Senin, 04 Februari 2013

PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT (PHBM): 
TAWARAN ALTERNATIF PENGELOLAAN HUTAN DI KABUPATEN SIKKA
(Sebuah Refleksi Sosial atas Kondisi Pengelolaan Hutan di Sikka)
Oleh: Herry Naif *

    Di Kabupaten Sikka, Provinsi NTT, konflik hutan yang terjadi baik yang bersifat vertikal maupun horizontal dipicu oleh minimnya komunikasi antar pihak, terkait dengan penetapan tapal batas kawasan hutan tahun 1932 (Dolo Dala) menjadi tapal batas tahun 1984 (Lepe Litong). Proses penetapan batas kawasan hutan itu tidak melibatkan masyarakat setempat. Padahal, lokasi-lokasi yang diklaim oleh Pemerintah/Negara, sesungguhnya adalah hak ulayat Masyarakat Adat.

Di tengah Realitas meningkatnya jumlah penduduk dan keterbatasan lahan garapan sungguh mengkhwatirkan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Sementara, potensi perluasan lahan garapan, hanya mungkin dilakukan pada areal penguasaan teritori genealogis mereka. Pada kenyataan, sebagian areal kelola rakyat telah ditetapkan sebagai kawasan hutan. Kondisi ini menimbulkan keterbatasan akses terhadap luasan areal kelola rakyat (petani) di dalam dan sekitar kawasan. 

Menyikapi kondisi itu, perlawanan terus menjadi agenda masyarakat korban untuk  mendapatkan akses dan kontrol terhadap kawasan hutan, sebagaimana yang terjadi komunitas adat Tana Ai, seperti Komunitas Adat Hikong, Wairkung, Luah, Taragahar Tajo Mosan, Likong Gete, dll. Memperkuat perlawanan ini, Masyarakat Adat melakukan pengorganisasian diri yang dibantu oleh beberapa LSM (LBH-Nusra, Bangwita, YPBF, Sanres, WTM) yang berpihak pada perjuangan rakyat. Dari kolaborasi itu kemudian mereka melakukan aksi ke DPRD Kabupaten Sikka untuk menuntut agar pemerintah mengakui tapal batas tahun 1932, dan mencabut kembali Berita Acara Tapal Batas Tahun 1984, serta mengembalikan hak Masyarakat Adat yang dijadikan kawasan hutan untuk dikelola oleh masyarakat (2003).

Semua tuntutan itu berkorelasi langsung dengan kemiskinan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Kemiskinan menyulitkan mereka dalam upaya pemenuhan hak-hak dasar (pangan, pendidikan, kesehatan dan perumahan yang layak). Berbagai upaya yang dilakukan warga untuk pemenuhan hak-hak dasar tidak memberikan sebuah jaminan.

Ini tergambar jelas bahwa jumlah Rumah Tangga Miskin Kab. Sikka pada tahun 2005 menurut data Pemda Propinsi NTT tercatat 25.319 RTM atau 39% dari 64. 921 KK. Pada tahun 2008 menurut data Pemda Sikka, jumlah KK Miskin meningkat menjadi 35.979 KK atau 49,26% atau 35.979 RTM dari 73.034 KK. Artinya, dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terjadi kenaikan jumlah RTM sebesar 10,26 %. Ini angka yang cukup tinggi dan sangat mengkhawatirkan. Dalam hubungan dengan kajian ini, terlihat jelas bahwa kantong kemisikinan terparah atau melampaui angka 50% RTM dari jumlah seluruh KK Kabupaten Sikka justru terjadi di wilayah-wilayah konsentrasi pengembangan kawasan hutan. Secara rinci tergambar dalam tabel berikut.

Secara sederhana, indikator kemiskinan bisa dilihat dari kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok (pangan, kesehatan, pendidikan dan perumahan) dalam setahun. Hasil survey yang dilakukan Lembaga Advokasi dan Pendidikan Kritis (Ba’Pikir) pada Januari 2010 menunjukkan, ada 117 orang (73,1%) dari 160 responden menjawab bahwa hanya sebagian kecil masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan mampu memenuhi kebutuhan pokoknya dalam setahun.

Dari data-data yang ada dapat disimpulkan, bahwa salah satu faktor penyebab kerusakan hutan adalah kemiskinan. Kemiskinan masyarakat petani di dalam dan di sekitar kawasan hutan terjadi karena keterbatasan lahan garapan. Dari survey itu juga ditemukan bahwa ada 68 responden  (42,5%) dari 160 responden mengalami kekurangan lahan garapan.

Banyak komunitas di sekitar kawasan hutan, akhir-akhir ini mengalami problem kemiskinan dan kemudian mengandalkan hasil hutan sebagai alternatif pemenuhan hak-hak dasar. Selain itu,  mobilisasi para peladang baru dalam kawasan hutan, jual beli lahan illegal maupun pembukaan kawasan secara mandiri, hingga praktek illegal loging yang massif atau pun bentuk konversi lain yang merusak fungsi hutan. Menyikapi kerusakan hutan di Kabupaten Sikka, dari 203 responden yang mengisi questioner, terdapat 143 (70,4%) reponden mengatakan kondisi dan mutu hutan di Kabupaten Sikka rusak dan ada 45 (22,1%) responden mengatakan rusak parah. Pada umumnya penyebab utama kerusakan hutan adalah manusia dan alam 56,45% serta 13,97% disebabkan oleh kebijakan pemerintah (Hasil Survei Ba’Pikir, 2010).

Konflik vertikal dan horizontal mulai meredah, ketika pelbagai komponen pemangku kepentingan mendiskusikan permasalahan tersebut. Berbagai kesepakatan yang berkaitan dengan penyelesaian konflik mulai dibangun oleh pihak-pihak terkait, baik menyangkut visi perjuangan, terbentuknya Tim Kolaborasi, konsep pengembangan sistem pengelolaan rakyat dalam kawasan hutan serta aksi rekonsiliasi dan penguatan kelembagaan adat. Namun kesepakatan-kesepakatan itu seolah berjalan di tempat. Kendati demikian, ada pembelajaran penting dari proses ini yakni kesadaran para pihak untuk mencari dan menemukan sebuah konsep alternatif pengelolaan kawasan hutan yang menjamin keselamatan ekologi, ekonomis (jaminan kesejahteraan) dan partisipasi para pihak.

Hal ini ditempuh mengingat baik pemerintah dan masyarakat tidak mampu memanfaatkan hutan untuk kesejahteraan rakyat maupun kelestarian hutan itu sendiri. Untuk itu strategi alternatif terbaik untuk mengatasi problem tersebut adalah implementasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) yang melibatkan para pihak baik masyarakat, pemerintah serta LSM. Pilihan startegis ini didukung oleh data survey di mana 37,3 % responden mengatakan bahwa masyarakat tidak mampu mencegah dan memperbaiki kerusakan hutan dan sekitar 82,4 % responden menjawab pemerintah (Dinas Kehutanan) tidak mampu mengurusi semua kawasan hutan.

Solusi alternatif yang diperjuangkan saat ini adalah kolaborasi antara masyarakat dan Dinas Kehutanan. Hasil survey Ba’Pikir menunjukkan 72% responden mendukung kerja sama antara Dinas Kehutanan dengan masyarakat miskin dan 85,98% responden mendukung pengelolaan kawasan hutan secara terorganisir dan mendapat pendampingan terus menerus dari pelbagai pihak. Pola ini, selain melindungi hutan, juga akan meningkatkan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.

Untuk mempertemukan gagasan-gagasan inovatif dalam upaya penyelesaian masalah-masalah yang terjadi, maka Lembaga Advokasi dan Pendidikan Kritis (Ba’Pikir), Perhimpunan Bantuan Hukum Nusa Tenggara (PBH-Nusra), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT secara kolaboratif mendorong Konsep “PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT DI KABUPATEN SIKKA” sebagai tawaran alternative dalam upaya penyelesaian permasalahan akses dan control rakyat terhadap hutan. Dimana, semua pihak yang berkepentingan dijadikan subjek pemanfaat dan pelindung hutan. Dengan demikian laju kerusakan hutan semakin dibendung dan rakyat juga disadarkan akan pentingnya hutan dalam penciptaan iklim mikro.


Penulis adalah Anggota Forum PHBM.
Herry Naif, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar