Selasa, 19 Februari 2013


MIGRAN DAN PERANTAU DALAM BINGKAI PERLAWANAN DAN CITA-CITA
Oleh: Herry Naif*

Kabupaten Sikka adalah salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang beribukota Maumere. Kabupaten Sikka memiliki perkembangan cukup pesat dibanding dengan kabupaten lain di pulau Flores dan NTT pada umumnya. Ini terlihat jelas dari roman kota Maumere yang berubah dari waktu ke waktu. Seiring dengan maraknya pembangunan itu pula, perdagangan manusia (human traficking) menjadi sesuatu permasalahan sosial. Padahal, Maumere dikenal sebagai kota persemaian pewarta iman Katolik yang sudah tersebar di empatpuluhan negara ini tentunya memiliki spiritualitas keagamaan yang baik. Keanggunan kota Maumere tenga dinodai sekitar 15 pub dan Karaoke yang setiap malamnya menyuguhkan musik dan sejumlah perempuan yang rata-rata berumur mulai dari 15 sampai 18 tahun. Kehadiran mereka untuk melayani tamu yang datang berkunjung mereka juga memberikan pelayanan atau servis plus. Aktivitas dunia malam ini dimulai sejak pukul 21.00 wita sampai dengan pukul 01.00 wita, pada jam jam tertentu juga terdapat aparat dari Kepolisian Polres Sikka yang mendatangi satu persatu lokasi pub dan karaoke sebagai upeti. Apakah ini telah ditetapkan dalam sebuah produk hukum? Lantas nurani kita tergugah dengan sebuah pertanyaan, Apakah permasalah ini terus dilestarikan ataukah perlu disikapi?

Sentilan pertanyaan dan fakta-fakta sosial mendorong TRUK–F (Tim Relawan untuk Kemanusian Flores) Divisi Perempuan untuk menyelenggarakan seminar sehari tentang Perdagangan manusia (human trafficking) dengan tema “Sisi Kelam para Migran dan Perantau dalam Bingkai Perlawanan dan cita-cita” di Hotel Permatasari Maumere pada Rabu, 8 Desember. Kegiatan itu dibuka Blasius Pedor (Asisten I Setda Sikka) dan dihadiri empat narasumber, yakni; Sr. Eustochia SspS (Koordinator Truk-F Divisi Perempuan), Sri Nurherawati, SH (Komnas Perempuan), dr. Yovita Mitak (Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Setda Provinsi NTT) dan Dr. John Prior, SVD (Teolog). Kegiatan ini dimoderatori oleh Dr. Otto Gusti, SVD dosen STFK Ledalero dihadiri kurang lebih seratus peserta dari Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang memiliki kinerja dengan isu terkait, aktivis mahasiswa, ormas-ormas dan beberapa LSM di kota Maumere.

Keempat narasumber menyampaikan persepsi mereka tentang perdagangan manusia, human trafficking. Suster Estochia, Ssps mempertanyakan “Apakah manusia telah menggapai sebuah kehidupan yang lebih baik”. Hampir setiap hari, kami mendengar pengaduan rakyat soal kekerasan dalam rumah tangga ataupun yang dialami perempuan lainnya seperti: human trafficking. Perlu diacungkan jempol bahwa Maumere berubah wajah baik dari sarana maupun pra-sarana. Maumere menjadi tempat asal, transit dan tujuan trafficking. Apakah benar kita merdeka?

Pemerintah provinsi NTT dalam upaya pencegahan tindakan perdagangan manusia menurut dr. Yovita Mitak, digambarkan bahwa secara nasional, NTT termasuk sebagai daerah penyuplai TKI selain DKI Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Jumlah TKI yang dikirim dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Pemerintah Provinsi NTT sedang berjuang meningkatkan kapasitas para TKI agar memiliki pengetahuan dan skill sehingga memiliki bargaining position di negara tujuan kerja, demikian kata mantan pimpinan RSUD Prof. WZ. Yohanes Kupang.

Selain itu, Sri Nurherawati mengemukakan berbagai permasalahan tentang “Mengapa dikatakan perdagangan manusia”. Secara tidak langsung, “Perdagangan manusia adalah salah satu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)”. Dari prosesnya human trafficking perlu dilihat dari relasi gender, kekerasan terhadap perempuan, konflik bersenjata, politisasi identitas, keinginan mayoritas dan kekerasan akibat konflik sumberdaya alam. Sri menegaskan bahwa penanganan korban perdagangan manusia dibutuhkan pelayanan terpadu dan sistem peradilan pidana terpadu yang mana terjadi koordinasi antar aparat penegak hukum. Lebih dari itu, telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007. Dalam produk hukum ini, kesepakatan korban diabaikan. Artinya bahwa kendatipun terindikasi adanya kesepakatan korban dan pelaku human trafficking dalam permasalahan itu diabaikan, tidak dilihat sebagai sesuatu yang meringankan hukuman bagi pelaku. Dalam undang-undang ini juga adanya kepastian hukum yang mana secara tegas menghukum para pelaku trafficking.

John Prior, yang pernah menjadi dosen STFK Ledalero dan beberapa universitas di Australia dan Canada memberikan sebuah refleksi Teologis atas human trafficking. Mengawali presentasi itu, John mempertanyakan bahwa “Dimanakah Allah dalam semua ini? Kehidupan manusia bagai dalam perantauan dan pengembaraan. Dalam perantauan umat Ibrani terjadi pembentukan iman umat, dimana mereka berharap pada apa yang ditunjukkan Allah dan bersandar pada Allah. Pada konteks sekarang, umat mengalami migrasi dan perantauan. Di sana terjadi pertemuan antar umat yang berbeda-beda? Apakah kondisi itu bisa terjadi saling menerima sebagai saudara? Ataukah, kondisi ini dilihat sebagai eksploitasi diantara manusia?

Dalam misi kerasulan hendaknya migrasi dilihat salah satu wacana yang mesti diwartakan Gereja katolik. Misi migrasi harus menjadi prioritasi di tengah memburuknya sistem kapitalis yang menjebak manusia dalam pertarungan kelompok kuat dan lemah. Gereja harus mampu melihat dan berbenah diri untuk memperkuat posisi kaum marginal. Seyogyanya, migrasi melepas orang dari sekat suku, agama, ras dan gender.

John mengajak peserta forum untuk melihat bahwa “Apakah benar negara ini tengah membawa suatu kehidupan yang membahagiakan rakyatnya?”. Ironisnya, negara yang kaya raya sumber daya alam tidak dikelola untuk kemakmuran rakyatnya tetapi diberi kepada pihak asing sedangkan rakyatnya dibiarkan miskin, melarat dan rakyatnya pergi mencari kerja di negara lain. Potensi alamnya dibiarkan diisap oleh asing. Tak heran bila maraknya investasi di sini, demikian kata salah satu pastor yang menjadi Tim Penasehat Paus (Pemimpin Gereja Katolik Roma).

Seusai presentasi, dibuka dialog peserta dengan para nara sumber. Menariknya, dalam dialog tersebut, Kapolsek Nita, AKP Flavianus Flavi menyatakan bahwa “Saya tidak suka dengan orang yang kerjanya kritik melulu, apa yang dibuat bagi masyarakat. Ada telivisi yang kerjanya hanya mengkritik meluluh.” Pernyataan ini seakan membakar semangat para peserta yang hadir dalam diskusi itu. Pertanyaan ini kemudian dijawab Moderator, Dr. Otto Gusti, SVD dengan menyatakan bahwa Negara tanpa kritik adalah Otoriter. Tidak ada demokrasi tanpa kritikan. Di dalam negara demokrasi, kritik menjadi sarana penting dalam proses pengakhawalan terhadap pemerintahan agar tidak menjadi otoriter. Pernyataan moderator ini kemudian disambut riang oleh peserta, sebagai ekspresi ketidaksukaan mereka atas pernyataan yang disampaikan oleh kapolsek Nita.

Peserta lainnya sebatas mengungkap bagaiman permasalahan tersebut bisa diatasi bersama. Mengatasi permalahan tersebut dibutuhkan keseriusan dan partisipasi aktif dari berbagai pihak termasuk pemerintah dan aparatur penegak hukum. Yosef Benyamin (sekretaris Korpri) melihat bahwa herannya negara ini sudah memiliki perangkat hukum tetapi perdangangan manusia terus terjadi, ada apa dibalik semuanya. “Sejauhmana kepedulian pemerintah terhadap penanganan masalah ini”. Apakah hanya dengan memberikan sebuah handphone (HP) masalah penanganan TKI bisa diatasi?, demikian kata Benya yang pernah bekerja di Bagian Hukum Setda Sikka. Sedangkan Lorens Ritan, melihat bahwa perdagangan manusia adalah bentuk eksploitasi manusia yang lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan eksploitasi sumber daya alam. Aneh rasanya, belum selesai eksploitasi sumber daya alam, masyarakat Indonesia dieksploitasi lagi. Bangsa ini tunduk dengan bangsa pemodal. Ini indikator lemahnya kedaulatan Republik Indonesia di depan bangsa lain, demikian tukas aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) Sikka.

Diakhir sesion seminar ini, ada beberapa hal yang direkomendasikan forum adalah soal perlu adanya Perda Trafficking sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 dan penetapan Gugus Tugas oleh Bupati Sikka. Selama ini sudah ada lembaga yang bekerja sama dengan beberapa instansi pemerintah untuk menangani permasalahan ini tetapi belum mendapatkan legitimasi hukum dan alokasi anggaran yang cukup. Inilah yang kemudian memandekan kinerja dan koordinasi para pihak dalam penangan permasalahan perdagangan manusia di Kabupaten Sikka.

Penulis adalah Manajer Program Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT dan Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten Sikka – Maumere Flores NTT
email: herrynaif@yahoo.com atau herrynaif@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar