Minggu, 03 Februari 2013

Membaca Krisis: Pertanian Versus Pertambangan Oekopa

Membaca Krisis: Pertanian Versus Pertambangan Oekopa
(Kajian-Analisis Ekonomi, Sosial, Budaya dan Politik)1
Oleh: Herry Naif2, Victor Manbait3 dan P. Piter Bataona, SVD4


Abstract
Akselerasi pembangunan berintensi meningkatkan kesejahteraan seolah menjadi  kabar-hibur bagi manusia yang tidak terhindarkan dari penggunaan sumberdaya alam. Eksploitasi sumberdaya alam yang tidak mengindahkan kemampuan dan daya dukung (carrying capacity) mengakibatkan merosotnya kualitas lingkungan. Banyak factor penyebab kemerosotan kualitas lingkungan, seperti adanya destructive logging, pertambangan, reklamasi pantai, konversi kawasan hutan menjadi lahan perkebunan. Kesemuanya diidentifikasi sebagai  aktivitas yang terberi dari kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang tidak berpihak pada nilai-nilai eco-humanis.

Dalam sejarahnya, warga Oekopa telah menjadikan persawahan sebagai susu dan madu bagi hidupnya. Pemberian alam yang seutuhnya dijadikan sebagai hakekat dasar dalam mengelola sumber daya alam. Mereka menjadikan alam sebagai pusat hidup mereka (kosmosentris). Karena itu, warga Oekopa berusaha mempertahankan hidup dan eksistensinya (struggle for life and struggle for existence) di tengah terkaman gurita kapitalis.

Tulisan “Membaca Krisis: Pertanian Versus Pertambangan Oekopa” mengetengahkan tentang sebuah pergulatan rakyat dalam menentukan pilihan akan pengelolaan sumber daya alam yang bernuansa keberlanjutan bagi generasinya. Pilhan yang salah tentunya berdampak pada krisis pangan, krisis air, kriris energi dan lingkungan yang berkepanjangan. 
Beberapa kajian sederhana dilakukan para penulis sebagai potret buram akan kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang diakesentuasikan pada kepentingan modal (kapitalis) tanpa memberikan pertimbangan jaminan ekonomi yang adil dan jaminan ekologi yang berkelanjuan bagi generasi pewaris.


I. Profil Oekopa
Secara historis-kultural, desa Oekopa termasuk wilayah kevetoran Tamkesi (Biboki). Suku yang dominan ada di wilayah itu adalah Usatnesi Sonaf'Kbat, Soanbubu, Suilkono selain itu ada suku Monemnasi, Tasi, Amteme Taekab, Amsikan, Naitsea, Leoklaran, Taslulu, Usboko.5
Sedangkan secara Administrasi-geografis, desa Oekopa terletak di Kecamatan Biboki Tanpah, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yang mana sebelah Utara Berbatasan dengan dengan desa Tualene, Selatan dengan desa Oerinbesi, Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Belu, Sebelah Barat berbatasan dengan desa Tautpah. Jumlah penduduk desa Oekopa, 1.271 jiwa (2010), 1.563 (2011).     Mayoritas penduduk desa Oekopa berprofesi petani sawah.
Oekopa dikenal sebagai salah satu pemasok beras bagi masyarakat Kabupaten TTU dan Kabupaten Belu. Kondisi jarak tempuh menuju Atambua lebih dekat bila dibandingkan dengan kota Kefa (ibu kota Kabupaten TTU). Tidak heran, bila kemudian para petani lebih memilih menjual gabah dan beras ke Atambua. Namun tidak berarti, bahwa dengan kondisi ini pemerintah kabupaten TTU kemudian lepas tanggung jawab, yang mana tidak memberikan perhatian serius agar bagaimana mengefektifkan penerapan  pola pertanian (persawahan) yang baik di desa Oekopa.
Seyogyanya, Oekopa dan Oerinbesi diidentifikasi sebagai daerah potensial pertanian (persawahan) dalam kerangka mendukung program pertanian yang telah dicanangkan sebagai salah satu program strategis Pemerintahan Kabupaten TTU saat ini, yakni: Program Padat Karya Pangan (PKP)6 dan Program Sari Tani yang sedang gencar dikampanyekan. Tanpa dukungan apa pun dari pemerintah Kabupaten TTU, Oekopa tetap mengahsilkan beras yang akan didistribusikan di Kabupaten TTU dan Belu.

Potensi persawahan  Oekopa dan Oerinbesi didukung kawasan penyanggah yang mana terdapat enam sumber mata air, yakni: Oetobe, Oenenas, Oecikam, oe ekam, Oeoni dan Oesanlat. Keenam sumber mata air tersebut selain digunakan untuk kebutuhan warga juga untuk mengairi persawahan Oekopa seluas 840 ha dan peternakan.7
Selain  itu, kawasan itu menjadi kawasan resapan air (water scatchman area) bagi desa Oekopa dan lima (5) desa lainnya, seperti: (Tualene, Oerinbesi, Tautpah, Taunbaen dan Biloe). Bahkan juga menjadi salah satu kawasan penyangga untuk hamparan persawahan Lurasik, Inggareo, Matamaro.
Kawasan itu pun menjadi kawasan penggembalaan ternak yang mana setelah panen ternak itu akan digembalakan di wilayah persawahan tetapi ketika persawahan dikelola maka ternak akan digembalakan di wilayah tersebut. Desa Oekopa memiliki  sapi 752 ekor. Belum terhitung binatang lainnya, seperti kerbau, kambing, babi dan lain-lain yang sedang dimiliki rakyat Oekopa.
Malah secara historis-cultural, wilayah ini dipandang warga sebagai kawasan yang harus dilindungi karena di kawasan itu ada tempat ritus adat (fatukanaf dan Oekanaf)8 dari beberapa suku yang ada di Oekopa. Itu berarti, pengelolaan lingkungan berasas pada sebuah kearifan lokal yang bernuansa nilai perlindungan ekologis (kosmosentris) perlu dilestarikan dan diakomodir dalam konsep pengeloaan sumber daya alam.Hubungan timbal-balik manusia dengan alam dipandang dalam sebuah keadilan demi pewarisan lingkungan bagi generasi selanjutnya.

II. Hasil Temuan
9   
    Sejak tahun 2010, diwacanakan akan adanya pertambangan mangan di desa Oekopa oleh PT. Gema Energi Indonesia (GEI). Pertemuan awal dilakukan sekali sebagai bentuk perkenalan perusahaan dengan warga. Setelah itu, perusahaan dan pemerintah Kabaupaten TTU tidak pernah mendatangi wilayah Oekopa untuk dilakukan sosialisasi tentang adanya pertambangan tersebut.

    Kendatipun demikian, tahun 2012 perusahaan kembali ke Oekopa dengan mengantongi Surat Bupati TTU No. Ek.540/102/IV/2012 tentang Ijin Prinsip Pembangunan Pabrik Pengolahan dan Pemurnian Biji Mangan kepada PT. Gema Energy Indonesia.

    Dari hasil pantauan lapangan yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT, JPIC dan Lembaga Advokasi Masyarakat Sipil (Lakmas) Cendana Wangi (09/08/12) di Oekopa ditemukan beberapa fakta, diantaranya:
  • Pembangunan stock phile mangan di Oekopa, yang berjarak 10 M dari Pemukiman dan 30 M dari persawahan rakyat;
  • Kawasan ini oleh masyarakat adat dilihat sebagai kawasan yang perlu dijaga (naestala) karena ada tempat-tempat ritual adat, seperti Busan, lan faot naine mnune dan Fatutasu.10 Dan kemudian oleh Negara dilarang agar rakyat menebang pohon dan merusak lingkungan. Herannya, sekarang dikampling untuk wilayah pertambangan mangan dan pembangunan stock phile)
  • Wilayah pertambangan (WP) seluas 200 hektare, pada kawasan penyangga dan penggembalaan tenak warga dan kawasan itu merupakan kawasan penyangga sosial-budaya karena terdapat tempat-tempat ritus adat masyarakat setempat dan pekuburan warga; seperti Busao, Koi, Kukbit. Selain itu, kawasan ini juga ada beberapa kampung lama (kuamnasi) seperti: Haubesi, Usapi kolen, Fatule. Namun hingga hari ini, Usapikolen yang masih didiami oleh 8 KK.
  • Sosialisasi dilakukan sekali pada tahun 2010 oleh PT. Gema Energi Indonesia (GEI) yang dihadiri 22 orang dari Oekopa; Pada saat itu terjadi pemalsuan dokumen karena Kepala Desa mengambil hak sebagai tokoh adat, sedangkan sekretaris desa menduduki posisi sebagai Kepala Desa;
  • Ganti-rugi lahan dimana per/hektare 22,5 juta; Sebagai ikatan dengan setiap warga pemilik lahan per/hektare 2 juta namun pada realisasinya 1 juta/pemilik lahan;
  • Pohon-pohon jati yang berada di lokasi pertambangan diganti dengan harga yang bervariasi Rp. 50.000 – Rp. 500.000
  • Wacana pertambangan mangan di Oekopa menyebabkan ketidaknyamanan bagi warga dan malah menimbulkan pro-kontra antar warga;
  • Janji perusahaan akan dibangun tangki-tangki limbah dan akan melakukan penanaman kembali pada lokasi yang telah digali;
  • Adanya penolakan warga dari suku Usatnesi sonaf'kbat  yang sudah disampaikan kepada Bupati TTU dan DPRD TTU, Sebagai respons, Ketua komisi C DPRD TTU bersama dua anggota DPRD TTU bertemu langsung dengan pihak penolak di kantor desa Oekopa dengan tujuan menghimpun usulan penolak, (3 Agustus 2012)
  • Perusahaan (PT. Gema Energi Indonesia – GEI) telah menurunkan 6 peralatan bor di Oekopa dan sementara melakukan aktifitas pemboran; untuk melakukan pencarian mangan,  (Hendrikus Abatan, Kepala Desa Oekopa), Fredy Tan (Penanggungjawab perusahaan di Kefa) dan pernyataan beberapa warga yang ditemui di Oekopa;
  • Janji perusahaan adalah membangun gereja (tempat ibadat) warga Oekopa yang mayoritas penduduknya adalah orang Katholik.

III. Kajian – Analisis atas Fakta Pertambangan Oekopa
Pertambangan mangan masif dilakukan hampir di seluruh wilayah di Pulau Timor sejak tahun 2007. Pertambangan seakan menjadi leading sector dalam upaya membangun kehidupan ekoniomi masyarakat. Pertambangan mangan di Pulau Timor dilihat sebagai pertambangan berjemaat. Artinya hampir sebagian besar rakyat terlibat dalam pertimbangan sesuai peran apa yang dimainkan. Ada yang sebatas  berperan sebagai penggali, pengumpul dan ada juga sebagai pengangkut dan distributor. Bila dikaji lebih jauh, warga oekopa hanya menjadi pengabdi murni untuk  kapital (modal yang bekerja sama dengan Pemerinta Kabupaten TTU.

Sedangakan pemerintah kabupaten TTU sendiri bukannya mengambil peran sebagai pihak pengambil kebijakan tetapi malah membantu perusahaan atau kapital untuk menjadi campaigner yang mana memberikan angan-angan akan adanya perubahan kesejahteraan. Dengan demikian, nilai kajian-kritis atas pertambangan tidak efektif dilakukan.  Tidak heran, banyak wilayah pertambangan mendapat reaksi penolakan dari warga setempat yang masih merasa melihat pertanian sebagai sumber penghidupan bagi mereka.
Padahal, keselamatan rakyat harus ditempatkan sebagai substansi dari proses bernegara. Kiranya rakyat perlu berparitisipasi dalam menentukan arah dan perubahan dirinya melalui mekanisme pengelolaan sumberdaya alam yang bernuansa keadilan ekonomi (economic justice) dan keadilan antar generasi. Kedua hal ini menjadi agenda priotas dalam proses perumusan serta mekanisme kebijakann yang berpihak pada rakyat.

Berasas pada prinsip-prinsip ini, beberapa temuan lapangan di Oekopa yang disampaikan sebelumnya, tentunya tidak jauh berbeda dengan fakta pertambangan lain di Indonesia dan NTTpada khususnya yang mana rakyat dipinggirkan hak-haknya.

Dengan demikian, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Daerah NTT11, JPIC12 dan Lembaga Advokasi Masyarakat Sipil (LAKMAS)13 mencoba membuat analisis dan kajian atas beberapa fakta yang ditemukan dan hasil diskusi yang dilakukan pada 09 Agustus 2012, 18 Agustus 2012, 23 Agustus 2012 sebagai pertimbangan kritis - konstruktif untuk meninjau kembali kebijakan pertambangan Oekopa dan Oerinbesi yang sedang ramai dibicarakan.
Ada beberapa model Analisa yang digunakan, misalnya: Analisa SWOT,PESTEL,  Analisa dampak lingkungan dan Analisa Juridis;

3.1. Pertambangan Mangan Oekopa dalam Analisa SWOT
Dalam Analisa SWOT (Strength (kekuatan), Weaknesses (Kelemahan), Opportunities (Kesempatan/peluang) dan Treats (Ancaman/tantangan) Lihat Tabel 1.:

Tabel 1.Analisis SWOT
Strength (Kekuatan)
Weaknesses (Kelemahan)
  • Pemerintah Kabupaten TTU masih melihat pertanian sebagai lokomotif dengan program Padat Karya Pangan dan Program Sari Tani;
  • Adanya niat pengelolaan pertambangan yang baik dengan membentuk PANSUS dan Tim Verifikasi;
  • Adanya ritual adat perlindungan alam ”pao paham nifu tobam tafa” yang dimiliki masyarakat adat di Kab. TTU
  • Telah dibangun 2 Bendungan untuk kepentingan pengairan bagi persawahan oekopa, orinbesi dan sekitarnya;
  • Keterlibatan beberapa lembaga sosial dalam advokasi tambang Oekopa;
  • Kampanye permasalahan tambang mangan Oekopa telah dipublikasikan di banyak media, baik lokal maupun Nasional;
  • Warga membiayai seluruh aktivitasnya (swadaya) tanpa mengharapkan bantuan dari pihak luar (donasi);
  • Adanya 86 Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di Kabupaten TTU;
  • Adanya politisasi terhadap hasil kerja PANSUS dan Tim Verifikasi Pansus Mangan;
  • Adanya sikap pragmatis pemkab TTU dan Warga Oekopa dalam mendapatkan uang tunai;
  • Belum adanya penataan ruang pengelolaan yang jelas oleh pemkab TTU;
  • Tidak ada model pengelolaan Sumber daya alam berbasis potensi lokal dan bernuansa berkelanjutan;
  • Tidak adanya partisipasi rakyat dalam proses Analisa Mengenai Dampak Lingkugann (AMDAL);
  • Tidak adanya sosialisasi hasil AMDAL kepada masyarakat Oekopa untuk mengetahui nilai positif dan negatif dari pertambangan;
  • Rakyat dihadapkan sebuah kepentingan ganti-rugi atas tanah:
  • Ada kelompok pro dan kontra tambang di desa Oekopa;
Opportunities (Kesempatan)
    Treats (Ancaman)
  • Adanya kelompak Tolak Tambang (Forum Peduli Alam Budaya Oekopa);
  • Masyarakat Adat menolak pertambangan mangan di Oekopa;
  • Adanya ritual adat ”pao paham nifu tobam tafa” yang dijadikan sebagai kekuatan sosio-kultural dalam mengahadapi industri ekstraktif;
  • Sebagian rakyat Oekopa melihat pertanian dan peternakan sebagai sumber penghidupan yang terbukti menghidupkan warga;
  • Sebagian wilayah pertambangan berada dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung;
  • Potensi konflik vertikal diarahkan menjadi konflik horizontal;
  • Kerusakan lingkungan hidup dan sumber penghidupan rakyat (tanah, hutan, air dan persawahan);
  • Pasokan Pangan didatangkan dari luar;
  • Masuknya nilai-nilai luar bersamaan dengan masuknya pekerja tambang
  • Adanya sistem ijon beras yang dilakukan di Oekopa;
  • Munculnya berbagai penyakit (ISPA,dll)
  • Adanya kerusakan hutan produksi dan hutan lindung;
  • Hilangnya tempat-tempat sakral masyarakat adat (suku-suku) di Oekopa;


3.2. Pertambangan Mangan Oekopa dalam Analisis Ekologi

3.2.1. Apa itu Pertambangan14
  • Pertambangan adalah kegiatan untuk mendapatkan logam dan mineral dengan cara bongkar: gunung, hutan, sungai, laut dan penduduk kampung.
  • Pertambangan adalah kegiatan paling merusak (alam dan kehidupan sosial) yang dimiliki orang kaya dan hanya menguntungan orang kaya.
  • Pertambangan adalah lubang besar yang menganga dan digali oleh para pembohong (Mark Twian)
  • Pertambangan adalah industri yang banyak mitos dan kebohongan:
  • Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang. (Lih. Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang  Pertambangan Mineral dan Batu Bara)
Beberapa defenisi tersebut menimbulkan perdebatan mengenai kegiatan pertambangan karena akan menimbulkan peluang kerusakan lingkungan hidup.  Kerusakan lingkungan hidup yang terjadi akibat adanya penggerukan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan. Kerusakan lingkungan telah mengganggu proses alam, sehingga banyak fungsi ekologi alam akan terganggu.

3.2.2. Dampak Ekologi

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.15
Topografi wilayah Oekopa sebetulnya sangat mendukung adanya pengembangan persawahan dan peternakan. Sejak tahun 1970-an warga Oekopa mulai mengenal sebuah pola pengelolaan persawahan yang baik. Kehidupan warga ditopang oleh persawahan dan pengembangan peternakan.
Apabila kebijakan diarahkan pada pertambangan mangan dengan dibangun stok file dan wilayah pertambangan seluas 2400 hektare pada wilayah yang sama maka akan berakibat pada:

a)Perubahan Bentangan Alam (land-scape)
Pertambangan Oekopa dan Oerinbesi tentunya membawa perubahan land-scape yang berakibat pada penyempitan lahan pertanian, dan penghilangan padang penggembalaan. Lebih dari itu, pertambangan  akan berakibat pada terganggunya ekosistem seiring dengan  berubahnya bentangan alam, land-scape wilayah itu.

Pembongkaran permukaan tanah yang dilakukan di kawasan penyangga tentunya akan berakibat fatal pada pengembangan persawahan dan peternakan yang selama ini menjadi penopang hidup warga.

b)Perubahan Tata Hidrologi air
Di wilayah Oekopa terdapat terdapat 6 sumber mata air, seperti:  Oetobe, Oenenas, Oecikam, oeekam, Oeoni dan Oesanlat. Itu berarti wilayah tersebut adalah water scathcman area (daerah tangkapan air) yang dimanfaatkan mengairi persawahan yang selama ini menjadi sumber penghidupan warga. Dikhawatirkan bahwa konversi wilayah penyangga menjadi wilayah pertambangan ini pun dapat berakibat pada kekeringan sumber mata air, karena terjadi perubahan tata hidrologi air.

Pembangunan pabrik pengolahan biji mangan di Oekopa harus mendapat kajian serius, terutama mempertimbangkan ketersedian air dalam memenuhi kebutuhan air bagi warga Oekopa dan persawahan seluas 840 Ha dan persawahan lain di Oerinbesi dan wilayah lainnya.

Apakah ketersedian air di wilayah Oekopa dan Oerinbesi akan mampu mengairi persawahan bila air itu harus didistribusikan lagi untuk kepentingan proses pemurnian mangan. Sebab, kebutuhan pabrik akan air untuk proses pemurnian mineral mangan (Mn) tidak seperti yang dibayangkan mencuci perabot rumah tangga.

c)Menurunnya Kualitas Hutan
Dicermati bahwa kawasan pertambangan dari PT. Gema Energi Indonesia (GEI) itu berada dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung.

Dengan demikian, deforestrasi dan menurunya debit air akibat kerusakan kawasan resapan air (water schatchman area) akan berdampak pada persawahan yang selama ini menjadi sumber penghidupan rakyat Oekopa.
Apabila Pemerintah Kabupaten TTU masih melihat pertanian sebagai lokomotif ekonomi kabupaten TTU, perlu ada evaluasi tentang kualitas hutan dan penataan ruang kelola yang tepat agar tidak terjadi disorientasi. 

Pertambangan adalah industri ekstraktif yang rakus lahan dan air. Ini akan menambah parah kerusakan lingkungan karena wilayah pertambangan berada dalam kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air yang selama ini mengairi persawahan rakyat. 

d)Menimbulkan Resiko Bencana Longsor dan Kekeringan
Pertambangan mangan yang dilakukan di Oekopa dan Oerinbesi pun harus berbasis analisa resiko. Pembongkaran permukaan tanah yang luas dapat menimbulkan tanah longsor. Selain itu, ledakan tambang, keruntuhan tambang serta keselamatan warga pekerja apa sudah dipertimbangkan.

Tanpa pembongkaran tanah saja, Kabupaten TTU sering mengalami bencana longor  saat hujan dan kekeringan pada musim panas. Malah menurut beberapa warga Oekopa bahwa sering terjadi longsor ketika musim hujan.

Padahal dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Pasal 6 (a dan b) menyatakan bahwa “Tanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi: a. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan;

Lebih dari itu dalam Undang-Udang No. 32 Tahun 2009 tentang  Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) pada pasal 47 menyatakan bahwa (1). Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup, ancaman terhadap ekosistem dan kehidupan, dan/atau kesehatan dan keselamatan manusia wajib melakukan analisis risiko lingkungan hidup. (2) Analisis risiko lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengkajian risiko; b. pengelolaan risiko; dan/atau c. komunikasi risiko.

e)Perlindungan Masyarakat dari dampak bencana

Dalam kaitan dengan pertambangan Oekopa dan sesuai perintah Undang-Undang  dilihat bahwa secara faktual negara tidak melakukan tindakan mitigatif dengan melakukan analisa resiko bencana.
Hal ini secara jelas diungkap dalam Pasal 7 (b) yang menyatakan bahwa perencanaan pembangunan yang memasuk unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana; Atau dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Pasal 13 yang mengatur soal pengendalian kerusakan lingkungan itu meliputi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan.

Itu berarti, Pemerintah Kabupaten TTU belum memiliki kajian analisa resiko dalam kasus pertambangan Oekopa dan Oerinbesi; Pertanyaannya, siapa yang harus melakukan undang-undang ini? Bila ada bencana longsor pada musim hujan dan kekeringan pada musim panas yang berdampak pada persawahan rakyat siapa yang harus bertanggung jawab?

f)Tidak Diasaskan pada Kebijakan Tata Ruang
Kebijakan penataan ruang secara formal ditetapkan bersamaan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang kemudian diperbaharui dengan Undang- undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Kebijakan tersebut ditujukan untuk mewujudkan kualitas tata ruang yang semakin baik, yang oleh undang-undang dinyatakan dengan kriteria aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan.

Dalam konteks itu, apakah pertambangan Oekopa dan Oerinbesi sudah melalui penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) agar tidak mengganggu ruang persawahan dan peternakan warga sebagai sumber penghidupan warga.
Apabila pertambangan mangan di Oekopa dan Oerinbesi diberlakukannya sesuai dengan kebijakan penataan ruang, semstinya tidak mengganggu ruang hidup rakyat. Tata ruang menjadi produk dari rangkaian proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang sehingga tidak menimbulkan over-lap pengelolaan.

Kebijakan tata ruang berguna membantu mengupayakan perbaikan kualitas rencana tata ruang wilayah maka Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau Strategic Environmental Assessment (SEA).

Pemerintah Kabupaten TTU menjadikan KLH dan SEA sebagai salah satu pilihan alat bantu melalui perbaikan kerangka pikir (framework of thinking) perencanaan tata ruang wilayah untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup di Kabupaten TTU.

Pemerintah Kabupaten TTU perlu melakukan penataan ruang (Rencana Tata Ruang Wilayah) sesuai dengan perintah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007. Hanya dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) secara komprehensif Pemkab TTU mampu memetakan seluruh potensinya, baik di bidang pertanian, peternakan, pariwisata, kehutanan, dll yang dilandasi pada analisa keseimbangan ekologi dan analisa resiko ancaman.

Padahal, masyarakat Oekopa sendiri sudah memiliki konsep perlindungan ekologi yang mestinya diadopsi pemerintah kabupaten TTU. Kearifan lokal mereka telah melakukan penataan ruang dimana kawasan lindung, mata air yang mana melindungi wilayah kelola rakyat.

Sebetulnya hal ini pun telah diatur dalam Udang-Uundang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang terutama Pasal 34 (1), yang menyatakan bahwa “Dalam pemanfaatan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota dilakukan:
a. perumusan kebijakan strategis operasionalisasi rencana tata ruang wilayah dan rencana tata ruang kawasan strategis; b. perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur ruang dan pola ruang wilayah dan kawasan strategis; dan c.pelaksanaan pembangunan sesuai dengan program pemanfaatan ruang wilayah dan kawasan strategis
Hal ini dipertegas dalam (ayat 4) bahwa penataan ruang harus dilaksakan sesuai dengan standar kualitas lingkungan; dan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Dengan dasar ini, kita bisa melihat bahwa apakah ijin pertambangan oekopa dan oerinbesi sudah dilandaskan pada Penataan Ruang, sehingga kemudina tidak mengganggu kualitas lingkungna dan daya dukung lingkungan terutama oekopa dan oerinbesi sebagai kawasan strategis persawahan.

3.2.3. Dampak Limba Industri
Setiap usaha pertambangan memiliki karakter yang berbeda antara mineral yang satu dengan mineral yang lainnya. Namun prinsipnya pertambangan dilihat sebagai aktivitas yang sangat beresiko terhadap ekosistem dan lingkungan hidup.
Begitu pun usaha pertambangan mangan di Oekopa dan Oerinbesi pun harus dilihat dari dampak industri yang mana dapat menimbulkan potensi gangguan antara lain;

Pencemaran akibat debu dan asap yang mengotori udara dan air limbah dari buangan tambang yang mengandung zat-zat beracun. Hal ini dapat menyebabkan pencemaran air. Dengan demikian, pertambangan mangan Oekopa dan Oerinbesi akan berdampak buruk pada persawahan dan peternakan akibat pencemaran air dan udara yang ditimbulkan dari proses pencucian mangan tersebut.

Gangguan berupa suara bising dari berbagai alat berat, berupa suara ledakan eksplosive (bahan peledak) dan gangguan terhadap kesehatan masyarakat sehingga dapat muncul jenis penyakit baru yang bersifat endemik dan epidemik;   

Karena itu, AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) bertujuan memberikan pertimbangan untuk menolak ataukah menerima proyek. Sebelum penyusunan AMDAL perusahaan harus mendapatkan persetujuan rakyat.
Selanjutnya harus ada partisipasi masyarakat secara penuh dalam proses AMDAL bukan sekedar menyertakan wakil pemerintah Kepala Desa, atau wakil masyarakat yang asal comot.

AMDAL kiranya menjadi fundamen dalam mengevaluasi kebijakan tersebut. Bukannya AMDAL dilihat sebagai legal formal yang akan meligitimasi sebuah prosudure formal dalam memenuhi ketentuan formal. Tetapi harus dilakukan sebagai kiat baik dalam upaya menjaga keseimbangan ekologi di setiap wilayah.
Pertambangan Oekopa dan Oerinbesi belum mendapat kajian AMDAL secara serius. Malah, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Daerah Kabupaten TTU belum mengetahui tentang adanya perijinan tersebut. Dan itu dapat dibenarkan karena dari Ijin Prinsip Pembangunan Pabrik Pengolahan Mangan itu diketahui oleh BLH Daerah Kabupaten TTU. Padahal, Badan Lingkungan Hidup Daerah adalah sebuah instansi yang ada dikabupaten TTU yang memiliki kewenangan untuk merekomendasikan layak tidaknya sebuah proses pengelolaan lingkungan hidup apalagi pertambangan.

Berlandas pada beberapa fakta ini dapat disimpulkan sementara bahwa pertambangan mangan Oekopa dan Oerinbesi belum dilakukan secara transparan agar dilakukan upaya minimalisasi dampak lingkungan.

3.2.4. Dampak Kesehatan16
Pertambangan adalah sebuah usaha yang tidak ramah lingkungan dan berakibat fatal bagi kesehatan manusia. Karena itu, pertambangan mangan di Oekopa dan Oerinbesi perlu dilihat dampak kesehatan yang tentunya akan dialami warga. Sebab dampak Mangan terutama terjadi di saluran pernapasan dan otak. Gejala keracunan mangan adalah halusinasi, pelupa dan kerusakan saraf. Manganese can also cause Parkinson, lung embolism and bronchitis.Mangan juga dapat menyebabkan Parkinson, emboli paru-paru dan bronkitis. When men are exposed to manganese for a longer period of time they may become impotent. Ketika orang-orang yang terkena mangan untuk jangka waktu yang lebih lama mereka menjadi impoten.
Suatu sindrom yang disebabkan oleh mangan memiliki gejala seperti schizophrenia, kebodohan, lemah otot, sakit kepala dan insomnia. 

Mangan senyawa alami ada di lingkungan sebagai padatan di tanah dan partikel kecil di dalam air. Manganese particles in air are present in dust particles. Mangan partikel di udara yang hadir dalam partikel debu. These usually settle to earth within a few days. Ini biasanya menetap ke bumi dalam waktu beberapa hari. Humans enhance manganese concentrations in the air by industrial activities and through burning fossil fuels.Manusia meningkatkan konsentrasi mangan di udara oleh aktivitas industri dan melalui pembakaran bahan bakar fosil. Manganese that derives from human sources can also enter surface water, groundwater and sewage water.

Mangan yang berasal dari sumber manusia juga dapat memasukkan air permukaan, air tanah dan air limbah. Through the application of manganese pesticides, manganese will enter soils. Melalui penerapan pestisida mangan, sehingga mangan akan memasuki tanah.

Pertambangan Mangan dapat mengancam kesehatan dengan berbagai cara:
  • Debu, tumpahan bahan kimia/limbah, asap-asap yang beracun, logam-logam berat dan radiasi dapat meracuni penambang dan menyebabkan gangguan kesehatan sepanjang hidup mereka;
  • Mengangkat peralatan berat dan bekerja dengan posisi tubuh yang janggal dapat menyebabkan luka-luka pada tangan, kaki, dan punggung;
  • Penggunaan bor batu dan mesin-mesin vibrasi  dapat menyebabkan kerusakan pada urat syaraf serta peredaran darah, dan dapat menimbulkan kehilangan rasa, kemudian jika ada infeksi yang sangat berbahaya seperti gangrene, bisa mengakibatkan kematian;
  • Bunyi yang keras dan konstan  dari peralatan dapat menyebabkan masalah pendengaran, termasuk kehilangan pendengaran;
  • Jam kerja yang lama  di bawah tanah dengan cahaya yang redup dapat merusak penglihatan;
  • Bekerja di kondisi yang panas terik tanpa minum air yang cukup dapat menyebabkan stres kepanasan.Gejala-gejala dari stres kepanasan berupa pusing-pusing, lemah, dan detak jantung yang cepat, kehausan yang sangat, dan jatuh pingsan;
  • Pencemaran air dan penggunaan sumberdaya air berlebihan  dapat menyebabkan banyak masalah-masalah kesehatan
  • Lahan dan tanah menjadi rusak,  menyebabkan kesulitan pangan dan kelaparan.
  • Pencemaran udara  dari pembangkit listrik yang dibangun dekat dengan daerah pertambangan dan mobilisasi transportasi dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang serius.
Dari beberapa fakta yang diperkirakan dapat terjadi ini, apakah pernah dipertimbangkan secara serius oleh Pemerintah Kabupaten TTU? Ataukah dengan alasan ekonomi kemudian semua dampak ini dibiarkan atau seolah tidak diketahui.

Karena itu sejak awal, pemerintah kabupaten terutama dinas kesehatan mestinya melakukan studi dan analisis kesehatan agar dapat dilihat dan diminimalisir dampak kesehatan agar semua fakta itu tidak menimpah warga Oekopa dan Oerinbesi bahkan masyarakat yang sedang gencar melakukan pertambangan mangan di wilayahnya.

3.2.5. Dampak Sosial-Budaya

Setiap wilayah memiliki sebuah norma dan budaya yang dianut dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam konteks pengelolaan Sumber Daya Alam pun pasti setiap wilayah memiliki konsep dasar pengelolaan atau yang dikenal dengan istilah kearifan lokal (local wisdom).

Secara historis, kabupaten TTU dikenal dengan istilah salu miomaffo, kulun maubes yang berarti bahwa Miomaffo, Insana dan Biboki memiliki kedekatan historis. Ketiga kevetoran ini secara historis memiliki beberapa kesepakatan sejarah dan kesamaan nilai dan budaya yang dianut bersama. Atau dalam pandangan sejarah orang biboki seirng menyebut, boki taek, maffo taek dan sana taek.

Dalam kaitan dengan Pengelolaan Sumber Daya Alam, mereka mengelolanya sesuia dengan zonasi yang disepakati. Untuk kawasan-kawasan tertentu yang ingin dilindungi maka dianggap keramat atau sakral yang tidak bisa diganggu. Misalnya Naesleu (hutan adat), Naes tala (hutan larangan) dan kemudian dikenal istilah oekanaf dan faot kanaf dan demi pengawasan kemudian dibagi seturut suku-suku yang ada.

Tidak heran di setiap kampung di Timor pasti setiap suku memiliki faot kanaf dan oe kanaf  yang mana menjadi tempat pemujaan leluhur dan terintegrasinya suku tersebut.

Begitu pun dengan desa Oekopa, Suku Usatnesi Sonaf'kbat dan beberapa suku lainnya menganggap kawasan itu sebagai kawasan yang perlu dilindungi dan tidak boleh diganggu oleh siapa pun.

Sistem kepemilikan lahan adalah sistem kolektif artinya dimiliki bersama oleh suku tersebut. Tidak benar bila lahan dikampling oleh turunannya sebagai milik pribadi, karena setiap turunan hanya diberi hak untuk mengelola.
Hanya saja sistem ini kemudian tergerus oleh perkembangan zaman yang bernuansa individualistik dan kapitalistik. Sehingga segala keputusan kemudian tunduk dengan modal dan kepentingan pribadi.

Berpijak pada beberapa pemikiran ini, dari hasil pantauan kami menemukan, bahwa:
Kehadiran Pertambangan di desa Oekopa dan Oerinbesi menciptakan hubungan kekeluargaan menjadi renggang atau kurang harmonis; Atau merusak hubungan kekeluargaan dan persaudaraan dalam masyarakat yang selama ini terjalin baik;

Belum ada suatu rumusan kesepakatan yang baik dengan masyarakat (community attribute): peran lembaga adat atau dewan pemangku adat, peran serta masyarakat lokal tentang upaya pengelolaan dan perlindungan LH dalam usaha pertambangan;

Padahal masyarakat di Oekopa sejak dulu punya kearifan lokal untuk melindungi dan menyelamatkan lingkungan hidup dengan melakukan zonasi pengelolaan. Malah, menurut apao ume adat (penjaga rumah adat) suku usatnesi sonaf'kbat mengatakan bahwa masyarkat dilarang menebang pohon dan merusak wilayah itu tetapi pertambangan dibolehkan.

Belum ada kesepahaman antara Pemerintah Kabupaten TTU, pengusaha dengan masyarakat lokal Lembaga Adat/Pemangku Adat- Tobe);

Padahal perintah Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara jelas, bahwa Penetapan WP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dilaksanakan: a. secara transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab; b. secara terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan; dan c. dengan memperhatikan aspirasi daerah.

Pertambangan Mangan di Oekopa dan Oerinbesi membawa dampak konflik agraria, karena sejak dulu sistem kepemilikan lahan itu adalah kolektif. Dengan pertambangan tanah dikapling sebagian warga agar mendapat ganti-rugi.

3.2.6. Analisa Kebijakan dan Politik
Kabupaten Timor Tengah Utara sebagai salah satu kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur masih dililit persoalan kemiskinan yang dihadapi oleh masyarakatnya. Persoalan kemiskinan mengakibatkan kurang berjalannya kegiatan pertanian, ekonomi, sosial dan budaya yang pada akhirnya menurunkan potensi sumber daya manusia. Salah satu kelompok yang rentan terhadap masalah tersebut adalah masyarakat miskin yang umumnya memiliki latar belakang pekerjaan/profesi sebagai petani.

Sehubungan dengan itu, maka Kebijakan dan strategi pembangunan di Kabupaten TTU yang dikemas dalam Panca Program Strategis dimana penembangan pertanianan merupakan program pertama dari lima program utama yang dicanangkan oleh Bupati dan Wakil Bupati TTU periode 2010-2015. Pengembangan program pertanian bertujuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan meningkatkan pendapatan tunai keluarga tani. Pengembangan program pertanian diharapkan menjadi lokomotif untuk mendorong pertumbuhan sektor lainnya. Oleh karena itu, program pertanian perlu diterjemahkan menjadi kebijakan kongkrit sehingga diimplementasikan bukan hanya menjadi retorika belaka.17

Program pertanian yang dicanangkan dibingkai dalam ”Gerakan Cinta Petani” Salah satu kebijakan kongkrit Bupati dan Wakil Bupati TTU sebagai penjabaran Gerakan Cinta Petani adalah mengelola beras raskin(Raskin) dengan pola Padat Karya Pangan (PKP).18

Berlandas pada kebijakan Panca Program Strategis yang dicanangkan Pemerintah Kabupaten TTU, dilihat bahwa pertambangan yang dilakukan di Oekopa dan Oerinbesi adalah sebuah bentuk inkonsistensi dan ke-tidak-komitmen-an pemerintah kabupaten TTU dalam menjalankan program tersebut yang tentunya memiliki keterkaitan dengan keputusan politik. Untuk itu, kebijakan ini perlu dicermati dalam kacamata politik yang lebih detail agar kemudian tidak berimplikasi buruk bagi warga.

Pertambangan selalu menjadi arena perjudian dalam kanca perpolitikan. Sering sumber daya alam menjadi bargaining potition dalam membuat kesepakatan-kesepakatan. Alasan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanyalah sebuah rasionalisasi pembenaran atas kerusakan lingkungan. Mengapa? Karena selama sistem politik yang dijalankan itu mementingkan kekuasaan dan modal maka rakyat hanyalah sebagai tumbal.

Dalam kaitan dengan itu, kebijakan pertambangan yang digelontarkan pemerintah Kabupaten TTU dalam Surat Bupati TTU No. Ek.540/102/IV/2012 tentang Ijin Prinsip Pembangunan Pabrik Pengolahan dan Pemurnian Bijih Mangan kepada PT. Gema Energy Indonesia di desa Oekopa dan Oerinbesi perlu dicermati dan dianalisa secara cermat.

Beberapa hal yang perlu dilihat sebagai evaluasi atas kinerja pemerintahan kabupaten TTU, diantaranya:
Berasas pada Surat Bupati TTU No. Ek.540/102/IV/2012 tentang Ijin Prinsip Pembangunan Pabrik Pengolahan dan Pemurnian Bijih Mangan kepada PT. Gema Energy Indonesia di desa Oekopa dan Oerinbesi.

Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup. sedangkan Tahap Produksi/Eksploitasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan (Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Psl. 1 (15 & 17).

Dari dua terminologi atau tahapan ini kami menilai bahwa Ijin Usaha Pertambangan dalam Surat Bupati TTU No. Ek.540/102/IV/2012 tentang Ijin Prinsip Pembangunan Pabrik Pengolahan dan Pemurnian Bijih Mangan kepada PT. Gema Energy Indonesia di desa Oekopa dan Oerinbesi, tidak sesuai dengan tahapan pertambangan karena kenyataan di lapangan masih melakukan pencarian dengan pemboran untuk mengetahui lokasi dan sebaran mangan di Oekopa.

Padahal bila perijinan itu sejalan dengan kenyataan di lapangan maka sudah  ada konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan.

Kebijakan ini dinilai tidak populis dan tidak sinkron dengan skala prioritas program strategis yang sementara dilakoni dimana pertanian menjadi salah satu program strategis. Apabila pemerintah kabupaten TTU serius menjalankan RPJMD dan Visi-Misi sertaProgram Padat Karya Pangan (PKP), maka Oekopa, Oerinbesi dan beberapa wilayah sentral persawahan harus dijadikan sebagai pemasuk pangan terutama beras agar tidak terus mengharapkan pasokan pangan dari luar misalnya RASKIN (Beras Miskin).

Karena itu semestinya Pemerintah kabupaten TTU melalui Dinas Pertanian dan Perkebunan TTU perlu mengidentifikasi wilayah-wilayah potensial pertanian, sebab tanpa didorong pemerintah pun telah berkontribusi sebagai pemasok pangan. Ini adalah potensi daerah yang mestinya dipelihara bukannya dikonversi. Apakah dengan pertambangan akan memberi jaminan hidup bagi rakyat Oekopa?

Sejak tahun 2010, pemerintah mengeluarkan kebijakan moratirium pertambangan dengan membentuk Tim Verifikasi Pertambangan tetapi hasil moratorium itu tidak dipublikasikan agar publik mengetahui apa hasil evaluasi dan apa solusi dari permasalahan tersebut.

Pertambangan mangan di Oekopa dan Oerinbesi tidak berasaskan pada Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Padahal kawasan yang dijadikan sebagai wilayah pertambangan tersebut sejak dulu warga dilarang untuk menebang pohon atau merusakannya;

3.2.7. Dampak Ekonomi
Hampir semua aktivitas pertambangan dilandaskan pada analisis ekonomi. Argumentasi peningkatan ekonomi warga dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dipandang sebagai alasan mumpuni dari pertambangan. Dengan pertambangan akan diserap tenaga kerja dan perubahan kualitas hidup masyarakat sekitar wilayah pertambangan.

Argumentasi yang sama pun ditemukan di Oekopa dan Oerinbesi. Bahwa dengan pertambangan mangan yang dilakukan di sana, akan menyerap tenaga kerja dan memberikan dampak positif bagi kehidupan rakyat. Lalu pertanyaannya, apa peran yang akan dikerjakan oleh warga Oekopa yang pada umumnya tidak memiliki kapasitas untuk mengelolah pertambangan. Bukankah mereka hanya menjadi tenaga penggali, security dan buruh yang pastinya gaji pas-pasan. Apa benar dengan pekerjaan semacam ini warga Oekopa akan mengalami peningkatan kualitas hidup seperti yang dijanjikan?

Dari beberapa informasi lapangan kami mencoba mengkajinya. Dari areal persawahan seluas 840 hektare yang diperkirakan setahun berapa pendapatan petani sawah Oekopa dalam waktu setahun. yang biasanya memanen dua kali. (Baca Tabel 2)

    Tabel 2. Perhitungan Pendapatan Petani Oekopa/Tahun1:
    NO
    DESKRIPSI
    PERHITUGAN
    UNI COST
    TOTAL
    Luas (ha)
    Perkiraan Pendapatan Persahawan (Kg)
    FREKUENSI
    HARGA SATUAN Gabah (Rp.)
    1
    Pendapatan persawahan/Ha
    1
    1000
    1
    3000
    3000000
    3000000
    2
    Pendapatan Persahawan Oekopa/tahun
    840
    1000
    2
    3000
    5040000000
    5040000000
    Data hasil olahan Walhi NTT
1Data hasil olahan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT



Dengan demikian dari tabel 2. Perhitungan pendapatan petani Oekopa setiap tahun diperoleh Rp.5.040.000.000  (lima Milyar, empat puluh juta) setahun. Dari pendapatan ini, bila kemudian dirata-ratakan bagi seluruh penduduk Warga Oekopa maka setiap tahun pendapatan setiap warga Oekopa sebesar Rp. 3.965.381 (Tiga Juta Sembilan Ratus enam puluh lima tiga ratus delapan satu rupiah) dalam setiap musim panen sawah. Dari angka ini, menunjukkan bahwa pendatapan warga Oekopa dari pertanian (persawahan) saja sebetulnya sudah mencukupi kebutuhannya. Kita belum memperhitungkan sumber pendapatan dari peternakan dan pendapatan lain yang diperoleh warga Oekopa.

Karena itu, Pemerintah Kabupaten TTU mestinya membuat analis ekonomi terhadap pendapatan warga. Bila dalam kenyataan ditemukan bahwa warga Oekopa belum mendapatkan kualitas hidup sejahtera hendaknya dilihat apa problem yang dialami warga di sana sehingga dengan pendapatan sebesar itu warga tidak mengalami perubahan yang signifikan.Pastinya ada permasalahan lain yang dihadapi warga yang perlu mendapatkan penyelesaian dari Negara (pemerintah Kabupaten TTU).

Untuk itu, secara ekonomi perlu dilihat lebih jauh tentang empat pengurusan yakni:  Tata Kuasa, Tata Produksi, Tata Distribusi dan Tata Konsumsi.20
Dalam konteks pertambangan Oekopa dan Oerinbesi perlu dicermati daya rusak tambang pada ekonomi warga setempat, apakah terjadi penghancuran pada tata kuasa, produksi, distribusi dan konsumsi lokal.

Tata KuasaTata kuasa yang dimaksud di sini adalah bagaimana warga atau masyarakat mempunyai hak dalam menentukan produksinya dan atas wilayah hidupnya termasuk tempat tinggalnya.

Dalam bagian ini penting dibaca aspek kebijakan, penguasaa, instrumen, pengambil keputusan, jaminan hak dalam dimensi tata kuasa kepemilikan warga.

Berkaitan dengan uraian tabel 2. dapat terlihat jelas bahwa angka pendapatan petani warga Oekopa cukup tinggi. Lalu bila dibandingkan dengan kondisi lapangan kehidupan warga Oekopa dilihat bahwa angka pendapatan ini tidak seimbang.

Memaknai itu dalam bingkai analsis tata kuasa, perlu dilihat bahwa apakah sesungguhnya petani Oekopa menghasilkan beras dalam kedaulatan penuh ataukah memiliki ketergantungan dengan pihak lain yang mengambil sebagian besar biaya operasional produksi sehingga menyebabkan perubahan yang signifikan.

Rusaknya Tata Produksi

Tata produksi merupakan penataan kesatuan komunitas atau sosial dan sumber-sumber produksi yang dikelola atau dimanfaatkan bagi kelangsungan hidup warga.Itu bearti pemetaaan potensi sumber penghidupan mestinya instrumen yang perlu dilakukan untuk memastikan ruang pengelolaan.

Masyarakat Oekopa dan Oerinbesi sejak keberadaannya, persawahan menjadi sumber penghidupan utama disamping peternakan. Apabila pemerintah berinisiasi untuk meningkatkan pendapatan mereka mestinya yang dilakukan adalah kembali menata dan memulihkan lokasi-lokasi penyanggah agar debit air semakin memadai agar seluruh hamparan itu dimanfaatkan secara efektif untuk persawahan. Malah yang harus dipikirkan adalah pascah panen apa yang harus dilakukan petani dan bagaimana mengentaskan sistem ijon yang ramai dilakoni petani.

Bila kawasan itu dikonversi menjadi pertambangan, akan terjadi rusaknya tata produksi. Karena operasi pertambangan membutuhkan lahan yang luas, dipenuhi dengan cara menggusur tanah milik dan wilayah kelola rakyat. Kehilangan sumber produksi (tanah dan kekayaan alam) melumpuhkan kemampuan masyarakat Oekopa dan Oerinbesi yang selama ini menghasilkan beras (pangan) untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Bagi warga Oekopa dan Oerinbesi tanah dan persawahan adalah sumber penghidupan yang tidak bisa ditukarkan/digadaikan.

Rusaknya tata konsumsi

Tata konsumsi adalah penataan atas sumber-sumber penghidupan yang dijadikan sebagai dasar atau landasan kemampuan bertahan dalam pengendalian konsumsi yang berlansung fungsi alami.

Karena itu, lumpuhnya tata produksi (persawahan dan peternakan) menjadikan masyarakat Oekopa dan Oerinbesi makin tergantung pada pasokan barang dan jasa dari luar termasuk pangan (beras). Untuk kebutuhan sehari-hari mereka semakin lebih jauh dalam jeratan ekonomi.

Uang tunai yang cendrung dilihat besar, tanah dan kekayaan alam sebagai faktor produksi digadaikan dengan sejumlah uang untuk sementara waktu (instant) tetapi tidak pernah dipikirkan tentang rusaknya lahan dan tata konsumsi warga yang selama ini mengalami kedaulatan pangan;
Warga Oekopa, memiliki kedaulatan pangan karena wilayah ini merupakan sentral produksi pangan (beras). Itu berarti tata produksi warga Oekopa tanpa pertambangan mereka mengalami kemandirian;

Rusaknya tata distribusi

Kegiatan distribusi setempat semakin didominasi oleh arus masuknya barang dan jasa ke dalam komunitas termasuk beras (pangan) yang merupakan kebutuhan paling pokok.

Padahal, biasanya pada awal sebuah proses pertambangan akan dibangun opini publik bahwa pertambangan akan membawa kesejateraan dengan meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat setempat.

Tetapi yang terjadi warga Oekopa dan Oerinbesi menjadi kuli di negeri sendiri, bila ia menjadi seorang petani, ia akan berdaulat dengan dirinya.
Tawaran akan pertambangan perlu dikaji secara cermat dengan melihat fakta-takta yang sudah ada. Bukan dengan pragramtis lalu pertambangan disetujui, setelah itu baru diakhiri dengan kekesalan.

3.3. Pertambangan Mangan Oekopa dalam  Analisa PESTEL
Pertambangan mangan Oekopa, Kecamatan Biboki Tanpah, Kabupaten TTU, perlu dicermati dalam Analisa PESTEL (Politik, Ekonomi, Sosial,Teknologi, Environment, Legal) agar mengetahui sejauh mana daya rusak akibat tambang mangan tersebut bagi warga Oekopa.

Tabel. 3. Analisa PESTEL
Faktor-Faktor
Fakta-Fakta Analisis
Politik
  • Konflik kepentingan politik Kabupaten TTU yang hingga hari ini belum ada akhirnya, soal legalitas bupati;
  • Politik uang (money politic) menjadi domain dalam pemilukada;
  • Adanya konspirasi penguasa (desa, camat, bupati dan gubernur) dengan pemodal
  • Manipulasi Ijin Usaha Pertambangan (IUP) dengan pemimpin lokal; dimana rekomendasi itu diberikan oleh orang yang tidak berkapasitas
Ekonomi
  • Hancurnya sumber penghidupan rakyat (tanah, hutan, air dan persawahan)
  • Tendensi korupsi semakin tinggi dalam dunia pertambangan
  • Hancurnya sistem perekonomian lokal
  • Pasokan Pangan didatangkan dari luar, bila daerah sentral produksi pangan dihancurkan
  • Adanya sistem ijon beras yang dilakukan di Oekopa;
Sosial
  • Potensi konflik vertikal (Rakyat Oekopa dengan Pemkab TTU) diarahkan menjadi konflik horizontal (antar warga pro dan kontra tambang;
  • Banyak problem sosial yang akan terjadi di daerah lingkar tambang
  • Hancurnya tatanan nilai lokal dengan masuknya nilai-nilai baru yang dibawa pekerja tambang
  • Adanya prostitusi
  • Kerusakan/hilangnya tempat sakral (faot kana dan oekana) dari Masyarakat Adat Oekopa
  • Kerusakan lingkungan hidup dan sumber penghidupan rakyat (tanah, hutan, air dan persawahan);
  • Masuknya nilai-nilai luar bersamaan dengan masuknya pekerja tambang
Teknologi
  • Penguasaan tekonologi masyarakat Oekopa masih minim, tentunya didatangkan tenaga ahli dari luar daerah;
  • Masuknya fasilitas-fasilitas baru yang belum dikenal masyarakat Oekopa
  • adanya kebisingan yang ditimbulkan dari proses pemboran dan penggerukan;
Environment
  • Konflik Penguasaan SDA antara Pemkab dan Masyarakat
  • Perubahan Land-scape (bentangan alam)
  • Kerusakan water schatchman area
  • Kerusakan persawahan rakyat (kekeringan dan pencemaran areal sawah)
  • Minimnya upaya pemulihan ekologi (mitigasi) dalam menghadadapi climate change dan global warming
  • Kerusakan nilai sakral dari faot kanaf dan oe kanaf
Legal
  • Adanya dugaan Manipulasi Administrasi dukungan warga dan manipulasi warga;
  • Tidak diasaskan pada mekanisme dan prosedur undang seperti UU PPLH, UU Pertambangan Minerba, Kehutanan, RTRW dll
  • Lemahnya penegakan hukum dan HAM
  • Pengabaian hak-hak warga atas lingkungan yang sehat
  • Adanya perselingkuhan pemerintah dengan pemodal


Dari analisis secara jelas tampak nilai positif dan negatif dari sebuah pertambangan, yang didominasi oleh dampak negatif. Nilai positif bernilai akan (angan-angan) sedangkan dampaknya adalah fakta/realitas.


3.4.Pertambangan Mangan Oekopa dalam  Analisa Juridis21
Sebagai Negara Hukum, kami mencoba untuk menemukan fakta-fakta pelanggaran hukum yang dilakukan Negara (Pemerintah Kabupaten TTU) dalam konteks pertambangan Mangan di Oekopa dan Oerinbesi.
Dalam Analisa Juridis digunakan beberapa Undang-Undang sebagai dasar analisis diantaranya Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Udang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang No. 4 Tahun 2008 tentang Pertambangan Mineral dan batu bara).

            Tabel 4. Analisis Juridis
No
    Fakta Pelanggaran
    Undang-Undang yang Diduga Dilanggar
    Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
    Udang-Undang No.26 Tahun 2007
    Undang-Undang No.41 Tahun 1999
    Undang-Undang No. 4 Tahun 2009
    Penerbitan IUP sepihak dari Pemerintah Kabaupaten TTU tanpa persetujuan Rakyat
    Psl. 16 (1):
    KLHS memuat kajian antara lain:
    a. kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan;
    b. perkiraan mengenai lingkungan hidup; dampak dan risiko
    c. kinerja layanan/jasa ekosistem;
    d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;
    e. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi
    terhadap perubahan iklim; dan
    f. tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
    Pasal 70:
    (1) Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
    (2) Peran masyarakat dapat berupa:
    a. pengawasan sosial;
    b. pemberian saran, pendapat, keberatan, pengaduan; dan/atau
    c. penyampaian laporan.
    (3) informasi usul, dan/atau Peran masyarakat dilakukan untuk:
    a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
    b. meningkatkan keberdayaan kemitraan; kemandirian, masyarakat, dan
    c. menumbuhkembangkan
    kemampuan dan kepeloporan masyarakat;
    d. menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; dan
    e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
    Pasal 7:
    (1)Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
    (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), negara memberikan kewenangan penyelenggaraan
    penataan ruang kepada
    Pemerintah dan pemerintah daerah.
    (3)Penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Pasal 11 (5):
    Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
    (4), pemerintah daerah kabupaten/kota:
    a. menyebarluaskan informasi yang berkaitan
    dengan rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota; dan
    b. melaksanakan standar
    bidang penataan ruang.
    Pasal 2:
    Pertambangan mineral
    dan/atau batubara berasaskan:
    a. manfaat, keadilan, dan keseimbangan;
    b. keberpihakan kepada kepentingan bangsa;
    c. partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas;
    d. dikelola berkelanjutan dan berwawasanlingkungan. Pasal 135:
    Pasal 36:
    Masyarakat tidak mendapat informasi tentang bahaya mangan terhadap kesehatan
    Pasal 3:
    Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan:
    a. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
    b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia; c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
    d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; keserasian, keselarasan,
    e. mencapai keseimbangan lingkungan hidup; dan
    f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
    g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia;
    h. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
    i. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
    j. mengantisipasi isu lingkungan global.
    Pasal 6 (f):
  1. Konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan.
    Pasal 65:
    (1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.
    (2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
    (3) Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.
    (4) Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
    (5) Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
    (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
    Pasal 3:
    Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
    a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam
    dan lingkungan buatan;
    b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber
    daya alam dan sumber daya buatan dengan
    memperhatikan sumber daya manusia; dan
    c. terwujudnya pelindungan fungsi
    ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaataan ruang.
    Pasal 85:
    Pemerintah berkewajiban mengumumkan rencana kegiatan usaha pertambangan di WIUPK sebagaimana dimaksud dalam
    Pasal 30 serta memberikan IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 kepada
    masyarakat secara terbuka.
    Pasal 145:
    Masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan berhak:
    a. memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. b. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan pertambangan yang menyalahi ketentuan.
  1. Psl 85,
  2. Psl 147,
  3. Psl 96
    Sumber mata air tercemar dengan limbah pencucian
    Pasal 3 (b):
    Pasal 12 c:
    Pasal 14:
    Instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup terdiri atas:
    a. KLHS;
    b. tata ruang;
    c. baku mutu lingkungan hidup;
    d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
    e. amdal;
    f. UKL-UPL;
    g. perizinan;
    h. instrumen ekonomi lingkungan hidup;
    i. peraturan perundang-undangan
    berbasis lingkungan hidup;
    j. anggaran berbasis lingkungan hidup;
    k. analisis risiko lingkungan hidup;
    l. audit lingkungan hidup; dan
    m. instrumen lain sesuai dengan kebutuhan
    dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.
    Pasal 15 (2):
    kebijakan, rencana, dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup.
    Pasal 16:
    KLHS memuat kajian antara lain:
    a. kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan;
    b. perkiraan mengenai lingkungan hidup; dampak dan risiko
    c. kinerja layanan/jasa ekosistem;
    d.efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;
    e. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; dan
    f. tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
    Psl 2, psl 13
    Psl 97, 98, Psl 145
    Hilangnya sumber penghidupan rakyat berkelanjutan
    Pasal 3 (I),
    Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan:
    a. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
    b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan
    manusia;
    c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup
    dan kelestarian ekosistem;
    d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
    keserasian, keselarasan,
    e. mencapai
    keseimbangan lingkungan hidup;
    dan
    f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa
    kini dan generasi masa depan;
    g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas
    lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi
    manusia;
    h. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
    i. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
    j. mengantisipasi isu lingkungan global.
    Pasal 12 ayat 2 (a&b),
    Dalam hal RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersusun, pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan memperhatikan:
    a. keberlanjutan proses dan
    fungsi lingkungan hidup;
    b. keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup; dan
    c. keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat.
    Pasal. 15 ayat 1 & 2
    Pasal 7:
    Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk
    sebesar-besar kemakmuran
    Psl 3 (d). enyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang
    berkeadilan dan berkelanjutan dengan:
    a. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang
    proporsional;
    b. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi
  1. yang seimbang dan lestari ;
    c. meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;
    d. meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan
  2. masyarakat secara partisipatif, berkeadilan , dan berwawasan lingkungan sehingga
  3. mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan
    e. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
    Pasal 3 (b),
    menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara
    secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup;
    5
    Pencaplokan lahan pertanian rakyat
    Pasal 6 ayat 2 (f)
    Psl 7:
    rakyat.
    (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), negara memberikan kewenangan penyelenggaraan
    penataan ruang kepada Pemerintah dan pemerintah daerah.
    (3) Penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Psl 2, Psl.39, Pasal 135,
    Wilayah Pertambangan memasuki Kawasan Hutan
    Pasal 35
    Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi.
    Pasal 55: (1) Untuk menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 3, dilakukan pengawasan terhadap kinerja pengaturan,
    pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang.
    (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas tindakan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan.
    (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
    (4) Pengawasan Pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat.
    (5) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan dengan
    menyampaikan laporan dan/atau pengaduan kepada Pemerintah dan pemerintah daerah.
  1. Pasal 56:
Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 55 ayat (2) dilakukan
dengan mengamati dan memeriksa kesesuaian antara penyelenggaraan penataan
ruang dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (1) Pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang
    bersangkutan, sesuai dengan fungsinya.
    hak atas tanah yang
    (2) Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan
    sepanjang tidak mengganggu fungsinya.
    6
    IUP tanpa AMDAL
    Psl 14, Pasal 70
    Pasal 7
    7
    Penangkapan dan Penahanan warga Karena mempertahankan hak ulayat
    Pasal 66:
    Setiap orang yang memperjuangkan hak atas
    lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat
    secara perdata.
    Pasal 65:
    Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
    Pasal 70 (1) Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
    Penghormatan terhadap simbol-simbol adat diabaikan

    Pasal 4 (3) Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat,
    sepanjang kenyataannya
    masih ada dan diakui keberadaanya, serta tidak
    bertentangan dengan kepentingan dengan kepentingan nasional
    Pihak keamanan menginventervensi kegiatan pertambangan rakyat




Dari tabel 4. Analisis Juridis, ditemukan banyak pelanggaran hukum yang tidak disadari banyak pihak. Ketidaksadaran ini diakibatkan dengar berbagai alasan, misalnya sikap acu tak acu terhadap kebijakan pemerintah.  Yang paling mendasar dilihat adalah lemahnya warga dalam memahami hukum yang berkaitan dengan peran pemerintah mulai dari perencanaan hingga pada pengawasan lingkungan hidup yang lestari.

Dari tabel, terbaca bahwa Pemerintah Kabupaten TTU telah melalukan banyak pelanggaran hukum. Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab dengan semua pelanggaran tersebut.

Sebetulnya, secara mekanisme hukum rakyat difasilitasi untuk melakukan keberatan terhadap berbagai kebijakan publik yang bertentangan atau melanggar hak-hak rakyat; yakni melakukan gugatan class action sebagai bentuk pembelajaran publik.

Tetapi dari pengalaman rakyat dalam berbagai gugatan class action yang dilakukan rakyat bagai menghadapi sebuah tembok beton yang sulit dipatahkan.

IV. CATATAN KRITIS
Dari tulisan Membaca Krisis: Pertanian Versus Pertambangan Oekopa, dapat dilihat kompleksnya pengelolaan sumber daya alam dan permasalahannya bersifat lintas sector dan wilayah, maka dalam pelaksanaan pembangunan dibutuhkan perencanaan tata ruang yang komprehensif dan pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam yang  sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, yaitu: pembangunan ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup yang berimbang sebagai pilar yang saling tergantung dan saling memperkuatkan satu sama lain.

Pelaksanaannya tentu melibatkan berbagai pihak, serta ketegasan pengawasan hukum lingkungan. Diharapkan adanya partisipasi berbagai pihak dan pengawasan serta penataan hukum yang sungguh ditegakkan dan dijadikan acuan bersama yang tidak berhenti pada slogan semata.

Fakta lapangan seringkali bertentangan dengan apa yang diharapkan. Hal ini terbukti dengan menurunnya kualitas lingkungan hidup dari waktu ke waktu. Berkaitan dengan pertambangan Oekopa dan Oerinbesi, dapat digarisbawahi beberapa hal diantaranya:
  • Ego sektoral antar Instansi Pemerintah di Kabupaten TTU
Dari fakta pertambangan Oekopa secara kasat mata hal ini terlihat jelas, yang mana antara istansi pemerintah tidak saling berkordinasi antara yang satu dengan yang lainnya. Misalnya: Dinas Pertambangan tidak mengkomunikasikan pertambangan ini dengan Dinas Kehutanan, Pertanian, Kesehatan, Bapeda.

Ego sektoral masih sering nampak dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan, over laping antara sector yang satu dengan sector yang lain;
Sebuah pengelolaan yang baik tercermin dari fakta dimana antar instansi berkoordinasi untuk menemukan sebuah perencanaan yang disepakati bersama; bukannya setiap instansi merencanakan semaunya.
  • Tumpang-tindih Perencenaan antar Sector Kehidupan di Kabupaten TTU
Kenyataan menunjukkan bahwa pertambangan Oekopa tidak mendapatkan sebuah kajian yang komprehensif, dimana terjadi tumpang tindih antara bidang pertanianan, peternakan, kehutanan dan Pertambangan.
Tidak heran bila kemudian terjadi overlaping wilayah pengelolaan sesuai dengan peruntukannya. Kekuatirannya, luas wilayah sesuai dengan peruntukannya bila dikalkulasikan melebihi wilayah pengelolaan yang ada. Karena pada wilayah yang sama terdapat beberapa bidang yang dikembangkan.
  •  Pengelolaan berorientasi Investasi Modal
Sumber daya alam mestinya digunakan untuk pembangunan dalam mencapai kesejahtaraan masyarakat. Kenyataannya, eksploitasi tambang/galian B dan c, destructive logging hanya menguntungkan segelintir orang (Kapitalis), sedangkan aspek ekologi diabaikan, malah dampak buruk dari pengelolaan itu harus ditanggung rakyat.

Apabila Pemerintah Kabupaten TTU serius berpihak pada rakyat maka semestinya yang diurus adalah perbaikan bendungan dan bagaimana proses pengairan dan pengolahan sawah yang baik bagi warga Oekopa. Sedangkan bila yang diurus adalah pertambangan, tidak salah dinilai berpihak pada modal.
  • Pendanaan yang Masih sangat Kurang untuk Penyelamatan Ekologi
Program kegiatan yang mesti didukung dengan dana yang memadai apabila mengharapkan keberhasilan dengan baik. Walaupun semua orang mengakui bahwa lingkungan hidup merupakan bidang yang penting dan sangat dibutuhkan namun pada kenyataan PAD masih terlalu rendah yang dialokasikan untuk program penyelematan ekologi.

Padahal, penyelamatan ekologi menjadi hal krusial yang perlu dilakukan di tengah permasalahan perubahan iklim dan pemanasan global.
Penyelamatan ekologi hendaknya program prioritas yang mestinya didukung dengan anggaran. Karena tanpa anggaran yang kosong boleh dibilang itu adalah pepesan kosong.

  • Keterbatasan Kapasitas Sumber Daya Manusia
Harus diakui bahwa di dalam pengelolaan lingkungan hidup di Kabupaten TTU, banyak yang belum memahami secara baik tentang arti penting lingkungan hidup.

Konstelasi politik yang labil menyebabkan penempatan aparatur tidak sesuai dengan kapasitas aparatur yang dimiliki. Malah penempatannya diasaskan pada kepentingan politik. Bagi jatah, menjadi prinsip utama seusai kemenangan tim politik. Tidak heran bila aparatur secara administratif memenuhi pra-syarat tetapi secara faktual menimbulkan banyak problem sosial yang terus diperguncing seiring dengan kepentingan yang menguasai sistem perpolitikan di Kabupaten TTU.
  • Lemahnya Implementasi Peraturan Perundangan
Peraturan perundangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup cukup banyak tetapi dalam implementasinya masih terlalu lemah (lih. Tabel 4.). Malah beberapa pihak  justru tidak melaksankan peraturan perundangan dengan baik tetapi mencari kelemahan dari perundang-undangan tersebut untuk dimanfaatkan guna mencapai tujuannya.

Lemahnya penegakkan hukum lingkungan khususnya pengawasan. Bertalian dengan implementasi peraturan perundang-undangan adalah sisi pengawasan pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Banyak pelanggaran yang dilakukan (pencemaran lingkungan, kerusakan lingkungan) namun masih sangat lemah dalam pengawasan dan pemberian sanksi hukum.

  • Minimnya Pemahaman Masyarakat tentang Lingkungan Hidup
Pemahaman dan kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan hidup masih lemah. Lingkungan hidup hanya dilihat sebagia objek yang perlu dikeruk untuk memenuhi kepentingan ekonomi tanpa mempertimbangkan nilai keadilan sosial dan keadilan ekologi antar generasi.

Mumpung masyarakat pada hakekatnya masih berperspektif pada kearifan lokal yang kosmosentris, dimana alam menjadi pusat dan kedekatan dengan alam menjadi kebutuhan mereka. Inilah kekuatan yang masih terbangun di Oekopa, tidak heran bila ritual pao pah ma nifu menjadi spirit yang diemban.

  • Penerapan Teknologi yang Tidak Ramah Lingkungan

Penerapan teknologi tidak ramah lingkungan dapat terjadi untuk mengharapkan hasil yang instan, cepat dapat dinikmati. Mungkin dari sisi ekonomi menguntungkan tetapi mengabaikan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Penggunaan pupuk pestisida yang tidak tepat dapat menyebabkan pencemaran lingkungan.

Perlu dicatat bahwa sebetulnya tiap-tiap daerah terdapat kearifan local yang sering sudah menggunakan teknologi yang ramah lingkungan secara turun temurun. Mestinya kearifan lokal diakomodir dalam berbagai produk kebijakan pengelolaan sumber daya alam di Kabupaten TTU.


V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan dan direkomendasikan beberapa hal diantaranya:

Pendekatan yang perlu dikembangkan sebagai upaya pengelolaan lingkungan hidup adalah: pendekatan pengembangan dan peningkatan akses informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup. Pendekatan ini bertujuan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang lengkap mengenai potensi dan produktifitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup melalui inventarisasi dan evaluasi, serta penguatan sistem informasi.

Sasaran yang ingin dicapai melalui pendekatan ini adalah tersedia dan teraksesnya informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup, baik berupa infrastruktur data spasial, nilai dan neraca sumberdaya alam dan lingkungan hidup oleh masyarakat luas di Kabupaten TTU;

Pendekatan peningkatan efektifitas pengelolaan, konservasi dan rehabilitasi sumber daya alam di Kabupaten TTU;

Tujuan dari pendekatan ini adalah menjaga keseimbangan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkugan hidup hutan, laut, air, udara dan mineral di Kabupaten TTU.

Sasaran yang akan dicapai dalam pendekatan ini adalah termanfaatkannya sumberdaya alam untuk mendukung kebutuhan bahan baku secara efisien dan berkelanjutan. Sasaran lain  dari pendekatan ini adalah terlindungnya kawasan-kawasan konservasi dari kerusakan akibat pemanfaatan dari sumber daya alam yang tidak terkendali dan eksploitatif;
Pendekatan pencegahan dan pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup.

Tujuan pendekatan ini adalah meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya mencegah kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan dan pemulihan kualitas lingkungan yang rusak akibat pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan, serta kegiatan industri dan transportasi yang mencemari lingkungan.

Sasaran pendekatan ini adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sesuai dengan baku mutu lingkungan;
Pendekatan penataan kelembagaan dan penegakan hukum, pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup. Pendekatan ini bertujuan untuk mengembangkan kelembagaan, menata sistem hukum, perangkat hukum dan kebijakan, serta menegakkan hukum untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup yang efektif dan berkeadilan.
Dengan demikian, tersedianya kelembagaan bidang sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang kuat dengan didukung oleh perangkat hukum dan perundang-undangan serta terlaksananya upaya penegakan hukum secara adil dan konsisten;

Pendekatan peningkatan peranan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Tujuannya adalah untuk meningkatkan peranan dan kepedulian pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sasaran pendekatan ini adalah tersedianya sarana bagi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup sejak proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan.

PENUTUP
Bila dilakukakan pemotretan lebih jauh, tentu masih banyak masalah-masalah lingkungan hidup yang terjadi dan ditemukan di kabupaten Timor Tengah Utara. Permasalahan Pertambangan Oekopa adalah salah gambaran permasalahan di Kabupaten TTU yang bisa dijadikan sebagai pintu analisis terhadap berbagai kasus lingkungan di Kabupaten TTU atau NTT pada umumnya.

Hampir  semua permasalahan, tidak dapat diidentifikasi satu per satu. Kesemuannya timbul akibat “pembangunan” yang pada hakikatnya adalah mensejahterahkan masyarakat dengan segala dampak yang ditimbulkan.
Tulisan ”Membaca Krisis: Pertanian Versus Pertambangan Oekopa” maka timbul pertanyaan. Apakah sebetulnya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan masih diperhatikan dalam pembangunan di Kabupaten TTU? Apakah kondisi lingkungan di Kabupaten TTU dari waktu ke waktu bertambah baik, atau bertambah buruk?  Apakah semua  proses pengelolaan yang sedang dilakukan berpihak pada khalayak di Kabupaten TTU ataukah hanya untuk modal dan penguasa?

Tidak heran, fakta sering terjadi bencana alam baik tsunami, gempa bumi, banjir, kekeringan, tanah longsor dan bencana alam lain. Semua itu dapat terjadi sebagai akumulasi kerusakan lingkungan yang tidak dikendalikan.

Terima Kasih


10 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar