USIF OEMATAN DISERAHTERIMAKAN BENDERA WALHI
Ferdinand Staf Eknas Walhi | menyerahkan bendera WALHI |
Kupang – Walhinews, Festival
Ningkam Haumeni III yang diselenggarakan di Bukit Anjaf – Nausus,
Desa Fatukoto, Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten TTS, NTT (23-26/07).
Festival yang bertajuk “Masyarakat Adat Menuju Kedaulatan
Pangan, Air dan Energi” dihadiri ratusan masyarakat adat Onam
(Amanuban), Banam (Amanatun) dan Oenam (Molo) yang sering dikenal
sebagai masyarakat tiga batu tungku dan utusan dari berbagai NGO
lokal, nasinal dan internasional.
Festival yang mengedepankan nilai-nilai kearifan
lokal masyarakat Tiga Batu Tungku, yang diinspirasi perjuangan Suku
Mollo dalam mengusir pertambangan marmer
dari area keramat Anjaf dan Nausus. Semenjak kemenangan mereka atas industri ekstraktif sejak itu pula masyarakatnya lebih memilih pengembangan ekonomi yang tidak merusak alam dan jati diri mereka yang tersimbol melalui gunung batu.
dari area keramat Anjaf dan Nausus. Semenjak kemenangan mereka atas industri ekstraktif sejak itu pula masyarakatnya lebih memilih pengembangan ekonomi yang tidak merusak alam dan jati diri mereka yang tersimbol melalui gunung batu.
Ningkam Haumnei tidak mempunyai terminologi khusus,
namun secara adat diyakini bahwa Ningkam artinya Lilin/Madu dan
Haumeni artinya Cendana. Keduanya nyaris punah dari bumi Timor dan
NTT pada umumnya sehingga momentum pergelaran Festival Ningkam
Haumeni ini sebagai sebuah kesempatan untuk mengingat kembali akan
komitmen adat yang sudah disepakati bersama.
Festival ini dilakukan atas inisiasi dan kemauan
Masyarakat Adat Tiga Batu Tungku sendiri dan bukan atas inisiasi
pemerintah atau bantuan dari pihak mana pun. Karena itu, Festival ini
digelar dengan sangat sederhana, tanpa panggung, tanpa listrik.
Sebuah kondisi yang sungguh alamiah selama pergelaran festival
Ningkam Haumeni tak menyurut niat dan semangat pesrta festival dari
awal hingga akhir kegiatan tersebut.
Selain pertunjukan tarian adat yang didendangkan
oleh masyarakat adat pada malam budaya, festival ini juga melahirkan
isu-isu koonstruktif seputar upaya masyarakat adat dalam mencapai
kedaulatan pangan, air dan energi.
“Selama tiga tahun ini kami mengalami gagal panen,
dan kerawanan pangan selalau mengahntui kami. Tapi, kini kami harus
segera menyiapkan diri untuk menhadapi sekaligus melewati situasi
ini. Kami mencoba mengembangkan berbagai bibit pangan lokal yang bisa
membuat kami bertahan hidup dalam kondisi peruabahn iklim yang tidak
menentu. Kami juga akan berbagi pengalaman dengan apra petani lainnya
dalam bertani termasuk menghadirkan Mama Tata (Maria Loretha) dari
Adonara, Flores, NTT yang telah sukses mengembangkan tanaman lokal
sorgum dan semacamnya. Jelas, Aletha Baun selaku tokoh perempuan
Molo.
Selain itu, Lanjut Aletha, Festival ini juga
mengingatkan pemerintah kabupaten se-NTT agar mereka tidak
mengedepankan kebijakan-kebijakan yang berorientasi eksploitasi
sumber daya alam, termasuk pertambangan, tetapi bagaimana
mengembangkan pertanian, peternakan, industri rumah tangga (tenun
ikat) untuk mensejahterkan perekonomian kami”. Masyarakat tiga batu
tungku (Molo, Amanatun dan Amanuban) berprinsip ‘tambang harus
tetap ada di dalam bumi tidak perlu diganggu. Yang ada di permukaan
bumi saja tidak diurus secara baik mengapa harus mengurus yang di
dalam bumi?
“Kami tidak akan menjual apa yang kami
tidak bisa buat, kami menjual apa yang bisa kami buat seperti
tenun, hasil pertanian dan peternakan”. tandas Aleta.
Usi Oematan adalah salah satu Raja Timor turut
mengahadiri Festival Ningkam Haumeni III ini. Pada acara penyambutan
para tamu dari Kupang dan Jakarta mereka menyapa secara adat (natoni)
yang mana berterima kasih kepada leluhur karena atas peran mereka
maka masih ada kelompok yang ingin mengunjungi mereka di Timor dan
lebih dari itu mereka memohon agar para tamu (JATAM, SGP-GEF, CSF,
WALHI, Pikul dan beberapa Wartawan) selalu dalam lindungan sehingga
mereka mengikuti festival ini dalam kegirangan. Mendengar
sapaan itu, Herry Naif (Direktur WALHI NTT) kemudian juga secara adat
dalam bahasa setempat mengucapkan terima kasih karena mereka telah
disambut dengan penerimaan adat dan menegaskan bahwa perjuangan untuk
melindungi alam bukan hanya ada di Mollo tetapi di banyak tempat
telah dilakukan. Sebagai bentuk penghormatan dan pendekatan para tamu
dengan masyarakat Amanatun, Amanuban dan Mollo diundang Fernand
(salah satu peserta Festival dari Eksekutif Nasional WALHI) untuk
menyerahkan sebuah Bendera Walhi sebagai simbol integrasi mereka
dengan perjuangan rakyat.
Setelah upacara penerimaan tersebut, Walhi mendekati
Usi Oematan untuk mendiskusikan beberapa hal penting. Ketika ditanya
terkait kebijakan pengelolaan sumber daya alam oleh pemerintah, Usi
Oematan menilai eksploitasi sumber daya alam khususnya industri
ekstraktif (pertambangan) harus ditolak. Usi beralasan, kehadiran
industri pertambangan sangat mengganggu kearifan lokal yang
masyarakat adat anut. Anehnya lagi, kehadiran investor tanpa
sepengetahuan kami selaku pemilik atas tanah, bahkan mencederai kami
selaku raja sekaligus penguasa wilayah adat.
“Awalnya, kami sama sekali tidak tahu
kehadiran pertambangan marmer di Molo karena pemerintah tidak
melibatkan kami selaku masyarakat adat. Apa yang dilakukan pemerintah
ini bagi kami merupakan sebuah kebijakan yang keliru dulu karena
masih ada potensi lain yang harus kami gali dan kerjakan misalnya
pertanian, peternakan dan potensi lainnya yang tidak merugikan tanah
adat kami”. Tandas Usi.
Ketika ditanya soal urgensi penyelengaraan
Festival Ningkam Haumeni, Usi menegaskan, Festival ini sangat penting
untuk kembali dan terus menyatukan komitmen dan konsistensi akan
kemandirian berpikir masyarakat sehingga tidak mengerukh alam sesuak
hati. “Bagi kami festival ini sangat penting karena kami selalu
diingatkan untuk tetap menjaga keutuhan alam kami”. Jelas Usi
Oematan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar