MIGRAN DAN PERANTAU
DALAM BINGKAI PERLAWANAN DAN CITA-CITA
Oleh: Herry Naif*
Kabupaten
Sikka adalah salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur
yang beribukota Maumere. Kabupaten Sikka memiliki perkembangan cukup
pesat dibanding dengan kabupaten lain di pulau Flores dan NTT pada
umumnya. Ini terlihat jelas dari roman kota Maumere yang berubah dari
waktu ke waktu. Seiring dengan maraknya pembangunan itu pula,
perdagangan manusia (human traficking) menjadi sesuatu permasalahan
sosial. Padahal, Maumere dikenal sebagai kota persemaian
pewarta iman Katolik yang sudah tersebar di empatpuluhan negara ini
tentunya memiliki spiritualitas keagamaan yang baik. Keanggunan kota
Maumere tenga dinodai sekitar 15 pub dan Karaoke yang setiap
malamnya menyuguhkan musik dan sejumlah perempuan yang rata-rata
berumur mulai dari 15 sampai 18 tahun. Kehadiran mereka untuk
melayani tamu yang datang berkunjung mereka juga memberikan pelayanan
atau servis plus. Aktivitas dunia malam ini dimulai sejak pukul 21.00
wita sampai dengan pukul 01.00 wita, pada jam jam tertentu juga
terdapat aparat dari Kepolisian Polres Sikka yang mendatangi satu
persatu lokasi pub dan karaoke sebagai upeti. Apakah ini telah
ditetapkan dalam sebuah produk hukum? Lantas nurani kita tergugah
dengan sebuah pertanyaan, Apakah permasalah ini terus dilestarikan
ataukah perlu disikapi?
Sentilan pertanyaan dan
fakta-fakta sosial mendorong TRUK–F (Tim Relawan untuk Kemanusian
Flores) Divisi Perempuan untuk menyelenggarakan seminar sehari
tentang Perdagangan manusia (human
trafficking) dengan tema “Sisi Kelam para Migran dan Perantau dalam
Bingkai Perlawanan dan cita-cita” di Hotel Permatasari Maumere
pada Rabu, 8 Desember. Kegiatan itu dibuka Blasius Pedor (Asisten I
Setda Sikka) dan dihadiri empat narasumber, yakni; Sr. Eustochia SspS
(Koordinator Truk-F Divisi Perempuan), Sri Nurherawati, SH (Komnas
Perempuan), dr. Yovita Mitak (Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan
Setda Provinsi NTT) dan Dr. John Prior, SVD (Teolog). Kegiatan ini
dimoderatori oleh Dr. Otto Gusti, SVD dosen STFK Ledalero dihadiri
kurang lebih seratus peserta dari Satuan Kerja Pemerintah Daerah
(SKPD) yang memiliki kinerja dengan isu terkait, aktivis mahasiswa,
ormas-ormas dan beberapa LSM di kota Maumere.
Keempat
narasumber menyampaikan persepsi mereka tentang perdagangan manusia,
human trafficking. Suster Estochia, Ssps mempertanyakan
“Apakah manusia telah menggapai sebuah kehidupan yang lebih baik”.
Hampir setiap hari, kami mendengar pengaduan rakyat soal kekerasan
dalam rumah tangga ataupun yang dialami perempuan lainnya seperti:
human trafficking. Perlu diacungkan jempol bahwa Maumere berubah
wajah baik dari sarana maupun pra-sarana. Maumere menjadi tempat
asal, transit dan tujuan trafficking. Apakah benar kita merdeka?
Pemerintah
provinsi NTT dalam upaya pencegahan tindakan perdagangan manusia
menurut dr. Yovita Mitak, digambarkan bahwa secara nasional, NTT
termasuk sebagai daerah penyuplai TKI selain DKI Jakarta, Jawa Timur
dan Jawa Tengah. Jumlah TKI yang dikirim dari tahun ke tahun
mengalami penurunan. Pemerintah Provinsi NTT sedang berjuang
meningkatkan kapasitas para TKI agar memiliki pengetahuan dan skill
sehingga memiliki bargaining position di negara tujuan kerja,
demikian kata mantan pimpinan RSUD Prof. WZ. Yohanes Kupang.
Selain
itu, Sri Nurherawati mengemukakan berbagai permasalahan tentang
“Mengapa dikatakan perdagangan manusia”. Secara tidak langsung,
“Perdagangan manusia adalah salah satu bentuk pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM)”. Dari prosesnya human trafficking perlu
dilihat dari relasi gender, kekerasan terhadap perempuan, konflik
bersenjata, politisasi identitas, keinginan mayoritas dan kekerasan
akibat konflik sumberdaya alam. Sri menegaskan bahwa penanganan
korban perdagangan manusia dibutuhkan pelayanan terpadu dan sistem
peradilan pidana terpadu yang mana terjadi koordinasi antar aparat
penegak hukum. Lebih dari itu, telah ditetapkan Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2007. Dalam produk hukum ini, kesepakatan korban diabaikan.
Artinya bahwa kendatipun terindikasi adanya kesepakatan korban dan
pelaku human trafficking dalam permasalahan itu diabaikan, tidak
dilihat sebagai sesuatu yang meringankan hukuman bagi pelaku. Dalam
undang-undang ini juga adanya kepastian hukum yang mana secara tegas
menghukum para pelaku trafficking.
John
Prior, yang pernah menjadi dosen STFK Ledalero dan beberapa
universitas di Australia dan Canada memberikan sebuah refleksi
Teologis atas human trafficking. Mengawali presentasi itu,
John mempertanyakan bahwa “Dimanakah Allah dalam semua ini?
Kehidupan manusia bagai dalam perantauan dan pengembaraan. Dalam
perantauan umat Ibrani terjadi pembentukan iman umat, dimana mereka
berharap pada apa yang ditunjukkan Allah dan bersandar pada Allah.
Pada konteks sekarang, umat mengalami migrasi dan perantauan. Di sana
terjadi pertemuan antar umat yang berbeda-beda? Apakah kondisi itu
bisa terjadi saling menerima sebagai saudara? Ataukah, kondisi ini
dilihat sebagai eksploitasi diantara manusia?
Dalam
misi kerasulan hendaknya migrasi dilihat salah satu wacana yang mesti
diwartakan Gereja katolik. Misi migrasi harus menjadi prioritasi di
tengah memburuknya sistem kapitalis yang menjebak manusia dalam
pertarungan kelompok kuat dan lemah. Gereja harus mampu melihat dan
berbenah diri untuk memperkuat posisi kaum marginal. Seyogyanya,
migrasi melepas orang dari sekat suku, agama, ras dan gender.
John
mengajak peserta forum untuk melihat bahwa “Apakah benar negara ini
tengah membawa suatu kehidupan yang membahagiakan rakyatnya?”.
Ironisnya, negara yang kaya raya sumber daya alam tidak dikelola
untuk kemakmuran rakyatnya tetapi diberi kepada pihak asing sedangkan
rakyatnya dibiarkan miskin, melarat dan rakyatnya pergi mencari kerja
di negara lain. Potensi alamnya dibiarkan diisap oleh asing. Tak
heran bila maraknya investasi di sini, demikian kata salah satu
pastor yang menjadi Tim Penasehat Paus (Pemimpin Gereja Katolik
Roma).
Seusai
presentasi, dibuka dialog peserta dengan para nara sumber.
Menariknya, dalam dialog tersebut, Kapolsek Nita, AKP Flavianus Flavi
menyatakan bahwa “Saya tidak suka dengan orang yang kerjanya
kritik melulu, apa yang dibuat bagi masyarakat. Ada telivisi yang
kerjanya hanya mengkritik meluluh.” Pernyataan ini seakan
membakar semangat para peserta yang hadir dalam diskusi itu.
Pertanyaan ini kemudian dijawab Moderator, Dr. Otto Gusti, SVD dengan
menyatakan bahwa Negara tanpa kritik adalah Otoriter. Tidak ada
demokrasi tanpa kritikan. Di dalam negara demokrasi, kritik menjadi
sarana penting dalam proses pengakhawalan terhadap pemerintahan agar
tidak menjadi otoriter. Pernyataan moderator ini kemudian disambut
riang oleh peserta, sebagai ekspresi ketidaksukaan mereka atas
pernyataan yang disampaikan oleh kapolsek Nita.
Peserta
lainnya sebatas mengungkap bagaiman permasalahan tersebut bisa
diatasi bersama. Mengatasi permalahan tersebut dibutuhkan keseriusan
dan partisipasi aktif dari berbagai pihak termasuk pemerintah dan
aparatur penegak hukum. Yosef Benyamin (sekretaris Korpri) melihat
bahwa herannya negara ini sudah memiliki perangkat hukum tetapi
perdangangan manusia terus terjadi, ada apa dibalik semuanya.
“Sejauhmana kepedulian pemerintah terhadap penanganan masalah ini”.
Apakah hanya dengan memberikan sebuah handphone (HP) masalah
penanganan TKI bisa diatasi?, demikian kata Benya yang pernah bekerja
di Bagian Hukum Setda Sikka. Sedangkan Lorens Ritan, melihat bahwa
perdagangan manusia adalah bentuk eksploitasi manusia yang lebih
tinggi nilainya dibandingkan dengan eksploitasi sumber daya alam.
Aneh rasanya, belum selesai eksploitasi sumber daya alam, masyarakat
Indonesia dieksploitasi lagi. Bangsa ini tunduk dengan bangsa
pemodal. Ini indikator lemahnya kedaulatan Republik Indonesia di
depan bangsa lain, demikian tukas aktivis Partai Rakyat Demokratik
(PRD) Sikka.
Diakhir
sesion seminar ini, ada beberapa hal yang direkomendasikan forum
adalah soal perlu adanya Perda Trafficking sebagai turunan dari
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 dan penetapan Gugus Tugas oleh
Bupati Sikka. Selama ini sudah ada lembaga yang bekerja sama dengan
beberapa instansi pemerintah untuk menangani permasalahan ini tetapi
belum mendapatkan legitimasi hukum dan alokasi anggaran yang cukup.
Inilah yang kemudian memandekan kinerja dan koordinasi para pihak
dalam penangan permasalahan perdagangan manusia di Kabupaten Sikka.
Penulis
adalah Manajer Program Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT
dan Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten Sikka –
Maumere Flores NTT
email:
herrynaif@yahoo.com
atau herrynaif@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar