Kerusakan
Lingkungan Oekopa Harus Segera Direklamasi
Secara
historis-kultural, desa Oekopa termasuk wilayah kevetoran Tamkesi
(Biboki). Suku yang dominan di wilayah itu adalah Usatnesi
Sonaf’Kbat, Soanbubu, Suilkono selain itu ada suku Monemnasi, Tasi,
Amteme Taekab, Amsikan, Naitsea, Leoklaran, Taslulu, Usboko.
Sedangkan secara Administrasi-geografis, desa Oekopa terletak di
Kecamatan Biboki Tanpah, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Propinsi
Nusa Tenggara Timur (NTT), yang mana sebelah Utara Berbatasan dengan
dengan desa Tualene, Selatan dengan desa Oerinbesi, Sebelah Timur
berbatasan dengan Kabupaten Belu, Sebelah Barat berbatasan dengan
desa Tautpah. Jumlah penduduk desa Oekopa, 1.271 jiwa (2010), 1.563
(2011).
Mayoritas
penduduk desa Oekopa berprofesi petani sawah.
Oekopa
dikenal sebagai salah satu pemasok beras bagi masyarakat Kabupaten
TTU dan Kabupaten Belu. Seyogyanya, Oekopa dan Oerinbesi
diidentifikasi sebagai daerah potensial pertanian (persawahan) dalam
kerangka mendukung program pertanian yang telah dicanangkan sebagai
salah satu program strategis Pemerintahan Kabupaten TTU saat ini,
yakni: Program Padat Karya Pangan (PKP) dan Program Sari Tani yang
sedang gencar dikampanyekan. Tanpa dukungan apa pun dari pemerintah
Kabupaten TTU, Oekopa tetap mengahasilkan beras yang akan
didistribusikan di Kabupaten TTU dan Belu.
Potensi
persawahan Oekopa dan Oerinbesi didukung kawasan penyanggah yang mana
terdapat enam sumber mata air, yakni: Oetobe, Oenenas, Oecikam,
oeekam, Oeoni dan Oesanlat. Keenam sumber mata air tersebut
selain digunakan untuk kebutuhan warga juga untuk mengairi persawahan
Oekopa seluas 840 ha dan peternakan.
Selain
itu, kawasan itu menjadi kawasan resapan air (water scatchman
area) bagi
desa Oekopa dan lima (5) desa lainnya, seperti: (Tualene, Oerinbesi,
Tautpah, Taunbaen dan Biloe). Bahkan juga
menjadi salah satu kawasan penyangga untuk hamparan persawahan
Lurasik, Inggareo, Matamaro.
Kawasan
itu pun menjadi kawasan penggembalaan ternak yang mana setelah panen
ternak itu akan digembalakan di wilayah persawahan tetapi ketika
persawahan dikelola maka ternak akan digembalakan di wilayah
tersebut. Desa Oekopa memiliki sapi 752 ekor. Belum terhitung
binatang lainnya, seperti kerbau, kambing, babi dan lain-lain yang
sedang dimiliki rakyat Oekopa.
Malah
secara historis-cultural, wilayah ini dipandang warga sebagai kawasan
yang harus dilindungi karena di kawasan itu ada tempat ritus adat
(fatukanaf dan Oekanaf) dari beberapa suku yang ada di
Oekopa. Itu berarti, pengelolaan lingkungan berasas pada sebuah
kearifan lokal yang bernuansa nilai perlindungan ekologis
(kosmosentris) perlu dilestarikan dan diakomodir dalam konsep
pengeloaan sumber daya alam.Hubungan timbal-balik manusia dengan alam
dipandang dalam sebuah keadilan demi pewarisan lingkungan bagi
generasi selanjutnya.
Kendatipun
demikian profil Oekopa, pada tahun 2012 Pemerintah Kabupaten TTU
dalam Surat Bupati TTU No. Ek.540/102/IV/2012 tentang Ijin Prinsip
Pembangunan Pabrik Pengolahan dan Pemurnian Biji Mangan kepada PT.
Gema Energy Indonesia.
Dari
aktivitas pertambangan melalui kegiatan pemboran itu telah meninggalkan
lubang-lubang. Menurut warga, peninggalan lubang ini menjadi bumerang
karena saat musim hujan digenangi air dan menjadi bumerang bagi
masyarakat Oekopa yang mana banyak ternak yang tenggelam dan mati.
Menyikapi
adanya permasalahan tersebut, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(Walhi NTT) sebagai organisasi independen yang bekerja independen
dalam isu lingkungan hidup, Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi
ingin menggarisbawahi beberapa hal diantaranya: Pertama,
Pemerintah Kabupaten TTU sebagai pihak pemberi Ijin Usaha
Pertambangan (IUP) kepada PT. Gema Energi Indonesia (GEI) perlu
bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi di sana.
Sebab sesuai dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Pasal 1 (1)
menyatakan bahwa: lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan
semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan
perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
(2): Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah
upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Dari
dua pasal ini, dilihat bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi di
Oekopa adalah pelanggaran hukum kalau semua kerusakan itu tidak
direklamasi oleh Pemerintah Kabupaten TTU dan PT. Gema Energi
Indonesia (GEI); Malah secara tegas dalam Undang-Undang No.4 Tahun
2009 Pasal 1 (26) menyatakan bahwa: Reklamasi adalah kegiatan yang
dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata,
memulihkan dan memperbaiki kualitas liingkungan dan ekosistem agar
dapat berfungsi kembali sesuai peruntukkannya; sedangkan,
kegiatan paska tambang adalah kegiatan terencana,
sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebahagian atau seluruh
kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam
dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah
pertambangan?
Dari
pemahaman ini, pada pasal 99 (1) Undang-Undang No. 4 tahun 2009
dinyatakan, bahwa “setiap pemegang IUP dan IUPK wajib
menyerahkan rencana reklamasi dan rencana pasca tambang pada saat
mengajukan permohonan IUP Operasi Produksi dan IUPK operasi Produksi.
(2) Pelaksanaan reklamasi dan kegiatan pasca tambang dilakukan sesuai
dengan peruntukan lahan pasca tambang;
Itu
berarti jelas bahwa Kegiatan reklamasi pasca tambang adalah sebuah
tanggung jawab yang harus dituntaskan sebelum meninggalkan Wilayah
Pertambangan. Malah pada pasal 100 juga ditegaskan bahwa “pemegang
IUP dan IUPK menyediakan dana jaminan reklamasi dan dana jaminan
pasca tambang”.
Karena
itu, Pemerintah Kabupaten TTU dan PT. GEI segera wajib melakukan
reklamasi terhadap lubang-lubang yang telah ditimbulkan akibat adanya
pertambangan mangan di sana, seperti tertuang dalam Surat Bupati TTU
No. Ek.540/102/IV/2012 tentang Ijin Prinsip Pembangunan Pabrik
Pengolahan dan Pemurnian Biji Mangan kepada PT. Gema Energy
Indonesia.
Kedua,
Kesadaran kritis rakyat Oekopa untuk menuntut akan adanya
reklamasi atas kerusakan yang terjadi di Oekopa adalah hal positif
yang harus didukung berbagai pihak karena ini adalah proses
pembelajaran menarik mengenai suatu kebiasaan dimana kerusakan
lingkungan itu tidak dipulihkan setelah sebuah proses pertambangan
kendatipun dalam berbagai produkuk hukum mengatur mengenai hal itu.
Ketiga,
Pemerintah Provinsi NTT dan Pemkab TTU pada khususnya untuk segera
melakukan evaluasi dan monitoring terhadap seluruh pertambangan agar
mengidentifikasi semua kerusakan yang timbul dan menyiapkan rumusan
stategi untuk melakukan pemulihan dan penyelamatan ekologi yang
tersisah.
Selain
itu perlu dichek seberapa jauh perkembangan yang didatangkan dari
pertambangan apakah sungguh memberikan kesejahteraan. Apabila dalam
evaluasi dan pemantauan itu, ternyata ditemukan bahwa pertambangan
tidak memberikan nilai tambah bagi rakyat dalam upaya memperbaiki
kualitas hidup rakyat maka sekiranya Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten mendukung program-program yang mengutamakan
kepentingan rakyat seperti:Program Padat Karya Pangan (PKP) dan
Program Sari Tani. Menurut kami, apabila program ini serius
dijalankan tentunya akan memberi dampak positif bagi kehidupan
petani, demikian ungkap Walhi NTT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar