NTT BUTUH PEMIMPIN
VISIONER, HUMANIS - EKOLOGIS
(catatan
pinggir buat pemimpin NTT 2013 - 2018)
Oleh: Herry Naif
Direktur
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Daerah NTT
dan
Anggota NTT Policy Forum
Sebulan
lagi, warga Nusa Tenggara Timur akan mengikuti pesta demokrasi akbar,
Pemilihan Umum Kepala Daerah secara langsung (Pemilukadal). Momentum
demokrasi ini dimaknai sebagai ajang partisipasi rakyat dalam
menentukan siapa pemimpin. Partai politik telah menentukan figurnya
untuk maju dalam pertarungan ini. Wacana akan siapa pemimpin NTT lima
(5) tahun ke depan sedang ramai diperdebatkan warga baik secara
individu atau pen kelompok dengan mengacu pada berbagai aspek nilai,
baik kualitas intelektual, moral, visi-misi dan spiritual yang ingin
diemban. Rekam jejak atas track
record dari setiap
pasangan calon sedang dilakukan berbagai pihak wujud penilaian atas
setiap pasangan calon yang akan ikut bertarung dalam pemilukadal.
Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Daerah NTT telah menentukan lima paket yang
lolos seleksi diantaranya, (1).Eston Funay – Paul Tallo, (2) I. A.
Medah – Melky Lakalena (Tunas), (3). Christian Rotok – Paul
Liliyanto (Cristal), (4). Frans Lebu Raya – Beny Litelnoni
(Frendly) dan (5). Beny K. Harman – Whilem Nope (BKH – Nope).
Kelima paket ini sudah pasti merias diri dengan visi-misi dan isu –
strategi yang akan dimanfaatkan sebagai istrumen pelumas hati rakyat
dalam meraih suara terbanyak.
Terlepas
dari perdebatan politik yang ada, isu pemberantasan kemiskinan dan
korupsi terus mendaptkan perhatian. Selain itu, isu penyelamatan
ekologi melalui penolakan pertambangan di NTT pun mendapatkan
perhatian dari berbagai pihak, termasuk dari para pasangan calon
Gubernur NTT.
Sebagian
pasangan calon Gubernur yang bertarung tidak lupa membicarakan
pertambangan sebagai satu substansi yang dibicarakan serius. Itu
berarti, bahwa wacana akan adanya kelestarian dan penyelamatan
ekologi tersisa juga sedang mendapat perhatian dalam perhelatan
politik di NTT.
Secara
de fakto, ada pasangan calon yang terang-terangan menyatakan sikap
menolak tambang, monitoring pertambangan tetapi ada pula yang
seolah-olah buta-tuli terhadap kontraversi pertambangan yang terjadi
di wilayah-wilayah pertambangan di NTT. Malah, ada yang menyatakan
menolak tambang sama dengan menolak dana pusat.
Kendati
demikian, sebagai warga yang cerdas dan kritis, tentunya tidak
gampang menerima namun menyimak semua wacana yang ada. Seyogyanya,
perlu dilakukakn kajian-sintesis antara gagasan dan pengalaman
empirik-historis agar tidak dinilainya sedang onani politik untuk
mendapatkan simpati dari kelompok-kelompok masyarakat yang secara
tegas menolak adanya pertambangan. Wacana tolak tambang harusnya
berbasis pada “political will” yang teruji dari berbagai
faktor seperti rekam jejak, bahwa apakah pasangan calon itu adalah
orang yang pernah punya cerita menyelamatkan lingkungan hidup.
Pergunjingan
ini pun hendaknya dihantar sampai pada refleksi kritis atas model
pengelolaan sumber daya alam yang humanis-ekologis. Pembahasan
penyelamatan ekologi di NTT tidak lepas dari pembahasan ekosistem
dengan berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik (mati) dan
biotik (hidup). Faktor abiotik antara lain suhu, air, kelembaban,
cahaya, dan topografi, sedangkan faktor biotik adalah makhluk hidup
yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga
berhubungan erat dengan tingkatan-tingkatan organisasi makhluk hidup,
yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling mempengaruhi dan
merupakan suatu sistem yang menunjukkan kesatuan.
Karena
itu, model pengelolaan sumberdaya alam yang eksploitatif dan
ekstraktif mestinya dipertimbangkan secara matang dalam kacamata
ekologi di Nusa Tenggara Timur yang mana adalah deretan pulau-pulau
kecil yang memiliki keterbatasan ekosistem yang tentunya rentan
terhadap masifnya bencana ekologi. Industri ekstraktif tidak ramah
terhadap hutan, air, ekosistem, perkampungan. Malah menimbulkan
banyak kerusakan lingkungan hidup yang tak bisa dipulihkan dalam
rentang waktu yang singkat.
Disadarai atau tidak, bencana
ekologi sedang melanda dunia. Kerusakan alam hampir tidak dapat
dibendung. Hutan yang memiliki fungsi penting dalam menyiapkan
carbon, pelindung sumber mata air serta penyeimbang flora
dan fauna
tidak digubris. Semangat eksploitatif dan tindakan-tindakan
ekstraktif telah sedang meracuni manusia dalam rangka
mewujudkongkretkan pembangunan yang mengayomi masyarakat menuju
kesejahteraan yang absurd. Kemudian, disimpulkan bahwa lingkungan
rusak karena kemiskinan.
Siapa bilang, kemiskinan
mendorong orang untuk melakukan tindakan penggerukan alam tanpa
pertimbangan keseimbangan ekologi. Mari kita menjawab...?
Bukankah realitas kemiskinan
seakan memaksa para pengambil kebijakan agar kemudian
berkompromi dengan pemodal untuk melakukan pengelolalaan Sumberdaya
alam? Ataukah, mereka itu yang sedang dijerat kemiskinan?
Dewes
Decker
yang membuat lukisan tentang Indonesia dalam buku “Tanah Air”,
menyimpulkan bahwa Indonesia adalah zamrud
katholistiwa.
Indonesia memiliki potensi alam yang luar biasa didukung dengan
keanekaramana hayati yang tidak dimiliki bangsa lain. Seiring dengan
kekayaan itu, herannya kemiskinan itu terus menggurita.
Apakah kemiskinan harus dijawab dengan penggerukan
alam? Ataukah pengambilan kekayaan alam yang mempertimbangkan nilai
keseimbangan (value judgement) akan membawa keadilan ekonomi dan
ekologi?
Seyogyanya
kita belajar dari negerinya Fidel Castro (Kuba) yang mana telah
menemukan jurus jitu yang mirip dengan konsep “berdikari” yang
pernah menjadi slogan Indonesia. Bahwa “produksilah
apa yang kita miliki dan kita butuhkan dengan cara dan arah yang kita
inginkan”.
Bukannya memproduksi sesuatu yang dibutuhkan pemodal dan asing.
Apaila
Indonesia dan NTT pada khususnya terus terjerumus dalam penggerukan
Sumberdaya alam terbarukan dan tak terbarukan, tak heran bencana
ekologi yang masif terjadi pun terus menjadi hasil tuaian bersama.
Kenyataan itu tidak sedang kita disadari.
Ketidakseimbangan curah hujan sedang menjadi keluhan petani NTT.
Abrasi pantai, longosoran, banjir, kekeringan sumber mata air dan
lainnya harusnya menjadi refleksi-kritis warga terutama para calon
pemimpin NTT yang sedang bertarung, sampai kapan bencana itu
diminimalisir.
Hakekatnya,
pemerintah dimandati mengurus
sumberdaya alam yang mengedepankan kepentingan ekonomi daripada
kepentingan ekologi, sosial dan budaya. Akibatnya, kelompok tertentu
saja yang menguasai keuntungan pengelolaan sumberdaya alam. Hak
Pengelolaan Hutan (HPH), Kontrak Karya Pertambangan, Hak Pengelolaan
Pesisir dan Perikanan (HP3), dan sebagainya adalah mekanisme formal
negara dalam mengekploitasi sumberdaya alam mulai dari pegunungan,
hutan, perkebunan, pemukiman, pesisir, dan laut atas nama negara
untuk kepentingan investasi.
Tidak
heran, di sekitar lokasi-lokasi konsesi sumberdaya alam, pada umumnya
masyarakat tidak banyak dilibatkan dalam pengelolaan. Dalam banyak
kasus, mereka menjadi korban penggusuran, pemaksaan dan pelanggaran
Hak Asasi Manusia. Sumber-sumber penghidupan rakyat dikuasai negara
dan digadaikan pada modal. Rakyat hanya dijadikan sebagai subjek
penonton dalam seluruh kebijakan dengan basis argumentasi adalah
peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pertanyaannya, dimanakah
posisi rakyat? Bukankah kita sedang menanti remah-remah keuntungan
yang diperoleh modal. Kita sedang terasing di negeri sendiri.
Herannya,
fakta ini tidak pernah dijadikan sebagai bahan refleksi agar model
pengelolaan sumberdaya alam diubah dengan mengutamakan kepentingan
rakyat dan lingkungan hidup. Artinya, pengelolan sumberdaya alam yang
humanis-ekologis menjadi solusi alternatif pemimpin dan warganya
dalam mengelola sumber-sumber penghidupan yang dimilikinya.
Berbagai
permasalahan ini menjadi cerminan bahwa kita sedang dimiskinkan oleh
sistem pengelolaan sumberdaya alam yang dikembangkan selama ini.
Pertanian, Peternakan, Kehutanan, Perikanan dan Kelautan serta home
industry, industri rumah tangga (tenun-ikat)
dan berbagai kerajinan rakyat lainnya mestinya didorong menjadi modal
dan sumber penghidupan yang mendapatkan asupan perhatian serius dari
pemerintah. Bukannya, para petani divonis perusak hutan tanpa
sebuah solusi? Peternak dinilai gagal karena jumlah ternak berkurang
dari tahun ke tahun. Nelayan dinilai sebagai yang menuai tanpa
menanam. Kelompok tenun-ikat dari ibu-ibu di NTT hanya sekedar jadi
peserta festival atau pameran budaya. Pariwisata hanya menjadi ajang
kampanya tanpa mempersiapkan infrastruktur yang memadai.
Sejauhmana tawaran
alternatif yang diemban dalam mendorong pertanian selaras alam, bukan
sekedar seremoni food summit rutinitas
tahunan. Peternakan yang seharusnya memenuhi pasaran daging,
bukan impor daging sapi besar-besaran yang bermotifkan korupsi. Para
nelayan mestinya memenuhi asupan protein anak-anak NTT bukanya
dibiarkan terus dijarah oleh kapal-kapal asing. Produksi kelompok
tenun ikat mestinya menyaingi pasaran batik, bukannya dihadirkan saat
festival dan pameran budaya.
Sadar atau
tidak, pilihan akan adanya pertambangan di NTT adalah wujud kegagalan
negara (pemerintah provinsi) NTT dalam
mengembangkan sektor-sektor riil tersebut. Sebab bila ditelaah secara
logis dan melakukan studi perbandingan antara in
come (pendapatan)
tidak sebanding dengan biaya reklamasi. Kita tidak hanya fokus pada
kerusakan lingkungan tetapi harus dilihat dalam ranah kerusakan
ekosistem dan land scape yang
ditimbulkan.
Rendanya
pendapatan dari beberapa sektor bukannya mengamini bahwa dengan
investasi pertambangan akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD). Sehingga, Pemkab TTU mengeluarkan 86 Ijin Usaha Pertambangan
(IUP) Mangan yang akan melahap habis lahan pertanian rakyat. Pemkab
Manggarai telah mengeluarkan 23 SK Pertambangan yang kemudian bisa
menggusur tanaman kopi unggulan. Pemkab Manggarai Barat 10 IUP
Pertambangan yang akan berdampak pada rusaknya panorama keindahan
Labuan bajo dan pulau-pulaunya. Padahal, spesies komodo yang langka
ini sedang dipromosikan menjadi the
seven wonders di
dunia. Pemkab Ende pun telah mengeluarkan 20 Ijin Usaha Pertambangan.
Pemkab Lembata mengeluarkan sebuah perijian tambang di wilayah
Leragere yang hampir mencakupi setengah wilaya Lembata dengan
janjinya akan dibangun apertemuan bagi rakyat. Gubernur NTT telah
mengeluarkan SK No. 134 Tahun 2008 tentang Penyelidikan Umum yang
melintasi 4 Kabupaten di Pulau Sumba dan melakukan Mou (Memorandum of
Understanding) dengan beberapa investor untuk melakukan pertambangan
di beberapa Kabupaten di Pulau Timor dan Flores. Kasus pencemaran
Laut Timor oleh Perusahan Montara, Gubernur berjuang untuk ganti rugi
atas kerusakan biota laut akibat pencemaran tersebut. Apabila
perjuangan ini sungguh dilandasi oleh gugatan akan gagasan pemulihan
ekologi, semestinya sebagai pihak yang memiliki otoritas perlu
mencabut seluruh Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang tidak jauh
berbeda dengan Perusahaan Montara. Ataukah
ini hanya berintensi mendapatkan biaya kerugian yang begitu besar?
Sumberdaya alam dieksploitasi secara serampangan untuk
kepentingan pembayaran utang luar negeri serta mempertebal
kantong-kantong kroni elit-elit kapitalis. Semua kebijakan yang
berkaitan dengan sumberdaya alam didesign menjadi sektoral dan
teralienasi untuk maksud-maksud mulusnya jalan untuk mendapatkan
keuntungan yang lebih besar.
Pra-syarat
yang perlu dilakukan untuk sebuah pengelolaan sumberdaya alam yang
visioner, humanis-ekologis perlu diimplementasikan dengan beberapa
wujud, diantaranya; Pertama,
bagaimana penataan ruang kelola agar menghindari tumpang tindi (over
laping). Kedua,
pengelolaan sumberdaya alam berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS)
Bioregion. Semestinya pertimbangan keadilan akses bagi masyarakat
hilir-hulu. Lebih dari itu monitoring akan adanya deforestrasi dan
degradasi kualitas lingkungan hulu untuk meminimalisir bencana di
daerah hilir. Ketiga,
perlindungan kawasan peresapan air (water scatchman area) agar
melihat sejauhmana kualitas kawasan penyangga tersebut.. Keempat,
bagaimana
mendorong
partisipasi rakyat dalam penyelamatan lingkungan hidup menjadi
tanggung jawab bersama.
Mengakhiri
tulisan ini, seluruh komponen diajak untuk “Pulihkan NTT,
Utamakan Keselamatan Rakyat”!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar