Sabtu, 26 Januari 2013

Refleksi Hak Perempuan atas Anggaran untuk Menjamin Ketahanan Pangan dalam Menghadapi Dampak Negatif Perubahan Iklim

Bencana Ekologi, Kemiskinan Vs Ketahanan Pangan
Herry Naif *
Direktur WALHI NTT, Anggota NTT Policy Forum

    Hampir duapuluhan tulisan dalam kolom Opini harian Pos Kupang yang merefleksikan tentang “Hak Perempuan atas Anggaran untuk Menjamin Ketahanan Pangan dalam Menghadapi Dampak Negatif Perubahan Iklim” telah diterbitkan. Berbagai ide atau gagasan disampaikan para penulis sesuai dengan latar belakang ilmu dan pengalaman kongkret yang dimilikinya. Bagi saya ini adalah sesuatu pengalaman menarik dalam mewacanakan tentang pentingnya penghormatan terhadap hak perempuan dan advokasi kebijakan daerah dalam mendorong kemandirian pangan dengan mengarusutamakan pemulihan ekologi.
   
Dalam berbagai rona kenyataan tentu dapat dilihat pengalaman yang sungguh menyayat hati para pejuang kesetaraan gender (laki-laki dan perempuan). Perempuan adalah salah satu subjek selain laki-laki diposisikan sebagai warga kelas dua. Hak-hak perempuan dikebiri dan dipinggirkan. Banyak argumentasi dilontarkan sebagai tindakan pembelaan terhadap kondisi sosial ini. Bahwa bangsa ini adalah penganut budaya patriarki (laki-laki menjadi penguasa). Atau, budaya yang cenderung “male cauvanistic” dimana kaum laki-laki masih menganggap dan dianggap sebagai makhluk yang kuat dan superior. Bukankah dengan itu perempuan harus diterlantarkan?

Bila diidentifikasi peran perempuan dalam pengelolaan sumberdaya alam ternyata sangat minim dibanding dengan kaum laki-laki. Laki-laki seolah menjadi penguasa absolut sedangkan perempuan hanyalah sebagai subjek peserta mulai dari proses hingga soal kepemilikan bahkan pada tataran kebijakan. Padahal perempuan memiliki beban kerjaan yang sangat tinggi. Diskriminasi peran perempuan secara jelas terbaca di sana. Kalau pun ada itu hanya sebatas menjadi pelengkap administrasi akan nilai sensitive gender yang perlu dipertanggungjawabkan demi kepentingan program atau proyek.

Mengerucut pada pemikiran yang hendak disampaikan pada tulisan “Bencana Ekologi, Kemiskinan versus ketahanan Pangan” untuk melihat korelasi ketiga aspek ini. Sejauh mana tindakan proteksi kita dalam menghadapi bencana ekologi yang masif terjadi? Apakah pembangunan yang gencar dilakukan telah mengurangi jumlah penduduk miskin? Bukankah Penggerukkan sumberdaya alam ini telah menghantar rakyat pada ketidakadilan? Ataukah bencana ekologi dan kemiskinan  terus memporakporankan upaya ketahanan pangan bangsa?

Disadari atau tidak, Indonesia terus digebuki dengan begitu banyak kejadian Bencana. Bencana menjadi topik yang ramai dibicarakan media publik ataupun pembicaran rakyat dalam lingkup mereka. Indonesia dijuluki sebagai super market bencana. Keberadaan wilayah Indonesia yang berada di antara pertemuan tiga lempeng tektonik (Eurosia, Pasifik dan Australia) menyebabkan Indonesia mempunyai kerentanan terhadap berbagai jenis bencana. Herannya, kesadaran itu baru muncul empat tahun terakhir setelah terjadi bencana alam katastropik secara berturut-turut mulai dari bencana Alor hingga bencana Aceh yang dikenal mahadasyat karena menelan enam ratus ribuan korban nyawa dan kerugian materi hingga triliunan rupiah.

Beberapa pengalaman kebencanaan ini kemudian mendorong para pengambil kebijakan untuk memproduksi sebuah landasan normatif dalam rangka mengatur tentang Penanggulangan Bencana. Secara normatif kemudian perspektif kebencanaan ini dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dan ini diturunkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2008 tentang penyelenggaran Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, PP Nomor 23 Tahun 2008 tentang Peranserta Lembaga Internasional tentang Penanggulangan Bencana dan Perpres Nomor 8 Tahun 2008 tentang BNBP (Badan Nasional Penanggulangan Bencana).

Beberapa landasan hukum ini dilihat bahwa pemerintah Indonesia dinilai serius berkomitmen dalam upaya penanggulangan Bencana. Tetapi kenyataan, komitmen ini digugat banyak pihak karena korban yang berjatuhan saat bencana tidak mengalami perubahan yang signifikan. Misalnya; Gempa berkekuatan 7,2 skala richter yang diikuti tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, telah menewaskan 112 orang, 502 lainnya dinyatakan hilang dan 4.000 keluarga mengungsi. Bencana banjir bandang Wasior, Kabupaten Teluk Wondowa, Papua Barat menelan korban 134 orang. Erupsi Merapi hingga hari ini telah menelan ratusan orang.

Sedangkan di tingkat lokal Propinsi NTT dilanda Bencana Banjir di dusun C dan D desa Skinu, Kecamatan Toianas, Kabupaten TTS ada 361 KK dan dari 611 KK yang menjadi korban banjir. Rinciannya terdiri 123 KK, dusun C 38 rumah di dusun D hilang tanpa bekas. Selain itu ada beberapa peristiwa yang boleh diklasifikasi sebagai bencana. Seperti tenggelamnya kapal Karya pinang di perairan sadak-watu manuk dalam perjalanan dari Pulau Palue menuju Maumere. Dalam Tragedi karya pinang,  16 nyawa harus menjadi bayaran dari puting beliung dan ketidakjelasan manejemen angkutan antar pulau di NTT.

Bencana ekologi sedang melanda dunia. Kerusakan alam hampir tidak dapat dibendung. Hutan yang memiliki fungsi penting dalam menyiapkan carbon, pelindung sumber mata air serta penyeimbang flora dan fauna tidak digubris. Semangat eksploitatif dan tindakan-tindakan ekstraktif telah sedang meracuni manusia dalam rangka mewujudkongkretkan pembangunan yang mengayomi masyarakat menuju kesejahteraan yang absurd. Lantas, dengan gampang disimpulkan bahwa lingkungan rusak karena kemiskinan atau kemiskinan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup? Kemiskinan mendorong orang untuk melakukan tindakan penggerukan alam tanpa pertimbangan keseimbangan ekologi. Realitas kemiskinan seakan memaksa para pengambil kebijakan agar kemudian berkompromi dengan pemodal untuk melakukan pengelolalaan Sumberdaya Alam.

Dewes Decker yang membuat lukisan tentang Indonesia dalam buku Tanah Air, ia menyimpulkan bahwa Indonesia adalah zamrud katholistiwa. Untuk itu, Indonesia memiliki potensi alam yang luar biasa didukung dengan keanekaramana hayati yang tidak dimiliki bangsa lain. Seiring dengan kekayaan itu, herannya kemiskinan itu terus menggurita.

Apakah kemiskinan harus dijawab dengan penggerukan alam. Ataukah pengambilan kekayaan alam yang mempertimbangkan nilai keseimbangan (value judgement). Pemerintah Indonesia mestinya belajar dari negrinya Fidel Castro (Kuba) yang mana telah menemukan jurus jitu yang mirip dengan konsep “berdikari” yang pernah menjadi slogan Indonesia. Bahwa “produksilah apa yang kita miliki dan kita butuhkan dengan cara dan arah yang kita inginkan”. Bukan memproduksi sesuatu yang tidak dibutuhkan rakyat Indonesia.

Bila tidak Indonesia akan terus dijebak penggerukan Sumberdaya alam terbarukan dan tak terbarukan yang dapat berdampak pada bencana yang masif terjadi. Kenyataan itu tidak disadari. Misalnya, perubahan iklim. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kadar karbondioksida  dan gas-gas polutif lainnya di dalam atmosfer. Gas-gas itu yang dihasilkan akibat pembakaran batubara, minyak bumi dan menjebak panas yang dipancarkan matahari) di seputar permukaan bumi. Sekali emis gas itu memasuki atmosfer akibat emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan dari pembakaran energi fosil akan menetap di sana beberapa tahun. Dengan perubahan iklim a membuat masyarakat petani tidak mampu memprediksikan cuaca. Adanya ketidakseimbangan curah hujan dan menimbulkan abrasi, longosoran, banjir dan lainnya.

Pemerintah yang dimandati mengurus sumberdaya alam lebih mengedepankan kepentingan ekonomi daripada kepentingan ekologi, sosial dan budaya. Akibatnya, kelompok tertentu saja yang menguasai keuntungan pengelolaan sumberdaya alam. Hak Pengelolaan Hutan (HPH), Kontrak Karya Pertambangan, Hak Pengelolaan Pesisir dan Perikanan (HP3), dan sebagainya adalah mekanisme formal negara untuk mengekploitasi sumberdaya alam mulai dari pegunungan, hutan, perkebunan, pemukiman, pesisir, dan laut atas nama negara untuk kepentingan investasi.

Di sekitar lokasi-lokasi konsesi sumberdaya alam pada umumnya masyarakat tidak banyak dilibatkan dalam pengelolaan. Dalam banyak kasus, mereka menjadi korban penggusuran, pemaksaan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia.  Sumber-sumber penghidupan rakyat diposisikan sebagai sumberdaya yang hanya dikuasai oleh negara. Rakyat hanya dijadikan sebagai subjek penonton dalam seluruh kebijakan. Partisipasi rakyat diabaikan dengan basis argumentasi adalah peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Herannya, seluruh proses gadaian ini sangat lamban menghantar rakyat menuju kesejahteraan. Sektor pertanian, peternakan dan pariwisata yang bersentuhan dengan kebutuhan dan kepentingan rakyat diabaikan. Ini adalah bukti kegagalan pemerintah mengembangkan sektor-sektor tersebut. Praktek pertaniaan dan ternak yang hampir terjadi di semua wilayah NTT itu dilakukan bukan karena hasil pembekalan atau pelatihan melainkan warisan nenek moyang. Lalu  dipersoalkan bahwa sistem “perladangan gilir balik” merusak lingkungan. Padahal, sistem pertanian ini dilakukan oleh hampir seluruh masyarakat NTT karena mereka telah mempelajari perilaku lingkungan selama puluhan tahun. Bahwa sebuah lahan dikelola kemudian akan dilepas untuk mengembalikan kesuburan tanah tersebut dengan dihijauhkan dan setelah beberapa tahun kembali dikelola sebagai kebun. Bila dilihat dalam konteks sekarang, konsep perladangan gilir balik tidak kontekstual karena pertambahan penduduk yang akan berpengaruh terhadap jarak waktu luas lahan garapan yang digunakan petani. Hal serupa telah diingatkan Thomas Robert Maltus akan keterbatasan pangan yang dialami, dalam tulisan essay on population berteori bahwa pertambahan penduduk itu berpola deret ukur, sedangkan pertumbuhan pangan itu berpola deret hitung. Karena itu, bakal pada suatu momentum jumlah penduduk lebih besar dari pasokan pangan dan kelaparan menjadi sebuah keniscayaan. 

Permasalahan inilah yang mesti dijawab dinas pertanian dalam pengembangan pertanian di wilah NTT pada waktu sekarang. Bukannya para petani divonis salah tanpa sebuah solusi. Lantas,  sudah sejauhmana tawaran alternatif pertanian yang diberikan oleh para penyuluh pertaniaan yang dibiayai rakyat melalui dinas pertanian? Ataukah mereka hanya difasilitasi sekedar menambah pekerja demi mengurangi pengangguran? Lebih parah lagi, alokasi budget bagi sektor-sektor ini di bawah sektor-sektor lain. Ataukah sekedar melakukan seremoni food summit yang hingga hari ini tidak ada hasilnya. Julukan propinsi jagung yang dituai adalah gagal panen. Tanpa didasari pada sebuah evaluasi program dan kajian yang eviden Badan Ketahanan Pangan Provinsi NTT harus meminta beras 3900 ton kepada pemerintah pusat untuk mengatasi krisis pangan di NTT. Secara, ironis propinsi jagung diinvus beras.

Menghindari perdebatan panjang, pemerintah provinsi NTT atas nama negara lalu ‘menjual’ hak kelola kepada pemilik modal baik pemodal dalam negeri maupun pemodal asing, melalui investasi pertambangan dan berbagai kegiatan eksploitasi lainnya. Sehingga dimana-mana ada pertambangan. Pertambangan seakan menjadi leading sektor daripada sektor pertanian, peternakan, pariwisata yang puluhan tahun menghidupi NTT. Bahwa rendanya Pendapatan dari beberapa sektor ini kemudian mengamini bahwa dengan investasi pertambangan akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemkab TTU mengeluarkan 82 Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Mangan yang akan melahap habis lahan pertanian rakyat. Pemkab Manggarai telah mengeluarkan 28 SK Pertambangan  yang kemudian bisa menggusur tanaman kopi unggulan. Pemkab Manggarai Barat 8 SK Pertambangan yang akan berdampak pada rusaknya panorama keindahan Labuan bajo dan pulau-pulaunya. Padahal, spesies komodo yang langka ini sedang dipromosikan menjadi the seven wonders di dunia. Dunia pariwisata ini telah terbukti dengan 2500 wisatawan asing menghadiri Natal di Labuanbajo untuk sekaligus menikmati pariwisata di sana (Pos Kupang, 28 Desember 2009). Gubernur NTT mengeluarkan SK No. 14 Tahun 2008 tentang Penyelidikan Umum yang melintasi 4 Kabupaten di Pulau Sumba dan melakukan Mou (Memorandum of Understanding) dengan beberapa investor untuk melakukan pertambangan di beberapa Kabupaten di Pulau Timor. Dan kemudian dalam menyikapi bencana banjir di desa Skinu, Kabupaten TTS Gubernur NTT menghimbau agar masyarakat menjaga kelestarian lingkungan. Atau dalam kasus pencemaran Laut Timor oleh Perusahan Montara, Gubernur berjuang untuk ganti rugi atas kerusakan biota laut akibat pencemaran tersebut. Apabila perjuangan ini sungguh dilandasi oleh gugatan akan gagasan pemulihan ekologi, semestinya sebagai pihak yang memiliki otoritas perlu mencabut seluruh Surat Kuasa Pertambangan yang tidak jauh berbeda dengan Perusahaan Montara. Ataukah ini hanya berintensi mendapatkan biaya kerugian yang begitu besar?

Melalui skema ekonomi neo-liberal, secara politik negara menyerahkan sebagian besar kekuasaannya kepada pemilik modal sehingga pemodal lewat skema neo-liberalisme mengatur peruntukan pengelolaan sumberdaya alam untuk kepentingan mereka.  Atas nama liberalisasi ekonomi, sektor swasta lalu menyetir dan mengontrol kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam. Lewat lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, IMF, dan turunannya mengatur skenario pengelolaan sumberdaya alam melalui mekanisme-mekanisme yang menegasikan posisi rakyat sebagai pemilik sumberdaya alam.

Skenario neoliberalism yang tamak, untuk konteks Indonesia  dan NTT pada khususnya juga didukung oleh buruknya sistem negara. Korupsi di dunia birokrat NTT merajalela, management pemerintahan yang masih terpusat, kurangnya strategi nasional untuk pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan, kurangnya kesadaran politik dan kesadaran publik, institusi-intitusi yang sukar beradaptasi satu sama lain, kegagalan mengikutsertakan para pihak dalam pengambilan dan implementasi keputusan, serta mandeknya  penegakan hukum merupakan keluhan-keluhan masyarakat dalam menghadapi berbagai ketidakadilan hukum, ekonomi dan ketidakadilan ekologi. Hal-hal inilah yang menyebabkan degradasi lingkungan semakin tidak terkendali.

Sumber daya alam dieksploitasi secara serampangan untuk kepentingan pembayaran utang luar negeri serta mempertebal kantong-kantong kroni elit-elit kapitalis.  Semua kebijakan yang berkaitan dengan sumberdaya alam didesign menjadi sektoral dan teralienasi untuk maksud-maksud mulusnya jalan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.

Pra-syarat yang perlu dilakukan untuk sebuah pengelolaan sumberdaya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan adalah adanya kebutuhan untuk melakukan pendekatan bioregion untuk keberlanjutan dan keselamatan manusia. Undang-undang Pengelolaan Sumberdaya Alam telah disetujui dan diimplementasikan untuk mengakhiri pengelolaan sektoral dan administratif.  Ini juga perlu diikuti oleh perubahan lembaga-lembaga pemerintahan sehingga pengelolaan sumberdaya alam menjadi lebih holistik. 

Kebutuhan mendasar umat manusia akan sumber pangan, kesehatan, dan pendidikan perlu dikedepankan dengan tetap mengakui kearifan lokal kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini eksis di berbagai tempat di Indonesia dan NTT pada khususnya.

Karena itu, dalam pengelolaan sumber daya alam (PSDA) pemerintah hendaknya memperhatikan beberapa pilar: Pertama; Pertimbangan ekologi hendaknya menjadi poros kebijakan lingkungan yang bercita-cita mengurangi dampak buruk aktivitas manusia. Bukan sekedar menyelamatkan kehidupan manusia melainkan mengubah pola pikir antroposentrik yang mana mendudukan manusia sebagai pusat segalanya dan segala potensi pun dipersembahkan baginya. Kedua; Keadilan sosial (social equality dan econimic justice) hendaknya dicerminkan sebagai penolakan terhadap berbagai diskriminasi yang dilahirkan misalnya: perjuangan kelas, gender, etnisitas. Dan ketidakadilan sosial menjadi sumber perusakan lingkungan hidup oleh Negara dan corporat. Ketiga; Kerakyatan. Artinya pengelolaan sumberdaya alam hendaknya memposisikan rakyat sebagai penikmat. Rakyat tidak dipinggirkan dari proses-proses kebijakan terutama yang berkorelasi dengan akses dan kontrol. Keempat; Pengelolaan Sumberdaya Alam hendaknya mengaktifkan dan menyeimbangkan Feeling, Acting, dan Thinking. Setiap individu bisa merasakan nilai keagungan inisiasinya (feeling). Secara konseptual ini didorong untuk melahirkan visi bersama dengan memahami apa yang menjadi  penting (definisi) serta menemukan dan mengapresiasi apa yang telah ada dan tentunya itu terbaik (discovery), menemukan apa yang semestinya ada (dream), menstrukturkan apa yang ada (design) dan merawatnya hingga menjadi ada (destiny) sehingga hasilnya akan melampaui dari apa yang dinginkan dan sangat sinergi dengan konteks realitas yang ada dalam kehidupan.

Karena itu, mengakhiri tulisan ini seluruh komponen diajak untuk mengejawantakan pulihkan NTT utamakan keselamatan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar