dalam relevansinya dengan tugas dan tanggung jawab pemerintah..
(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar