Kamis, 07 Februari 2013


NTT BUTUH PEMIMPIN VISIONER, HUMANIS - EKOLOGIS
(catatan pinggir buat pemimpin NTT 2013 - 2018)
Oleh: Herry Naif
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Daerah NTT
dan Anggota NTT Policy Forum

Sebulan lagi, warga Nusa Tenggara Timur akan mengikuti pesta demokrasi akbar, Pemilihan Umum Kepala Daerah secara langsung (Pemilukadal). Momentum demokrasi ini dimaknai sebagai ajang partisipasi rakyat dalam menentukan siapa pemimpin. Partai politik telah menentukan figurnya untuk maju dalam pertarungan ini. Wacana akan siapa pemimpin NTT lima (5) tahun ke depan sedang ramai diperdebatkan warga baik secara individu atau pen kelompok dengan mengacu pada berbagai aspek nilai, baik kualitas intelektual, moral, visi-misi dan spiritual yang ingin diemban. Rekam jejak atas track record dari setiap pasangan calon sedang dilakukan berbagai pihak wujud penilaian atas setiap pasangan calon yang akan ikut bertarung dalam pemilukadal.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah NTT telah menentukan lima paket yang lolos seleksi diantaranya, (1).Eston Funay – Paul Tallo, (2) I. A. Medah – Melky Lakalena (Tunas), (3). Christian Rotok – Paul Liliyanto (Cristal), (4). Frans Lebu Raya – Beny Litelnoni (Frendly) dan (5). Beny K. Harman – Whilem Nope (BKH – Nope). Kelima paket ini sudah pasti merias diri dengan visi-misi dan isu – strategi yang akan dimanfaatkan sebagai istrumen pelumas hati rakyat dalam meraih suara terbanyak.

Terlepas dari perdebatan politik yang ada, isu pemberantasan kemiskinan dan korupsi terus mendaptkan perhatian. Selain itu, isu penyelamatan ekologi melalui penolakan pertambangan di NTT pun mendapatkan perhatian dari berbagai pihak, termasuk dari para pasangan calon Gubernur NTT.
Sebagian pasangan calon Gubernur yang bertarung tidak lupa membicarakan pertambangan sebagai satu substansi yang dibicarakan serius. Itu berarti, bahwa wacana akan adanya kelestarian dan penyelamatan ekologi tersisa juga sedang mendapat perhatian dalam perhelatan politik di NTT.

Secara de fakto, ada pasangan calon yang terang-terangan menyatakan sikap menolak tambang, monitoring pertambangan tetapi ada pula yang seolah-olah buta-tuli terhadap kontraversi pertambangan yang terjadi di wilayah-wilayah pertambangan di NTT. Malah, ada yang menyatakan menolak tambang sama dengan menolak dana pusat.

Kendati demikian, sebagai warga yang cerdas dan kritis, tentunya tidak gampang menerima namun menyimak semua wacana yang ada. Seyogyanya, perlu dilakukakn kajian-sintesis antara gagasan dan pengalaman empirik-historis agar tidak dinilainya sedang onani politik untuk mendapatkan simpati dari kelompok-kelompok masyarakat yang secara tegas menolak adanya pertambangan. Wacana tolak tambang harusnya berbasis pada “political will” yang teruji dari berbagai faktor seperti rekam jejak, bahwa apakah pasangan calon itu adalah orang yang pernah punya cerita menyelamatkan lingkungan hidup.

Pergunjingan ini pun hendaknya dihantar sampai pada refleksi kritis atas model pengelolaan sumber daya alam yang humanis-ekologis. Pembahasan penyelamatan ekologi di NTT tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik (mati) dan biotik (hidup). Faktor abiotik antara lain suhu, air, kelembaban, cahaya, dan topografi, sedangkan faktor biotik adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga berhubungan erat dengan tingkatan-tingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling mempengaruhi dan merupakan suatu sistem yang menunjukkan kesatuan.

Karena itu, model pengelolaan sumberdaya alam yang eksploitatif dan ekstraktif mestinya dipertimbangkan secara matang dalam kacamata ekologi di Nusa Tenggara Timur yang mana adalah deretan pulau-pulau kecil yang memiliki keterbatasan ekosistem yang tentunya rentan terhadap masifnya bencana ekologi. Industri ekstraktif tidak ramah terhadap hutan, air, ekosistem, perkampungan. Malah menimbulkan banyak kerusakan lingkungan hidup yang tak bisa dipulihkan dalam rentang waktu yang singkat.
 
Disadarai atau tidak, bencana ekologi sedang melanda dunia. Kerusakan alam hampir tidak dapat dibendung. Hutan yang memiliki fungsi penting dalam menyiapkan carbon, pelindung sumber mata air serta penyeimbang flora dan fauna tidak digubris. Semangat eksploitatif dan tindakan-tindakan ekstraktif telah sedang meracuni manusia dalam rangka mewujudkongkretkan pembangunan yang mengayomi masyarakat menuju kesejahteraan yang absurd. Kemudian, disimpulkan bahwa lingkungan rusak karena kemiskinan.
Siapa bilang, kemiskinan mendorong orang untuk melakukan tindakan penggerukan alam tanpa pertimbangan keseimbangan ekologi. Mari kita menjawab...?
 
Bukankah realitas kemiskinan seakan memaksa para pengambil kebijakan agar kemudian berkompromi dengan pemodal untuk melakukan pengelolalaan Sumberdaya alam? Ataukah, mereka itu yang sedang dijerat kemiskinan?
Dewes Decker yang membuat lukisan tentang Indonesia dalam buku “Tanah Air”, menyimpulkan bahwa Indonesia adalah zamrud katholistiwa. Indonesia memiliki potensi alam yang luar biasa didukung dengan keanekaramana hayati yang tidak dimiliki bangsa lain. Seiring dengan kekayaan itu, herannya kemiskinan itu terus menggurita.
 
Apakah kemiskinan harus dijawab dengan penggerukan alam? Ataukah pengambilan kekayaan alam yang mempertimbangkan nilai keseimbangan (value judgement) akan membawa keadilan ekonomi dan ekologi?
Seyogyanya kita belajar dari negerinya Fidel Castro (Kuba) yang mana telah menemukan jurus jitu yang mirip dengan konsep “berdikari” yang pernah menjadi slogan Indonesia. Bahwa “produksilah apa yang kita miliki dan kita butuhkan dengan cara dan arah yang kita inginkan”. Bukannya memproduksi sesuatu yang dibutuhkan pemodal dan asing.
 
Apaila Indonesia dan NTT pada khususnya terus terjerumus dalam penggerukan Sumberdaya alam terbarukan dan tak terbarukan, tak heran bencana ekologi yang masif terjadi pun terus menjadi hasil tuaian bersama.
Kenyataan itu tidak sedang kita disadari. Ketidakseimbangan curah hujan sedang menjadi keluhan petani NTT. Abrasi pantai, longosoran, banjir, kekeringan sumber mata air dan lainnya harusnya menjadi refleksi-kritis warga terutama para calon pemimpin NTT yang sedang bertarung, sampai kapan bencana itu diminimalisir.

Hakekatnya, pemerintah dimandati mengurus sumberdaya alam yang mengedepankan kepentingan ekonomi daripada kepentingan ekologi, sosial dan budaya. Akibatnya, kelompok tertentu saja yang menguasai keuntungan pengelolaan sumberdaya alam. Hak Pengelolaan Hutan (HPH), Kontrak Karya Pertambangan, Hak Pengelolaan Pesisir dan Perikanan (HP3), dan sebagainya adalah mekanisme formal negara dalam mengekploitasi sumberdaya alam mulai dari pegunungan, hutan, perkebunan, pemukiman, pesisir, dan laut atas nama negara untuk kepentingan investasi.

Tidak heran, di sekitar lokasi-lokasi konsesi sumberdaya alam, pada umumnya masyarakat tidak banyak dilibatkan dalam pengelolaan. Dalam banyak kasus, mereka menjadi korban penggusuran, pemaksaan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Sumber-sumber penghidupan rakyat dikuasai negara dan digadaikan pada modal. Rakyat hanya dijadikan sebagai subjek penonton dalam seluruh kebijakan dengan basis argumentasi adalah peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pertanyaannya, dimanakah posisi rakyat? Bukankah kita sedang menanti remah-remah keuntungan yang diperoleh modal. Kita sedang terasing di negeri sendiri.

Herannya, fakta ini tidak pernah dijadikan sebagai bahan refleksi agar model pengelolaan sumberdaya alam diubah dengan mengutamakan kepentingan rakyat dan lingkungan hidup. Artinya, pengelolan sumberdaya alam yang humanis-ekologis menjadi solusi alternatif pemimpin dan warganya dalam mengelola sumber-sumber penghidupan yang dimilikinya.

Berbagai permasalahan ini menjadi cerminan bahwa kita sedang dimiskinkan oleh sistem pengelolaan sumberdaya alam yang dikembangkan selama ini. Pertanian, Peternakan, Kehutanan, Perikanan dan Kelautan serta home industry, industri rumah tangga (tenun-ikat) dan berbagai kerajinan rakyat lainnya mestinya didorong menjadi modal dan sumber penghidupan yang mendapatkan asupan perhatian serius dari pemerintah. Bukannya, para petani divonis perusak hutan tanpa sebuah solusi? Peternak dinilai gagal karena jumlah ternak berkurang dari tahun ke tahun. Nelayan dinilai sebagai yang menuai tanpa menanam. Kelompok tenun-ikat dari ibu-ibu di NTT hanya sekedar jadi peserta festival atau pameran budaya. Pariwisata hanya menjadi ajang kampanya tanpa mempersiapkan infrastruktur yang memadai.

Sejauhmana tawaran alternatif yang diemban dalam mendorong pertanian selaras alam, bukan sekedar seremoni food summit rutinitas tahunan. Peternakan yang seharusnya memenuhi pasaran daging, bukan impor daging sapi besar-besaran yang bermotifkan korupsi. Para nelayan mestinya memenuhi asupan protein anak-anak NTT bukanya dibiarkan terus dijarah oleh kapal-kapal asing. Produksi kelompok tenun ikat mestinya menyaingi pasaran batik, bukannya dihadirkan saat festival dan pameran budaya.

Sadar atau tidak, pilihan akan adanya pertambangan di NTT adalah wujud kegagalan negara (pemerintah provinsi) NTT dalam mengembangkan sektor-sektor riil tersebut. Sebab bila ditelaah secara logis dan melakukan studi perbandingan antara in come (pendapatan) tidak sebanding dengan biaya reklamasi. Kita tidak hanya fokus pada kerusakan lingkungan tetapi harus dilihat dalam ranah kerusakan ekosistem dan land scape yang ditimbulkan.
 
Rendanya pendapatan dari beberapa sektor bukannya mengamini bahwa dengan investasi pertambangan akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sehingga, Pemkab TTU mengeluarkan 86 Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Mangan yang akan melahap habis lahan pertanian rakyat. Pemkab Manggarai telah mengeluarkan 23 SK Pertambangan yang kemudian bisa menggusur tanaman kopi unggulan. Pemkab Manggarai Barat 10 IUP Pertambangan yang akan berdampak pada rusaknya panorama keindahan Labuan bajo dan pulau-pulaunya. Padahal, spesies komodo yang langka ini sedang dipromosikan menjadi the seven wonders di dunia. Pemkab Ende pun telah mengeluarkan 20 Ijin Usaha Pertambangan. Pemkab Lembata mengeluarkan sebuah perijian tambang di wilayah Leragere yang hampir mencakupi setengah wilaya Lembata dengan janjinya akan dibangun apertemuan bagi rakyat. Gubernur NTT telah mengeluarkan SK No. 134 Tahun 2008 tentang Penyelidikan Umum yang melintasi 4 Kabupaten di Pulau Sumba dan melakukan Mou (Memorandum of Understanding) dengan beberapa investor untuk melakukan pertambangan di beberapa Kabupaten di Pulau Timor dan Flores. Kasus pencemaran Laut Timor oleh Perusahan Montara, Gubernur berjuang untuk ganti rugi atas kerusakan biota laut akibat pencemaran tersebut. Apabila perjuangan ini sungguh dilandasi oleh gugatan akan gagasan pemulihan ekologi, semestinya sebagai pihak yang memiliki otoritas perlu mencabut seluruh Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang tidak jauh berbeda dengan Perusahaan Montara. Ataukah ini hanya berintensi mendapatkan biaya kerugian yang begitu besar?
 
Sumberdaya alam dieksploitasi secara serampangan untuk kepentingan pembayaran utang luar negeri serta mempertebal kantong-kantong kroni elit-elit kapitalis. Semua kebijakan yang berkaitan dengan sumberdaya alam didesign menjadi sektoral dan teralienasi untuk maksud-maksud mulusnya jalan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
 
Pra-syarat yang perlu dilakukan untuk sebuah pengelolaan sumberdaya alam yang visioner, humanis-ekologis perlu diimplementasikan dengan beberapa wujud, diantaranya; Pertama, bagaimana penataan ruang kelola agar menghindari tumpang tindi (over laping). Kedua, pengelolaan sumberdaya alam berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS) Bioregion. Semestinya pertimbangan keadilan akses bagi masyarakat hilir-hulu. Lebih dari itu monitoring akan adanya deforestrasi dan degradasi kualitas lingkungan hulu untuk meminimalisir bencana di daerah hilir. Ketiga, perlindungan kawasan peresapan air (water scatchman area) agar melihat sejauhmana kualitas kawasan penyangga tersebut.. Keempat, bagaimana mendorong partisipasi rakyat dalam penyelamatan lingkungan hidup menjadi tanggung jawab bersama.
Mengakhiri tulisan ini, seluruh komponen diajak untuk “Pulihkan NTT, Utamakan Keselamatan Rakyat”!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar