Sabtu, 26 Januari 2013

WALHI dan LBH Apik Tangani Kasus Besipae

Kupang – Walhinews, Pengelolaan Hutan Besiapae yang berbuntut pada tertangkapnya 11 Warga, 9 Oktober 2012 mestinya menjadi pembelajaran bersama. Bahwa kasus pelemparan rumah adalah akumulasi dari kejenuhan warga dalam menunggu kepastian pengelolaan kawasan tersebut. Masyarakat menginginkan kejelasan pengelolaan dimana mereka dilibatkan dalam pengelolaan kawasan Besipae tersebut. Tidak heran, bila kemudian mereka melakukan re-claiming terhadap kawasan itu sebagai ekspresi rakyat dalam menantikan kepastian.

Menyikapi kasus itu, WALHI NTT kemudian berinisiasi untuk melakukan diskusi dengan beberapa lembaga yang berfokus pada urusan litigas; LBH Timor dan LBH Apik. Karena itu, tepatnya Rabu, 17 Oktober 2012 dilakuan pertemuan dengan LBH Apik, yang dihadiri WALHI NTT, LBH APIK dan LAKMAS NTT. Pertemuan ini diawali dengan gambaran permasalahan oleh Herry Naif (Direktur WALHI NTT) tentang Sejarah dan Kronologi permasalahan Kasus Besipae.

Kasus Besipae bukan sebuah permasalahan baru tetapi itu sebetulnya potret buram dari sebuah pengelolaan kawasan hutan dimana rakyat tidak dilibatkan sebagai subjek pengelolaan. Padahal idealnya, pengelolaan hutan itu mestinya melibatkan rakyat dalam melindungi dan mengakses dari kawasan sebagai sumber penghidupan mereka yang penting itu didukung dengan sebuah konsep pengelolaan yang berkeadilan sosial dan berkeadilan antar generasi.

Secara terpisah untuk kasus Besipae, memiliki cerita panjang. Pertama. Bahwa sejak 1982, telah dilakukan Proyek percontohan intensifikasi peternakan. Melalui para tokoh-tokoh adat dan pemerintah Desa, Camat, maka mereka menyerahkan hutan seluas 6000 ha. Kawasan ini dikontrak sebagai lokasi proyek percontohan intensifikasi peternakan (kerja sama Pemerintah dengan Australia) selama 5 tahun.

Namun pada saat berakhir masa kontrak dan Pihak Australia pulang sampai saat ini belum ada pengembalian dari pihak mereka baik Australia maupun Pemerintah Daerah Timor Tengah Selatan.

Kedua, pada tahun 2003 terjadi pembabatan hutan dilokasi Besipae ±21H yang dilakukan oleh dinas Peternakan Instalasi besipae. Ketiga, pada tahun 2006, pembabatan kali kedua di lakukan olen dinas kehutanan.

Kemudian pada tahun 2008, GERHAN dan bekerja sama dengan Dinas kehutanan dan melanjutkan pembabatan kali ke dua dan menebang seluruh pohon-pohon besar yang ada di hutan tersebut. Menyikpai kasus ini, masyarakat mengadakan aksi demo serta melaporkan kasus ini di kabupaten TTS dan propinsi NTT untuk menerima kembali tanah adat tersebut namun aksi mereka tidak di hiraukan oleh pemerintah kabupaten dan pemerintah propinsi dan sekalipun di publikasikan melalui media massa Jawa Pos dan Kompas namun sampai dengan saat ini pemerintah kabupaten dan pemerintah propinsi tidak jeli menindaklanjuti persoalan ini dan masyarakat kembali melapor ke Polres TTS dan Polda NTT dengan alasan adanya ilegal loging akan tetapi Polres TTS dan Polda NTT tidak merespon laporan ini sekalipun masyarakat sudah di panggil untuk memberikan keterangan dan bahkan sudah di BAP.

Kasus ini juga telah dilaporkan hingga ke tingkat Nasional bahkan warga Besipae sempat melakukan dialog dengan berberapa kementrian terkait seperti: Kementrian Lingkungan Hidup, dan Kementrian Kehutan. Selain itu, warga juga menyampaikan kasus itu dalam dialog dengan DPR RI dan Komnas HAM.

Dari cerita yang ada, dapat dilihat bahwa kasus ini telah lama tercuat ke permukaan. Semestinya penanganan akan masalah ini harus sudah dilakukan oleh berbagai pihak terkait. Tetapi kasus ini kemudian hilang, sehingga sejak Januari 2012, Warga melakukan re-claiming pada kawasan itu dengan membangun pondok dan kebun-kebun yang ditata lebih rapi dimana, pohon-pohon yang ada tidak semua itu ditebang, tetap dibiarkan hanya warga kemudian melakukan penanaman pisang, ubi dan lain-lain untuk sumber penghidupan mereka.

Herannya, re-claiming ini kemudian tidak disikapi secara bijaksana malah yang terjadi adalah adanya kekerasan terhadap seorang warga (Niko Manao) pada Februari 2012. Kasus ini dilaporkan ke Polres TTS dan kemudian diproses secara hukum.

Namun kasus ini tidak berakhir di sini. Pagar kebun warga selalu dibuka yang berakibat pada tanaman-tanaman warga. Kondisi ini memicu terjadinya kasus pelemparan rumah yang menyebabkan 11 warga ditahan di Polres TTS.

Setelah itu, dilakukan diskusi untuk mencari solusi alternatif dalam menyikapi kasus tersebut. Bahwa pembelaan hukum urgen dilakukan untuk menyelamatkan 11 warga yang lagi ditahan. Sedangkan urusan non litigasi juga perlu dilakukan sebagai bentuk pemulihan. Dari pertemuan ini disepakati bahwa urusan litigasi, ditangani LBH Apik dan LBH Timor sedangkan advokasi penyelamatan kawasan hutan terus dilakukan Walhi NTT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar