Pulau Timor adalah salah
satu pulau di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) selain Pulau Flores,
Sumba, Alor dan berbagai pulau kecil lainnya. Isi perut pulau Timor,
yang sering disebut Nusa Cendana, didominasi oleh mineral Mangan.
Mangan adalah unsur
kimia yang digunakan untuk peleburan logam (metalurgi) proses
produksi besi baja, baterai kering, keramik dan gelas. Jika mangan
terserap oleh tubuh dalam jumlah banyak, akibatnya dapat merusak
hati, membuat iritasi, karsinogen atau menyebabkan kanker pada
manusia, hewan dan tumbuhan melalui rantai makanan.
Kini, potensi mangan
sedang dikampanyekan secara luas baik oleh pemerintah maupun pihak
swasta. Mangan dinilai sebagai potensi mineral yang memiliki nilai
jual dimana menarik banyak pemodal berdatangan ke pulau tersebut. Hal
ini pun disambut gencar oleh rakyat (masyarakat) di Pulau Timor yang
sedang dilanda gagal panen, akibat perubahan iklim yang tidak bisa
diduga oleh petani. Penambangan mangan seakan menjadi pilihan
alternatif bagi masyarakat Timor dalam memenuhi kebutuhan hidup,
tanpa mengerti dampak kerusakan yang ditimbulkan, baik itu terhadap
kondisi ekologi yang diambang kegentingan, sosial-budaya yang makin
renggang dari waktu ke waktu, dan bahkan kesehatan masyarakat Timor
yang makin terpuruk.
Hasil Pantauan
Pertambangan Mangan di
Salu Miomaffo, kulun Maubes, Kabupaten Timor Tengah Utara
(TTU) dan Timor umumnya adalah penambangan mangan yang dilakukan
rakyat. Menurut pengakuan warga, awalnya mereka sama-sama mengambil
mangan yang tampak di permukaan tanah namun ada korban jiwa yang
terus-menerus di beberapa tempat, sehingga sebagian orang kemudian
meninggalkan aktivitas itu. Sekarang para penambang sudah harus
menggali tanah beberapa meter karena mangan di atas permukaan tanah
sudah mulai kurang bahkan tidak ada lagi.
Dalam tradisi masyarakat
TTU (Dawan), mangan disebutnya fatu metan atau fatu pah
yang tidak boleh diganggu apalagi dipindahkan siapa pun. Dulu bila
mangan muncul di kebun, kemudian diposisikan pada tempat yang layak
dan dijadikan sebagai tempat persembahan di kebun itu. Fatu metan
diyakini memiliki nilai mistik-magis yang sangat dihormati masyarakat
Dawan. Oleh karena itu sampai kapan pun, tidak boleh diapa-apakan.
Bila dilanggar, akan terjadi bencana atau peristiwa yang luar biasa
dan membawa korban. Kepercayaan ini kemudian tergerus zaman
kapitalistik dimana modal menguasai manusia dan angan-angan
kesejahteraan akan digapai melalui penambangan mangan.
Dalam perjalanan, ternyata fatu metan
ini bukannya membawa kesejahteraan tetapi malah mengantar jiwa orang
karena tertimbun tanah.
Fakta ditemukan bahwa
penambang tidak dilengkapi pelindung tubuh, misalnya masker pelindung
mata, mulut, hidung dan kaos tangan. Para penambang pun tidak
menggunakan perlengkapan itu karena mereka juga tidak pernah
diinformasikan mengenai dampaknya bagi kesehatan, terutama pada
pernapasan. Mereka melakukan aktivitas itu selayaknya bekerja kebun.
Padahal, apabila mangan itu diserap tubuh terlalu banyak ia sanggup
merusak hati, membuat iritasi, karsinogen atau menyebabkan kanker
pada manusia, hewan dan tumbuhan melalui rantai makanan.
Analisis Daya Rusak Tambang Mangan
di Kabupaten TTU:
Dampak Ekologi Perubahan Bentangan
Alam (landscape)
Luas wilayah kabupaten
TTU adalah 2.669.70 km2 atau 5,6% dari Luas Provinsi NTT, sedangkan
luas laut Kabupaten TTU adalah 950 km2. Dari luas wilayah daratan
ini, diklasifikasi bahwa tanah yang rawan erosi seluas 142, 99 Ha
(39,4%) sedangkan tanah yang relatif stabil seluas 161, 74(60,6%)
(lihat: Timor Tengah Utara dalam Angka 2006/2007, BPS TTU dan BAPEDA
TTU).
Dari data ini dapat
dikaji bahwa penggalian dan pengambilan mangan di Kabupaten TTU yang
dilegitimasi dalam 82 Surat Kuasa Pertambangan (SKP), tentunya akan
menggusur ribuan lahan pertanian, peternakan, hutan, dan sumber air
(hidrologi).
Aktivitas penambangan
mangan juga dinilai menyebabkan terganggunya tata air setempat,
resiko bencana, longsor serta banjir. Kondisi ini diperparah dengan
tanah rawan erosi seluas 142,99 Ha (39,4%), karena permukaan tanah
dikupas, digali, menjadi lubang-lubang, dan hilangnya keanekaragaman
hayati di kabupaten TTU, akibat perubahan bentangan alam dan
kerusakan ekologi.
Struktur perekonomian
Kabupaten TTU didominasi oleh sektor pertanian (74,7%) khususnya
sub-sektor tanaman pangan yang menjadi tempat bagi sebagian besar
masyarakatnya mencari sumber penghasilan, sehingga keberadaan dan
keberlangsungan sub sektor ini menjadi sangat strategis (lihat: Timor
Tengah Utara dalam Angka 2006/2007, BPS TTU dan BAPEDA TTU).
Kabupaten TTU dikenal
sebagai wilayah yang sangat cocok dalam pengembangan peternakan
(sapi, kerbau, babi, kambing, dll). Itu berarti, dengan 82 Surat Kuasa Pertambangan (SKP)
berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan yang tidak akan menunjang
pengembangan pertanian dan peternakan. Itikad Pemerintah Kabupaten
TTU dalam Panca Program strategis dengan memfokuskan sektor pertanian
khususnya tanaman pangan menjadi salah satu
program utama 17 dalam mengkatalisasi pertumbuhan ekonomi daerah,
hanyalah sebuah mimpi, bila pertambangan kemudian dilihat sebagai
leading sector.
Pada titik ini dapat
disimpulkan bahwa dengan 82 Surat Kuasa Pertambangan (SKP) akan
mengubah tatanan ekologi yang selama ini ada, malah membawa
malapetaka. Anggapan bahwa mangan selalu ada di kawasan gersang dan
tanah liat yang selama ini tidak dimanfaatkan untuk pertaniaan adalah
rasionalisasi pembenaran atas aktivitas perusakan bentangan alam.
Oleh karena itu, dengan 82 Surat Kuasa Pertambangan bisa dibayangkan
berapa luas bentangan alam yang dirusakan. Alasan,
uang jaminan 50 juta per titik adalah bentuk pelumasan hati warga
agar rakyat bisa membenarkan dan menyepakati kebijakan ini.
Siapa yang bertanggung
jawab atas kerusakan bentangan alam di Kabupaten TTU?
Pertambangan: Industri
Rakus Air
Air adalah unsur hakiki
untuk bertahannya hidup manusia dan tanaman dan hewan yang tengah
bertumbuh kembang. Beberapa dasawarsa lalu persoalan air adalah
persoalan wilayah perkotaan, sebab di sana banyak kawasan industri,
sehingga banyak lahan dikonsersi menjadi lahan penduduk. Sekarang
kelangkaan air telah menggejala di dunia tanpa mengenal sekat-sekat
wilayah. Bahwa di banyak wilayah pedesaan, permukaan air bawah tanah
jauh menurun, mata air- mata air tercemar dan persediaan menurun
secara drastis seiring dengan gencarnya eksploitasi sumber daya alam
besar-besaran. Persaingan atas sumber daya air diantara para
pemanfaat irigasi, pemilik industri dan konsumen rumah tangga
acapkali menguntungkan para penguasa, sehingga menelantarkan
masyarakat yang kurang berdaya.
Menghadapi permasalahan
krisis air yang terus meningkat dari waktu ke waktu, banyak
argumentasi yang dilontarkan. Misalnya: Pertama, kekurangan air
akibat penduduk yang semakin bertambah. Kedua, pembagian, pemborosan
dan kurangnya penghormatan terhadap air di tengah masyarakat yang
materialistis dan konsumeristis. Ketiga, krisis air berkenaan dengan
privatisasi pelayanan pasokan air dan kepemilikan atasnya. Dari
beberapa pandangan di atas, dalam konteks Kabupaten TTU dapat
ditemukan bahwa beberapa wilayah menjadi pelanggan kekurangan air
atau bahkan ketiadaan air. Pada musim kemarau masyarakat harus pergi
mencari air untuk minum, mandi, cuci dan berbagai kebutuhan lainnya.
Secara teoritis ataupun
empirik, ketersedian air sangat bergantung pada luas hutan dimana
berfungsi sebagai water cathcman area (kawasan penangkapan air).
Kabupaten TTU memiliki luas hutan seluas 126,235 ha (47,3%) dari luas
wilayah daratan. Itu berarti, Kabupaten TTU memiliki kawasan
penyangga yang cukup bagus.
Dengan hingar-bingarnya
82 Surat Kuasa Pertambangan mangan tentunya akan berdampak pada
kerusakan hutan. Pertambangan mangan yang dilakukan di luar kawasan
hutan pun akan sangat mengganggu ekologi karena tentunya akan
menimbulkan pencemaran udara dan air.
Mumpung, belum dilakukan
proses pencucian dan pemurnian mangan dilakukan di wilayah kabupaten
TTU. Hal ini akan sangat terasa ketika penggalian, pencucian dan
pemurnian dilakukandi wilayah TTU.
Lebih dari itu dapat
dibayangkan bahwa dengan 82 Surat Kuasa Pertambangan, mengindikasikan
bahwa Kabupaten TTU akan mengalami krisis air. Sebelum ada tambang,
air menjadi langka. Apalagi ada tambang
mangan yang merusak tatanan hidrologi.
Pertambangan
Menyebabkan Limbah Beracun/Tailing
Tailing adalah satu
jenis limbah yang dihasilkan oleh kegiatan pertambangan. Selain
tailing, kegiatan tambang juga menghasilkan limbah lain seperti:
limbah kemasan bahan kimia dan limbah domestik. Tailing menyerupai
lumpur kental, pekat, asam dan mengandung logam. Logam berat itu
berbahaya bagi keselamatan makhluk hidup.
Pertambangan skala besar
biasanya menggunakan bahan kimia seperti sianida, merkuri dan xanthat
untuk memisahkan mineral dari batuan. Emisi beracun (limbah berbentuk
gas) berupa timbal, merkuri dan sianida, senya sian (CN) kalau
dikonsumsi tubuh akan mengganggu fungsi otak, jantung, menghambat
jaringan pernapasan, sehingga terjadi asphyxia orang menjadi seperti
tercekik dan cepat diikuti oleh kematian.
Kabupaten TTU merupakan
wilayah yang cocok untuk pengembangan ternak. Dari data BPS TTU
dilihat bahwa peternakan di kabupaten TTU terus mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun. Misalnya, pengembangbiakan ternak sapi dari
70.229 (2005) meningkat menjadi 75. 475 (2006) (lihat: Timor Tengah
Utara dalam Angka 2006/2007, BPS TTU dan BAPEDA TTU) . Artinya,
ternak sapi sangat cocok dikembangkan di Kabupaten TTU yang selama
ini juga menjadi pendapat alternative rakyat dalam memenuhi hak-hak
dasar seperti; pangan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan
perumahan yang layak. Pengembangan ternak (sapi, kerbau, kambing
dan babi) berkontribusi riil bagi peningkatan kualitas hidup rakyat
tanpa merusak.
Sedangkan, penambangan
mangan di Kabupaten TTU akan berpengaruh pada sumber-sumber
penghidupan rakyat (lahan, air, ternak dll) di wilayah ini akan
tercemar oleh tailing. Apalagi mangan itu, bila diserap tubuh
terlalu banyak akan merusak hati, membuat iritasi, karsinogen atau
menyebabkan kanker. Hal ini diperparah karena masyarakat melakukan
penambangan mangan tanpa dilengkapi dengan masker dan kaos tangan.
Tidak heran para penambang akan perlahan-lahan mengalami keracunan.
Penambang sedang bunuh diri dan membunuh anak cucu.
Dengan 82 Surat Kuasa
Pertambangan (SKP) di Kabupaten TTU berapa jumlah masyarakat yang
diracuni setiap hari dan terancam keselamatannya? Berapa racun yang
disebarkan pada lahan pertanian dan peternakan? Apakah pendapatan
dari harga mangan 1000-1500/kg melebihi pendapatan pertanian,
peternakan dan perkebunan? Bila argumentasinya adalah peningkatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD), berapa masyarakat Kabupaten TTU yang
mengetahui dan mengontrol PAD Kabupaten TTU, sehingga dapat diketahui
bahwa Pertambangan Mangan akan meningkatkan PAD. budaya dan modal
sosial. Modal sosial dapat diterjemahkan sebagai hubungan atau
jaringan (network) antara orang-orang yang memiliki pikiran dan
gagasan sama tentang suatu hal. Dalam konteks budaya masyarakat
Kabupaten TTU, bahwa hubungan sosial (social communal) terbentuk
karena kesamaan kepentingan atas pengelolaan sumber-sumber produksi
setempat, kesamaan atas tanah dan kekayaan alam, serta kesamaan
sejarah dan adat budaya. Direnggutnya penguasaan masyarakat atas
tanah dan kekayaan alam menyebabkan fondasi modal sosial mereka
lenyap dan berdampak pada:
Pertama,
lenyapnya daya ingat sosial, hilangnya tatanan nilai sosial yang
dulunya dimiliki komunitas. Budaya nekaf mese ansaof mese akan
ditinggalkan akibat perebutan mineral (mangan) sebagai pilihan
alternatif dalam menunjang kualitas hidup rakyat: Talas/banu
(larangan untuk alam yang sementara utuh dan tidak boleh dirusakkan
oleh siapa pun); fuatono (ritual adat untuk minta hujan, paska musim
kemarau; pembukaan lahan pertanian yang dilandasi dengan adat; ritus
adat kepada Faut Kanaf, Oe Kanaf masih dipertahankan; Sek Hau Nomate
(untuk panggil lebah dan panen lebah); mengenal pembagian Suf yang
sudah ada ketentuan sejak awal oleh leluhur; mempertahankan dan
mengenal tempat ritual adat dari masing-masing suku.
Kedua,
putusnya hubungan silahturami antar warga menyebabkan perpecahan,
persengketaan bahkan konflik (saling melenyapkan eksistensi satu sama
lain). Mekanisme resolusi konflik tradisional yang telah hidup dalam
komunitas tidak lagi dijadikan.
Dampak Sosial-Budaya
Dalam “The Forms of
Capital” kontrol dalam kehidupan sosial. (1986), Piere Boudieu
membagi Padahal, dalam konteks masyarakat modal menjadi modal
kapital, modal Kabupaten TTU, untuk menaati ketentuan hukum adat
(banu) yang tidak tertulis biasanya
diberi sangsi seperti: Oni (Suni); Satwa (tanduk, kepala babi, bulu);
Nuta (Api); Nono hau ana (Hau No’); Opat (denda biasanya disepakati
bersama warga).
Dampak Kesehatan
Apabila mangan itu
diserap tubuh terlalu banyak ia sanggup merusak hati, membuat
iritasi, karsinogen atau menyebabkan kanker atau menurunnya daya
tahan tubuh, karena merosotnya mutu kesehatan, mental warga, dan
seringkali munculnya penyakit- penyakit baru, baik penyakit yang
berupa metabolisme akut akibat pencemaran (udara, air, tanah dan
bahan-bahan hayati yang dikonsumsi), penyakit menular (kelamin)dan
penyakit lain yang dibawa oleh pekerja yang berasal
dari luar daerah.
Di Kabupaten TTU, jumlah
penderita rawat jalan pada Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan RSUD
Kefamenanu selama 2006 sebanyak 17248 kali kunjungan (pasien) atau
turun 11,8% dibanding tahun 2005 (19568). Jenis penyakit yang dominan
masing-masing: Infeksi saluran pernapasan Akut (ISPA) 50,8 %,
penyakit lainnya 29,6%, penyakit dengan tanda gejala tak jelas
lainnya 6,3%, penyakit yang lainnya di bawah 5%. Sedangkan Penderita
rawat inap selama tahun 2006 pada RSUD Kefamenanu sebanyak 2. 267
kunjungan (pasien) atau turun 38,3 persen dari keadaan tahun
sebelumnya. Penyakit dominan untuk kunjungan rawat inap: Diare 34,7%
penyakit lainnya sebesar 24,6 %, pneumonia 11,5%, penyakit dengan
tanda gejala dan keadaan tak jelas 5,69%,
malaria 5,43%, penyakit lainnya dibawah 5% (lihat: Timor Tengah Utara
dalam Angka 2006/2007, BPS TTU dan BAPEDA TTU).
Dari data itu, dapat
dianalisis bahwa pertambangan mangan yang dilakukan secara manual di Kabupaten TTU akan
berakibat: Pertama, dengan 82 SKP
akan memperparah kondisi kesehatan masyarakat Kabupaten TTU akibat
tercemarnya lahan pertanian, sumber air dan peternakan. Sebelum
adanya pertambangan mangan di Kabupaten TTU, penyakit
dominan yang dialami adalah ISPA (Infeksi memperburuk kondisi
kesehatan masyarakat kabupaten TTU. Kedua, mempersulit
penanganan kesehatan akibat penambangan dengan 82 SKP, karena hampir dilakukan hampir di
seluruh wilayah kabupaten TTU. Artinya bahwa pencemaran ini akan
dialami daerah yang memiliki potensi pertambangan (tidak
terkonsentrasi) pada wilayah tertentu. Kondisi ini diperparah karena
Dinas Kesehatan
No.
|
HARI /
TANGGAL
|
NAMA
|
USIA (thn)
|
ALAMAT
|
KEJADIAN
|
LOKASI
|
1.
|
17 Agust.
2009
|
Daud Lomi
Pita
|
48
|
RT 22 / RW 06
Dusun C, Desa Tubuhue, Kec. Amanuban Barat, TTS
|
Tewas
tertimbun galian mangan
|
|
2.
|
2 Oktober
2009
|
|
Kel. Naioni
|
Tewas
tertimbun tanah saat sedang menggali mangan
|
||
3.
|
6 oktober
2009
|
|
51
38
11
38
|
Kiumabun,
Desa Oebola Dalam, Kec.Fatuleu, Kab.Kupang
|
Tewas
tertimbun saat sedang menggali mangan
|
Kiumabun,
Desa Oebola Dalam, Kec. Fatuleu, Kab. Kupang
|
4.
|
18 oktober
2009
|
|
50
30
|
Desa Taaba,
Kec.Weliman, Kab. Belu
|
Tewas
Tetimbun tanah ketika sedang menggali batu mangan
|
Tuataun,
Kec.Feoana, TTS
|
5.
|
1 Desember
2009
|
Agustinus
Sila
|
30
|
RT 09,
Lingkungan 2, Kel.Oelami, Kec. Bikomi Selatan, TTU
|
Tewas
mengenaskan dalam lubang tambang mangan
|
Tempat
penggalian mangan, Fatukoko
|
6.
|
1 Desember
2009
|
Timotius Sali
Lisu
|
29
|
Kel.
Oelami,Kec.Bikomi Selatan, TTU
|
Ditemukan
sekarat dilubang galian mangan, dan harus mnjalani perawatan
intensif di RSU Kefamenanu
|
Tempat
penggalian mangan,
Fatukoko
|
7.
|
27 Februari
2010
|
Marsel Amnesi
|
30
|
RT 20 / RW 2,
Naioni,Kupang
|
Tewas
tertimbun tanah dilokasi penggalian mangan
|
Lokasi
penggalian mangan Oelnunfafi, kel. Naioni, Kec. Alak,Kota Kupang
|
8.
|
5 Mei 2010
|
Remon Aklili
|
8
|
Murid kelas
2, SDI Oelusapi,dusun 3, Desa Poto,Kec. Fatuleu Barat
|
Tewas
tertimbun bongkahan tanah saat menggali batu mangan
|
Sumber: Pos Kupang
Tabel Korban Mangan
(Sesuai dengan Pemberitaan Pos Kupang) Sumber: Pos Kupang) Saluran
Pernapasan Akut) dan diare akan mengalami peningkatan yang luar
biasa, karena tercemarnya udara, air dan lahan pertanian.
Sebelum pertambangan,
data BPS (2006) menunjukkan dari 236.853 balita, 142. 535 dalam
keadaan baik gizinya, 78.883 mengalami gizi sedang dan
15.435mengalami gizi buruk. Kondisi ini akan diperparah lagi. Jumlah
balita yang mengalami gizi buruk ini akan mengalami peningkatan
karena ibu hamil dan anak juga ikut dalam pertambangan mangan.
Apalagi, kedua penyakit ini memiliki korelasi dengan pencemaran udara
dan air. Untuk itu, pencemaran udara dan air akibat pertambangan
mangan akan sendiri tidak memiliki rekomendasi layak tidaknya
pertambangan. Dinas Kesehatan bukan pemadam kebakaran tetapi mestinya
sebelum pertambangan Dinas Kesehatan sudah memiliki Kajian tentang
dampak Pertambangan bagi kesehatan masyarakat.
Dalam konteks
Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), negara bertanggung jawab atas
korban jiwa akibat pertambangan. Itu bukan dilihat sebagai
konsekuensi dari pertambangan yang harus ditanggung penambang. Karena
tugas Negara adalah melindungi, memenuhi, menghormati serta memajukan
hak-hak rakyat.
Dari data korban mangan
(tabel) dilihat bahwa
pertambangan mangan bukan hanya berdampak pada buruknya kesehatan
tetapi bahkan membawa korban jiwa. Itu berarti tugas negara belum secara maksimal
dijalankan. Data Pos Kupang di wilayah KabupatenTTU telah terdapat 4
korban jiwa. Itu berarti ada preseden buruk dari pertambangan yang
katanya membawa kesejahteraan bagi rakyat TTU.
Dampak Ekonomi
Ekonomi dibagi menjadi
kegiatan Produksi, Distribusi dan Konsumsi. Daya rusak tambang pada
ekonomi setempat, merupakan penghancuran pada tata produksi,
distribusi dan konsumsi lokal. Pertama, rusaknya tata produksi.
Kabupaten TTU merupakan daerah yang cocok untuk pengembangan
peternakan selain pertanian.
Apabila Pemerintah
kabupaten TTU pro-rakyat maka yang didorong adalah pengembangan
pertanian lahan kering dan pengembangan peternakan. Ini didukung
dengan kondisi wilayah TTU.
Operasi pertambangan
mangan dengan 82 SKP di Kabupaten TTU membutuhkan lahan yang luas,
dipenuhi dengan cara menggusur tanah milik dan wilayah kelola rakyat.
Kehilangan sumber produksi (tanah dan kekayaan alam) melumpuhkan
kemampuan masyarakat setempat menghasilkan barang-barang dan
kebutuhan pangan. Pertambangan mangan akan mempersempit lahan
pertanian dan peternakan yang selama ini menjadi sumber penghidupan
masyarakat TTU. Misalnya, pengembangbiakan ternak sapi 70.229 (2005)
meningkat menjadi 75. 475 (2006) (lihat: Timor Tengah Utara dalam
Angka 2006/2007, BPS TTU dan BAPEDA TTU). Artinya, ternak sapi sangat cocok dikembangkan di
Kabupaten TTU yang selama ini juga menjadi pendapatan alternatif
rakyat dalam memenuhi hak-hak
dasar seperti pendidikan, kesehatan dan perumahan.
Kedua, tusaknya tata
konsumsi. Lumpuhnya tata produksi menjadikan masyarakat makin
tergantung pada barang dan jasa dari luar. Untuk kebutuhan
sehari-hari mereka semakin lebih jauh dalam jeratan ekonomi. Uang
tunai yang cendrung melihat tanah dan kekayaan alam sebagai faktor
produksi dan bisa ditukar dengan sejumlah uang tidak lebih. Bahwa
masyarakat kabupaten TTU yang memiliki tata konsumsi yang sosialis,
artinya antar warga saling membahu dalam kesulitan. Kondisi ini akan
mengalami pergeseran akibat masuknya tambang mangan.
Pertambangan mangan akan
membawa perubahan pola konsumsi yang individualistik
dankonsumeristik. Lebih dari itu, masyarakat akan sangat bergantung
pada pada pasokan pangan dari luar. Ketiga, rusaknya tata distribusi.
Kegiatan distribusi setempat semakin didominasi oleh arus masuknya
barang dan jasa ke dalam komunitas.
Padahal, biasanya pada
awal sebuah proses pertambangan akan dibangun opini publik bahwa
pertambangan akan membawa kesejahteraan dengan meningkatkan
pendapatan ekonomi masyarakat setempat. Namun, seperti yang terjadi
di berbagai tempat lain, janji investor
Dampak Politik
Politik seringkali
diartikan sebagai proses pembuatan keputusan dalam sebuah kelompok.
Menurut Dickerson dan Flanagan, politik sebagai “sebuah proses
resolusi konflik (kepentingan), dimana segala daya dan usaha
dikerahkan untuk pencapaian tujuan bersama”. Kenyataannya, ia
berwujud upaya seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai
tujuannya dengan berbagai cara, bisa mempengaruhi dan meyakinkan,
membohongi atau bahkan menyingkirkan pihak lain. Sedangkan menurut
Harold Lasswell, politik adalah “siapa mendapatkan apa, kapan,
dimana dan bagaimana?”
Dalam konteks politik
dapat dibenarkan pendapat Dickerson, Flanagan dan Harold Lasswell,
dimana pemimpin Kabupaten TTU memengaruhi dan meyakinkan masyarakat
bahwa potensi mangan menjadi pilihan alternatif tanpa
menginformasikan dampak buruknya. Rakyat menambang tanpa mengerti apa dampak
dari pertambangan mangan. karena tidak mampu menanggung Politik
menjadi sasaran daya rusak derita dampak pertambangan. untuk
memenangkan kepentingan Karena itu, pertambangan industri tambang.
Ini dapat dilihat mangan di Kabupaten TTU perlu dari beberapa
indikasi: dikaji secara cermat oleh Pemerintah, Pertama, margininalisasi tata-
Kabupaten TTU. Bukan dengan kepemimpinan yang membela pragmatis
pertambangan disetujui kepentingan warga oleh negara dan dan diakhiri
dengan kekesalan. korporasi. Ini bisa dilakukan dengan Permasalahan
pertambangan mangan mendorong penggunaan perangkat- ngan di Kabupaten
TTU bukan perangkat kepemimpinan formal, hanya diperdebatkan soal
harga yang harus patuh kepada ketentuan mangan tetapi yang perlu
dilihat negara. Argumentasi Pemerintah adalah keberlanjutan wilayah
dan Kabupaten TTU yang diwakili Dinas potensi TTU bagi anak-cucu.
Bila Pertambangan Kabupaten TTU tidak, pertambangan mangan akan bahwa
ada jaminan tiap titik 50 merusak lingkungan dan generasi juta. Itu
berarti dari 82 SKP, Pemkab penerus TTU.
TTU memiliki pemasukan
dari dan Pemerintah Kabupaten TTU adalah peningkatan ekonomi rakyat
akan berubah roman menjadi kuli di negeri sendiri, seperti yang
terjadi pada Pertambangan Buyat Minahasa Raya dimana warga harus
meniggalkan tempat kelahirannya bidang pertambangan sebanyak 4,1
miliyard. Sedangkan bila didistribusikan pada titik tambang maka
tidak ada artinya dibanding kerusakan yang ditimbulkan. Dana itu bila
diperlukan untuk rabat jalan dusun pada sebuah desa juga tidak cukup.
Argumentasi ini dinilai
sebagai rasionalisasi pembenaran atas pertambangan. Padahal,
pemerintah yang baik, perlu menginformasikan tentang kerusakan yang
ditimbulkan sehingga rakyat mengetahui resiko baik bagi manusia,
lingkungan, sosial budaya. Dan bila perlu sudah bisa diprediksi
tentang kerusakan yang ditimbulkan dan apa dana itu mampu untuk
merehabilitasi kerusakan yang terjadi. Apakah Pemerintah Kabupaten
TTU pernah mendiskusikan rencana pertambangan itu dengan rakyat
ataukah ini diambil sebagai inisiasi peningkatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Apakah sudah diperhitungkan dengan
berapa besar dana rehabilitasi
yang dibutuhkan?
Kedua, rontoknya
kelembagaan politik setempat digantikan oleh tata kelembagaan yang
patuh kepada aturan-aturan negara. Ini menyebabkan lenyapnya ruang
aspirasi dan partisipasi warga, dalam pengambilan keputusan politik
setempat. Proses politik menjadi ajang legitimasi sosial bagi operasi
tambang di tanah-tanah milik dan wilayah kelola warga. DPRD Kabupaten
TTU telah membentuk Pansus Mangan. Apakah Pansus ini memiliki
kekuatan dalam menyikapi pertambangan di kabupaten TTU?
Kekuatiran yang terbersit
adalah adanya kompromi kepentingan antara kekuasaan, DPRD dan
investor. Bila ini terjadi maka masyarakat TTU akan mengalami
permasalahan yang bersentuhan dengan berbagai aspek kehidupan.
Ketiga, program Community
Development adalah cara yang digunakan untuk menggusur kelembagaan
politik setempet. Ini biasanya dipakai jaringan LSM/ NGO makanya
banyak NGO tidak banyak berkomentar tentang pertambangan atau
kerusakan lingkungan hidup. LSM model ini biasanya sangat akrab
dengan birokrat dan sangat kompromistis. Sejauh pantauan, dapat
dilihat bahwa kelompok civil society yang mestinya dimotori oleh
LSM/NGO di Kabupaten TTU itu tidak dilakukan.
Kesimpulan
Akselerasi pembangunan
melalui pengelolaan sumber daya alam terutama melalui bidang
pertambangan sebagai jawaban untuk peningkatan Pendapatan Asli Daerah
(PAD), penyedian lapangan kerja, percepatan pertumbuhan ekonomi,
percepatan pembangunan desa tertinggal atau pengurangan kemiskinan
di kabupaten TTU perlu dicermati. Para pelaku pertambangan juga
selalu memberikan ilusi-ilusi tentang kemakmuran dan kesejahteraan
dari eksploitasi kekayaan alam yang dikeruk dari bumi Indonesia
umumnya dan Kabupaten TTU pada khususnya adalah mantera yang
digulirkan terus-menerus untuk menghegemoni rakyat bahwa kehadiran
industri tambang mangan mutlak diperlukan.
Dari kenyataan yang ada,
belum pernah ada bukti. Tambang Emas Freeport di Papua hanya bisa
dibanggakan Indonesia
sebagai Tambang Emas terbesar tetapi hasilnya adalah Propinsi Papua
menjadi propinsi termiskin. Atau tambang Buyat Minahasa, masyarakat
setempat harus melepastinggalkan tanah warisan leluhur karena tidak
mampu menanggung derita akibat pertambangan.
Prinsipnya, pertambangan
merusak sistem hidrologi tanah sekitarnya melalui penggalian.
Masyarakat hanya akan menjadi penikmat warisan jutaan ton limbah
tambang dan kerusakan lingkungan dan sosial lainnya. Apalagi
dicermati bahwa lingkungan hidup di NTT diambang kegentingan akibat
pemanasan global, global warming dan perubahan iklim, climate change
yang terus terjadi. Apabila kondisi ini tidak disikapi secara
objektif, baik oleh pemerintah maupun masyarakat TTU, tidak heran
wilayah ini akan mengalami kondisi yang mengenaskan.
Pertama, bumi
Biinmaffo berada di antara tiga lempeng yaitu lempeng Indo-Australia,
lempeng pasifik Pan lempeng Eurosia. Karena letak ini, maka tak heran
wilayah ini sering terjadi bencana. Kedua, bumi Biinmaffo
berada di Pulau Timor yang merupakan gugus pulau kecil karena itu
sangat rentan dengan kehilangan pulau. Ketiga, bumi Binmaffo
tidak hanya bisa dibangun dengan pertambangan. Kabupaten TTU bisa
membangun dengan potensi alam dalam bidang pertanian dan kelautan
yang terkandung di dalamnya. Keempat, bumi Biinmaffo harus
dikembalikan keasriannya dengan menolak seluruh pertambangan yang
sedang diproses, karena pertambangan akan menghancurkan ekosistem
yang ada di Kabupaten TTU. ***
Penulis adalah Manajer
Program WALHI NTT dan Staf pada Pusat Riset Pengelolaan Lingkungan Jiro-Jaro – Maumere.
Tulisan ini pernah dipublikasikan pada Majalah Jong Indonesia, edisi 4 tahun 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar