Selasa, 19 Februari 2013

Mangan: Berkah atau Petaka?

-->
Oleh: Herry Naif

Pulau Timor adalah salah satu pulau di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) selain Pulau Flores, Sumba, Alor dan berbagai pulau kecil lainnya. Isi perut pulau Timor, yang sering disebut Nusa Cendana, didominasi oleh mineral Mangan.

Mangan adalah unsur kimia yang digunakan untuk peleburan logam (metalurgi) proses produksi besi baja, baterai kering, keramik dan gelas. Jika mangan terserap oleh tubuh dalam jumlah banyak, akibatnya dapat merusak hati, membuat iritasi, karsinogen atau menyebabkan kanker pada manusia, hewan dan tumbuhan melalui rantai makanan.

Kini, potensi mangan sedang dikampanyekan secara luas baik oleh pemerintah maupun pihak swasta. Mangan dinilai sebagai potensi mineral yang memiliki nilai jual dimana menarik banyak pemodal berdatangan ke pulau tersebut. Hal ini pun disambut gencar oleh rakyat (masyarakat) di Pulau Timor yang sedang dilanda gagal panen, akibat perubahan iklim yang tidak bisa diduga oleh petani. Penambangan mangan seakan menjadi pilihan alternatif bagi masyarakat Timor dalam memenuhi kebutuhan hidup, tanpa mengerti dampak kerusakan yang ditimbulkan, baik itu terhadap kondisi ekologi yang diambang kegentingan, sosial-budaya yang makin renggang dari waktu ke waktu, dan bahkan kesehatan masyarakat Timor yang makin terpuruk.

Hasil Pantauan

Pertambangan Mangan di Salu Miomaffo, kulun Maubes, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dan Timor umumnya adalah penambangan mangan yang dilakukan rakyat. Menurut pengakuan warga, awalnya mereka sama-sama mengambil mangan yang tampak di permukaan tanah namun ada korban jiwa yang terus-menerus di beberapa tempat, sehingga sebagian orang kemudian meninggalkan aktivitas itu. Sekarang para penambang sudah harus menggali tanah beberapa meter karena mangan di atas permukaan tanah sudah mulai kurang bahkan tidak ada lagi.

Dalam tradisi masyarakat TTU (Dawan), mangan disebutnya fatu metan atau fatu pah yang tidak boleh diganggu apalagi dipindahkan siapa pun. Dulu bila mangan muncul di kebun, kemudian diposisikan pada tempat yang layak dan dijadikan sebagai tempat persembahan di kebun itu. Fatu metan diyakini memiliki nilai mistik-magis yang sangat dihormati masyarakat Dawan. Oleh karena itu sampai kapan pun, tidak boleh diapa-apakan. Bila dilanggar, akan terjadi bencana atau peristiwa yang luar biasa dan membawa korban. Kepercayaan ini kemudian tergerus zaman kapitalistik dimana modal menguasai manusia dan angan-angan kesejahteraan akan digapai melalui penambangan mangan.

Dalam perjalanan, ternyata fatu metan ini bukannya membawa kesejahteraan tetapi malah mengantar jiwa orang karena tertimbun tanah.
Fakta ditemukan bahwa penambang tidak dilengkapi pelindung tubuh, misalnya masker pelindung mata, mulut, hidung dan kaos tangan. Para penambang pun tidak menggunakan perlengkapan itu karena mereka juga tidak pernah diinformasikan mengenai dampaknya bagi kesehatan, terutama pada pernapasan. Mereka melakukan aktivitas itu selayaknya bekerja kebun. Padahal, apabila mangan itu diserap tubuh terlalu banyak ia sanggup merusak hati, membuat iritasi, karsinogen atau menyebabkan kanker pada manusia, hewan dan tumbuhan melalui rantai makanan.

Analisis Daya Rusak Tambang Mangan di Kabupaten TTU:

Dampak Ekologi Perubahan Bentangan Alam (landscape)

Luas wilayah kabupaten TTU adalah 2.669.70 km2 atau 5,6% dari Luas Provinsi NTT, sedangkan luas laut Kabupaten TTU adalah 950 km2. Dari luas wilayah daratan ini, diklasifikasi bahwa tanah yang rawan erosi seluas 142, 99 Ha (39,4%) sedangkan tanah yang relatif stabil seluas 161, 74(60,6%) (lihat: Timor Tengah Utara dalam Angka 2006/2007, BPS TTU dan BAPEDA TTU).
Dari data ini dapat dikaji bahwa penggalian dan pengambilan mangan di Kabupaten TTU yang dilegitimasi dalam 82 Surat Kuasa Pertambangan (SKP), tentunya akan menggusur ribuan lahan pertanian, peternakan, hutan, dan sumber air
(hidrologi).

Aktivitas penambangan mangan juga dinilai menyebabkan terganggunya tata air setempat, resiko bencana, longsor serta banjir. Kondisi ini diperparah dengan tanah rawan erosi seluas 142,99 Ha (39,4%), karena permukaan tanah dikupas, digali, menjadi lubang-lubang, dan hilangnya keanekaragaman hayati di kabupaten TTU, akibat perubahan bentangan alam dan kerusakan ekologi.

Struktur perekonomian Kabupaten TTU didominasi oleh sektor pertanian (74,7%) khususnya sub-sektor tanaman pangan yang menjadi tempat bagi sebagian besar masyarakatnya mencari sumber penghasilan, sehingga keberadaan dan keberlangsungan sub sektor ini menjadi sangat strategis (lihat: Timor Tengah Utara dalam Angka 2006/2007, BPS TTU dan BAPEDA TTU).

Kabupaten TTU dikenal sebagai wilayah yang sangat cocok dalam pengembangan peternakan (sapi, kerbau, babi, kambing, dll). Itu berarti, dengan 82 Surat Kuasa Pertambangan (SKP) berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan yang tidak akan menunjang pengembangan pertanian dan peternakan. Itikad Pemerintah Kabupaten TTU dalam Panca Program strategis dengan memfokuskan sektor pertanian khususnya tanaman pangan menjadi salah satu program utama 17 dalam mengkatalisasi pertumbuhan ekonomi daerah, hanyalah sebuah mimpi, bila pertambangan kemudian dilihat sebagai leading sector.

Pada titik ini dapat disimpulkan bahwa dengan 82 Surat Kuasa Pertambangan (SKP) akan mengubah tatanan ekologi yang selama ini ada, malah membawa malapetaka. Anggapan bahwa mangan selalu ada di kawasan gersang dan tanah liat yang selama ini tidak dimanfaatkan untuk pertaniaan adalah rasionalisasi pembenaran atas aktivitas perusakan bentangan alam. Oleh karena itu, dengan 82 Surat Kuasa Pertambangan bisa dibayangkan berapa luas bentangan alam yang dirusakan. Alasan, uang jaminan 50 juta per titik adalah bentuk pelumasan hati warga agar rakyat bisa membenarkan dan menyepakati kebijakan ini.

Siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan bentangan alam di Kabupaten TTU?

Pertambangan: Industri Rakus Air

Air adalah unsur hakiki untuk bertahannya hidup manusia dan tanaman dan hewan yang tengah bertumbuh kembang. Beberapa dasawarsa lalu persoalan air adalah persoalan wilayah perkotaan, sebab di sana banyak kawasan industri, sehingga banyak lahan dikonsersi menjadi lahan penduduk. Sekarang kelangkaan air telah menggejala di dunia tanpa mengenal sekat-sekat wilayah. Bahwa di banyak wilayah pedesaan, permukaan air bawah tanah jauh menurun, mata air- mata air tercemar dan persediaan menurun secara drastis seiring dengan gencarnya eksploitasi sumber daya alam besar-besaran. Persaingan atas sumber daya air diantara para pemanfaat irigasi, pemilik industri dan konsumen rumah tangga acapkali menguntungkan para penguasa, sehingga menelantarkan masyarakat yang kurang berdaya.

Menghadapi permasalahan krisis air yang terus meningkat dari waktu ke waktu, banyak argumentasi yang dilontarkan. Misalnya: Pertama, kekurangan air akibat penduduk yang semakin bertambah. Kedua, pembagian, pemborosan dan kurangnya penghormatan terhadap air di tengah masyarakat yang materialistis dan konsumeristis. Ketiga, krisis air berkenaan dengan privatisasi pelayanan pasokan air dan kepemilikan atasnya. Dari beberapa pandangan di atas, dalam konteks Kabupaten TTU dapat ditemukan bahwa beberapa wilayah menjadi pelanggan kekurangan air atau bahkan ketiadaan air. Pada musim kemarau masyarakat harus pergi mencari air untuk minum, mandi, cuci dan berbagai kebutuhan lainnya.

Secara teoritis ataupun empirik, ketersedian air sangat bergantung pada luas hutan dimana berfungsi sebagai water cathcman area (kawasan penangkapan air). Kabupaten TTU memiliki luas hutan seluas 126,235 ha (47,3%) dari luas wilayah daratan. Itu berarti, Kabupaten TTU memiliki kawasan penyangga yang cukup bagus.

Dengan hingar-bingarnya 82 Surat Kuasa Pertambangan mangan tentunya akan berdampak pada kerusakan hutan. Pertambangan mangan yang dilakukan di luar kawasan hutan pun akan sangat mengganggu ekologi karena tentunya akan menimbulkan pencemaran udara dan air.

Mumpung, belum dilakukan proses pencucian dan pemurnian mangan dilakukan di wilayah kabupaten TTU. Hal ini akan sangat terasa ketika penggalian, pencucian dan pemurnian dilakukandi wilayah TTU.

Lebih dari itu dapat dibayangkan bahwa dengan 82 Surat Kuasa Pertambangan, mengindikasikan bahwa Kabupaten TTU akan mengalami krisis air. Sebelum ada tambang, air menjadi langka. Apalagi ada tambang mangan yang merusak tatanan hidrologi.

Pertambangan Menyebabkan Limbah Beracun/Tailing

Tailing adalah satu jenis limbah yang dihasilkan oleh kegiatan pertambangan. Selain tailing, kegiatan tambang juga menghasilkan limbah lain seperti: limbah kemasan bahan kimia dan limbah domestik. Tailing menyerupai lumpur kental, pekat, asam dan mengandung logam. Logam berat itu berbahaya bagi keselamatan makhluk hidup.

Pertambangan skala besar biasanya menggunakan bahan kimia seperti sianida, merkuri dan xanthat untuk memisahkan mineral dari batuan. Emisi beracun (limbah berbentuk gas) berupa timbal, merkuri dan sianida, senya sian (CN) kalau dikonsumsi tubuh akan mengganggu fungsi otak, jantung, menghambat jaringan pernapasan, sehingga terjadi asphyxia orang menjadi seperti tercekik dan cepat diikuti oleh kematian.

Kabupaten TTU merupakan wilayah yang cocok untuk pengembangan ternak. Dari data BPS TTU dilihat bahwa peternakan di kabupaten TTU terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Misalnya, pengembangbiakan ternak sapi dari 70.229 (2005) meningkat menjadi 75. 475 (2006) (lihat: Timor Tengah Utara dalam Angka 2006/2007, BPS TTU dan BAPEDA TTU) . Artinya, ternak sapi sangat cocok dikembangkan di Kabupaten TTU yang selama ini juga menjadi pendapat alternative rakyat dalam memenuhi hak-hak dasar seperti; pangan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan perumahan yang layak. Pengembangan ternak (sapi, kerbau, kambing dan babi) berkontribusi riil bagi peningkatan kualitas hidup rakyat tanpa merusak.

Sedangkan, penambangan mangan di Kabupaten TTU akan berpengaruh pada sumber-sumber penghidupan rakyat (lahan, air, ternak dll) di wilayah ini akan tercemar oleh tailing. Apalagi mangan itu, bila diserap tubuh terlalu banyak akan merusak hati, membuat iritasi, karsinogen atau menyebabkan kanker. Hal ini diperparah karena masyarakat melakukan penambangan mangan tanpa dilengkapi dengan masker dan kaos tangan. Tidak heran para penambang akan perlahan-lahan mengalami keracunan. Penambang sedang bunuh diri dan membunuh anak cucu.

Dengan 82 Surat Kuasa Pertambangan (SKP) di Kabupaten TTU berapa jumlah masyarakat yang diracuni setiap hari dan terancam keselamatannya? Berapa racun yang disebarkan pada lahan pertanian dan peternakan? Apakah pendapatan dari harga mangan 1000-1500/kg melebihi pendapatan pertanian, peternakan dan perkebunan? Bila argumentasinya adalah peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), berapa masyarakat Kabupaten TTU yang mengetahui dan mengontrol PAD Kabupaten TTU, sehingga dapat diketahui bahwa Pertambangan Mangan akan meningkatkan PAD. budaya dan modal sosial. Modal sosial dapat diterjemahkan sebagai hubungan atau jaringan (network) antara orang-orang yang memiliki pikiran dan gagasan sama tentang suatu hal. Dalam konteks budaya masyarakat Kabupaten TTU, bahwa hubungan sosial (social communal) terbentuk karena kesamaan kepentingan atas pengelolaan sumber-sumber produksi setempat, kesamaan atas tanah dan kekayaan alam, serta kesamaan sejarah dan adat budaya. Direnggutnya penguasaan masyarakat atas tanah dan kekayaan alam menyebabkan fondasi modal sosial mereka lenyap dan berdampak pada:

Pertama, lenyapnya daya ingat sosial, hilangnya tatanan nilai sosial yang dulunya dimiliki komunitas. Budaya nekaf mese ansaof mese akan ditinggalkan akibat perebutan mineral (mangan) sebagai pilihan alternatif dalam menunjang kualitas hidup rakyat: Talas/banu (larangan untuk alam yang sementara utuh dan tidak boleh dirusakkan oleh siapa pun); fuatono (ritual adat untuk minta hujan, paska musim kemarau; pembukaan lahan pertanian yang dilandasi dengan adat; ritus adat kepada Faut Kanaf, Oe Kanaf masih dipertahankan; Sek Hau Nomate (untuk panggil lebah dan panen lebah); mengenal pembagian Suf yang sudah ada ketentuan sejak awal oleh leluhur; mempertahankan dan mengenal tempat ritual adat dari masing-masing suku.

Kedua, putusnya hubungan silahturami antar warga menyebabkan perpecahan, persengketaan bahkan konflik (saling melenyapkan eksistensi satu sama lain). Mekanisme resolusi konflik tradisional yang telah hidup dalam komunitas tidak lagi dijadikan.

Dampak Sosial-Budaya
Dalam “The Forms of Capital” kontrol dalam kehidupan sosial. (1986), Piere Boudieu membagi Padahal, dalam konteks masyarakat modal menjadi modal kapital, modal Kabupaten TTU, untuk menaati ketentuan hukum adat (banu) yang tidak tertulis biasanya diberi sangsi seperti: Oni (Suni); Satwa (tanduk, kepala babi, bulu); Nuta (Api); Nono hau ana (Hau No’); Opat (denda biasanya disepakati bersama warga).

Dampak Kesehatan

Apabila mangan itu diserap tubuh terlalu banyak ia sanggup merusak hati, membuat iritasi, karsinogen atau menyebabkan kanker atau menurunnya daya tahan tubuh, karena merosotnya mutu kesehatan, mental warga, dan seringkali munculnya penyakit- penyakit baru, baik penyakit yang berupa metabolisme akut akibat pencemaran (udara, air, tanah dan bahan-bahan hayati yang dikonsumsi), penyakit menular (kelamin)dan penyakit lain yang dibawa oleh pekerja yang berasal
dari luar daerah.

Di Kabupaten TTU, jumlah penderita rawat jalan pada Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan RSUD Kefamenanu selama 2006 sebanyak 17248 kali kunjungan (pasien) atau turun 11,8% dibanding tahun 2005 (19568). Jenis penyakit yang dominan masing-masing: Infeksi saluran pernapasan Akut (ISPA) 50,8 %, penyakit lainnya 29,6%, penyakit dengan tanda gejala tak jelas lainnya 6,3%, penyakit yang lainnya di bawah 5%. Sedangkan Penderita rawat inap selama tahun 2006 pada RSUD Kefamenanu sebanyak 2. 267 kunjungan (pasien) atau turun 38,3 persen dari keadaan tahun sebelumnya. Penyakit dominan untuk kunjungan rawat inap: Diare 34,7% penyakit lainnya sebesar 24,6 %, pneumonia 11,5%, penyakit dengan tanda gejala dan keadaan tak jelas 5,69%, malaria 5,43%, penyakit lainnya dibawah 5% (lihat: Timor Tengah Utara dalam Angka 2006/2007, BPS TTU dan BAPEDA TTU).

Dari data itu, dapat dianalisis bahwa pertambangan mangan yang dilakukan secara manual di Kabupaten TTU akan berakibat: Pertama, dengan 82 SKP akan memperparah kondisi kesehatan masyarakat Kabupaten TTU akibat tercemarnya lahan pertanian, sumber air dan peternakan. Sebelum adanya pertambangan mangan di Kabupaten TTU, penyakit dominan yang dialami adalah ISPA (Infeksi memperburuk kondisi kesehatan masyarakat kabupaten TTU. Kedua, mempersulit penanganan kesehatan akibat penambangan dengan 82 SKP, karena hampir dilakukan hampir di seluruh wilayah kabupaten TTU. Artinya bahwa pencemaran ini akan dialami daerah yang memiliki potensi pertambangan (tidak terkonsentrasi) pada wilayah tertentu. Kondisi ini diperparah karena Dinas Kesehatan
 
--> Tabel data korban pertambangan mangan di Timor

No.
HARI / TANGGAL
NAMA
USIA (thn)
ALAMAT
KEJADIAN
LOKASI
1.
17 Agust. 2009
Daud Lomi Pita
48
RT 22 / RW 06 Dusun C, Desa Tubuhue, Kec. Amanuban Barat, TTS
Tewas tertimbun galian mangan

2.
2 Oktober 2009
  • Simon Linsini
  • Etri Linsini

Kel. Naioni
Tewas tertimbun tanah saat sedang menggali mangan

3.
6 oktober 2009
  • Melianus Bariut
  • Petrus Sabloit
  • Ambrosius Seran
  • Marice Ton
51
38
11
38
Kiumabun, Desa Oebola Dalam, Kec.Fatuleu, Kab.Kupang
Tewas tertimbun saat sedang menggali mangan
Kiumabun, Desa Oebola Dalam, Kec. Fatuleu, Kab. Kupang
4.
18 oktober 2009
  • Klara Abuk
  • Hans
50
30
Desa Taaba, Kec.Weliman, Kab. Belu
Tewas Tetimbun tanah ketika sedang menggali batu mangan
Tuataun, Kec.Feoana, TTS
5.
1 Desember 2009
Agustinus Sila
30
RT 09, Lingkungan 2, Kel.Oelami, Kec. Bikomi Selatan, TTU
Tewas mengenaskan dalam lubang tambang mangan
Tempat penggalian mangan, Fatukoko
6.
1 Desember 2009
Timotius Sali Lisu
29
Kel. Oelami,Kec.Bikomi Selatan, TTU
Ditemukan sekarat dilubang galian mangan, dan harus mnjalani perawatan intensif di RSU Kefamenanu
Tempat penggalian mangan,
Fatukoko
7.
27 Februari 2010
Marsel Amnesi
30
RT 20 / RW 2, Naioni,Kupang
Tewas tertimbun tanah dilokasi penggalian mangan
Lokasi penggalian mangan Oelnunfafi, kel. Naioni, Kec. Alak,Kota Kupang
8.
5 Mei 2010
Remon Aklili
8
Murid kelas 2, SDI Oelusapi,dusun 3, Desa Poto,Kec. Fatuleu Barat
Tewas tertimbun bongkahan tanah saat menggali batu mangan

Sumber: Pos Kupang

Tabel Korban Mangan (Sesuai dengan Pemberitaan Pos Kupang) Sumber: Pos Kupang) Saluran Pernapasan Akut) dan diare akan mengalami peningkatan yang luar biasa, karena tercemarnya udara, air dan lahan pertanian.

Sebelum pertambangan, data BPS (2006) menunjukkan dari 236.853 balita, 142. 535 dalam keadaan baik gizinya, 78.883 mengalami gizi sedang dan 15.435mengalami gizi buruk. Kondisi ini akan diperparah lagi. Jumlah balita yang mengalami gizi buruk ini akan mengalami peningkatan karena ibu hamil dan anak juga ikut dalam pertambangan mangan. Apalagi, kedua penyakit ini memiliki korelasi dengan pencemaran udara dan air. Untuk itu, pencemaran udara dan air akibat pertambangan mangan akan sendiri tidak memiliki rekomendasi layak tidaknya pertambangan. Dinas Kesehatan bukan pemadam kebakaran tetapi mestinya sebelum pertambangan Dinas Kesehatan sudah memiliki Kajian tentang dampak Pertambangan bagi kesehatan masyarakat.

Dalam konteks Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), negara bertanggung jawab atas korban jiwa akibat pertambangan. Itu bukan dilihat sebagai konsekuensi dari pertambangan yang harus ditanggung penambang. Karena tugas Negara adalah melindungi, memenuhi, menghormati serta memajukan hak-hak rakyat.
Dari data korban mangan (tabel) dilihat bahwa pertambangan mangan bukan hanya berdampak pada buruknya kesehatan tetapi bahkan membawa korban jiwa. Itu berarti tugas negara belum secara maksimal dijalankan. Data Pos Kupang di wilayah KabupatenTTU telah terdapat 4 korban jiwa. Itu berarti ada preseden buruk dari pertambangan yang katanya membawa kesejahteraan bagi rakyat TTU.

Dampak Ekonomi

Ekonomi dibagi menjadi kegiatan Produksi, Distribusi dan Konsumsi. Daya rusak tambang pada ekonomi setempat, merupakan penghancuran pada tata produksi, distribusi dan konsumsi lokal. Pertama, rusaknya tata produksi. Kabupaten TTU merupakan daerah yang cocok untuk pengembangan peternakan selain pertanian.

Apabila Pemerintah kabupaten TTU pro-rakyat maka yang didorong adalah pengembangan pertanian lahan kering dan pengembangan peternakan. Ini didukung dengan kondisi wilayah TTU.

Operasi pertambangan mangan dengan 82 SKP di Kabupaten TTU membutuhkan lahan yang luas, dipenuhi dengan cara menggusur tanah milik dan wilayah kelola rakyat. Kehilangan sumber produksi (tanah dan kekayaan alam) melumpuhkan kemampuan masyarakat setempat menghasilkan barang-barang dan kebutuhan pangan. Pertambangan mangan akan mempersempit lahan pertanian dan peternakan yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat TTU. Misalnya, pengembangbiakan ternak sapi 70.229 (2005) meningkat menjadi 75. 475 (2006) (lihat: Timor Tengah Utara dalam Angka 2006/2007, BPS TTU dan BAPEDA TTU). Artinya, ternak sapi sangat cocok dikembangkan di Kabupaten TTU yang selama ini juga menjadi pendapatan alternatif rakyat dalam memenuhi hak-hak dasar seperti pendidikan, kesehatan dan perumahan.

Kedua, tusaknya tata konsumsi. Lumpuhnya tata produksi menjadikan masyarakat makin tergantung pada barang dan jasa dari luar. Untuk kebutuhan sehari-hari mereka semakin lebih jauh dalam jeratan ekonomi. Uang tunai yang cendrung melihat tanah dan kekayaan alam sebagai faktor produksi dan bisa ditukar dengan sejumlah uang tidak lebih. Bahwa masyarakat kabupaten TTU yang memiliki tata konsumsi yang sosialis, artinya antar warga saling membahu dalam kesulitan. Kondisi ini akan mengalami pergeseran akibat masuknya tambang mangan.

Pertambangan mangan akan membawa perubahan pola konsumsi yang individualistik dankonsumeristik. Lebih dari itu, masyarakat akan sangat bergantung pada pada pasokan pangan dari luar. Ketiga, rusaknya tata distribusi. Kegiatan distribusi setempat semakin didominasi oleh arus masuknya barang dan jasa ke dalam komunitas.

Padahal, biasanya pada awal sebuah proses pertambangan akan dibangun opini publik bahwa pertambangan akan membawa kesejahteraan dengan meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat setempat. Namun, seperti yang terjadi di berbagai tempat lain, janji investor

Dampak Politik

Politik seringkali diartikan sebagai proses pembuatan keputusan dalam sebuah kelompok. Menurut Dickerson dan Flanagan, politik sebagai “sebuah proses resolusi konflik (kepentingan), dimana segala daya dan usaha dikerahkan untuk pencapaian tujuan bersama”. Kenyataannya, ia berwujud upaya seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuannya dengan berbagai cara, bisa mempengaruhi dan meyakinkan, membohongi atau bahkan menyingkirkan pihak lain. Sedangkan menurut Harold Lasswell, politik adalah “siapa mendapatkan apa, kapan, dimana dan bagaimana?”

Dalam konteks politik dapat dibenarkan pendapat Dickerson, Flanagan dan Harold Lasswell, dimana pemimpin Kabupaten TTU memengaruhi dan meyakinkan masyarakat bahwa potensi mangan menjadi pilihan alternatif tanpa menginformasikan dampak buruknya. Rakyat menambang tanpa mengerti apa dampak dari pertambangan mangan. karena tidak mampu menanggung Politik menjadi sasaran daya rusak derita dampak pertambangan. untuk memenangkan kepentingan Karena itu, pertambangan industri tambang. Ini dapat dilihat mangan di Kabupaten TTU perlu dari beberapa indikasi: dikaji secara cermat oleh Pemerintah, Pertama, margininalisasi tata- Kabupaten TTU. Bukan dengan kepemimpinan yang membela pragmatis pertambangan disetujui kepentingan warga oleh negara dan dan diakhiri dengan kekesalan. korporasi. Ini bisa dilakukan dengan Permasalahan pertambangan mangan mendorong penggunaan perangkat- ngan di Kabupaten TTU bukan perangkat kepemimpinan formal, hanya diperdebatkan soal harga yang harus patuh kepada ketentuan mangan tetapi yang perlu dilihat negara. Argumentasi Pemerintah adalah keberlanjutan wilayah dan Kabupaten TTU yang diwakili Dinas potensi TTU bagi anak-cucu. 

Bila Pertambangan Kabupaten TTU tidak, pertambangan mangan akan bahwa ada jaminan tiap titik 50 merusak lingkungan dan generasi juta. Itu berarti dari 82 SKP, Pemkab penerus TTU.
TTU memiliki pemasukan dari dan Pemerintah Kabupaten TTU adalah peningkatan ekonomi rakyat akan berubah roman menjadi kuli di negeri sendiri, seperti yang terjadi pada Pertambangan Buyat Minahasa Raya dimana warga harus meniggalkan tempat kelahirannya bidang pertambangan sebanyak 4,1 miliyard. Sedangkan bila didistribusikan pada titik tambang maka tidak ada artinya dibanding kerusakan yang ditimbulkan. Dana itu bila diperlukan untuk rabat jalan dusun pada sebuah desa juga tidak cukup.

Argumentasi ini dinilai sebagai rasionalisasi pembenaran atas pertambangan. Padahal, pemerintah yang baik, perlu menginformasikan tentang kerusakan yang ditimbulkan sehingga rakyat mengetahui resiko baik bagi manusia, lingkungan, sosial budaya. Dan bila perlu sudah bisa diprediksi tentang kerusakan yang ditimbulkan dan apa dana itu mampu untuk merehabilitasi kerusakan yang terjadi. Apakah Pemerintah Kabupaten TTU pernah mendiskusikan rencana pertambangan itu dengan rakyat ataukah ini diambil sebagai inisiasi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Apakah sudah diperhitungkan dengan berapa  besar dana rehabilitasi yang dibutuhkan?

Kedua, rontoknya kelembagaan politik setempat digantikan oleh tata kelembagaan yang patuh kepada aturan-aturan negara. Ini menyebabkan lenyapnya ruang aspirasi dan partisipasi warga, dalam pengambilan keputusan politik setempat. Proses politik menjadi ajang legitimasi sosial bagi operasi tambang di tanah-tanah milik dan wilayah kelola warga. DPRD Kabupaten TTU telah membentuk Pansus Mangan. Apakah Pansus ini memiliki kekuatan dalam menyikapi pertambangan di kabupaten TTU?

Kekuatiran yang terbersit adalah adanya kompromi kepentingan antara kekuasaan, DPRD dan investor. Bila ini terjadi maka masyarakat TTU akan mengalami permasalahan yang bersentuhan dengan berbagai aspek kehidupan.
Ketiga, program Community Development adalah cara yang digunakan untuk menggusur kelembagaan politik setempet. Ini biasanya dipakai jaringan LSM/ NGO makanya banyak NGO tidak banyak berkomentar tentang pertambangan atau kerusakan lingkungan hidup. LSM model ini biasanya sangat akrab dengan birokrat dan sangat kompromistis. Sejauh pantauan, dapat dilihat bahwa kelompok civil society yang mestinya dimotori oleh LSM/NGO di Kabupaten TTU itu tidak dilakukan.

Kesimpulan
Akselerasi pembangunan melalui pengelolaan sumber daya alam terutama melalui bidang pertambangan sebagai jawaban untuk peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), penyedian lapangan kerja, percepatan pertumbuhan ekonomi, percepatan pembangunan desa tertinggal atau pengurangan kemiskinan di kabupaten TTU perlu dicermati. Para pelaku pertambangan juga selalu memberikan ilusi-ilusi tentang kemakmuran dan kesejahteraan dari eksploitasi kekayaan alam yang dikeruk dari bumi Indonesia umumnya dan Kabupaten TTU pada khususnya adalah mantera yang digulirkan terus-menerus untuk menghegemoni rakyat bahwa kehadiran industri tambang mangan mutlak diperlukan.

Dari kenyataan yang ada, belum pernah ada bukti. Tambang Emas Freeport di Papua hanya bisa
dibanggakan Indonesia sebagai Tambang Emas terbesar tetapi hasilnya adalah Propinsi Papua menjadi propinsi termiskin. Atau tambang Buyat Minahasa, masyarakat setempat harus melepastinggalkan tanah warisan leluhur karena tidak mampu menanggung derita akibat pertambangan.

Prinsipnya, pertambangan merusak sistem hidrologi tanah sekitarnya melalui penggalian. Masyarakat hanya akan menjadi penikmat warisan jutaan ton limbah tambang dan kerusakan lingkungan dan sosial lainnya. Apalagi dicermati bahwa lingkungan hidup di NTT diambang kegentingan akibat pemanasan global, global warming dan perubahan iklim, climate change yang terus terjadi. Apabila kondisi ini tidak disikapi secara objektif, baik oleh pemerintah maupun masyarakat TTU, tidak heran wilayah ini akan mengalami kondisi yang mengenaskan.
Pertama, bumi Biinmaffo berada di antara tiga lempeng yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng pasifik Pan lempeng Eurosia. Karena letak ini, maka tak heran wilayah ini sering terjadi bencana. Kedua, bumi Biinmaffo berada di Pulau Timor yang merupakan gugus pulau kecil karena itu sangat rentan dengan kehilangan pulau. Ketiga, bumi Binmaffo tidak hanya bisa dibangun dengan pertambangan. Kabupaten TTU bisa membangun dengan potensi alam dalam bidang pertanian dan kelautan yang terkandung di dalamnya. Keempat, bumi Biinmaffo harus dikembalikan keasriannya dengan menolak seluruh pertambangan yang sedang diproses, karena pertambangan akan menghancurkan ekosistem yang ada di Kabupaten TTU. ***

Penulis adalah Manajer Program WALHI NTT dan Staf pada Pusat Riset Pengelolaan Lingkungan Jiro-Jaro – Maumere. 

Tulisan ini pernah dipublikasikan pada Majalah Jong Indonesia, edisi 4 tahun 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar